**Sagara dan Radit yang masih bercengkerama dengan obrolan ringan seputar rencana pernikahan itu mendadak menghentikan kegiatan kala ketukan pelan di pintu terdengar menginterupsi. Radit segera merapikan dirinya dan berada pada posisi siaga sebelum pintu terbuka."Tamara?" Lelaki tiga puluh tahun itu menyebut dengan heran saat melihat siapa yang kemudian masuk."Selamat pagi," sapa sosok cantik yang baru menampakkan diri itu."Tumben?" Radit menggerutu pelan, melirik sekilas ke arah Sagara yang tetap diam di sampingnya. "Ada perlu apa, Tam?""Biasanya aku ke sini, kamu nggak pernah tanya ada perlu apa," tukas si perempuan, menjawab Radit dengan ketus."Karena ini nggak biasa."Tamara berdecih singkat kepada Radit seraya meletakkan sebuah stopmap di atas meja Sagara. "Itu titipan dokumen dari Papi. Kamu liat aja sendiri.""Cuma jadi kurir doang ternyata." Radit mendengus kecil, disambut pelototan garang dari perempuan seksi yang sore ini sedang mengenakan dress ketat berwarna merah me
**"Selamat datang!"Rissa menyambut dengan ramah saat pintu butik didorong terbuka. Selalu itu yang ia lakukan saat customer datang, tanpa terkecuali. Kemudian biasanya Rissa akan menawarkan bantuan rekomendasi baju atau bertanya dengan ceria,apa yang mereka butuhkan. Nah, namun kali ini, hanya sapaan saja yang Rissa bisa sampaikan. Setelahnya, perempuan itu diam terpaku memandang sosok yang baru saja memasuki butik."Tamara?""Begitu cara kamu nyambut pelanggan?""Oh?" Rissa bergerak dengan kikuk. "Silakan masuk. Ada yang bisa aku bantu? Kamu mau cari baju apa?"" Actually, nothing." Perempuan semampai itu mengibaskan rambut panjangnya sembari memandang sekeliling. Membuat Rissa kesal saja."Jadi, ke sini mau ngapain, eh?""Aku mau cari Mami. Mana Mami?""Nggak ada." Rissa menjawab pendek dengan kesal. Jelas saja belum bisa ia lupakan pertemuan terakhirnya dengan perempuan ini yang menyebabkan dirinya nyaris keguguran atau bahkan kehilangan suami."Ke mana?" Tamara ternyata masih me
**"Aku bilang kamu boleh aja kok dateng meskipun nggak ada undangan. Kamu tau, aku nggak bikin banyak undangan, Tam. Karena aku sama calon istriku udah sepakat kalo kita hanya akan bikin acara sederhana aja."Sagara yang baru datang di kantor siang ini mengerutkan dahi saat mendengar suara-suara familiar seperti tengah berdebat. Ia menengok lorong di mana suara-suara itu berasal. Dan benar saja, ternyata memang suara itu berasal dari orang yang familiar. Radit dan Tamara."Ngapain kalian di sini?" Tanpa bermaksud menyidak, Gara bertanya dengan suara sedikit keras.Radit segera menoleh. "Eh, hai, Gar! Baru dateng, lo?""Kalian ngapain?" Gara mengulang pertanyaannya. Memandang penuh selidik kepada dua orang yang tampak sedang bersitegang itu."Ah, ini. Tamara bilang dia pengen dateng ke acara nikahan gue, tapi nggak ada undangan. Gue bilang dateng aja nggak apa-apa walau nggak ada undangan. Tapi dianya nggak mau."Dengan kening masih berkerut, Gara mengalihkan pandangan kepada sosok ca
**"Sayang?"Gara menutup pintu di belakang punggungnya sembari memanggil sang istri yang entah berada di bagian rumah sebelah mana. Kediamannya tampak begitu hening, meski hari masih sore."Sayang, kamu di mana?" Gara melintasi ruangan demi ruangan dengan kepala menengok ke sana kemari. Namun, tak ia temukan sosok mungil yang selalu ia rindukan itu."Ah!" Baru ketika Gara menengok jendela yang menembus ke halaman belakang rumahnya, ia melihat sang istri sedang duduk di ayunan sembari memangku sebuah buku. "Di situ rupanya!""Sayang? Kok kamu di sini sore-sore? Nggak dingin?"Carissa menoleh begitu suara sang suami terdengar olehnya. Senyum lebarnya merekah sementara merentangkan kedua tangan, menyambut Gara dalam pelukan."Hai, Kak. Kok tumben masih terang benderang udah pulang? Biasanya kamu nyampe rumah selalu nunggu matahari tenggelam dulu."Gara mengedikkan bahu seraya menyusul duduk di atas ayunan, di samping sang istri. Ia melingkarkan lengan, merengkuh pinggang perempuan di sa
**"Kamu cantik."Carissa tersenyum saat pujian tulus itu terlontar dari mulut suaminya. Sagara jarang memuji, jadi sekalinya kata-kata manis itu ia sampaikan kepada sang istri, Carissa bisa salah tingkah sendiri."Kenapa kamu dandan cantik?"Nah, hilang seketika senyum Rissa saat mendengar lanjutan kata-kata Sagara."Kok gitu sih tanyanya?""Karena sebenernya kamu nggak boleh cantik kalau di luar rumah. Aku nggak rela."Carissa mendenguskan tawa pelan sembari mengoleskan liptint ke permukaan bibirnya. Ia mematut diri di depan cermin sekali lagi, memastikan penampilannya sempurna. Bukan sempurna yang bagaimana, hanya saja Rissa memastikan dirinya rapi dan enak dipandang."Nanti kamu ketemu Abian." Sagara ternyata masih melanjutkan merajuk. Membuat Rissa menghela napas dan berbalik menghadap lelaki kesayangannya itu."Ya terus kenapa kalo aku ketemu Abian, Kak? Kita kan emang mau berangkat bareng-bareng sekeluarga.""Abian jadi lihat kamu dandan cantik begini.""Astaga, Kak Gara." Riss
**"Wah, wah ... a drama queen."Carissa seketika mengerutkan dahi. Seharusnya tidak mengherankan jikalau Tamara berada di sini. Perempuan itu juga mengenal Radit di kantor. Namun entah mengapa, Rissa masih pula merasa aneh melihatnya di sini sekarang."Tamara?" Carissa mencoba menyapa. Mengabaikan celetukannya beberapa saat yang lalu. "Kamu juga dateng, Tam?""Yah, gimana lagi. Masa bawahanku ada acara, aku nggak dateng, sih?"Carissa mengerling kepada Aneska setelah mendengar kata-kata dari Tamara barusan. Khawatir bahwa adik sepupunya itu akan tersinggung atau entah apa. Karena Tamara mengucapkan bawahanku dengan penuh penekanan."Terimakasih udah dateng." Namun, hanya itu yang diucapkan oleh Aneska. Ia kemudian menggamit lengan Carissa sebelum melanjutkan. "Silakan dinikmati hidangannya, Kak. Kebetulan ada beberapa keluarga yang mau ketemu sama Kak Rissa. Kami masuk dulu, ya."Keluarga siapa? Carissa tak sempat bertanya sebab Aneska sudah lebih dulu menyeretnya ke sisi lain ruanga
**"Kok kamu sama Abian, Ris?"Carissa menelan saliva. Memandang suaminya dengan kedua netra bergetar. Kebiasaan Carissa adalah, ketika dirinya sedang gugup seperti ini, kemampuan berbicaranya jadi menurun. Itulah sebabnya kehidupan rumah tangganya dengan Sagara seringkali diwarnai salah paham."I-itu, Kak, tadi–""Aku cari kamu ke mana-mana, ternyata kamu sama Abian?""Dia tadi digangguin sama Tamara, jadi gue anter nyusul lo ke depan," kilah Abian dengan nada datar, menyelamatkan situasi."Digangguin Tamara?" Alis tebal Sagara otomatis bertaut. "Digangguin gimana maksudnya?""Nggak, Kak–""Dia lagi jalan, dibikin kesandung. Untung aja gue pas liat, jadi nggak sampe jatuh."Carissa sungguh tidak mengira bahwa Abian akan mengatakan yang sebenarnya dengan ringan begitu. Meski demikian, tak pelak ekspresi Sagara yang berubah menjadi murka."Bangsat! Bisa-bisanya itu uler cari masalah di sini. Biar gue kasih pelajaran–""Kak, Kak nggak, jangan." Namun, Carissa buru-buru menarik lengan sa
**"Kalian habis berantem?" Yasmin yang duduk di kursi belakang, melayangkan pertanyaan tanpa basa-basi kepada Sagara dan Carissa yang berada di depan."Eh? Enggak, Mam." Rissa menjawab seraya menoleh kecil dari balik bahunya. "Berantem kenapa? Kita nggak apa-apa, kok.""Itu kenapa dari tadi diem-dieman aja, Mami liat-liat? Mana Gara buru-buruin aja ngajak pulang.""Kita nggak berantem, Mam," tukas Gara ringan. "Aku diem ya karena emang harus konsen sama jalanan, kan? Terus aku ngajak pulang cepet karena sekali lagi, Rissa nggak boleh kecapean. Terus juga lagi pengen date sama istriku.""Kak ...." Rissa mendesis memperingatkan, tapi Gara masa bodoh."Kalian tiap detik nempel kayak perangko, masih aja punya acara kencan? Itu lagi nggak sinkron, katanya Rissa nggak boleh capek, kok malah mau diajak keluyuran, sih?""Date, bukan keluyuran. Dan kalian berdua juga sama aja, tuh. Mami sama Papa cepet nikah sana, biar nggak jadi fitnah."Dua yang lebih tua mendadak berdehem salah tingkah saa