**"Kamu cantik."Carissa tersenyum saat pujian tulus itu terlontar dari mulut suaminya. Sagara jarang memuji, jadi sekalinya kata-kata manis itu ia sampaikan kepada sang istri, Carissa bisa salah tingkah sendiri."Kenapa kamu dandan cantik?"Nah, hilang seketika senyum Rissa saat mendengar lanjutan kata-kata Sagara."Kok gitu sih tanyanya?""Karena sebenernya kamu nggak boleh cantik kalau di luar rumah. Aku nggak rela."Carissa mendenguskan tawa pelan sembari mengoleskan liptint ke permukaan bibirnya. Ia mematut diri di depan cermin sekali lagi, memastikan penampilannya sempurna. Bukan sempurna yang bagaimana, hanya saja Rissa memastikan dirinya rapi dan enak dipandang."Nanti kamu ketemu Abian." Sagara ternyata masih melanjutkan merajuk. Membuat Rissa menghela napas dan berbalik menghadap lelaki kesayangannya itu."Ya terus kenapa kalo aku ketemu Abian, Kak? Kita kan emang mau berangkat bareng-bareng sekeluarga.""Abian jadi lihat kamu dandan cantik begini.""Astaga, Kak Gara." Riss
**"Wah, wah ... a drama queen."Carissa seketika mengerutkan dahi. Seharusnya tidak mengherankan jikalau Tamara berada di sini. Perempuan itu juga mengenal Radit di kantor. Namun entah mengapa, Rissa masih pula merasa aneh melihatnya di sini sekarang."Tamara?" Carissa mencoba menyapa. Mengabaikan celetukannya beberapa saat yang lalu. "Kamu juga dateng, Tam?""Yah, gimana lagi. Masa bawahanku ada acara, aku nggak dateng, sih?"Carissa mengerling kepada Aneska setelah mendengar kata-kata dari Tamara barusan. Khawatir bahwa adik sepupunya itu akan tersinggung atau entah apa. Karena Tamara mengucapkan bawahanku dengan penuh penekanan."Terimakasih udah dateng." Namun, hanya itu yang diucapkan oleh Aneska. Ia kemudian menggamit lengan Carissa sebelum melanjutkan. "Silakan dinikmati hidangannya, Kak. Kebetulan ada beberapa keluarga yang mau ketemu sama Kak Rissa. Kami masuk dulu, ya."Keluarga siapa? Carissa tak sempat bertanya sebab Aneska sudah lebih dulu menyeretnya ke sisi lain ruanga
**"Kok kamu sama Abian, Ris?"Carissa menelan saliva. Memandang suaminya dengan kedua netra bergetar. Kebiasaan Carissa adalah, ketika dirinya sedang gugup seperti ini, kemampuan berbicaranya jadi menurun. Itulah sebabnya kehidupan rumah tangganya dengan Sagara seringkali diwarnai salah paham."I-itu, Kak, tadi–""Aku cari kamu ke mana-mana, ternyata kamu sama Abian?""Dia tadi digangguin sama Tamara, jadi gue anter nyusul lo ke depan," kilah Abian dengan nada datar, menyelamatkan situasi."Digangguin Tamara?" Alis tebal Sagara otomatis bertaut. "Digangguin gimana maksudnya?""Nggak, Kak–""Dia lagi jalan, dibikin kesandung. Untung aja gue pas liat, jadi nggak sampe jatuh."Carissa sungguh tidak mengira bahwa Abian akan mengatakan yang sebenarnya dengan ringan begitu. Meski demikian, tak pelak ekspresi Sagara yang berubah menjadi murka."Bangsat! Bisa-bisanya itu uler cari masalah di sini. Biar gue kasih pelajaran–""Kak, Kak nggak, jangan." Namun, Carissa buru-buru menarik lengan sa
**"Kalian habis berantem?" Yasmin yang duduk di kursi belakang, melayangkan pertanyaan tanpa basa-basi kepada Sagara dan Carissa yang berada di depan."Eh? Enggak, Mam." Rissa menjawab seraya menoleh kecil dari balik bahunya. "Berantem kenapa? Kita nggak apa-apa, kok.""Itu kenapa dari tadi diem-dieman aja, Mami liat-liat? Mana Gara buru-buruin aja ngajak pulang.""Kita nggak berantem, Mam," tukas Gara ringan. "Aku diem ya karena emang harus konsen sama jalanan, kan? Terus aku ngajak pulang cepet karena sekali lagi, Rissa nggak boleh kecapean. Terus juga lagi pengen date sama istriku.""Kak ...." Rissa mendesis memperingatkan, tapi Gara masa bodoh."Kalian tiap detik nempel kayak perangko, masih aja punya acara kencan? Itu lagi nggak sinkron, katanya Rissa nggak boleh capek, kok malah mau diajak keluyuran, sih?""Date, bukan keluyuran. Dan kalian berdua juga sama aja, tuh. Mami sama Papa cepet nikah sana, biar nggak jadi fitnah."Dua yang lebih tua mendadak berdehem salah tingkah saa
**Pintu kamar hotel ditutup dengan keras dan tidak sabar sesaat setelah room boy mengantarkan troli berisi makan malam. Alih-alih mengurus makanan yang sudah dipesan itu, Sagara justru mendorong lembut tubuh istrinya hingga jatuh ke atas ranjang."Kak–"" Please. Satu kali aja." Gara berbisik dengan suara parau. Napas hangatnya yang menderu menyapu leher Carissa hingga turun ke tulang selangka. Mengecupi permukaan kulit yang terbuka dengan rakus dan penuh gairah."Mmm ... jangan di situ ...." Perempuan itu mengaduh pelan ketika merasakan hisapan kuat pada belakang telinga. "Nanti diledekin Mami kalo sampe liat, Kak ....""You're mine. Seharusnya terserah, aku mau apakan.""Ya, tap– mmh ...." Suara seduktif itu lolos dari bibir Carissa tanpa bisa ia cegah. Sang suami terus saja memprovokasi dengan gerakan-gerakan tidak lulus sensor. "Kak ... p-please! Ja-jangan ....""Berhenti bilang jangan. Atau aku bakalan ikat tanganmu, ?"Ah, sial! Bibir Carissa berkata tidak dan jangan, tapi tub
**"Hai, Ris."Carissa mendongak setelah mendengar seseorang memanggil namanya. Ia tersenyum kemudian. Melangkah perlahan melewati pintu tengah butik, menuju ruangan Yasmin yang berada di bagian dalam."Hai, Bi. Tumben kamu di sini?""Hanya anterin Mami, tadi. Ini udah mau pulang dan balik kantor."Carissa mengangguk kecil sembari mengulas senyum. Meski demikian, ia tidak lagi berniat memperpanjang obrolan. Carissa menepati janji, ia tidak akan mengecewakan Sagara."Aku masuk dulu, ya. Mami di dalam, kan?"Lelaki itu mengangguk meski sedikit keberatan tampak pada raut wajahnya. Tak ada yang bisa Abian lakukan untuk menahan perempuan itu tinggal lebih lama. Karena memang begitulah seharusnya.Nah, namun belum juga Carissa melangkah masuk, pintu depan butik didorong terbuka. Seorang pelanggan yang baru saja tiba membuat Carissa membatalkan niat untuk meninggalkan Abian dan kembali lagi menuju meja kasir."Selamat datang, silakan masuk." Rissa menyambut orang yang baru datang itu dengan
**"Kamu kenapa? Ada yang sakit? Mau makan sesuatu?" Sagara bertanya kepada sang istri sore ini. Di dalam mobil saat perjalanan pulang setelah menjemput Rissa dari butik."Nggak apa-apa, Kak.""Kita udah bersama cukup lama, Ris. Jangan pikir aku nggak tau tingkahmu kalo ada apa-apa, ya."Rissa menoleh, memandang lelaki di sampingnya yang tetap fokus pada kemudi, memandang lurus ke depan."Kenapa? Ketemu Abian di butik bikin kamu galau?""Ish! Apaan, sih?""Kalo gitu cerita sama aku, ada apa?"Rissa menghela napas. Kadang-kadang ia benci menjadi seseorang yang wajahnya gampang terbaca seperti ini. Nah, tapi ia juga tidak lupa, meskipun ekspresi wajahnya tidak mudah ditebak, Gara akan tetap bisa menebak sebab pria itu memiliki tingkat kepekaan di atas rata-rata."Tadi aku ketemu teman lama, Kak.""Teman lama?""Yah ... nggak bisa disebut teman juga, sih. Aku nggak ngerasa pernah berteman sama dia soalnya." Carissa cemberut. Ia sungguh tidak ingin cerita, sebenarnya. Tapi manusia di samp
**"Kak, bangun, Kak."Sagara membuka mata ketika merasakan guncangan lembut pada lengannya. Ia memicingkan mata, mencoba mengumpulkan kesadaran sementara memandang ke arah asal suara."Rissa?""Bangun sebentar aja."Gara tampak menghela napas, meski tidak mengatakan apapun. Lelaki itu perlahan bangun dari posisi tidur. Menatap lekat pada sang istri yang sedang cemberut."Mau apa, hm? Mau makan apa?"Kedua alis Carissa terangkat begitu mendengar pertanyaan itu. "Kok kamu tau kalo aku lagi pengen makan sesuatu?""Ngapain lagi kan, kamu bangunin aku tengah malam begini? Setelah takoyaki, terus tempo hari mau makaroni, sekarang pengen apa?""Mau makan seblak.""Oh, demi Tuhan, Ris! Mana ada orang jualan seblak jam segini? Jam berapa sih, sekarang?" Gara menengok jam yang menggantung di dinding, di seberang ranjangnya. Belakangan sejak Rissa sering membangunkannya malam-malam hanya karena ingin makan sesuatu, Gara pindahkan jam dindingnya dari posisi awal, di atas headboard ke seberang di
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh