**"Hai, Ris."Carissa mendongak setelah mendengar seseorang memanggil namanya. Ia tersenyum kemudian. Melangkah perlahan melewati pintu tengah butik, menuju ruangan Yasmin yang berada di bagian dalam."Hai, Bi. Tumben kamu di sini?""Hanya anterin Mami, tadi. Ini udah mau pulang dan balik kantor."Carissa mengangguk kecil sembari mengulas senyum. Meski demikian, ia tidak lagi berniat memperpanjang obrolan. Carissa menepati janji, ia tidak akan mengecewakan Sagara."Aku masuk dulu, ya. Mami di dalam, kan?"Lelaki itu mengangguk meski sedikit keberatan tampak pada raut wajahnya. Tak ada yang bisa Abian lakukan untuk menahan perempuan itu tinggal lebih lama. Karena memang begitulah seharusnya.Nah, namun belum juga Carissa melangkah masuk, pintu depan butik didorong terbuka. Seorang pelanggan yang baru saja tiba membuat Carissa membatalkan niat untuk meninggalkan Abian dan kembali lagi menuju meja kasir."Selamat datang, silakan masuk." Rissa menyambut orang yang baru datang itu dengan
**"Kamu kenapa? Ada yang sakit? Mau makan sesuatu?" Sagara bertanya kepada sang istri sore ini. Di dalam mobil saat perjalanan pulang setelah menjemput Rissa dari butik."Nggak apa-apa, Kak.""Kita udah bersama cukup lama, Ris. Jangan pikir aku nggak tau tingkahmu kalo ada apa-apa, ya."Rissa menoleh, memandang lelaki di sampingnya yang tetap fokus pada kemudi, memandang lurus ke depan."Kenapa? Ketemu Abian di butik bikin kamu galau?""Ish! Apaan, sih?""Kalo gitu cerita sama aku, ada apa?"Rissa menghela napas. Kadang-kadang ia benci menjadi seseorang yang wajahnya gampang terbaca seperti ini. Nah, tapi ia juga tidak lupa, meskipun ekspresi wajahnya tidak mudah ditebak, Gara akan tetap bisa menebak sebab pria itu memiliki tingkat kepekaan di atas rata-rata."Tadi aku ketemu teman lama, Kak.""Teman lama?""Yah ... nggak bisa disebut teman juga, sih. Aku nggak ngerasa pernah berteman sama dia soalnya." Carissa cemberut. Ia sungguh tidak ingin cerita, sebenarnya. Tapi manusia di samp
**"Kak, bangun, Kak."Sagara membuka mata ketika merasakan guncangan lembut pada lengannya. Ia memicingkan mata, mencoba mengumpulkan kesadaran sementara memandang ke arah asal suara."Rissa?""Bangun sebentar aja."Gara tampak menghela napas, meski tidak mengatakan apapun. Lelaki itu perlahan bangun dari posisi tidur. Menatap lekat pada sang istri yang sedang cemberut."Mau apa, hm? Mau makan apa?"Kedua alis Carissa terangkat begitu mendengar pertanyaan itu. "Kok kamu tau kalo aku lagi pengen makan sesuatu?""Ngapain lagi kan, kamu bangunin aku tengah malam begini? Setelah takoyaki, terus tempo hari mau makaroni, sekarang pengen apa?""Mau makan seblak.""Oh, demi Tuhan, Ris! Mana ada orang jualan seblak jam segini? Jam berapa sih, sekarang?" Gara menengok jam yang menggantung di dinding, di seberang ranjangnya. Belakangan sejak Rissa sering membangunkannya malam-malam hanya karena ingin makan sesuatu, Gara pindahkan jam dindingnya dari posisi awal, di atas headboard ke seberang di
***"Astaga! Orang itu!"Kedua netra Carissa melebar. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, yakin bahwa dirinya tidak salah lihat meski memang sedikit mengantuk. Pandangannya kian jelas saat kemudian ia menangkap gestur sedang ribut-ribut dari dua orang lelaki di seberang mobilnya."Kak Gara!" Rissa berseru. Ia tanpa sadar membuka pintu mobil dan berlari menghampiri sang suami. Lantas menggamit lengan lelaki itu erat-erat."Rissa! Aku bilang kamu di dalam mobil aja, jangan ikut keluar! Kenapa kamu malah nyusul ke sini?"Rissa hanya menggeleng. Ia mengeratkan pegangannya pada lengan Sagara saat kemudian pandangannya jatuh kepada laki-laki di hadapannya itu. Raut wajahnya mendadak keruh."Ha! Carissa! Kebetulan macam apa ini? Kita ketemu lagi di sini pada waktu seperti ini pula? Luar biasa!"Kedua alis Carissa otomatis bertaut saat pandangannya jatuh kepada lelaki di hadapannya. Ya, benar. Ini sungguh kebetulan yang menyebalkan. Dari sekian juta manusia, mengapa harus bertemu dengan yang
**"Kamu bilang nggak apa-apa dan baik-baik aja, tapi wajahmu nggak bisa bohong, Ris."Carissa mengerjap, tersadar dari lamunan. Ia tidak tahu bahwa SUV milik suaminya sudah kembali lagi ke garasi rumah saat ini."Ah? Maaf, Kak. Aku ngelamun, kah? Maaf, aku tadi agak ngantuk.""Agak ngantuk, atau mikirin laki-laki yang tadi?"Rissa terkesiap walau itu bukan pertanyaan yang sangat mengejutkan. Ia mengerling ke arah sang suami dengan takut-takut."Baiklah, aku emang agak kepikiran dikit sama Aldric.""Berani-beraninya kamu mikirin laki-laki lain di hadapanku, hm?""Ah, bukan! Bukan begitu maksud aku." Rissa berusaha menjelaskan dengan panik. Jangan sampai ia merusak mood suaminya pagi-pagi buta begini. Ah, ini sudah jam setengah enam pagi, omong-omong."Kita masuk dulu yuk, Kak. Aku bikinin minuman hangat, ya. Udaranya dingin." Setengahnya memang bermaksud membujuk. Rissa tersenyum lebar seraya melepas seatbelt-nya. Ia menunggu hingga sang suami selesai melakukan hal yang sama sebelum t
**Sagara sedang fokus dengan beberapa file yang bertebaran di atas meja kerja saat pintu ruangannya terbuka dengan tiba-tiba, tanpa diketuk terlebih dahulu. Laki-laki itu mendesis kesal dan sudah nyaris meneriakkan nama Radit saat kemudian suara ketukan higheels membatalkan niatnya. Ternyata bukan Radit."Hai, Gar."Tapi Tamara."Nggak bisakah kamu ketuk dulu pintunya? Berapa kali aku harus ingetin hal sederhana kek gini sama kamu?"Perempuan itu hanya mengangkat bahu dengan ringan. "Hanya ada kamu di sini, kan?""Hanya ada aku, tapi aku pemimpin perusahaan ini. Dan siapa kamu?"Tamara memutar bola mata dengan muak, membuat Gara mengernyitkan dahi. Dengan kelakuan minus seperti itu, Tamara masih memaksa mendekati dirinya? Oh, demi Tuhan."Udahlah. Mau apa ke sini?" Gara kembali menjatuhkan fokus kepada lembar-lembar kertas di atas mejanya. Sementara keletak-keletok suara sepatu hak tinggi Tamara terdengar mengitari ruangan besar itu."Acara nikahan Mami besok, kan?""Nggak tahu.""Ko
**"Sagara Aditama?"Aldric menyebut nama itu pelan-pelan. Selintas ingatan menyapa benaknya, namun ia tetap tidak ingat siapa si empunya nama. Maka, kemudian pria itu memutuskan menggeleng saja."Ah, ya sudahlah," pungkas Tamara kesal. "Nggak ada gunanya juga kamu tahu siapa Sagara. Dia nggak ada sangkut pautnya sama kehidupanmu, pun.""Kamu kelihatannya sedang kesal sekali, ya?" Aldric kembali mengulum senyum. "Mau aku temani? Kebetulan saat ini aku sedang free. Mungkin kita bisa sekedar jalan-jalan untuk melepas stres?""Aku nggak stres!""Oh, sorry."Pria rupawan itu masih mengulum senyum, sementara Tamara kian cemberut. Ia mengaduk-aduk Strawberry Milkshake dalam gelas di hadapannya tanpa minat sedikitpun. Kedua alisnya bertaut dengan bibir mengerucut, membuatnya tampak semakin menggemaskan di mata Aldric."Sorry, Tamara. Aku sama sekali nggak berniat bikin mood kamu semakin buruk. Tadinya aku cuma pengen nawarin bantuan. Siapa tahu kamu butuh teman, kan?"Tamara sudah membuka mu
**"Kok bisa kalian udah saling kenal?"Carissa sudah membuka mulut hendak menjawab, namun Aldric Fernandez mendahului."Anda lupa, Nyonya Yasmin? Carissa yang menyerang saya di butik tempo hari." Lelaki itu menampakkan senyum lebar yang mengerikan. Membuat Carissa seketika pucat pasi."Ah? Serius? Kenapa Carissa nyerang kamu?" Tamara menimpali, membuat keadaan kian keruh pula."Aku kurang tahu, Tam. Waktu itu aku cuma pengen lihat-lihat baju, sih.""Kamu?" Yasmin menyela. Alisnya tampak bertaut, menatap bergantian kepada sang menantu, dan pria muda yang baru tiba ini. "Maksud kamu, yang kamu bilang perampok itu kemarin, Ris? Itu Aldric?"Jantung Rissa seperti mencelos. Yasmin tampak begitu terkejut mendengar berita ini."Itu, Mam–""Padahal aku tanya baik-baik, loh. Tapi dia malah serang mataku pakai semprotan merica. Untung aja aku langsung lari ke rumah sakit, jadi nggak sampai ada yang serius.""Mami, nggak begitu–""Yah, aku maklum, sih. Mungkin saat itu Rissa lagi nggak stabil."