**Sagara sedang fokus dengan beberapa file yang bertebaran di atas meja kerja saat pintu ruangannya terbuka dengan tiba-tiba, tanpa diketuk terlebih dahulu. Laki-laki itu mendesis kesal dan sudah nyaris meneriakkan nama Radit saat kemudian suara ketukan higheels membatalkan niatnya. Ternyata bukan Radit."Hai, Gar."Tapi Tamara."Nggak bisakah kamu ketuk dulu pintunya? Berapa kali aku harus ingetin hal sederhana kek gini sama kamu?"Perempuan itu hanya mengangkat bahu dengan ringan. "Hanya ada kamu di sini, kan?""Hanya ada aku, tapi aku pemimpin perusahaan ini. Dan siapa kamu?"Tamara memutar bola mata dengan muak, membuat Gara mengernyitkan dahi. Dengan kelakuan minus seperti itu, Tamara masih memaksa mendekati dirinya? Oh, demi Tuhan."Udahlah. Mau apa ke sini?" Gara kembali menjatuhkan fokus kepada lembar-lembar kertas di atas mejanya. Sementara keletak-keletok suara sepatu hak tinggi Tamara terdengar mengitari ruangan besar itu."Acara nikahan Mami besok, kan?""Nggak tahu.""Ko
**"Sagara Aditama?"Aldric menyebut nama itu pelan-pelan. Selintas ingatan menyapa benaknya, namun ia tetap tidak ingat siapa si empunya nama. Maka, kemudian pria itu memutuskan menggeleng saja."Ah, ya sudahlah," pungkas Tamara kesal. "Nggak ada gunanya juga kamu tahu siapa Sagara. Dia nggak ada sangkut pautnya sama kehidupanmu, pun.""Kamu kelihatannya sedang kesal sekali, ya?" Aldric kembali mengulum senyum. "Mau aku temani? Kebetulan saat ini aku sedang free. Mungkin kita bisa sekedar jalan-jalan untuk melepas stres?""Aku nggak stres!""Oh, sorry."Pria rupawan itu masih mengulum senyum, sementara Tamara kian cemberut. Ia mengaduk-aduk Strawberry Milkshake dalam gelas di hadapannya tanpa minat sedikitpun. Kedua alisnya bertaut dengan bibir mengerucut, membuatnya tampak semakin menggemaskan di mata Aldric."Sorry, Tamara. Aku sama sekali nggak berniat bikin mood kamu semakin buruk. Tadinya aku cuma pengen nawarin bantuan. Siapa tahu kamu butuh teman, kan?"Tamara sudah membuka mu
**"Kok bisa kalian udah saling kenal?"Carissa sudah membuka mulut hendak menjawab, namun Aldric Fernandez mendahului."Anda lupa, Nyonya Yasmin? Carissa yang menyerang saya di butik tempo hari." Lelaki itu menampakkan senyum lebar yang mengerikan. Membuat Carissa seketika pucat pasi."Ah? Serius? Kenapa Carissa nyerang kamu?" Tamara menimpali, membuat keadaan kian keruh pula."Aku kurang tahu, Tam. Waktu itu aku cuma pengen lihat-lihat baju, sih.""Kamu?" Yasmin menyela. Alisnya tampak bertaut, menatap bergantian kepada sang menantu, dan pria muda yang baru tiba ini. "Maksud kamu, yang kamu bilang perampok itu kemarin, Ris? Itu Aldric?"Jantung Rissa seperti mencelos. Yasmin tampak begitu terkejut mendengar berita ini."Itu, Mam–""Padahal aku tanya baik-baik, loh. Tapi dia malah serang mataku pakai semprotan merica. Untung aja aku langsung lari ke rumah sakit, jadi nggak sampai ada yang serius.""Mami, nggak begitu–""Yah, aku maklum, sih. Mungkin saat itu Rissa lagi nggak stabil."
**"Kamu adalah istri Sagara Aditama, tapi kamu berduaan sama lelaki lain di tempat sepi seperti ini?"Aldric lagi-lagi menampakkan seringai lebar penuh provokasi di wajahnya.Carissa mengernyit. "Kamu juga ngapain ada di sini? Tempat acaranya di lantai bawah, ngapain kamu masuk-masuk ke sini? Nggak sopan banget!" Carissa berbalik menyerang. Tidak ada gunanya merasa takut. Posisinya sekarang lebih kuat daripada lelaki itu."Dia bersamaku." Sebuah suara lain menyela dari belakang. Suara yang membuat raut Carissa seketika keruh."Aku yang ajak dia ke sini. Mau apa, hm?" Tamara mendekat. Kedua hastanya menyilang di depan dada dengan pandangan meremehkan ke arah Rissa."Kamu juga nggak memiliki hak buat melanggar privasi orang begitu, Tam. Kamu bukan pemilik rumah ini.""Oh, kamu ngerasa udah jadi pemilik rumah ini sekarang, begitu?""Seenggaknya aku menantu yang sah. Bukan yang kebanyakan halu sepertimu."Whoa. Carissa juga tidak tahu dari mana ia mendapatkan keberanian semacam itu. Namu
**Carissa mengekor dengan langkah pelan di belakang sang suami menuju ke kamar yang tadi ia sudah sempat masuki. Hening menenggelamkan eksistensi keduanya hingga beberapa saat waktu berlalu. Sampai Rissa merasa tidak nyaman sendiri dan akhirnya memutuskan buka suara."Kak ....""Masuk."Sagara seperti tidak memberikan kesempatan untuknya bersuara. Kata-katanya bernada mutlak tak bisa disanggah."Kak, sorry–""Aku bilang sekali lagi, istirahat di sini dan jangan ke mana-mana. Kenapa kamu suka banget cari gara-gara, ha?""Aku bukan cari gara-gara–""Berduaan di balkon sepi sama Abian? Apa namanya kalau bukan cari gara-gara?""Kak, kamu percaya sama kata-kata Tamara dan Aldric?""Aku maunya juga nggak percaya, tapi aku lihat kejelasannya dengan mata kepalaku sendiri. Jadi kamu pikir apa?"Carissa menelan saliva. Ia tak bisa mengelak lebih jauh, sebab memang demikianlah yang terjadi. Meski tak ada apapun dan ia benar-benar hanya mengobrol pendek dengan Abian, tapi ia memang benar sedang
**"Kamu harus hati-hati sama Aldric Fernandez, Ris!"Carissa mengerutkan dahi. Demi apa, Yasmin tampak serius sekali memperingatkan. Tadinya Rissa pikir Yasmin bakal mempertanyakan lebih jauh tentang bagaimana ia bisa mengenal Aldric. Ternyata yang terjadi, justru sebaliknya. Yasmin memintanya waspada."Emang kenapa, Mam? Ada apa sama orang itu?""Nah, kan kamu bilang sudah kenal dia dari SMU. Jadi pasti kamu udah tahu dong, dia kenapa."Rissa mengangkat bahu. "Rissa cuma taunya dia anak orang kaya yang akan melakukan apapun hanya demi memenuhi kesenangannya sendiri.""Tepat seperti itu. Makanya aku bilang kamu harus hati-hati. Aku aja prefer nggak terlibat masalah sama keluarga Fernandez, kok."Carissa menelan seteguk besar jus jeruk yang mendadak saja kehilangan rasa. Teringat keributan semalam yang ditimbulkan olehnya dan Abian. Mustahil jika seorang Aldric tidak notice hal ini. Mendadak saja ia pusing memikirkan apa yang bisa diperbuat Aldric setelah ini."Seberpengaruh itukah ke
**"Rissa! Kamu kenapa?"Sagara yang baru saja muncul di ambang pintu kamar segera melompat masuk. Wajahnya panik melihat sang istri yang sedang berbaring dengan dokter yang memeriksa."Eh, Kak–""Dok, istri saya kenapa? Kenapa diperiksa segala?""Ah, bukan masalah yang benar-benar serius, kok." Ibu Dokter itu tertawa ringan. "Duh, senang sekali. Ternyata Tuan Sagara seperhatian ini, ya."Rissa jadi malu sekali. Setengah malu setengah bahagia, sebenarnya. Itu berarti meski mungkin sedang kesal, Gara masih tetap mengkhawatirkannya."Nona Rissa baik-baik saja, cuma memang harus istirahat lebih intens. Akan saya resepkan obat untuk menguatkan kandungannya, ya."Selanjutnya, Gara sibuk berdiskusi sendiri dengan dokter perempuan itu. Bertanya ini dan itu mengenai masalah kehamilan. Wah, bahkan Rissa sendiri tidak se-excited ini. Justru ayah si jabang bayi yang seantusias itu. Membuat Rissa merasa tertampar saja."Kak, kamu ada di sini jam segini?"Selepas dokter selesai dengan pemeriksaan
**"Gue butuh bantuan lo, Dit."Gara menutup laptopnya setelah presentasi yang ia pimpin siang ini selesai. Dua pria itu masih tinggal di dalam ruang meeting sementara para staff yang lain sudah hengkang dari sana."Lo kapan sih, nggak butuh bantuan gue?""Gue serius, sat!""Pokoknya kalo tentang Tamara, gue nggak mau." Radit menatap Gara dengan wajah tengil. Hilang sudah hubungan antara atasan dengan bawahan setelah pekerjaan mereka rampung. "Makasih banget, amit-amit kalo lo suruh gue cari ribut lagi sama dia.""Oh, gue ada cerita tentang itu cewek. Tapi itu nanti ajalah. Ini yang mau gue minta tolong bukan tentang dia."Radit berhenti sejenak membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas meja. Ia menatap penuh tanya kepada sang sahabat."Lo ada rekomendasi asisten rumah tangga, nggak?""Lo cari ART?" Radit bertanya heran. "Mau buat di mana?""Yakali di rumah lo.""Maksud gue, lo kan cuma tinggal berdua sama Rissa. Itu juga dia seringnya di butik atau di rumah Bu Yasmin. Jadi na