**"Kamu harus hati-hati sama Aldric Fernandez, Ris!"Carissa mengerutkan dahi. Demi apa, Yasmin tampak serius sekali memperingatkan. Tadinya Rissa pikir Yasmin bakal mempertanyakan lebih jauh tentang bagaimana ia bisa mengenal Aldric. Ternyata yang terjadi, justru sebaliknya. Yasmin memintanya waspada."Emang kenapa, Mam? Ada apa sama orang itu?""Nah, kan kamu bilang sudah kenal dia dari SMU. Jadi pasti kamu udah tahu dong, dia kenapa."Rissa mengangkat bahu. "Rissa cuma taunya dia anak orang kaya yang akan melakukan apapun hanya demi memenuhi kesenangannya sendiri.""Tepat seperti itu. Makanya aku bilang kamu harus hati-hati. Aku aja prefer nggak terlibat masalah sama keluarga Fernandez, kok."Carissa menelan seteguk besar jus jeruk yang mendadak saja kehilangan rasa. Teringat keributan semalam yang ditimbulkan olehnya dan Abian. Mustahil jika seorang Aldric tidak notice hal ini. Mendadak saja ia pusing memikirkan apa yang bisa diperbuat Aldric setelah ini."Seberpengaruh itukah ke
**"Rissa! Kamu kenapa?"Sagara yang baru saja muncul di ambang pintu kamar segera melompat masuk. Wajahnya panik melihat sang istri yang sedang berbaring dengan dokter yang memeriksa."Eh, Kak–""Dok, istri saya kenapa? Kenapa diperiksa segala?""Ah, bukan masalah yang benar-benar serius, kok." Ibu Dokter itu tertawa ringan. "Duh, senang sekali. Ternyata Tuan Sagara seperhatian ini, ya."Rissa jadi malu sekali. Setengah malu setengah bahagia, sebenarnya. Itu berarti meski mungkin sedang kesal, Gara masih tetap mengkhawatirkannya."Nona Rissa baik-baik saja, cuma memang harus istirahat lebih intens. Akan saya resepkan obat untuk menguatkan kandungannya, ya."Selanjutnya, Gara sibuk berdiskusi sendiri dengan dokter perempuan itu. Bertanya ini dan itu mengenai masalah kehamilan. Wah, bahkan Rissa sendiri tidak se-excited ini. Justru ayah si jabang bayi yang seantusias itu. Membuat Rissa merasa tertampar saja."Kak, kamu ada di sini jam segini?"Selepas dokter selesai dengan pemeriksaan
**"Gue butuh bantuan lo, Dit."Gara menutup laptopnya setelah presentasi yang ia pimpin siang ini selesai. Dua pria itu masih tinggal di dalam ruang meeting sementara para staff yang lain sudah hengkang dari sana."Lo kapan sih, nggak butuh bantuan gue?""Gue serius, sat!""Pokoknya kalo tentang Tamara, gue nggak mau." Radit menatap Gara dengan wajah tengil. Hilang sudah hubungan antara atasan dengan bawahan setelah pekerjaan mereka rampung. "Makasih banget, amit-amit kalo lo suruh gue cari ribut lagi sama dia.""Oh, gue ada cerita tentang itu cewek. Tapi itu nanti ajalah. Ini yang mau gue minta tolong bukan tentang dia."Radit berhenti sejenak membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas meja. Ia menatap penuh tanya kepada sang sahabat."Lo ada rekomendasi asisten rumah tangga, nggak?""Lo cari ART?" Radit bertanya heran. "Mau buat di mana?""Yakali di rumah lo.""Maksud gue, lo kan cuma tinggal berdua sama Rissa. Itu juga dia seringnya di butik atau di rumah Bu Yasmin. Jadi na
**Permintaan Carissa memanglah hanya pergi ke taman bermain dan naik bianglala saja. Tapi lihatlah kelakuan Tuan Sagara Aditama yang sudah terlanjur cinta dengan wanitanya itu. Ia menyewa penuh sebuah taman bermain untuk Rissa sendiri selama sisa hari ini."Kan aku cuma mau naik bianglala, Kak. Kenapa harus disewa segala?" Rissa mengkonfirmasi. Tak habis pikir pun, bisa-bisanya sang suami melakukan hal ini."Aku nggak nyaman kalau banyak orang, Rissa. Sudah, nggak usah cerewet." Gara berujar sembari melajukan mobilnya memasuki gerbang taman bermain yang dibukakan oleh seorang pegawai. Setelah SUV Gara masuk, gerbang itu ditutup kembali."Oh, ini keren banget!" Rissa melayangkan pandang mengitari kawasan luas itu dengan mata berbinar dan decak kagum. "Semua wahana dinyalain, aku boleh naik semuanya?""Ya nggak boleh, lah!" Gara menyahut keras. "Kamu hanya boleh naik bianglala, Ris. Udah janji, kan?""Ah, sayang banget. Jadi buat apa dinyalain dong kalo gitu? Kan sama kamu tempatnya ud
**"Cari seseorang yang bisa handle perempuan manja seperti istrinya Sagara dan bisa kerjakan misi dengan smooth. Jangan sampai bikin curiga orang-orang di sekeliling dia nantinya."Pria bertubuh jangkung dengan paras separuh latin yang mempesona itu memutar bola mata dengan malas, menanggapi kata-kata perempuan di depannya. "Apa di mata Sagara, istrinya itu semacam bayi? Buat apa dia cari pengasuh segala? Ngerepotin aja itu manusia.""Nggak usah banyak protes, Aldric. Lakuin aja apa yang aku bilang tadi.""Kenapa aku? Kan kamu yang butuh. Nggak bisa kah kerjain sendiri?""Aku pikir kamu juga punya masalah pribadi sama Carissa, jadi ini bukan tentang siapa yang butuh." Tamara menyahut dengan nada sarkasme. Ia mengerling pria di sampingnya dengan kesal. "Ini kesempatan buat jatuhin perempuan manja itu, tau.""Sebenernya, aku cuma seneng ngebully dia aja, Tam. Bukan celakain dia.""Kalau dia celaka, Gara jadi nggak fokus. Kalau dia nggak fokus, udah pasti kerjaan dia keganggu. Nah, kala
**"Aldric, dia nyebelin! Aku nggak suka sama dia!"Tamara melempar ponselnya ke seberang ruangan setelah berseru keras. Benda pipih seharga puluhan juta rupiah itu menghantam dinding hingga layarnya retak seribu. Meski demikian, tetap menyala."Apa, sih?""Baru sehari bekerja, dia udah bikin darahku mendidih! Dasar brengsek!"Aldric melangkah ke seberang ruangan untuk memungut ponsel Tamara. Ia perhatikan video terlampir yang masih menyala di balik layarnya yang retak."Whoa. Aku iri." Lelaki itu terkekeh sinis. "Dia manis banget sama perempuan miskin ini. Sama sekali beda dengan orang yang temuin kita di acaranya Bu Yasmin waktu itu.""DIAM!"Kekeh sinis Aldric berubah menjadi tawa puas ketika Tamara tampak semakin murka. "Harusnya kamu sadar diri, Tam. Selera Gara yang seperti permen kapas begini. Bukan permen cabai sepertimu.""Aldric, pergi dari rumah aku sekarang!""Ahaha, sorry. Just kidding. Tapi bukankah kinerja perempuan itu bagus? Kamu lihat, dia belum satu jam bekerja tapi
**"Non, mau saya bikinin sesuatu? Mungkin minuman manis? Susu atau jus buah?"Carissa mengalihkan atensi dari layar laptop di atas pangkuan. Ia sedang memeriksa laporan keuangan beberapa butik milik mertuanya saat itu.Savina tengah tersenyum dan berdiri di sampingnyaCarissa melayangkan pandang pada jam dinding di seberang ruangan. Hampir pukul delapan malam sekarang. "Mau susu cokelat aja deh, Mbak. Mau minum jus, udah malam begini.""Non Rissa, jangan terlalu lama duduk begini. Sesekali buat jalan-jalan biar kakinya nggak kaku.""Iya, Mbak. Aku cuma sambil nunggu Kak Gara. Dia belakangan banyak kerjaan, jadi harus lembur terus.""Oke, tunggu sebentar, ya. Saya siapkan dulu." Perempuan itu berujar, lalu dengan riang melangkah ke dapur.Rissa tersenyum menatap punggungnya yang menjauh. Setelah beberapa hari berlalu, kadar ketidaknyamanan Rissa berangsur berkurang, meski masih sangat sedikit. Savina pandai menempatkan diri. Ia tahu kapan Rissa butuh bantuan, dan kapan Rissa ingin men
**" SAVINA! JANGAN KURANG AJAR KAU! SIAPA YANG MENYURUHMU LAKUKAN ITU? DASAR NGGAK TAHU DIRI! "Savina buru-buru menjauhkan ponsel dari telinganya kala suara jeritan melengking terdengar dari sana. Ia terkikik geli sebelum membalas teriakan histeris penuh dendam itu."Ada apa Non Tamara? Santai dulu, sih.""Santai kepalamu! Kamu ngapain, hah? Rissa kamu apain? Kamu didiemin aja lama-lama ngelunjak ya, Savi!"Savina memastikan pintu kamarnya tertutup rapat dan tidak seorangpun bisa mendengar suaranya dari luar sebelum melanjutkan percakapan dengan bos besarnya."Cuma tambahin obat dikit biar Nona Rissa tidurnya nyenyak.""Jangan sembarangan, Sav! Kalau dia mati gimana?""Hanya obat tidur, bukan racun tikus, Non.""God!" Tamara sekali lagi menjerit murka. "Savi, kalau dia mati gimana? Kamu satu-satunya orang yang bakal dicurigai, bego!"Perempuan tiga puluh enam tahun itu mendengus pelan dengan bola mata berputar bosan dalam rongganya. "Nggak akan mati, Nona. Saya udah bilang, itu cuma