**"Kok bisa kalian udah saling kenal?"Carissa sudah membuka mulut hendak menjawab, namun Aldric Fernandez mendahului."Anda lupa, Nyonya Yasmin? Carissa yang menyerang saya di butik tempo hari." Lelaki itu menampakkan senyum lebar yang mengerikan. Membuat Carissa seketika pucat pasi."Ah? Serius? Kenapa Carissa nyerang kamu?" Tamara menimpali, membuat keadaan kian keruh pula."Aku kurang tahu, Tam. Waktu itu aku cuma pengen lihat-lihat baju, sih.""Kamu?" Yasmin menyela. Alisnya tampak bertaut, menatap bergantian kepada sang menantu, dan pria muda yang baru tiba ini. "Maksud kamu, yang kamu bilang perampok itu kemarin, Ris? Itu Aldric?"Jantung Rissa seperti mencelos. Yasmin tampak begitu terkejut mendengar berita ini."Itu, Mam–""Padahal aku tanya baik-baik, loh. Tapi dia malah serang mataku pakai semprotan merica. Untung aja aku langsung lari ke rumah sakit, jadi nggak sampai ada yang serius.""Mami, nggak begitu–""Yah, aku maklum, sih. Mungkin saat itu Rissa lagi nggak stabil."
**"Kamu adalah istri Sagara Aditama, tapi kamu berduaan sama lelaki lain di tempat sepi seperti ini?"Aldric lagi-lagi menampakkan seringai lebar penuh provokasi di wajahnya.Carissa mengernyit. "Kamu juga ngapain ada di sini? Tempat acaranya di lantai bawah, ngapain kamu masuk-masuk ke sini? Nggak sopan banget!" Carissa berbalik menyerang. Tidak ada gunanya merasa takut. Posisinya sekarang lebih kuat daripada lelaki itu."Dia bersamaku." Sebuah suara lain menyela dari belakang. Suara yang membuat raut Carissa seketika keruh."Aku yang ajak dia ke sini. Mau apa, hm?" Tamara mendekat. Kedua hastanya menyilang di depan dada dengan pandangan meremehkan ke arah Rissa."Kamu juga nggak memiliki hak buat melanggar privasi orang begitu, Tam. Kamu bukan pemilik rumah ini.""Oh, kamu ngerasa udah jadi pemilik rumah ini sekarang, begitu?""Seenggaknya aku menantu yang sah. Bukan yang kebanyakan halu sepertimu."Whoa. Carissa juga tidak tahu dari mana ia mendapatkan keberanian semacam itu. Namu
**Carissa mengekor dengan langkah pelan di belakang sang suami menuju ke kamar yang tadi ia sudah sempat masuki. Hening menenggelamkan eksistensi keduanya hingga beberapa saat waktu berlalu. Sampai Rissa merasa tidak nyaman sendiri dan akhirnya memutuskan buka suara."Kak ....""Masuk."Sagara seperti tidak memberikan kesempatan untuknya bersuara. Kata-katanya bernada mutlak tak bisa disanggah."Kak, sorry–""Aku bilang sekali lagi, istirahat di sini dan jangan ke mana-mana. Kenapa kamu suka banget cari gara-gara, ha?""Aku bukan cari gara-gara–""Berduaan di balkon sepi sama Abian? Apa namanya kalau bukan cari gara-gara?""Kak, kamu percaya sama kata-kata Tamara dan Aldric?""Aku maunya juga nggak percaya, tapi aku lihat kejelasannya dengan mata kepalaku sendiri. Jadi kamu pikir apa?"Carissa menelan saliva. Ia tak bisa mengelak lebih jauh, sebab memang demikianlah yang terjadi. Meski tak ada apapun dan ia benar-benar hanya mengobrol pendek dengan Abian, tapi ia memang benar sedang
**"Kamu harus hati-hati sama Aldric Fernandez, Ris!"Carissa mengerutkan dahi. Demi apa, Yasmin tampak serius sekali memperingatkan. Tadinya Rissa pikir Yasmin bakal mempertanyakan lebih jauh tentang bagaimana ia bisa mengenal Aldric. Ternyata yang terjadi, justru sebaliknya. Yasmin memintanya waspada."Emang kenapa, Mam? Ada apa sama orang itu?""Nah, kan kamu bilang sudah kenal dia dari SMU. Jadi pasti kamu udah tahu dong, dia kenapa."Rissa mengangkat bahu. "Rissa cuma taunya dia anak orang kaya yang akan melakukan apapun hanya demi memenuhi kesenangannya sendiri.""Tepat seperti itu. Makanya aku bilang kamu harus hati-hati. Aku aja prefer nggak terlibat masalah sama keluarga Fernandez, kok."Carissa menelan seteguk besar jus jeruk yang mendadak saja kehilangan rasa. Teringat keributan semalam yang ditimbulkan olehnya dan Abian. Mustahil jika seorang Aldric tidak notice hal ini. Mendadak saja ia pusing memikirkan apa yang bisa diperbuat Aldric setelah ini."Seberpengaruh itukah ke
**"Rissa! Kamu kenapa?"Sagara yang baru saja muncul di ambang pintu kamar segera melompat masuk. Wajahnya panik melihat sang istri yang sedang berbaring dengan dokter yang memeriksa."Eh, Kak–""Dok, istri saya kenapa? Kenapa diperiksa segala?""Ah, bukan masalah yang benar-benar serius, kok." Ibu Dokter itu tertawa ringan. "Duh, senang sekali. Ternyata Tuan Sagara seperhatian ini, ya."Rissa jadi malu sekali. Setengah malu setengah bahagia, sebenarnya. Itu berarti meski mungkin sedang kesal, Gara masih tetap mengkhawatirkannya."Nona Rissa baik-baik saja, cuma memang harus istirahat lebih intens. Akan saya resepkan obat untuk menguatkan kandungannya, ya."Selanjutnya, Gara sibuk berdiskusi sendiri dengan dokter perempuan itu. Bertanya ini dan itu mengenai masalah kehamilan. Wah, bahkan Rissa sendiri tidak se-excited ini. Justru ayah si jabang bayi yang seantusias itu. Membuat Rissa merasa tertampar saja."Kak, kamu ada di sini jam segini?"Selepas dokter selesai dengan pemeriksaan
**"Gue butuh bantuan lo, Dit."Gara menutup laptopnya setelah presentasi yang ia pimpin siang ini selesai. Dua pria itu masih tinggal di dalam ruang meeting sementara para staff yang lain sudah hengkang dari sana."Lo kapan sih, nggak butuh bantuan gue?""Gue serius, sat!""Pokoknya kalo tentang Tamara, gue nggak mau." Radit menatap Gara dengan wajah tengil. Hilang sudah hubungan antara atasan dengan bawahan setelah pekerjaan mereka rampung. "Makasih banget, amit-amit kalo lo suruh gue cari ribut lagi sama dia.""Oh, gue ada cerita tentang itu cewek. Tapi itu nanti ajalah. Ini yang mau gue minta tolong bukan tentang dia."Radit berhenti sejenak membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas meja. Ia menatap penuh tanya kepada sang sahabat."Lo ada rekomendasi asisten rumah tangga, nggak?""Lo cari ART?" Radit bertanya heran. "Mau buat di mana?""Yakali di rumah lo.""Maksud gue, lo kan cuma tinggal berdua sama Rissa. Itu juga dia seringnya di butik atau di rumah Bu Yasmin. Jadi na
**Permintaan Carissa memanglah hanya pergi ke taman bermain dan naik bianglala saja. Tapi lihatlah kelakuan Tuan Sagara Aditama yang sudah terlanjur cinta dengan wanitanya itu. Ia menyewa penuh sebuah taman bermain untuk Rissa sendiri selama sisa hari ini."Kan aku cuma mau naik bianglala, Kak. Kenapa harus disewa segala?" Rissa mengkonfirmasi. Tak habis pikir pun, bisa-bisanya sang suami melakukan hal ini."Aku nggak nyaman kalau banyak orang, Rissa. Sudah, nggak usah cerewet." Gara berujar sembari melajukan mobilnya memasuki gerbang taman bermain yang dibukakan oleh seorang pegawai. Setelah SUV Gara masuk, gerbang itu ditutup kembali."Oh, ini keren banget!" Rissa melayangkan pandang mengitari kawasan luas itu dengan mata berbinar dan decak kagum. "Semua wahana dinyalain, aku boleh naik semuanya?""Ya nggak boleh, lah!" Gara menyahut keras. "Kamu hanya boleh naik bianglala, Ris. Udah janji, kan?""Ah, sayang banget. Jadi buat apa dinyalain dong kalo gitu? Kan sama kamu tempatnya ud
**"Cari seseorang yang bisa handle perempuan manja seperti istrinya Sagara dan bisa kerjakan misi dengan smooth. Jangan sampai bikin curiga orang-orang di sekeliling dia nantinya."Pria bertubuh jangkung dengan paras separuh latin yang mempesona itu memutar bola mata dengan malas, menanggapi kata-kata perempuan di depannya. "Apa di mata Sagara, istrinya itu semacam bayi? Buat apa dia cari pengasuh segala? Ngerepotin aja itu manusia.""Nggak usah banyak protes, Aldric. Lakuin aja apa yang aku bilang tadi.""Kenapa aku? Kan kamu yang butuh. Nggak bisa kah kerjain sendiri?""Aku pikir kamu juga punya masalah pribadi sama Carissa, jadi ini bukan tentang siapa yang butuh." Tamara menyahut dengan nada sarkasme. Ia mengerling pria di sampingnya dengan kesal. "Ini kesempatan buat jatuhin perempuan manja itu, tau.""Sebenernya, aku cuma seneng ngebully dia aja, Tam. Bukan celakain dia.""Kalau dia celaka, Gara jadi nggak fokus. Kalau dia nggak fokus, udah pasti kerjaan dia keganggu. Nah, kala