**Yasmin menggertakkan gigi dengan jengkel sembari memandang layar ponselnya. Kesal karena sejak semalam pesan balasan dari sang menantu tak kunjung datang. Pun dari sang putra sulung. Gara mengabaikan semua pesan, chat, atau telepon darinya."Nggak tau apa, aku kan khawatir," omel Yasmin berapi-api. Wanita itu meraih clutch yang biasa ia bawa dengan pandangan masih terpancang pada layar ponsel. Lantas berjalan ke luar rumah dengan langkah-langkah lebar."Antar ke rumah Sagara sekarang," titahnya kepada driver yang setia menunggu. "Ke rumahnya aja, jangan ke apartemen.""Baik, Nyonya." Laki-laki berseragam itu membukakan pintu belakang sedan hitam dan memastikan nyonya besarnya sudah aman di dalam sebelum menutupnya kembali."Tuan Muda ada di rumah?" tanya sang supir begitu mobil sudah melaju di jalan raya yang ramai pagi ini."Nggak tahu," desah Yasmin lelah. "Anak-anak itu nggak bisa dihubungi. Tapi nggak tahu kenapa aku kok punya perasaan pengen lihat ke rumahnya aja."Lelaki yang
**Gara tidak mengira bahwa hari seperti ini akan tiba juga pada akhirnya. Mobil yang ia tumpangi berhenti di halaman parkir gedung besar dengan arsitektur sangat manly. Simpel, tegas, dan elegan. Ini adalah Arctic, perusahaan telekomunikasi yang didirikan oleh Henry Danurendra. Ayah kandungnya.Sudah berapa lama Sagara tidak bertemu dengan Henry? Padahal mereka masih berada di kota yang sama, namun jarak yang terentang di antara ayah dan anak itu seperti terhalang samudera."Ikut masuk, Gar?" tanya Radit yang mengemudi mobilnya. "Pak Robert udah di dalam, katanya."Gara hanya menjawab dengan anggukan pasti. Air wajahnya tampak keruh, membuat lelaki tampan itu terlihat jauh lebih tegas dan berbahaya. Suasana hati Gara buruk sekali semenjak ia mengusir Carissa pergi dari apartemen hari lalu itu."Seriously?" Radit bertanya memastikan. "Lo bakal ketemu papa lo di dalem sana.""Dan masalahnya?" timpal Gara sarkas, "Gue ke sini hanya untuk urusan bisnis."Radit menghela napas, sejujurnya
**Abian menggandeng lengan sang Papa dengan protektif. Berjalan perlahan menyusuri koridor rumah sakit yang lengang."Padahal Papa udah bilang nggak usah, Bi," tutur Henry. Lelaki itu sedikit terengah walau mereka berdua sedang berjalan dengan perlahan."Abian nggak perlu lihat dua kali buat mastiin keadaan Papa. Nggak perlu mikir dua kali juga buat bawa Papa periksa.""Papa serius, loh.""Bian juga serius."Percuma sajalah. Henry memilih menurut saja kepada sang putra. Lagi pun, hanya Abian yang ia miliki di dunia ini sekarang."Bian udah bikin janji sama dokter, kok. Papa nggak usah khawatir, nanti hanya akan diperiksa.""Terserah kamu aja lah." Henry menghela napas. Dadanya agak sedikit sesak. Jujur saja belakangan ia juga merasa tidak baik-baik saja. Terutama sejak beberapa bulan belakangan, ketika Henry tahu usaha yang ia bangun cepat atau lambat tidak akan bisa diselamatkan lagi.Satu jam kemudian saat pemeriksaan sudah selesai, bapak dan anak itu akhirnya keluar dari ruangan d
**"Rissa? Ris, kamu bisa lihat aku?"Carissa mengerjapkan mata, berusaha mendapatkan atensi yang lebih fokus. Rasa panas dan perih seperti menyengat kedua netranya. Ia ingin menggosoknya dengan telapak tangan, namun entah bagaimana dirinya tak memiliki kekuatan sama sekali untuk itu."Mami ....""Iya, ini aku. Kamu bisa denger suaraku, kan? Bisa lihat aku, nggak?" Yasmin menempatkan dirinya lebih dekat dengan sang menantu sementara perempuan itu masih mengedipkan matanya beberapa kali."Mami, ada apa ini? Rissa di mana?""Rumah sakit. Kamu pingsan di rumah. Nggak ingat?"Sekali lagi Rissa berusaha memusatkan fokus. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa melihat ibu mertuanya yang memandang dengan wajah cemas di samping ranjang."Pingsan, ya?" Rissa tidak ingat. Yang terakhir kali ia ingat adalah perutnya sangat sakit. Ah, perut? Rissa meringis saat ia mengubah posisi dengan tiba-tiba. Rasa kencang pada perutnya masih tersisa walau tak lagi se-intens kemarin. "Jadi, Mami yang bawa Ris
**Sagara seperti orang linglung saat Abian meninggalkannya dalam keadaan babak belur. Lelaki yang biasanya sangat arogan dan tidak mau kalah dengan siapapun itu bahkan sama sekali tidak sempat berpikir untuk membalas pukulan Abian tadi setelah satu pernyataan melekat dalam kepalanya tanpa sama sekali bisa ia hindari ; Carissa masuk rumah sakit dan nyaris keguguran.Omong kosong macam apa ini? Tunggu, memangnya ini omong kosong?Dengan kesal lelaki itu menyambar ponselnya untuk menghubungi Radit."Radit!" serunya keras begitu suara sahabatnya itu menggantikan nada sambung yang mendengung."Gar–""Lo tau kabar tentang Rissa?"Hening sesaat, dan Gara mulai tidak sabar. Ia menyalak lagi, "Radit!""Nah, kuping lo baru berfungsi detik ini apa gimana?""Apa maksud lo?""Bukannya gue udah bilang sama lo satu atau dua hari yang lalu kalo Carissa masuk rumah sakit? Tapi lo nggak dengerin.""Kapan lo kasih taunya, bangsat?""Waktu kita minum di apartemen.""Bajingan!" Gara mengumpat murka. "Jel
**"Mami, lelucon macam apa ini?!"Gara memandang tiga orang di sana bergantian. Merasa menjadi orang yang paling dikhianati sedunia. Setelah nyaris seumur hidup ia habiskan dengan menempa hidupnya siang dan malam agar bisa membalaskan sakit hati sang ibu, sekarang manusia yang menjadi tersangka utama justru berada di sini? Dan ibunya tampak sama sekali tidak keberatan dengan hal ini?"Mami! Ini nggak lucu! Kenapa Mami ijinin dua orang ini menginjakkan kaki di rumah kita?""Mami udah bilang, dengarkan Mami dulu, Gar!""Sebagus apa alasan Mami sampai Gara harus dengar, ha?" Lelaki itu sudah memutar langkah hendak meninggalkan tempat, namun Yasmin menahannya. Emosi sudah terlanjur menguasai hingga Yasmin terdorong jatuh saat ia menghempaskannya."Gara!" Abian yang kembali bertindak. "Berani-beraninya lo kasar sama Mami!""Apa peduli lo, ha?"BUGH!Dua kali. Dua kali dalam waktu yang berdekatan, Abian melayangkan pukulan telak kepada sang kakak. Lelaki itu benar-benar dikuasai emosi hing
**"Pergi, kamu!"Carissa tertegun. Tidak mengira bahwa respon Gara akan tetap seperti itu sekalipun sudah cukup lama waktu berlalu. Carissa sudah menguatkan mental dan fisik untuk kembali mendatangi sang suami setelah dua minggu mendinginkan hati, namun ternyata Sagara tidak sedikitpun berubah."K-Kak Gara ... kok begitu ngomongnya?"Sagara mendesis kesal, demi Tuhan, kesal kepada dirinya sendiri. Ia merindukan Rissa, ia bahkan membiarkan perempuannya itu memandang menelisik kepadanya hanya demi mendapati betapa berantakan hidupnya selama dua minggu ini. Namun mengingat bahwa selama dua minggu ini pula Abian sering berada bersamanya di mansion sang Mami, api besar yang berkobar seperti membara dalam dadanya."Mau apa lagi kamu ke sini, ha?""Kak Gara, aku udah bilang aku kangen. Kenapa kamu masih begini sama aku, Kak? Apa kesalahanku terlalu besar?""Kenapa kamu masih datang ke sini? Apa Abian kurang bisa memenuhi kebutuhanmu, ha?""Kak Gara!""Sana pergi! Bukankah kamu sudah bahagia
SEASON 2**Ini adalah weekend. Carissa sedang berbaring dengan nyaman di ruang tengah rumahnya, dengan sebuah buku novel di tangan dan kedua telinga tertutup headset. Menikmati hari setelah satu minggu bergelut dengan pekerjaan. Yeah, Yasmin memang sebenarnya tidak mengizinkan sang menantu datang ke butik untuk bekerja, namun Rissa merasa bosan jika harus berada di rumah sendirian sepanjang hari. Maka, ia tetap berangkat ke butik dan bekerja seperti biasanya."Baby, what are you doing?"Sagara melongokkan kepala, memandang sang istri yang tampak asyik sendiri. Tak ada jawaban yang terlontar, jadi lelaki itu beranjak mendekat."Sayang?""Ah?" Rissa buru-buru melepas headset-nya. "Kak? Ada apa?""Asyik banget kelihatannya. Diem aja aku panggil-panggil.""Sorry." Rissa terkekeh pelan. "Suka lupa dunia kalo udah pegang buku.""Taruh dulu lah, bukunya. Weekend adalah waktu buat aku.""Salah." Rissa mencibir. "Weekend itu waktu buat istirahat."Gara hanya mengangkat bahu. Ia memposisikan di