**"Kak Gara, ini berlebihan.""I don't think so.""Iya, ini berlebihan. Bahkan putrinya presiden aja nggak segininya, Kak.""Kamu bukan putrinya presiden, tapi kamu istriku."Beradu argumen dengan Gara sama persis dengan beradu argumen bersama Yasmin. Ibu dan anak itu sama-sama keras kepala dan tidak bisa mengalah dalam hal ini. Rissa menghela napas berkali-kali dengan jengah. Menatap masam pada dua orang laki-laki berseragam dengan bodi tinggi besar yang sedang bercakap-cakap dengan sekuriti rumah di pos depan."Kak Gara, aku janji bakalan baik-baik aja tanpa mereka.""Setelah apa yang menimpamu kemarin itu?""Yak– maksudku, kali ini aku bakalan lebih hati-hati lagi.""Dan karena kamu harus lebih hati-hati lagi, maka kamu memerlukan penjaga, Carissa.""Dahlah." Rissa melambaikan tangan sambil lalu. "Lelah aku ngadepin kamu, Kak. Terserahmu ajalah.""Ya memang harus terserah aku, sih. Kamu kan istriku, jadi wajib nurut sama aku."Carissa merotasikan bola mata. Kemudian diam walau sel
**"Biarin aku pergi, atau aku teriak?"Abian tampak tercekat. Ia menelan saliva dengan getir kala melihat perempuan di hadapannya yang menampakkan raut benci. Hilang sudah Carissa kesayangannya bertahun-tahun yang lalu. Perempuan lembut hati dan memiliki senyum secantik kelopak mawar."Lepas, Abi!" Sekali lagi Rissa menyentak lepas pegangan tangan Abian di lengannya."Aku cuma mau ngomong–""Nggak ada lagi yang perlu kita omongin. Berapa kali aku harus kasih tau kamu, ha? Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi sekarang. Jangan ganggu hidupku, aku udah bahagia!""Ris, maaf–""Udah aku maafin, sekarang pergi! Atau kamu mau dilempar sama penjaga aku?"Kedua kalinya, Abian tampak tercekat. Mendadak saja pandangan matanya terlihat panik ke segala arah, mungkin mencari penjaga yang Rissa katakan barusan."Kenapa kamu perlu penjaga segala?""Bukan urusanmu!" Rissa berbalik hendak menjauh dari lelaki tampan itu, namun Abian lebih tangkas. Ia kembali menahan tangan Rissa. Agak terlalu tiba
**Carissa sedang hamil.Abian melemparkan ponsel hingga menghantam cermin di kamarnya. Membuat dua benda yang berbenturan itu sama-sama retak seribu ; cermin dan layar ponsel."Sialan!" teriak lelaki itu murka. Emosi seperti mengaduk-aduk isi kepala dan hatinya saat ini. Membuatnya menjambak rambut sendiri dengan frustasi. "Kamu udah bener-bener tinggalin aku, Ris? Kamu tega lupain aku begitu aja? Aku pikir kamu punya rasa yang jauh lebih dalam sama aku, jadi kita bisa perbaikin semuanya."Ia terduduk di atas ranjang. Pandangannya nyalang, menatap kepada benda yang barusan ia lempar, yang kini teronggok di bawah cermin itu. Abian menghela napas sebelum bangkit dan meraih ponselnya, lantas kembali menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Hanya retak layarnya saja. Ternyata ponsel pintar itu masih bisa berfungsi seperti sebelumnya. Abian mendial salah satu nomor yang tersimpan, kemudian menunggu panggilannya diterima dari seberang sana dengan gelisah."Halo?""Mana janjimu kemarin, ha?" Se
**Sagara menoleh ke arah pintu ruangan kantornya yang dibuka tanpa diketuk dahulu. Ia sudah siap meneriakkan hardikan murka, menyebut nama Radit, namun ternyata yang keluar dari balik pintu bukanlah lelaki sekretaris pribadinya itu."Good morning, Babe."Kedua alis tebal Sagara otomatis terpaut, ekspresinya tampak tidak senang."Ketuk pintu dulu sebelum masuk. Kamu anggap ruanganku apa? Toilet umum?""Sorry." Perempuan berparas menawan dengan dress ketat yang membentuk tubuh sintalnya itu tersenyum lebar. "Haruskah aku permisi dulu? Aku udah sering banget masuk ke sini, kan?""Ada perlu apa? Kalau nggak ada, silakan pergi dan jangan ganggu aku. Aku lagi kerja, Tam."Tamara mencebik kecil kala mendengar teguran yang sama sekali tidak ramah itu. Ia menghela napas, menyilangkan hasta di depan dada sebelum menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Pandangan matanya tajam mengerling lelaki tampan yang sedikitpun tak mengalihkan pandangan dari layar laptop."Kamu dengar aku ngomong apa, Tam?""
**"Carissa!"Rissa yang sedang membaca buku di atas ayunan halaman belakang rumahnya tersentak ketika mendengar teriakan murka dari suara yang sudah begitu familiar itu. Ia menutup bukunya dan menengok ke belakang, mendapati suaminya yang baru datang. Wajah Sagara tampak buruk, sepanjang menjadi istrinya, Rissa tidak ingat pernah melihat Gara semarah ini."Kak Gara? Ada apa?""Jelasin ini sama aku!"Lelaki itu menghentak langkah, setengah mati berjuang menahan diri untuk tidak melibatkan fisik. Gara terbiasa menggunakan kekerasan ketika sedang ribut dengan orang. Kali ini yang ia hadapi adalah seorang perempuan berstatus istri yang ia cintai, dan terlebih lagi sedang mengandung."Kamu kenapa?" Rissa bertanya heran. Tangannya reflek mengelus perut yang belum tampak berisi karena mendadak saja ia merasa agak kencang dan tertekan di sekitar sana.Gara menunjukkan ponsel yang sedang memutar video, sejajar dengan arah pandang Rissa. Membuat perempuan itu terpaku kala menyadari video macam
**Sagara benar-benar tidak pulang malam harinya. Rissa terjaga hingga lebih dari dini hari untuk menunggu, namun hasilnya nihil. Ketika ia berusaha menghubungi suaminya itu, ponsel yang bersangkutan juga tidak aktif. Hati Carissa seperti bergejolak tak menentu karenanya."Dia masih nggak bisa dihubungi, Ris. Aku cari ke semua tempat yang biasa dia datengin, ternyata nggak ada juga." Begitu tutur Radit saat Rissa menghubunginya pada pukul empat dini hari.Akhirnya pukul setengah enam tepat, Rissa meminta driver-nya mengantar ke rumah besar. Tak bisa menunggu lebih lama lagi. Pun, ia mengutus kedua bodyguard untuk ikut mencari keberadaan suaminya itu."Aku masih nggak ngerti sebenernya apa yang terjadi sama kalian," ujar Yasmin, yang menerima kedatangan menantunya sebelum sempat mandi dan bersiap-siap. Rissa tak peduli, begitupun Yasmin sendiri. Wanita ayu itu duduk bersendekap hasta, mengawasi sang menantu yang menyesap secangkir teh hangat dengan wajah lelah luar biasa di kursi meja
**"Tamara?"Rasa luar biasa lega yang tadinya dirasakan Rissa karena melihat mobil sang suami di parkiran apartemen mendadak musnah kala melihat penampakan perempuan seksi itu. Tamara melenggang santai ke arah lift, dan tanpa harus dipikir dua kali pun Rissa tahu, Tamara jelas akan menemui suaminya."Mau apa dia ke sini?" desis Rissa kesal. Buru-buru turun dari mobil dan sedikit berlari ke arah lift, yang sayangnya baru saja tertutup."Bu, hati-hati, tolong!" tegur si driver yang mengikuti dengan napas terengah. "Saya takut Ibu nanti jatuh atau bagaimana.""Tamara ngapain ke sini?" desak Rissa kian kesal, dan tentu saja tak ada jawaban yang ia dapatkan. Supirnya mana tahu, iya kan?"Dia tahu darimana kalo Kak Gara ada di sini? Aku aja nggak tahu!""Sabar, Bu. Sabar ...."Menghentakkan kaki dengan tidak sabar, Rissa mengayun langkah-langkah lebar begitu pintu lift terbuka di hadapannya. Hanya ke lantai empat, tapi entah bagaimana rasanya lama sekali. Hingga saat pintu metalik itu ter
**"KELUAR!"Tamara benar-benar tertegun. Setelah apa yang terjadi, mengapa kini Gara masih juga menolaknya seperti ini? Bukankah lelaki itu sekarang sudah menjadi benci dengan istrinya? Bukankah sedetik yang lalu Gara sudah mengusir pergi Carissa?"Gara, kamu ... kita duduk dulu dan bicarain ini pelan-pelan, oke?""Kamu emang bodoh dan nggak ngerti apa yang barusan aku katakan, atau cuma pura-pura, ha?" Gara berkata dengan nada suara setajam belati. "Aku bilang keluar dari sini dan jangan pernah ganggu aku lagi!""Gara!""Brengsek!""Aku udah kasih tahu kebenaran tentang istrimu yang kampungan itu! Kamu bukannya terimakasih–""Aku nggak pernah minta kamu ngelakuin ini! Kalau kamu mengharap terimakasih, nggak usah lakukan apa-apa dari awal!" Gara berkata keras, menunjuk Tamara dengan urat pelipis berkedut karena emosi. "Jangan pikir kamu bisa menyusupkan diri di antara aku dengan Rissa! Kamu nggak akan pernah punya tempat di sini!" Dan karena Sagara sudah terlalu lelah bercampur emos
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh