**Sagara menoleh ke arah pintu ruangan kantornya yang dibuka tanpa diketuk dahulu. Ia sudah siap meneriakkan hardikan murka, menyebut nama Radit, namun ternyata yang keluar dari balik pintu bukanlah lelaki sekretaris pribadinya itu."Good morning, Babe."Kedua alis tebal Sagara otomatis terpaut, ekspresinya tampak tidak senang."Ketuk pintu dulu sebelum masuk. Kamu anggap ruanganku apa? Toilet umum?""Sorry." Perempuan berparas menawan dengan dress ketat yang membentuk tubuh sintalnya itu tersenyum lebar. "Haruskah aku permisi dulu? Aku udah sering banget masuk ke sini, kan?""Ada perlu apa? Kalau nggak ada, silakan pergi dan jangan ganggu aku. Aku lagi kerja, Tam."Tamara mencebik kecil kala mendengar teguran yang sama sekali tidak ramah itu. Ia menghela napas, menyilangkan hasta di depan dada sebelum menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Pandangan matanya tajam mengerling lelaki tampan yang sedikitpun tak mengalihkan pandangan dari layar laptop."Kamu dengar aku ngomong apa, Tam?""
**"Carissa!"Rissa yang sedang membaca buku di atas ayunan halaman belakang rumahnya tersentak ketika mendengar teriakan murka dari suara yang sudah begitu familiar itu. Ia menutup bukunya dan menengok ke belakang, mendapati suaminya yang baru datang. Wajah Sagara tampak buruk, sepanjang menjadi istrinya, Rissa tidak ingat pernah melihat Gara semarah ini."Kak Gara? Ada apa?""Jelasin ini sama aku!"Lelaki itu menghentak langkah, setengah mati berjuang menahan diri untuk tidak melibatkan fisik. Gara terbiasa menggunakan kekerasan ketika sedang ribut dengan orang. Kali ini yang ia hadapi adalah seorang perempuan berstatus istri yang ia cintai, dan terlebih lagi sedang mengandung."Kamu kenapa?" Rissa bertanya heran. Tangannya reflek mengelus perut yang belum tampak berisi karena mendadak saja ia merasa agak kencang dan tertekan di sekitar sana.Gara menunjukkan ponsel yang sedang memutar video, sejajar dengan arah pandang Rissa. Membuat perempuan itu terpaku kala menyadari video macam
**Sagara benar-benar tidak pulang malam harinya. Rissa terjaga hingga lebih dari dini hari untuk menunggu, namun hasilnya nihil. Ketika ia berusaha menghubungi suaminya itu, ponsel yang bersangkutan juga tidak aktif. Hati Carissa seperti bergejolak tak menentu karenanya."Dia masih nggak bisa dihubungi, Ris. Aku cari ke semua tempat yang biasa dia datengin, ternyata nggak ada juga." Begitu tutur Radit saat Rissa menghubunginya pada pukul empat dini hari.Akhirnya pukul setengah enam tepat, Rissa meminta driver-nya mengantar ke rumah besar. Tak bisa menunggu lebih lama lagi. Pun, ia mengutus kedua bodyguard untuk ikut mencari keberadaan suaminya itu."Aku masih nggak ngerti sebenernya apa yang terjadi sama kalian," ujar Yasmin, yang menerima kedatangan menantunya sebelum sempat mandi dan bersiap-siap. Rissa tak peduli, begitupun Yasmin sendiri. Wanita ayu itu duduk bersendekap hasta, mengawasi sang menantu yang menyesap secangkir teh hangat dengan wajah lelah luar biasa di kursi meja
**"Tamara?"Rasa luar biasa lega yang tadinya dirasakan Rissa karena melihat mobil sang suami di parkiran apartemen mendadak musnah kala melihat penampakan perempuan seksi itu. Tamara melenggang santai ke arah lift, dan tanpa harus dipikir dua kali pun Rissa tahu, Tamara jelas akan menemui suaminya."Mau apa dia ke sini?" desis Rissa kesal. Buru-buru turun dari mobil dan sedikit berlari ke arah lift, yang sayangnya baru saja tertutup."Bu, hati-hati, tolong!" tegur si driver yang mengikuti dengan napas terengah. "Saya takut Ibu nanti jatuh atau bagaimana.""Tamara ngapain ke sini?" desak Rissa kian kesal, dan tentu saja tak ada jawaban yang ia dapatkan. Supirnya mana tahu, iya kan?"Dia tahu darimana kalo Kak Gara ada di sini? Aku aja nggak tahu!""Sabar, Bu. Sabar ...."Menghentakkan kaki dengan tidak sabar, Rissa mengayun langkah-langkah lebar begitu pintu lift terbuka di hadapannya. Hanya ke lantai empat, tapi entah bagaimana rasanya lama sekali. Hingga saat pintu metalik itu ter
**"KELUAR!"Tamara benar-benar tertegun. Setelah apa yang terjadi, mengapa kini Gara masih juga menolaknya seperti ini? Bukankah lelaki itu sekarang sudah menjadi benci dengan istrinya? Bukankah sedetik yang lalu Gara sudah mengusir pergi Carissa?"Gara, kamu ... kita duduk dulu dan bicarain ini pelan-pelan, oke?""Kamu emang bodoh dan nggak ngerti apa yang barusan aku katakan, atau cuma pura-pura, ha?" Gara berkata dengan nada suara setajam belati. "Aku bilang keluar dari sini dan jangan pernah ganggu aku lagi!""Gara!""Brengsek!""Aku udah kasih tahu kebenaran tentang istrimu yang kampungan itu! Kamu bukannya terimakasih–""Aku nggak pernah minta kamu ngelakuin ini! Kalau kamu mengharap terimakasih, nggak usah lakukan apa-apa dari awal!" Gara berkata keras, menunjuk Tamara dengan urat pelipis berkedut karena emosi. "Jangan pikir kamu bisa menyusupkan diri di antara aku dengan Rissa! Kamu nggak akan pernah punya tempat di sini!" Dan karena Sagara sudah terlalu lelah bercampur emos
**Yasmin menggertakkan gigi dengan jengkel sembari memandang layar ponselnya. Kesal karena sejak semalam pesan balasan dari sang menantu tak kunjung datang. Pun dari sang putra sulung. Gara mengabaikan semua pesan, chat, atau telepon darinya."Nggak tau apa, aku kan khawatir," omel Yasmin berapi-api. Wanita itu meraih clutch yang biasa ia bawa dengan pandangan masih terpancang pada layar ponsel. Lantas berjalan ke luar rumah dengan langkah-langkah lebar."Antar ke rumah Sagara sekarang," titahnya kepada driver yang setia menunggu. "Ke rumahnya aja, jangan ke apartemen.""Baik, Nyonya." Laki-laki berseragam itu membukakan pintu belakang sedan hitam dan memastikan nyonya besarnya sudah aman di dalam sebelum menutupnya kembali."Tuan Muda ada di rumah?" tanya sang supir begitu mobil sudah melaju di jalan raya yang ramai pagi ini."Nggak tahu," desah Yasmin lelah. "Anak-anak itu nggak bisa dihubungi. Tapi nggak tahu kenapa aku kok punya perasaan pengen lihat ke rumahnya aja."Lelaki yang
**Gara tidak mengira bahwa hari seperti ini akan tiba juga pada akhirnya. Mobil yang ia tumpangi berhenti di halaman parkir gedung besar dengan arsitektur sangat manly. Simpel, tegas, dan elegan. Ini adalah Arctic, perusahaan telekomunikasi yang didirikan oleh Henry Danurendra. Ayah kandungnya.Sudah berapa lama Sagara tidak bertemu dengan Henry? Padahal mereka masih berada di kota yang sama, namun jarak yang terentang di antara ayah dan anak itu seperti terhalang samudera."Ikut masuk, Gar?" tanya Radit yang mengemudi mobilnya. "Pak Robert udah di dalam, katanya."Gara hanya menjawab dengan anggukan pasti. Air wajahnya tampak keruh, membuat lelaki tampan itu terlihat jauh lebih tegas dan berbahaya. Suasana hati Gara buruk sekali semenjak ia mengusir Carissa pergi dari apartemen hari lalu itu."Seriously?" Radit bertanya memastikan. "Lo bakal ketemu papa lo di dalem sana.""Dan masalahnya?" timpal Gara sarkas, "Gue ke sini hanya untuk urusan bisnis."Radit menghela napas, sejujurnya
**Abian menggandeng lengan sang Papa dengan protektif. Berjalan perlahan menyusuri koridor rumah sakit yang lengang."Padahal Papa udah bilang nggak usah, Bi," tutur Henry. Lelaki itu sedikit terengah walau mereka berdua sedang berjalan dengan perlahan."Abian nggak perlu lihat dua kali buat mastiin keadaan Papa. Nggak perlu mikir dua kali juga buat bawa Papa periksa.""Papa serius, loh.""Bian juga serius."Percuma sajalah. Henry memilih menurut saja kepada sang putra. Lagi pun, hanya Abian yang ia miliki di dunia ini sekarang."Bian udah bikin janji sama dokter, kok. Papa nggak usah khawatir, nanti hanya akan diperiksa.""Terserah kamu aja lah." Henry menghela napas. Dadanya agak sedikit sesak. Jujur saja belakangan ia juga merasa tidak baik-baik saja. Terutama sejak beberapa bulan belakangan, ketika Henry tahu usaha yang ia bangun cepat atau lambat tidak akan bisa diselamatkan lagi.Satu jam kemudian saat pemeriksaan sudah selesai, bapak dan anak itu akhirnya keluar dari ruangan d