Grasah-grusuh, Satria segera ke kampus supaya tidak tertinggal materi karena pasti absennya yang jelek akan kembali diketahui Haris. "Pagi, Pak," sapa Satria pada dosen yang sudah memulai pelajaran. "Kamu mahasiswa pindahan. Kamu harus disiplin, jangan membawa kebiasaan buruk kamu di kampus sebelumnya!" ucap dingin dosen yang sudah mendapatkan perintah dari petinggi kampus supaya Satria lebih memperhatikan absennya dan prestasinya."Saya minta maaf. Tadi motor saya mogok." Satria segera beraliby. Alasannya memang bisa menyelamatkannya dari dosen, tetapi tidak dengan tatapan sebagian besar kawan satu kelasnya karena mereka semua orang pintar dan menjunjung tinggi pelaturan di universitas favorit ini. Satria duduk di kursi paling belakang, tetapi semua dosen sudah diperintahkan untuk memberikan perhatian lebih pada murid seperti Satria. "Duduk di depan. Apa kamu tidak melihat kursi kosong yang baru saja kamu lewati!" Cara penyampaiannya selalu dingin karena ini salah satu cara mendidi
Devan berada di kantin, tetapi ke sekian kalinya dia tidak ingin terlibat dalam percintaan Satria yang rumit. Maka, walaupun perbuatan kawannya salah, tetapi Devan tidak akan mengingatkan atau menegur. Namun, dia merasa prihatin pada Isabella yang adalah istri sah Satria.Di sisi lain, Isabella kembali menjenguk Dika di sela-sela senggangnya. "Saya membeli makanan dari kantin. Kamu mau?" tawaran ramah dan hangatnya."Mau, tentu mau!" Dika terlihat bersemangat. "Saya bosan makan makanan dari rumah sakit karena menunya diatur," ungkap Dika sedikit mengeluh."Itu demi kesehatan ... kamu harus menghabiskan menu apapun yang disediakan rumah sakit," nasihat Isabella dengan pembawaan santai."Kamu bawa apa?" Dika menjeda sesaat. "Yank." Kemudian tersenyum lebar.Namun, tentu saja panggilan itu membuat Isabella tidak nyaman. "Kamu tidak boleh memanggil saya dengan
Malam ini Isabella tidak bisa tidur walaupun Satria sudah terlelap sejak tadi. "Perasaan saya tidak tenang. Apa yang Dika katakan? Apa Dika tidak tahu saya istrinya Satria? atau mungkin ...." Tatapannya mengarah pada suaminya yang tidur di sisinya, "Apa Satria tidak mengatakan kalau saya istrinya?" Gadis ini mulai berwajah sendu, tetapi sebenarnya tidak heran jika Satria tidak mengakuinya karena Satria tidak ingin orang-orang tahu jika mereka sudah menikah.Isabella terjaga hingga akhirnya terlelap pada pukul dua pagi, maka dia bangun kesiangan. Pukul tujuh Isabella barusaja membuka mata. "Astagfirulahalladzim ...." Ini pertama kalinya setelah menikah dia bangun kesiangan, tetapi beruntungnya saat ini dia sedang menstruasi maka tidak menjadi dosa walaupun melewatkan shalat subuh.Isabella segera membangunkan Satria. "Sudah pukul tujuh. Kamu kuliah pukul berapa ...." Suaranya lembut dan mengalun maka tidak berhasil membangunkan Satria.
Saat ini Satria mampir ke rumah sewa yang sekarang menjadi markas, dia memeriksa persenjataan. "Banyak yang hilang.""Iya, cuma ini yang kita temukan. Mungkin sudah ada yang memungut senjata terbaik kita!" Mata Dito memicing mencurigai karena semua senjata berharga mahal hilang, padahal senjata itu yang lebih efektif dipakai berperang.Satria mencurigai orang-orang proyek yang telah merobohkan bangunan, tetapi kecurigaannya juga mengarah pada bawahan Haris. 'Jangan sampai pria itu melapor!' Namun, kecurigaannya belum bisa dipatenkan karena Haris bersikap biasa saja padanya."Saya akan mencari tahu kemana hilangnya senjata kita.""Bagaimana cara kamu mencari tahu?" Dito masih memicingkan mata penuh curiga."Intinya, nanti saya akan memberi kabar.""Ya."Satria berlalu karena jadwal kuliah yang memaksanya, tetapi Dito selalu memicin
Satria tidak berkata jika dirinya adalah anggota geng, tapi dia segera bertanya ke intinya. "Sebagian senjata kami hilang!" Tatapannya masih memicing tajam.Pria ini menanggapi sangat tenang. "Saya tidak tahu apapun." "Berapa papa membayarmu?" Tatapan Satria masih memicing tajam walaupun dia tidak bisa mematenkan prasangkanya jika pria ini terlibat dalam hilangnya persenjataan milik gengnya. "Sesuai dengan yang tertulis di kontrak kerja."Satria berdecak. "Jangan coba-coba menyembunyikan apapun!"Pria ini tersenyum santai. "Saya pernah ada di posisi Tuan. Jadi Tuan tidak bisa menginterograsi satu orang saja. Lagipula seorang tukang pernah berkata, jika rumah tidak terkunci dan isinya berantakan."Satria kembali memicingkan matanya. "Kamu pikir saya percaya!""Percaya atau tidak, keputusan ada pada Tuan. Tapi jika boleh saya bicara, kalian mengambil keputusan salah karena membiarkan markas kosong setelah peperangan, itu memberikan kesempatan pada musuh!"Satria mendengus, kemudian be
Di tepi jalan tidak jauh dari rumah sakit, Satria menghentikan motornya. "Dika suka kamu," celetuknya tanpa aba-aba."Dika berkata seperti itu?" Isabella tidak turun dari motor jadi dia hanya bisa menatap punggung Satria dan menganggap saat ini Satria sedang bercanda walaupun suaminya tidak pernah melakukannya. "Tidak mungkin kamu tidak tahu." Suara datar Satria masih sampai sangat jelas walaupun mereka tidak sedang berhadapan. "Dika memang sedikit nakal. Dia sering menggoda saya, tapi saya rasa itu karena Dika kesepian. Teman-teman saya mengatakan jika Dika selalu sendiri, dan hanya ditemani teman-temannya sesekali." "Lelaki tidak akan melampiaskan kesepian dengan cara seperti itu." Suaranya masih datar. Isabella terkekeh, "Dika kan teman kamu, kenapa kamu berpikir tidak baik pada teman kamu ....""Justru karena kita berteman. Jadi saya tahu." Sesaat, Isabella menatap Satria tanpa bicara. "Kenapa kamu tidak mengatakan kita sudah menikah? Kalau memang Dika menyukai saya." "Dika
Satria meninggalkan rumah saat ayahnya berlalu. Saat ini dia melangkah penuh amarah. "Kenapa saya harus terlibat dengan pria itu. Ck!" Satria menendang kaleng kosong, tetapi seorang gadis merintih kala kaleng itu mengenai kepalanya. Maka, Satria segera menyusul ke tempat gadis yang berdiri sekitar tiga meter darinya. "Sorry ...."Naura menoleh. "Sakit ...." Kepalanya diusap. "Nay!" Tentu saja saat ini Satria sangat panik. "Nay, sorry, saya tidak sengaja. Lagipula kenapa kamu tiba-tiba muncul." Satria ingin mengusap kepala Naura, tetapi mungkin hal sebelumnya akan kembali terjadi. "Saya habis mengaji dari masjid. Jadi pasti lewat arah sini!" Satria melirik sesaat pada jalanan di sebelah kirinya. "Sorry ya." Tatapannya sangat lembut dan tulus. Namun, itu membuat Naura tidak nyaman karena dia pulang bersama seorang gadis, tetangganya. "Tidak apa. Ya sudah, kita duluan." Naura segera berpamitan, bahkan dia segera menarik tangan kawannya demi menghindari Satria. Gadis ini tidak ingin
Hari ini Satria tidak menemui kawan-kawan gengnya karena mungkin Haris mengawasinya menggunakan bawahannya. [Kita bertemu di kampus. Ada yang harus saya katakan.] Chat singkat ini dikirimkan pada Devan. Mia menghampiri Satria saat putranya hendak pergi. "Bagaimana keadaan tangan kamu? Jika memang tidak memungkinkan lebih baik kalian diantar papa saja ....""Satria tidak apa-apa, Ma." Lelaki ini segera mengecup punggung tangan Mia. "Satria bisa bawa motor dengan benar." Dia tersenyum untuk meyakinkan Mia. "Mama khawatir ..., apalagi kamu membawa Abel." "Mama tenang saja." Lagi, Satria tersenyum lembut pada ibunya. Isabella baru saja menyusul ke halaman. "Ma, Abel pergi dulu." Tangan kanan Mia disun."Abel pegangan ya, sama Satria," pesan sayang Mia seolah Isabella adalah putrinya. Isabella terkekeh manis, "Abel memang sering memeluk Satria. Bukan cuma berpegangan." "Syukur ...." Kalimat syukur Mia ini karena anak dan menantunya hidup dipenuhi keharmonisan."Satria sama Abel pergi