Di tepi jalan tidak jauh dari rumah sakit, Satria menghentikan motornya. "Dika suka kamu," celetuknya tanpa aba-aba."Dika berkata seperti itu?" Isabella tidak turun dari motor jadi dia hanya bisa menatap punggung Satria dan menganggap saat ini Satria sedang bercanda walaupun suaminya tidak pernah melakukannya. "Tidak mungkin kamu tidak tahu." Suara datar Satria masih sampai sangat jelas walaupun mereka tidak sedang berhadapan. "Dika memang sedikit nakal. Dia sering menggoda saya, tapi saya rasa itu karena Dika kesepian. Teman-teman saya mengatakan jika Dika selalu sendiri, dan hanya ditemani teman-temannya sesekali." "Lelaki tidak akan melampiaskan kesepian dengan cara seperti itu." Suaranya masih datar. Isabella terkekeh, "Dika kan teman kamu, kenapa kamu berpikir tidak baik pada teman kamu ....""Justru karena kita berteman. Jadi saya tahu." Sesaat, Isabella menatap Satria tanpa bicara. "Kenapa kamu tidak mengatakan kita sudah menikah? Kalau memang Dika menyukai saya." "Dika
Satria meninggalkan rumah saat ayahnya berlalu. Saat ini dia melangkah penuh amarah. "Kenapa saya harus terlibat dengan pria itu. Ck!" Satria menendang kaleng kosong, tetapi seorang gadis merintih kala kaleng itu mengenai kepalanya. Maka, Satria segera menyusul ke tempat gadis yang berdiri sekitar tiga meter darinya. "Sorry ...."Naura menoleh. "Sakit ...." Kepalanya diusap. "Nay!" Tentu saja saat ini Satria sangat panik. "Nay, sorry, saya tidak sengaja. Lagipula kenapa kamu tiba-tiba muncul." Satria ingin mengusap kepala Naura, tetapi mungkin hal sebelumnya akan kembali terjadi. "Saya habis mengaji dari masjid. Jadi pasti lewat arah sini!" Satria melirik sesaat pada jalanan di sebelah kirinya. "Sorry ya." Tatapannya sangat lembut dan tulus. Namun, itu membuat Naura tidak nyaman karena dia pulang bersama seorang gadis, tetangganya. "Tidak apa. Ya sudah, kita duluan." Naura segera berpamitan, bahkan dia segera menarik tangan kawannya demi menghindari Satria. Gadis ini tidak ingin
Hari ini Satria tidak menemui kawan-kawan gengnya karena mungkin Haris mengawasinya menggunakan bawahannya. [Kita bertemu di kampus. Ada yang harus saya katakan.] Chat singkat ini dikirimkan pada Devan. Mia menghampiri Satria saat putranya hendak pergi. "Bagaimana keadaan tangan kamu? Jika memang tidak memungkinkan lebih baik kalian diantar papa saja ....""Satria tidak apa-apa, Ma." Lelaki ini segera mengecup punggung tangan Mia. "Satria bisa bawa motor dengan benar." Dia tersenyum untuk meyakinkan Mia. "Mama khawatir ..., apalagi kamu membawa Abel." "Mama tenang saja." Lagi, Satria tersenyum lembut pada ibunya. Isabella baru saja menyusul ke halaman. "Ma, Abel pergi dulu." Tangan kanan Mia disun."Abel pegangan ya, sama Satria," pesan sayang Mia seolah Isabella adalah putrinya. Isabella terkekeh manis, "Abel memang sering memeluk Satria. Bukan cuma berpegangan." "Syukur ...." Kalimat syukur Mia ini karena anak dan menantunya hidup dipenuhi keharmonisan."Satria sama Abel pergi
Pada tengah hari, seperti biasanya Naura berkumpul bersama teman-temannya di kantin. Namun, kali ini dia tidak melihat Satria di manapun hingga gadis ini mendesah. "Kemana pacar kamu?" tanya Kiara. "Tidak tahu ...." Tanpa sadar kalimat ini diucapkan karena saat ini Naura sedang merasa kehilangan Satria yang biasanya selalu ada di sekitarnya. Maka, kini kabar tentang hubungan Naura dan Satria semakin menyebar di kampus. Kedua orang ini menjadi bahan perhatian karena mereka menonjol. Naura sangat cantik hingga banyak mahasiswa yang menyukainya, sedangkan Satria bisa dikatakan idol kampus walau dia tidak peduli. Sementara, Satria tetap bersama Devan, mereka nongkrong di tempat biasa. "Hari ini saya tidak akan ke rumah sakit karena mungkin papa tidak akan suka. Ck!""Tidak apa. Saya yang akan kesana." Devan sudah menghabiskan satu batang rokok, sedangkan Satria sudah menghabiskan dua batang rokok karena pikirannya sedang semrawut. Sementara di rumah sakit, Isabella sedang memeriksa Di
"Sampai kapan kita bersama? Sampai kapan kita seperti ini, bersama, tetapi hati kita hampa ...." Lagi, Isabella berkata kala dirinya dan Satria sedang berboncengan dan tentu saja Satria tidak pernah mendengar kalimatnya.Isabella tidak melingkarkan tangannya di perut Satria, tetapi kali ini Satria yang menarik tangannya hingga melingkar di perutnya. "Saya harus terus berpura-pura di hadapan papa, apalagi saat keadaannya seperti ini. Papa mau saya fokus pada Abel. Ya, Satria akan melakukannya, Pa. Tapi palsu!" Dia menyeringai licik tanpa siapapun tahu. Lalu, pada malam hari, Satria berdiri di tepian jalan menuju masjid. Dia menunggu Naura di waktu yang sama seperti kemarin. Tetapi untuk mencari aliby, dia tidak sendiri, dia mengajak beberapa pemuda nongkrong di sana. 'Di mana Naura?' "Tidak enak nongkrong di sini, ini dekat masjid, orang-orang lagi ngaji!" celetuk salah satu pemuda. Maka, lagi-lagi Satria beraliby, "Bosen di warung. Mending di sini, lebih seger," kekehnya. "Seger k
Naura ingin meninggalkan lapak bakso, tetapi kawan-kawannya memilih memakan bakso di sini, maka terpaksa dia harus berada di sekitar Satria dan Isabella. Saat ini hanya Isabella yang tidak bersikap canggung dan kaku, tetapi berbeda dengan Satria dan Naura, keduanya duduk dengan jarak cukup jauh, tetapi keduanya seakan tidak bisa bersikap biasa saja. Tanpa mereka tahu jika Isabella sedang berdecak di dalam hatinya. 'Kenapa kalian sangat kaku? Apa kalian sangat gugup karena saya di sini!' Isabella bukan gadis yang memiliki hati pendendam, tetapi selayaknya manusia, dia juga bisa kesal dan marah, apalagi menyaksikan suami dan perebut suaminya di dalam area yang sama. Istri mana yang tidak akan terbakar amarah walaupun saat ini Isabella bisa dikatakan sebagai istri salihah yang tidak memperlihatkan amarahnya. "Naura, apa pengajiannya setiap hari?" tanya Isabella yang duduk di meja berbeda. Naura menjawab kaku, "Tidak. Pengajian cuma empat kali satu minggu, tapi tidak rutin setiap hari
Hanya tersisa beberapa meter lagi menuju rumah, tapi Satria menurunkan Isabella. "Tangan saya kesemutan." Dia sedikit meringis karena sejak awal Satria hanya menggunakan tangan kanannya ketika menggendong Isabella. "Ya sudah, istirahat dulu saja." Isabella tidak akan meninggalkan Satria walaupun dia tidak melakukan apapun karena kesemutan bukan penyakit yang harus ditangani. Malam semakin dingin, padahal waktu baru sampai di angka delapan lebih lima belas menit. "Setelah ini kamu akan mengerjakan tugas?" "Iya. Tugas saya masih banyak." Lagi, Satria mengacak rambutnya seakan frustasi. "Tenang saja ... saya siap membantu kamu." Isabella tersenyum hangat. Kini, Satria kembali berjongkok untuk mempersilakan Isabella naik ke atas punggungnya. Namun, kali ini Isabella menolak. "Saya jalan saja. Sudah tidak terlalu sakit kok." "Naik saja." "Bagaimana tangan kamu?" "Tidak apa." Suara Satria selalu datar, tetapi Isabella tetap menerima perhatian kecilnya ini walaupun Satria melakukanny
Sejak kemarin Satria tidak mengunjungi Dika hingga laki-laki ini bertanya pada Devan karena hanya dia satu-satunya kawan yang sering mengunjunginya, "Di mana Satria, apa dia baik-baik saja?""Dia baik-baik saja, lukanya juga sudah hampir sembuh." Devan tidak pernah datang dengan tangan kosong, dia selalu membawa makanan tanpa peduli Dika memakannya atau tidak. "Dari kemarin saya tidak melihat dia." Dika memakan bakwan yang dibawa Devan. Keduanya duduk di lantai. "Satria sibuk, setelah kuliah dia bekerja di restoran punya papanya." Devan tidak akan mengatakan alasan utama Satria tidak mengunjungi Dika.Dika tidak menanyakan apapun lagi, dia cukup mengerti pada keadaan Satria. "Saat saya keluar dari sini, saya akan tinggal di markas!""Kenapa tidak ke rumah?" "Siapa yang akan memperhatikan saya? Tidak ada yang peduli. Ck!""Pulang saja ke markas, kapanpun kamu mau." Devan tidak akan mengkritik keputusan Dika karena dia sangat mengerti posisi kawannya. Namun, Dika mendesah, "Bagaiman