Sejak kemarin Satria tidak mengunjungi Dika hingga laki-laki ini bertanya pada Devan karena hanya dia satu-satunya kawan yang sering mengunjunginya, "Di mana Satria, apa dia baik-baik saja?""Dia baik-baik saja, lukanya juga sudah hampir sembuh." Devan tidak pernah datang dengan tangan kosong, dia selalu membawa makanan tanpa peduli Dika memakannya atau tidak. "Dari kemarin saya tidak melihat dia." Dika memakan bakwan yang dibawa Devan. Keduanya duduk di lantai. "Satria sibuk, setelah kuliah dia bekerja di restoran punya papanya." Devan tidak akan mengatakan alasan utama Satria tidak mengunjungi Dika.Dika tidak menanyakan apapun lagi, dia cukup mengerti pada keadaan Satria. "Saat saya keluar dari sini, saya akan tinggal di markas!""Kenapa tidak ke rumah?" "Siapa yang akan memperhatikan saya? Tidak ada yang peduli. Ck!""Pulang saja ke markas, kapanpun kamu mau." Devan tidak akan mengkritik keputusan Dika karena dia sangat mengerti posisi kawannya. Namun, Dika mendesah, "Bagaiman
"Dika bilang katanya kemungkinan besok dia keluar dari rumah sakit, tapi dia akan pulang ke markas." Devan baru saja tiba di kampus setelah bolos satu materi. "Syukurlah," sahut santai Satria. Devan masih ingin membahas cinta bertepuk sebelah tangan yang dirasakan Dika, tapi Satria sudah mengabaikannya di dalam chat. Maka, laki-laki ini memilih diam, setidaknya untuk saat ini. "Dito bilang akan kesini." Satria segera mengerutkan dahinya heran, "Ada apa? Tidak biasanya dia kesini." "Dia bilang akan membahas hal penting." Tatapan Devan meruncing mencurigai sesuatu. "Ya, di sini saja karena sepertinya papa tidak akan terlalu curiga. Andai papa tahu saya masih bertemu kawan-kawan geng, tapi kalau di sini mungkin papa berpikir kalian teman kampus." "Capek sekali jadi kamu!" Devan terkekeh saat sedikit mengejek. "Kamu pikir mudah!" Satria sedikit mendesah. Di sisi lain, dokter sedang memeriksa Dika dan mengatakan jika hari ini pemuda itu bisa pulang. Maka, sekarang Dika berbenah. B
Isabella tiba di rumah pukul enam tiga puluh, tetapi saat ini Satria belum kembali. "Mungkin Satria masih bekerja di restoran," terka gadis ini kala Mia menanyakan putranya. Haris berkata, "Papa sudah menelepon, Satria sudah pulang sejak tadi.""Lalu Satria di mana, Pa ... Mama khawatir karena tangannya belum sembuh. Mama takut Satria tawuran lagi ...." Kekhawatiran Mia sangat jelas. Isabella kembali mencoba menerka, "Mungkin Satria nongkrong di warung." Namun, Haris menggerutu, "Papa tidak yakin Satria di daerah ini. Nomornya tidak aktif, mungkin sedang bersama geng motor tidak berguna itu!" Isabella tidak tahu bagaimana cara membela suaminya, jadi dia memilih diam. Menjelang shalat isya, Isabella berjalan menyusuri jalanan daerah untuk mencari Satria sekalian memulai hari pertamanya mengaji. "Naura," panggilan hangat Isabella kala mereka berpapasan. "Eh, Abel. Saya kira kamu tidak akan mengaji." Lagi, Naura tersenyum kaku. "Saya ingin mengaji," kekeh Isabella yang tidak pernah
"Dika orang seperti apa, apa dia bisa dipercaya?" Isabella mulai gelisah karena dia sedang berboncengan dengan laki-laki yang bukan siapa-siapa. Satria memang pernah membawanya kebut-kebutan di jalanan bahkan di jalan tol, tapi andai terjadi sesuatu, keselamatannya masih bisa dipertanggung jawabkan karena Satria adalah suaminya, tapi lain halnya dengan Dika. Andai terjadi sesuatu, apa Dika akan menolongnya?Namun, entah harus meminta bantuan siapa lagi selain Dika? Maka dari itu Isabella menghubungi pemuda ini. Sama halnya dengan saat berboncengan bersama Satria, Isabella tidak bisa mengatakan apapun karena Dika memakai helm full face. Di tengah perjalanan, dia menghentikan motor untuk menerima panggilan. "Ok." Hanya ini yang dikatakannya hingga Isabella mulai bertanya. "Kamu akan mencari Satria kemana?" "Tadi Devan menelepon, katanya dia berhasil menemukan Satria.""Kamu bilang pada Devan, kita sedang mencari Satria?""Iya, Devan kan teman kita," kekeh hangat Dika. Saat ini cemas
"Abel!" Satria memanggil Isabella, dia sedang berjalan dari arah berlawanan. Maka, saat ini senyuman Isabella mengambang di wajahnya. Satria berhenti untuk menyapa Dika, "Terimakasih sudah mengantar Abel." Mereka bersikap sportif walau saat ini Dika semakin terluka. Kemudian, Satria menggedong Isabella hingga mereka saling menatap, Satria melangkah menuju arah sebaliknya, ke rumah yang sangat sepi.Saat ini kedua tangan Isabella melingkar di leher Satria, menatap Satria penuh syukur karena dia baik-baik saja, tetapi saat ini Satria berkata frontal. "Kamu bodoh ya!"Segera, Isabella menekuk wajahnya. "Maksud kamu?""Saya sudah bilang tidak usah kesini!" Wajah Satria menyiratkan kesalnya."Tidak bisa ... saya harus bertemu kamu." Wajah Isabella menunjukan ketulusannya."Kamu dibonceng Dika. Kamu tahu sendiri Dika anak geng motor, kita punya banyak musuh, bagaimana
Hanya satu jam Satria membiarkan Isabella berada di dalam bangunan ini, lalu dia berpamitan pada kawan-kawannya lewat telepon. Kini, Isabella berboncengan dengan Satria. Namun, hari sudah menjelang sore. "Kira-kira akan tiba jam berapa di rumah? Saya tidak boleh pulang malam, malu sama mama dan papanya Satria. Kecuali kalau pulang bersama Satria."Isabella memeluk peluk Satria cukup erat karena motor mulai melaju kencang kala sudah masuk ke dalam jalan raya. Bukan maksud Satria sengaja kebut-kebutan, dia hanya ingin memburu waktu supaya tidak tiba malam. Jadi, Satria berhasil memangkas waktu selama satu jam walaupun hasilnya Isabella menggigil ketakutan, tetapi tidak separah saat kebut-kebutan di jalan tol. Satria terkekeh, "Jangan begitu, mungkin oranglain berpikir saya sangat jahat." Terdapat raut wajah hangat walaupun sangat tipis. "Saya takut ....""Tenang saja, tidak akan celaka kok!" Satria mulai menggandeng tangan Isabella untuk masuk ke dalam butik. "Pilih celana yang model
Satria dan Isabella tiba saat adzan magrib, tapi Satria menurunkan Isabella di depan pintu masuk daerah. "Dari sini jalan saja." Suara datar Satria, dan dalam tatapannya terdapat api amarah pada Haris."Kamu tidak akan pulang?" Isabella ingin membujuk, tetapi dia tidak yakin berhasil.Satria segera menyalakan mesin motornya, kemudian berbalik hendak meninggalkan Isabella. "Saya tidak mencintai kamu, tapi saya peduli pada kamu dan keluarga kamu." Anehnya, Satria menghentikan motornya, kemudian kembali membuka helm full facenya. Dia menoleh ke arah Isabella. "Pulanglah." Suaranya dingin dan datar, kemudian pergi hingga Isabella hanya bisa mendesah. Kini, Isabella berjalan sendiri saat adzan magrib berkumandang jadi dia memutuskan mengunjungi masjid lalu beribah di sana. Barulah memberi kabar pada mertuanya. [Abel sudah pulang, tapi Abel di masjid. Abel tidak akan pulang ke rumah sekarang karena sekalian mengikuti pengajian.] Chat ini dikirimkan pada Mia. Maka, wanita ini menyusul untu
"Ini buku-buku yang kamu butuhkan, tapi tidak semua saya bawa karena ada beberapa yang saya kerjakan," ucap lembut dan santun Isabella di hadapan Satria. Satria menatap datar. "Kenapa kamu kerjakan?" "Kamu bilang tugas kamu banyak dan cuma diberi waktu satu minggu. Waktunya tinggal sebentar lagi, tapi kamu tidak pulang. Tidak mungkin saya membiarkan tugas kamu." 'Terpaksa saya mengerjakan tugas karena tidak mau dikeluarkan dari kampus, saya harus tetap bertemu Naura, tapi kamu membantu. Secara tidak langsung kamu membantu saya bertemu Naura.' Saat ini ada perasaan yang sulit dijelaskan, tapi logikanya masih mati dan selalu dipenuhi Naura. Jadi, Satria memilih mengabaikan ketulusan Isabella. Satria segera mengantongi buku-bukunya dan grasah-grusuh hendak pergi. Namun, Isabella menahan seiring menyodorkan bekal sarapan dari Mia. "Mama buatkan ini buat kamu."Sejenak, Satria memandangi bekal yang dibuatkan ibunya, bekal makan yang penuh cinta hingga membuatnya merasa bersalah karena