"Abel!" Satria memanggil Isabella, dia sedang berjalan dari arah berlawanan. Maka, saat ini senyuman Isabella mengambang di wajahnya. Satria berhenti untuk menyapa Dika, "Terimakasih sudah mengantar Abel." Mereka bersikap sportif walau saat ini Dika semakin terluka. Kemudian, Satria menggedong Isabella hingga mereka saling menatap, Satria melangkah menuju arah sebaliknya, ke rumah yang sangat sepi.Saat ini kedua tangan Isabella melingkar di leher Satria, menatap Satria penuh syukur karena dia baik-baik saja, tetapi saat ini Satria berkata frontal. "Kamu bodoh ya!"Segera, Isabella menekuk wajahnya. "Maksud kamu?""Saya sudah bilang tidak usah kesini!" Wajah Satria menyiratkan kesalnya."Tidak bisa ... saya harus bertemu kamu." Wajah Isabella menunjukan ketulusannya."Kamu dibonceng Dika. Kamu tahu sendiri Dika anak geng motor, kita punya banyak musuh, bagaimana
Hanya satu jam Satria membiarkan Isabella berada di dalam bangunan ini, lalu dia berpamitan pada kawan-kawannya lewat telepon. Kini, Isabella berboncengan dengan Satria. Namun, hari sudah menjelang sore. "Kira-kira akan tiba jam berapa di rumah? Saya tidak boleh pulang malam, malu sama mama dan papanya Satria. Kecuali kalau pulang bersama Satria."Isabella memeluk peluk Satria cukup erat karena motor mulai melaju kencang kala sudah masuk ke dalam jalan raya. Bukan maksud Satria sengaja kebut-kebutan, dia hanya ingin memburu waktu supaya tidak tiba malam. Jadi, Satria berhasil memangkas waktu selama satu jam walaupun hasilnya Isabella menggigil ketakutan, tetapi tidak separah saat kebut-kebutan di jalan tol. Satria terkekeh, "Jangan begitu, mungkin oranglain berpikir saya sangat jahat." Terdapat raut wajah hangat walaupun sangat tipis. "Saya takut ....""Tenang saja, tidak akan celaka kok!" Satria mulai menggandeng tangan Isabella untuk masuk ke dalam butik. "Pilih celana yang model
Satria dan Isabella tiba saat adzan magrib, tapi Satria menurunkan Isabella di depan pintu masuk daerah. "Dari sini jalan saja." Suara datar Satria, dan dalam tatapannya terdapat api amarah pada Haris."Kamu tidak akan pulang?" Isabella ingin membujuk, tetapi dia tidak yakin berhasil.Satria segera menyalakan mesin motornya, kemudian berbalik hendak meninggalkan Isabella. "Saya tidak mencintai kamu, tapi saya peduli pada kamu dan keluarga kamu." Anehnya, Satria menghentikan motornya, kemudian kembali membuka helm full facenya. Dia menoleh ke arah Isabella. "Pulanglah." Suaranya dingin dan datar, kemudian pergi hingga Isabella hanya bisa mendesah. Kini, Isabella berjalan sendiri saat adzan magrib berkumandang jadi dia memutuskan mengunjungi masjid lalu beribah di sana. Barulah memberi kabar pada mertuanya. [Abel sudah pulang, tapi Abel di masjid. Abel tidak akan pulang ke rumah sekarang karena sekalian mengikuti pengajian.] Chat ini dikirimkan pada Mia. Maka, wanita ini menyusul untu
"Ini buku-buku yang kamu butuhkan, tapi tidak semua saya bawa karena ada beberapa yang saya kerjakan," ucap lembut dan santun Isabella di hadapan Satria. Satria menatap datar. "Kenapa kamu kerjakan?" "Kamu bilang tugas kamu banyak dan cuma diberi waktu satu minggu. Waktunya tinggal sebentar lagi, tapi kamu tidak pulang. Tidak mungkin saya membiarkan tugas kamu." 'Terpaksa saya mengerjakan tugas karena tidak mau dikeluarkan dari kampus, saya harus tetap bertemu Naura, tapi kamu membantu. Secara tidak langsung kamu membantu saya bertemu Naura.' Saat ini ada perasaan yang sulit dijelaskan, tapi logikanya masih mati dan selalu dipenuhi Naura. Jadi, Satria memilih mengabaikan ketulusan Isabella. Satria segera mengantongi buku-bukunya dan grasah-grusuh hendak pergi. Namun, Isabella menahan seiring menyodorkan bekal sarapan dari Mia. "Mama buatkan ini buat kamu."Sejenak, Satria memandangi bekal yang dibuatkan ibunya, bekal makan yang penuh cinta hingga membuatnya merasa bersalah karena
Hari ini tidak ada jadwal pengajian, lagipula cuaca sedang sangat buruk. Saat ini Isabella mengingat Satria yang sering tidur bersamanya walaupun tidak ada cinta di antara keduanya. "Biasanya ada kamu. Walau sebenarnya tidak ada juga, tidak apa, tapi karena kamu suami saya, jadi saya tetap merasa kehilangan orang yang biasanya bersama saya." Isabella sudah menutup pintu balkon rapat-rapat, dia juga menutup pintu kamar, tetapi tidak dikunci, dia berharap Satria pulang untuk membicarakan masalahnya dengan Haris lalu menyelesaikannya dan kehidupan keluarga kembali seimbang walaupun suaminya masih kepala batu. Kini, seperti malam sebelumnya Isabella tidur sendiri, dan ternyata tetap seperti itu hingga pagi tiba karena Satria tidak kembali. Hari ini week end, jadi Isabella berolah raga kecil di halaman setelah menyelesaikan shalat subuh. Namun, berulang kali handphone dicek, berharap Satria memberi kabar kepulangannya, tetapi tidak ada satupun notif dari suaminya hingga Isabella mendesa
"Mama mau ke rumah. Apa mama kamu ada?" tanya Naura pada Devan lewat panggilan di udara."Ada," jawab singkat Devan."Saya akan mengatakannya pada mama.""Ya." Devan masih menjawab singkat, "yang datang cuma mama kamu?" "Iya. Saya tidak bisa." "Ya sudah ...." Devan masih berkata singkat hingga akhir. "Kalau cuma mamanya Naura sih tidak apa karena paling mama Naura diem di rumah sama mama, tapi kalau Naura, bisa-bisa Satria tahu kalau kita kerabat." Devan kembali dengan kresek hitam berisi makanan. "Sarapan dulu." Ini adalah jamuannya pada Satria. Satria tidak segera memakan bakso yang diberikan Devan. "Papa tidak pernah menghubungi. Apa papa tidak peduli pada kesalahannya. Ck!""Mungkin belum menyadari," jawab santai Devan seiring menyuap bakso, tetapi saat ini ibunya mengetuk pintu yang terbuka. "Makan dulu. Kalian belum makan sejak pagi ...." Suara hangat wanita ini sama dengan Mia. Satria segera tersenyum ramah pada ibunya Devan, ini adalah pertemuan kedua mereka selama Satria
Cukup lama Satria melakukan penyatuan bibir dengan Isabella, maka Isabella pun merespon untuk menyenangkan hati suaminya karena ini adalah salah satu kewajibannya sebagai seorang istri. Namun, karena terlalu meladeni nafsu akhirnya Satria kembali membuka pakaian Isabella, meremas bagian menggoda dan menggulum ujungnya yang berwarna pink kecokelatan. Segera, tangan Isabella meremas punggung sofa karena Satria kembali membangkitkan gairahnya. Pun, hasrat Satria kembali menggebu. Entah mengapa perpisahan dengan Isabella membuatnya seperti ini. "Kita lakukan lagi." Dia tidak mampu menahannya dan melakukannya di sofa. Isabella tidak bisa menghentikan keinginan Satria karena itu termasuk dosa, jadi walaupun ini dirasa berlebihan, dia tetap memberikan tubuhnya dan berharap Satria bersedia kembali ke rumah. Jadi, karena aktivitas panas ini akhirnya Satria baru saja mengerjakan tugasnya pada pukul sembilan malam setelah Mia menghubungi Isabella. Maka, terpaksa Isabella mengatakan jika sekar
Mia segera menghampiri Satria saat putranya keluar dari ruang kerja Haris. "Sayang, jangan marah pada Papa ya, walau tadi Papa membentak." Mia mengekspresikan yang ada di hatinya. "Tidak, Ma." Suara dan sikap datar Satria. "Satria mau ke kampus." Dia segera mengecup punggung tangan Mia, sedangkan Mia mengusap punggung putranya sesaat. "Bawa Abel. Kalian pergi bersama saja ...."Namun, saat ini Mia dan Satria mendengar suara benda jatuh dari dalam ruangan Haris hingga wanita ini segera memeriksa. "Pa ...." Suaranya tidak histeris, tetapi tetap mengekspresikan rasa kagetnya. Satria menyusul ibunya, begitupun Isabella yang sejak tadi duduk di dekat ruang kerja Haris. Dengan cekatan, Satria membantu ayahnya berbaring di sofa karena ini tempat terdekat, lalu Mia segera mengambil obat milik Haris yang tersedia di beberapa tempat, sedangkan Isabella segera membantu merawat Haris hingga akhirnya beberapa menit kemudian kondisinya membaik. "Pa ... kenapa bisa seperti ini? Papa sudah meminu
Hari demi hari berganti, ucapan Satria bukan hanya bualan karena dia membuktikannya lewat sikap yang tulus walaupun Haris tidak melihatnya secara langsung karena pasangan suami dan istri ini tinggal terpisah dengan pria itu.Setiap malam, Satria menemani Isabella menyusui Attar, dia juga sering membantu mengganti popok atau pakaian basah Attar.Satria melakukannya diiringi senyuman lembut, tutur kata senada, serta belaian penuh kasih sayang pada Attar dan Isabella.Kini, usia Attar sudah dua minggu. “Nanti kita adakan acara potong rambut sama aqiqah. Saya sudah coba bicara sama Mama, tapi belum secara langsung,” ucap lembut Satria pada Isabella.Namun, bagaimanapun sikap Satria, nyatanya Isabella tetap bersikap datar. “Iya.”“Saya sudah menabung, semoga cukup buat acara besar.” Kini Satria terkekeh. Kemudian menyodorkan uang belanja sekalian uang susu dan pempers pada Isabella. “Kalau uangnya nggak sampai minggu depan, jangan sungkan minta lagi ya, Sayang.” Tatapannya sangat lembut.“
Ini adalah malam pertama Isabella dan Satria tidur bersama bayi mereka. Bayi merah itu terlentang di tengah-tengah pasangan suami istri ini. Tidak henti Satria menatapnya diiringi senyuman.Isabella menyadarinya, tetapi dia masih bersikap dingin dan datar. “Saya akan tidur, lagian Attar tidur. Ini kesempatan saya untuk ikut tidur.”“Ya, Sayang. Kamu tidur saja, biar nanti aku yang menjaga Attar.”Isabella tidak pernah meminta, tetapi tidak mungkin menolak perhatian Satria pada bayi mereka.Jadi saat Attar menangis tengah malam, Satria yang menjaga dan mengasuh. Dia juga menghangatkan asi yang sudah tersedia di dalam botol. Tidak lupa menyuruh Isabella kembali tidur setelah sempat terbangun karena tangisan Attar.Hingga saat pagi hari Satria terlambat bangun, tetapi Isabella membiarkan suaminya tanpa peduli aktivitas apa yang menanti Satria.Satria tersentak saat melihat jam dinding. “Hah, serius sudah jam sembilan!”“Ya,” jawab datar Isabella.“Harusnya saya kuliah pagi. Sekarang saya
Suana hening sangat lama, hingga Satria kembali bicara. “Apa kamu tetap akan melanjutkan perceraian, apa kamu akan mengubah keputusan kamu?”Isabella menjawab santun, “Saya yang harus menanyakan itu pada kamu.”“Kalau saya tetap melanjutkan?”“Saya juga ....” Hati Isabella seakan sudah kebal pada rasa sakit. Bahkan yang ini. “Kalau kamu memilih berpisah, sebelumnya kamu harus beri nama anak kita.” Ini adalah permintaan sederhana Isabella, tetapi diwajibkan pada Satria.Satria memandangi Isabella karena tatapan istrinya seolah tanpa keraguan walaupun mereka bercerai.Satria kembali menunduk, tetapi tidak melepaskan tangan Isabella. Lalu berkata lirih, “Naura pergi. Dia mencampakan saya. Apalagi yang harus saya lakukan karena andai berpisah sama kamu, saya tidak yakin Naura akan bersama saya ....”Isabella menjawab datar, “Itu urusan kamu. Jangan menjadikan saya cadangan karena kamu gagal mendapatkan Naura!”Satria kembali memandangi wajah Isabella. Kini, dalam tatapan Isabella terdapat
Satria masuk ke kamar rawat, jadi dia bertemu dengan orangtuanya dan orangtua Isabella yang sedang berkumpul.Semua orang menyambut kedatangan Satria dengan hangat, termasuk Isabella. Mia segera menggiring putranya menuju tempat mereka duduk berkumpul. “Alhamdulillah kamu sudah datang ....” Senyumannya menunjukan kebahagiaan, tetapi hatinya sangat kesal pada Satria setelah mengetahui sikap buruknya pada Isabella dan bayi mereka yang belum diberi nama.Tanpa persetujuan Isabella, Mia segera meraih amplop cokelat yang berisi laporan hasil test DNA hingga gadis ini terkejut.Namun, ternyata Mia menyampaikannya sangat bijak di hadapan suaminya, anaknya dan kedua mertuanya. “Ini hasil test DNA anak kalian. Dokter yang memberikannya karena Isabella seorang perawat walaupun bukan di rumah sakit ini, jadi Abel memiliki hak istimewa, yaitu mendapatkan test DNA tanpa perlu meminta.”Mia
Isabella hanya menatap sendu pada langit-langit. “Bukan perpisahan yang Abel mau karena sebelum itu Satria harus tahu jika selama ini saya mengandung anaknya ....”Pun, hatinya semakin lebur saat memikirkan bayi mereka. “Sabar ya, Sayang ... pasti akhirnya Papa kamu akan menerima kamu ....”Bayi mungil itu berada di dalam box yang sangat hangat, wajahnya sangat polos dan murni.Namun, ternyata hari ini Satria tidak datang ke rumah sakit dan dia juga tidak terlihat di rumah. Maka Haris sangat murka.Saat ini, hanya Mia yang menemai Isabella hingga ketukan pintu memecah keheningan dan membuat wanita ini bersemangat. “Pasti itu Satria! Mama buka dulu ya, pintunya.” Mia segera meletakan pisau di atas piring saat buah yang dikupasnya belum selesai.Isabella hanya memandangi punggung Mia yang semakin mendekati pintu, tetapi dia tidak yakin itu Satria. “Kalau itu Satria, harusnya tidak usah mengetuk pintu.”Mia tersenyum bahagia saat membukakan pintu, tetapi senyumannya perlahan redup karena
Satria berjuang demi menghentikan kepergian Naura, tapi sudah terlambat karena Naura sudah berjalan hendak masuk ke dalam pesawat. Namun, Satria juga melihat Devan yang berjalan di belalang Naura. Devan sempat melirik dan menyadari kehadiran Satria, tetapi dia memilih abai dan berpura-pura tidak melihatnya. Saat ini kepala Satria dipenuhi pertanyaan. "Kenapa Naura bersama Devan?" Sekaligus, dia harus rela saat hatinya sakit dan hancur karena harus menyaksikan kepergian Naura. "Nay ...." Rintih Satria. Naura menoleh karena panggilan lemah Satria membuat dadanya berdebar, tetapi sayangnya keberadaan Satria terhalangi oleh lalu lalang. Naura menundukan wajahnya sangat sendu. "Pasti cuma perasaan karena tidak mungkin Satria mencegah saya pergi ...."Maka, akhirnya Naura terbang keluar negeri meninggalkan semua kenangannya bersama Satria. Pun, Satria harus menyaksikan hari-harinya dengan Naura berakhir dan mungkin tidak akan pernah terulang.Satria termenung cukup lama di bandara ka
“Satria bilang kamu bersedia bercerai setelah melahirkan. Saya mohon, jangan lakukan itu ....” Naura tidak enggan mengatakan hal ini karena jika benar dia penyebabnya, gadis ini tidak ingin menjadi penyebab hancurnya rumah tangga Satria dan Isabella.Namun, saat ini Isabella hanya memandang kosong ke arah Naura. ‘Semalam dan tadi pagi Satria sangat perhatian. Jadi Satria punya maksud terselubung. Apa Satria ingin membahagiakan saya sebelum perceraian?’“Abel. Saya mohon ... jangan pernah bercerai dengan Satria.” Naura mengulang kalimatnya bahkan lebih tatapannya lebih dalam.Saat ini Isabella tersadar, lalu tersenyum kecil. “Ini rumah tangga saya dan Satria.” Isabella menjawab dengan bijak, tetapi berhasil menyentil Naura.Naura mendesah. “Saya memang tidak punya hak apapun, dan tidak sepantasnya saya mencampuri rumah tangga kamu dan Satria. Tapi ... kalau alasan kamu bersedia bercerai karena saya, saya akan merasa sangat bersalah. Jadi tolong jangan bercerai, karena walaupun kalian b
Pagi ini Satria menuntun Isabella hingga tiba di ruang makan. Mia sudah di sana, maka salah satu telapak tangannya dipakai menutup mulutnya yang menganga.“Pagi, Ma ....” Satria menyapa ibunya dengan hangat tanpa melepaskan telapak tangan Isabella. Laki-laki ini memperlakukan istrinya dengan lembut, dia juga yang menggeser kursi hingga Isabella duduk nyaman.Mia membalas sapa Satria dengan suasana hati berjuta bahagia karena ini adalah pagi yang sangat indah. “Pagi, Sayang ....”“Kok Mama sendiri? Mana Papa?” Bukan hanya hangat dan perhatian pada Isabella, tetapi Satria melakukannya pada ibunya juga.“Papa masih di halaman. Sebentar lagi nyusul,” kekeh Mia. Perubahan Satria membuatnya linglung karena terlalu mendadak, tetapi sangat disyukuri.“Satria panggil Papa dulu deh, Mama di sini saja sama Abel.”“Iya, Sayang ....” Mia tidak bisa berhenti tersenyum atas perubahan baik Satria.Saat Satria berlalu, Mia segera bertanya pada Isabella untuk menjawab penasarannya, “Apa yang terjadi pa
Malam ini Satria menjamah Isabella. Ini adalah pertama kalinya setelah beberapa bulan istrinya diabaikan. Saat ini Isabella melayani suaminya dengan baik, tetapi tidak berharap Satria berubah menjadi lebih baik karena dirasa tidak seinstan itu atau tidak mungkin.Setelah memuaskan nafsunya, Satria berkata jahat saat mereka masih berada di bawah selimut yang sama, “Saya kira anak itu sudah tidak ada!”Isabella segera menegur, “Jangan asal bicara!”Satria tidak merespon karena segera meninggalkan kamar, tapi rupanya Haris masih berada di ruang tengah. Maka pria ini segera mengatakan isi hatinya saat bertemu putranya, “Apa yang kamu dapatkan setelah meninggalkan anak dan istri kamu selama dua bulan?” Wajahnya datar.Satria tahu ayahnya tidak mungkin menyambut hangat kepulangannya. “Satria butuh waktu sendiri.”“Lalu, apa hikmah yang kamu dapat?”Sejenak, Satria tidak bisa mengatakan apapun. “Mendinginkan kepala.”“Abel adalah istri salihah. Kamu harus tahu jika selama kamu menghilang, Ab