Satria merasakan kecewa ke sekian kalinya. Namun, Satria belum menyerah. "Anggap saja ini hadiah ulang tahun kamu yang saya lewatkan." "Tidak apa, kamu tidak perlu memberikan hadiah ulang tahun karena saya juga melewatkan banyak sekali ulang tahun kamu."Satria mendesah. "Jadi kamu tidak mau menerima?" Tatapannya mulai menunjukan sendu walau dia masih tersenyum teduh, tetapi bola matanya tidak bisa berbohong."Maaf ... bukan maksud saya tidak menghargai kamu. Tapi kamu sudah menikah, jadi lebih baik berikan semua perhatian kamu untuk Abel." "Saya tetap mencintai kamu," ungkap Satria walaupun Naura sudah mendengarnya ke sekian kali."Saya tahu, tapi waktu belum memihak kita." Senyuman Naura sangat manis dan lembut, tetapi membatin karena mencintai Satria sama saja seperti dengan sengaja melukai dirinya sendiri. Satria merasakan kecewa, sakit dan semua hal yang dihindari olehnya, tetapi selalu gagal. "Ya sudah, tidak apa." Papar bag disimpan di sisinya. "Apa kegiatan kamu sekarang?"
Naura tersenyum kecil kala menolak ajakan Satria, "Tidak, saya di sini saja karena pasti mama akan mencari kalau saya tidak ada di sekitar rumah sakit." Pun, Satria tidak memaksa. Tetapi dengan terang-terangan dia berkata, "Sebenarnya kini bisa memiliki hubungan lebih dari ini. Kita bisa menjadi pasangan walaupun mungkin mustahil menuju ke pernikahan selama saya masih sama Abel.""Tidak. Jangan pernah berpikir selingkuh dari Abel." Naura bukan sedang mengingatkan Satria, tetapi dia sedang menahan keinginannya bersama Satria saat dia gagal menahan perasaannya. "Tidak apa, itu bukan masalah. Kita menikah karena dipaksa, bukan karena keinginan masing-masing." Satria mencoba meyakinkan Naura supaya mereka bisa menjalin hubungan khusus. Pacaran."Tapi Abel tidak selingkuh, dia setia sama kamu. Seharusnya kamu menjaga kesetiaan serta kepercayaan Abel." Sekali lagi, bukan maksud Naura mengingatkan Satria. "Saya tidak tahu kelakuannya di belakang. Lagian walaupun kelihatannya salihah, Isab
Satu jam kemudian, keluarga Naura berpamitan. Lalu, pada saat jam kerja Isabella berakhir, Mia menyuruh Satria mengantarkan Isabella ke rumah dan menyuruh mereka tetap di rumah. Satria tidak ingin melakukannya, tetapi di depan orangtuanya dia tetap mengiyakan. Namun, di halaman rumah sakit dia menyuruh Isabella naik bus. "Saya memang bisa naik bus, tapi saya tidak mau di rumah sendiri. Papa sama mama di rumah sakit, kamu di rumah ya, jangan pergi kemanapun ...," pintanya dengan suara lembut walaupun ada sendu di dalamnya. "Saya ada urusan." Suara dingin Satria. Saat ini Isabella sedikit menunjukan kesedihannya lewat raut wajah dan tatapan matanya. "Ya sudah ...." Tangan kanan Satria diraih untuk sun santun, kemudian melangkah meninggalkan halaman rumah sakit. Sesaat, Satria melihat Isabella yang berjalan sendiri, tetapi logikanya tetap mati maka dia tidak mempedulikan istrinya. Satria segera mengendarai motornya lalu melewati Isabella begitu saja. Jadi, Isabella hanya menatap sua
Isabella belajar di dalam kamarnya saat suasana rumah sangat sepi, tetapi pada pukul sebelas malam Satria kembali. Dia membuka pintu kamar dan segera tatapan matanya mencari Isabella. "Syukurlah kamu pulang ...." Senyuman manis Isabella yang masih duduk di depan meja belajar. Satria segera menjatuhkan tasnya di atas meja. "Bantu saya mengerjakan tugas." Dalam suaranyaterdapat desahan lelah. Pun, dia menjatuhkan tubuhnya tanpa semangat. "Masih banyak?" tanya Isabella yang menatap wajah lelah Satria. "Lumayan ...." "Kamu mau minum dulu? Biar saya bawakan," tawaran Isabella sebagaimana seorang istri pada suaminya. "Tidak usah." Satria segera mengeluarkan buku-bukunya. "Waktunya semakin meped, saya tidak mau dikeluarkan." Dia mendesah. ****Waktu satu minggu yang diberikan dosen telah habis, tapi Satria berhasil mengumpulkan tugas-tugasnya tepat waktu walaupun saat ini dia sempat mengejar dosen yang hendak meninggalkan kampus maka dia terengah. "Kalau bukan karena Naura, dari awal
Aisyah sudah berbicara santun dan sopan pada Satria, wanita ini juga tidak menunjukan maksudnya, tetapi Satria mengerti jika wanita itu sedang mengusirnya, entah mengapa?"Iya, Tante. Satria memang mau pulang, tapi karena tidak tahu jadwal besok jadi harus mampir dulu," kekeh santun dan hangatnya. "Coba dulu kue buatan Tante ...," tawar Aisyah yang tidak bisa membiarkan tamunya pulang tanpa menerima jamuan darinya. Satria memakan kue kering yang ditawarkan Aisyah lalu memuji kuenya, kemudian dia berlalu sebelum Aisyah kesal padanya. "Kenapa mamanya Naura tidak mau saya berkunjung, apa karena pernikahan saya dan Isabella?" Dengusnya. Satria pulang ke rumah karena mendengar jika Aisyah dan Naura akan menjenguk ayahnya. Dia berdiam diri di ruang keluarga dengan handphone di tangan untuk mengisi waktu dengan bermain game. Maka, kebiasaan Satria kini dianggap aneh oleh keluarganya karena tidak biasanya laki-laki itu bersedia berbaur dengan keluarga di ruang tengah. Mia duduk di sisinya
Isabella membersihkan diri lalu mengganti pakaian, saat ini Mia mengetuk pintu. "Sayang, keluarga Naura akan pulang ....""Iya, Ma. Tunggu sebentar, Abel sedang berpakaian. Tapi mungkin sedikit lama, sampaikan saja terimakasih Abel pada keluarga Naura karena sudah menjenguk papa ...." Isabella sedikit berteriak."Baiklah ... akan mama sampaikan." Suara lembut Mia, tetapi terdengar jelas oleh Isabella hingga dia mendesah."Saya tidak ingin melihat Naura karena Satria selalu menatap Naura penuh cinta yang harusnya saya dapatkan ...." Bukan cemburu, Isabella hanya merasa ini tidak adil dan sangat jahat untuknya yang jelas-jelas istri sah Satria. Jadi, akhirnya Isabella menatap kepergian keluarga Naura lewat kaca kamarnya. "Maaf ..., saya hanya tidak suka melihat Naura, tapi akhirnya saya juga harus mengabaikan orangtuanya Naura padahal tidak baik mengabaikan tamu." Tatakrama Isabella sangat baik dan tidak pernah membuat orangtuanya kecewa, tapi kali ini dia merasa telah mengecewakan ora
Hari ini, Satria dan Isabella menghabiskan waktu berdua karena perintah Haris. Pria itu memerintahkan anak dan menantunya untuk memberikan ide baru pada menu restoran. Ini di luar kemampuan mereka, Haris tahu. Namun, menurutnya Satria akan lebih bersemangat bekerja di restoran jika ada Isabella, mereka selalu harmonis. Hubungan seperti ini bisa membuat semangat bertambah karena kurang lebih satu minggu putranya tidak mengunjungi restoran. Namun, Satria mendengus. "Papa masih tidak menyadari kesalahannya. Seharusanya Papa peka. Saya tidak datang ke restoran karena perbuatan Papa!"Kali ini, Isabella masih bersikap seperti kemarin. "Kamu turuti saja permintaan Papa. Papa baru saja sembuh." Nada suaranya berbeda dan menonjolkan bahwa dia memihak Haris. Satria selalu menyadari perbedaan sikap Isabella, tetapi memilih tidak membahasnya. Dia segera masuk ke dalam restoran. Waktu masih pagi, bahkan restoran belum buka. Satria memiliki jadwal kuliah sedikit siang, sedangkan Isabella bertuka
Pukul sepuluh, Satria dan Isabella meninggalkan restoran setelah mereka melakukan semua yang ditugaskan Haris. Mereka berboncengan karena Satria tidak ingin Galih melapor jika mereka pergi berpisah. Kemungkinan hal ini memang kecil, tetapi dia memilih berjaga-jaga. Satria mengantarkan Isabella hingga perempatan karena permintaan istrinya. "Saya akan ke rumah dulu untuk berganti pakaian, lalu pergi memakai taxi," ucap Isabella walau Satria tidak bertanya. "Ya. Saya harus ke kampus sekarang." Suara dan sikapnya kembali dingin. "Ya ...." Isabella mengecup punggung tangan Satria. "Tapi apa kamu bisa menemani saya sebentar sampai angkutan umumnya datang?" "Kamu bisa menunggu sendiri, kan." Tidak ada bentakan, tetapi ucapannya selalu dingin. "Saya tidak terbiasa berdiri sendiri di pinggir jalan." Bukan bermanja, Isabella terbiasa berdiri di halte yang dipenuhi banyak orang jadi dia merasa tidak aman jika berdiri sendiri di pinggir jalan. Kali ini Satria berbaik hati pada Isabella, dia