Hari ini tidak ada jadwal pengajian, lagipula cuaca sedang sangat buruk. Saat ini Isabella mengingat Satria yang sering tidur bersamanya walaupun tidak ada cinta di antara keduanya. "Biasanya ada kamu. Walau sebenarnya tidak ada juga, tidak apa, tapi karena kamu suami saya, jadi saya tetap merasa kehilangan orang yang biasanya bersama saya." Isabella sudah menutup pintu balkon rapat-rapat, dia juga menutup pintu kamar, tetapi tidak dikunci, dia berharap Satria pulang untuk membicarakan masalahnya dengan Haris lalu menyelesaikannya dan kehidupan keluarga kembali seimbang walaupun suaminya masih kepala batu. Kini, seperti malam sebelumnya Isabella tidur sendiri, dan ternyata tetap seperti itu hingga pagi tiba karena Satria tidak kembali. Hari ini week end, jadi Isabella berolah raga kecil di halaman setelah menyelesaikan shalat subuh. Namun, berulang kali handphone dicek, berharap Satria memberi kabar kepulangannya, tetapi tidak ada satupun notif dari suaminya hingga Isabella mendesa
"Mama mau ke rumah. Apa mama kamu ada?" tanya Naura pada Devan lewat panggilan di udara."Ada," jawab singkat Devan."Saya akan mengatakannya pada mama.""Ya." Devan masih menjawab singkat, "yang datang cuma mama kamu?" "Iya. Saya tidak bisa." "Ya sudah ...." Devan masih berkata singkat hingga akhir. "Kalau cuma mamanya Naura sih tidak apa karena paling mama Naura diem di rumah sama mama, tapi kalau Naura, bisa-bisa Satria tahu kalau kita kerabat." Devan kembali dengan kresek hitam berisi makanan. "Sarapan dulu." Ini adalah jamuannya pada Satria. Satria tidak segera memakan bakso yang diberikan Devan. "Papa tidak pernah menghubungi. Apa papa tidak peduli pada kesalahannya. Ck!""Mungkin belum menyadari," jawab santai Devan seiring menyuap bakso, tetapi saat ini ibunya mengetuk pintu yang terbuka. "Makan dulu. Kalian belum makan sejak pagi ...." Suara hangat wanita ini sama dengan Mia. Satria segera tersenyum ramah pada ibunya Devan, ini adalah pertemuan kedua mereka selama Satria
Cukup lama Satria melakukan penyatuan bibir dengan Isabella, maka Isabella pun merespon untuk menyenangkan hati suaminya karena ini adalah salah satu kewajibannya sebagai seorang istri. Namun, karena terlalu meladeni nafsu akhirnya Satria kembali membuka pakaian Isabella, meremas bagian menggoda dan menggulum ujungnya yang berwarna pink kecokelatan. Segera, tangan Isabella meremas punggung sofa karena Satria kembali membangkitkan gairahnya. Pun, hasrat Satria kembali menggebu. Entah mengapa perpisahan dengan Isabella membuatnya seperti ini. "Kita lakukan lagi." Dia tidak mampu menahannya dan melakukannya di sofa. Isabella tidak bisa menghentikan keinginan Satria karena itu termasuk dosa, jadi walaupun ini dirasa berlebihan, dia tetap memberikan tubuhnya dan berharap Satria bersedia kembali ke rumah. Jadi, karena aktivitas panas ini akhirnya Satria baru saja mengerjakan tugasnya pada pukul sembilan malam setelah Mia menghubungi Isabella. Maka, terpaksa Isabella mengatakan jika sekar
Mia segera menghampiri Satria saat putranya keluar dari ruang kerja Haris. "Sayang, jangan marah pada Papa ya, walau tadi Papa membentak." Mia mengekspresikan yang ada di hatinya. "Tidak, Ma." Suara dan sikap datar Satria. "Satria mau ke kampus." Dia segera mengecup punggung tangan Mia, sedangkan Mia mengusap punggung putranya sesaat. "Bawa Abel. Kalian pergi bersama saja ...."Namun, saat ini Mia dan Satria mendengar suara benda jatuh dari dalam ruangan Haris hingga wanita ini segera memeriksa. "Pa ...." Suaranya tidak histeris, tetapi tetap mengekspresikan rasa kagetnya. Satria menyusul ibunya, begitupun Isabella yang sejak tadi duduk di dekat ruang kerja Haris. Dengan cekatan, Satria membantu ayahnya berbaring di sofa karena ini tempat terdekat, lalu Mia segera mengambil obat milik Haris yang tersedia di beberapa tempat, sedangkan Isabella segera membantu merawat Haris hingga akhirnya beberapa menit kemudian kondisinya membaik. "Pa ... kenapa bisa seperti ini? Papa sudah meminu
Satria merasakan kecewa ke sekian kalinya. Namun, Satria belum menyerah. "Anggap saja ini hadiah ulang tahun kamu yang saya lewatkan." "Tidak apa, kamu tidak perlu memberikan hadiah ulang tahun karena saya juga melewatkan banyak sekali ulang tahun kamu."Satria mendesah. "Jadi kamu tidak mau menerima?" Tatapannya mulai menunjukan sendu walau dia masih tersenyum teduh, tetapi bola matanya tidak bisa berbohong."Maaf ... bukan maksud saya tidak menghargai kamu. Tapi kamu sudah menikah, jadi lebih baik berikan semua perhatian kamu untuk Abel." "Saya tetap mencintai kamu," ungkap Satria walaupun Naura sudah mendengarnya ke sekian kali."Saya tahu, tapi waktu belum memihak kita." Senyuman Naura sangat manis dan lembut, tetapi membatin karena mencintai Satria sama saja seperti dengan sengaja melukai dirinya sendiri. Satria merasakan kecewa, sakit dan semua hal yang dihindari olehnya, tetapi selalu gagal. "Ya sudah, tidak apa." Papar bag disimpan di sisinya. "Apa kegiatan kamu sekarang?"
Naura tersenyum kecil kala menolak ajakan Satria, "Tidak, saya di sini saja karena pasti mama akan mencari kalau saya tidak ada di sekitar rumah sakit." Pun, Satria tidak memaksa. Tetapi dengan terang-terangan dia berkata, "Sebenarnya kini bisa memiliki hubungan lebih dari ini. Kita bisa menjadi pasangan walaupun mungkin mustahil menuju ke pernikahan selama saya masih sama Abel.""Tidak. Jangan pernah berpikir selingkuh dari Abel." Naura bukan sedang mengingatkan Satria, tetapi dia sedang menahan keinginannya bersama Satria saat dia gagal menahan perasaannya. "Tidak apa, itu bukan masalah. Kita menikah karena dipaksa, bukan karena keinginan masing-masing." Satria mencoba meyakinkan Naura supaya mereka bisa menjalin hubungan khusus. Pacaran."Tapi Abel tidak selingkuh, dia setia sama kamu. Seharusnya kamu menjaga kesetiaan serta kepercayaan Abel." Sekali lagi, bukan maksud Naura mengingatkan Satria. "Saya tidak tahu kelakuannya di belakang. Lagian walaupun kelihatannya salihah, Isab
Satu jam kemudian, keluarga Naura berpamitan. Lalu, pada saat jam kerja Isabella berakhir, Mia menyuruh Satria mengantarkan Isabella ke rumah dan menyuruh mereka tetap di rumah. Satria tidak ingin melakukannya, tetapi di depan orangtuanya dia tetap mengiyakan. Namun, di halaman rumah sakit dia menyuruh Isabella naik bus. "Saya memang bisa naik bus, tapi saya tidak mau di rumah sendiri. Papa sama mama di rumah sakit, kamu di rumah ya, jangan pergi kemanapun ...," pintanya dengan suara lembut walaupun ada sendu di dalamnya. "Saya ada urusan." Suara dingin Satria. Saat ini Isabella sedikit menunjukan kesedihannya lewat raut wajah dan tatapan matanya. "Ya sudah ...." Tangan kanan Satria diraih untuk sun santun, kemudian melangkah meninggalkan halaman rumah sakit. Sesaat, Satria melihat Isabella yang berjalan sendiri, tetapi logikanya tetap mati maka dia tidak mempedulikan istrinya. Satria segera mengendarai motornya lalu melewati Isabella begitu saja. Jadi, Isabella hanya menatap sua
Isabella belajar di dalam kamarnya saat suasana rumah sangat sepi, tetapi pada pukul sebelas malam Satria kembali. Dia membuka pintu kamar dan segera tatapan matanya mencari Isabella. "Syukurlah kamu pulang ...." Senyuman manis Isabella yang masih duduk di depan meja belajar. Satria segera menjatuhkan tasnya di atas meja. "Bantu saya mengerjakan tugas." Dalam suaranyaterdapat desahan lelah. Pun, dia menjatuhkan tubuhnya tanpa semangat. "Masih banyak?" tanya Isabella yang menatap wajah lelah Satria. "Lumayan ...." "Kamu mau minum dulu? Biar saya bawakan," tawaran Isabella sebagaimana seorang istri pada suaminya. "Tidak usah." Satria segera mengeluarkan buku-bukunya. "Waktunya semakin meped, saya tidak mau dikeluarkan." Dia mendesah. ****Waktu satu minggu yang diberikan dosen telah habis, tapi Satria berhasil mengumpulkan tugas-tugasnya tepat waktu walaupun saat ini dia sempat mengejar dosen yang hendak meninggalkan kampus maka dia terengah. "Kalau bukan karena Naura, dari awal