Hana menganggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan suaminya, memang benar. Susi dan Berliana, harus belajar untuk bertanggung jawab. Mereka harus belajar dari kesalahan yang telah diperbuat. Daffin memeluk istrinya dan kemudian mencium pipinya. "Abang, terima kasih ya, Abang sudah mau bantu Hana, untuk membersihkan nama papa. Apa yang sudah dijual mereka, nggak mungkin bisa balik lagi. Tapi setidaknya nama baik papa bisa bersih lagi. Selama ini Hana berusaha untuk ikhlas, agar papa tenang di sana. Hana mencoba untuk mengikhlaskan harta peninggalan keluarga, yang sudah dijual mama Susi. Namun Hana tidak pernah bisa ikhlas, ketika papa di fitnah." Hana menangis. Betapa tidak berdaya, diri ini, ketika tidak bisa mempertahankan harta warisan yang menjadi peninggalan kedua orang tuanya. Betapa lemahnya dirinya di waktu itu, ketika mengetahui bahwa papanya difitnah, sedangkan ia tidak bisa melakukan apa-apa. "Iya sayang, Abang tidak akan pernah bisa diam begitu saja, dengan apa yang merek
Mita memandang Daffin dan juga Hana secara berganti-gantian. Wajahnya tampak sedang memperhatikan dengan seksama.Hana salah tingkah, ketika melihat cara Mama mertua memandangnya. Ditundukkannya kepala, guna menghindari tatapan mata dari mama mertuanya."Papa sama Mama mau ke Bandung. Kalian ingat ya, selama papa dan Mama pergi, jangan ada yang berantem." Surya memperingati anak serta menantunya."Iya pa," jawab Hana dan Daffin secara bersamaan."Istri kamu lagi hamil Fin, jadi kamu itu harus banyak mengalah sama istri kamu." Surya menasehati putranya."Nggak ada yang berantem pa, ini aja yang merajuk, main langsung pergi aja." Daffin melingkarkan tangannya di pinggang Hana. Pria itu tersenyum menatap wajah istrinya.Hana memandang Daffin dengan pipi gelembung dan bibir yang maju ke depan.Daffin tersenyum menatap wajah istrinya. "Lain kali nggak boleh langsung main pergi-pergi, harus tanya dulu permasalahannya." Ia tidak ingin kesalahpahaman seperti ini, terulang lagi. Dalam permas
"Apa Abang beneran nggak mau makan?" Hana bertanya ketika memasukkan seblak ke dalam mulutnya."Baru habis sarapan dek, mana mungkin bisa makan lagi." Daffin tersenyum memandang istrinya. "O, iya." Hana tersenyum dan meniup seblak di dalam sendok dan memasukkan ke dalam mulutnya."Abang aja yang suapi." Daffin mengambil sendok di tangan istrinya. Bila cara Hana makan seperti ini, bisa lama menunggu. Istrinya hanya memasukkan sebelak seujung sendok saja. Hana hanya diam ketika Daffin mengambil sendok di tangannya. Daffin meniup terlebih dahulu dan memasukkan sendok kedalam mulutnya, guna untuk memastikan bahwa makanan sudah dalam keadaan tidak begitu panas. Kini ia menyuapi istrinya seperti sedang menyuapi seorang bayi."Jorok, masa dimasukkan ke mulut Abang, dah itu baru masuk ke mulut Hana." Hana protes dan memasukkan sendok kedalam mulutnya."Kalau nggak dicicipi dulu, takutnya panas dek. Lidah adek bisa terbakar. Lagi pula, kita sudah terbiasa saling bertukar enzim. Jadi apan
"Bagaimana mungkin dia bisa tidur dengan nyenyak seperti ini." Daffin memandang istrinya, yang tertidur dengan damai, tanpa memiliki rasa bersalah terhadapnya. "Benar-benar pandai nyiksa ya dek." diusapnya kepala Hana dan kemudian mencium pipi. "Lihat ya sayang, nanti abang balas dendam." Daffin mengulum senyumnya. Pria itu kemudian mencium bibir istrinya dengan lembut dan kemudian melepaskannya."Enaknya tidur, sampai gak tahu di cium seperti ini." Senyum mengembang di bibirnya ketika istrinya, tidak bergerak sedikitpun saat di ciumnya.Ia kemudian berbaring di sebelah istrinya, tanpa melakukan apa-apa dan hanya menatap wajah cantik milik Hana. Semakin di pandang, semakin cantik dilihatnya. Daffin begitu sangat malas untuk melakukan apapun termasuk mengerjakan pekerjaannya. Saat ini, ia tidak bisa berkonsentrasi. Pada akhirnya Daffin memilih untuk berbaring saja. Setelah puas menatap wajah cantik istrinya, Daffin mengeluarkan ponsel dari dalam saku bajunya dan membuka kunci ponse
"Apa mau tambah?" Daffin tersenyum ketika memasukkan suapan terakhir ke dalam mulut istri nya."Sudah kenyang, Abang, Hana mandi dulu ya. Panas, gerah juga." Hana mengusap keringat di pelipis keningnya."Iya dek, Abang juga lagi nggak selera kalau baru selesai makan dan berkeringat seperti ini." Daffin tersenyum.Mulut Hana membulat. "Hana kirain mau langsung tancap gas.""Hahaha, yang sudah gak sabar. Mentang-mentang jablay beberapa hari." Dengan sengaja menggoda istrinya. Hana hanya diam dengan memajukan bibir bawahnya ke depan. "Perasaan dari tadi, dia yang mendesak-desak, sekarang malah ngetawain Hana," batinnya. Daffin tersenyum saat melihat wajah istrinya yang cemberut. "Beneran mandi ya bang, Hana nggak mau kalau main di kamar mandi.""Kenapa?" tanya Daffin."Perut Hana besar, kamar mandi sempit." Hana menjelaskan dengan kesal."Masa sih sempit, sebesar itu kamar mandinya." Hana mencubit pinggang suaminya hingga pria itu sedikit meringis. "geraknya susah.""Istri, Abang pan
Selama dua hari, Hana menghabiskan waktunya di dalam kamar bersama dengan Daffin. Pria itu tidak membiarkannya keluar dari kamar sama sekali."Abang Mama pulang nanti sore." "Iya." Daffin memeluk istrinya tanpa mau melepaskannya. "Abang, kenapa kita gak keluar-keluar dari kamar. Sudah 2 hari ini, kita cuma di kamar aja." Hana memandang wajah suaminya yang saat ini berbaring di sampingnya. Meskipun sudah tahu jawaban yang diberikan Daffin, namun tetap saja, ia bertanya. "Ini hukuman untuk istri yang pergi dari rumah tanpa meminta izin." Hanya kalimat ini yang selalu diucapkannya, setiap kali istrinya bertanya."Mana ada orang yang mau kabur minta izin." Hana memutar bola matanya. "Bila nanti mengulangi kesalahan yang sama seperti ini, Abang tidak mengurung dua hari saja. Namun 1 tahun, tidak boleh keluar dari kamar." Didalam kamar, mereka hanya menghabiskan waktunya, dengan menonton tv, makan dan tidur berdua seperti ini saja. Namun Daffin begitu sangat menikmatinya. Pria itu tah
Daffin duduk di atas tempat tidur. Agar posisinya nyaman, pria itu menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur. Dipandangnya layar ponsel yang saat ini ada di tangannya, kemudian melirik ke arah istrinya yang sedang sibuk berdandan di depan meja rias.Hana mengusap lipstik di bibirnya, kemudian memakai blush on di pipi dan juga maskara di bulu matanya. Sejak hamil, ia begitu sangat senang berdandan. Bahkan hampir setiap hari, kerjanya menonton tutorial make up di YouTube dan kemudian mempraktekkan sendiri, bagaimana cara bermake up."Apa belum siap, mommy?" Daffin memandang ke arah istrinya."Belum bentar lagi," jawab Hana yang tersenyum lebar. Bila istrinya berdandan, maka akan memakan waktu yang lama. Ia sangat mengetahui tentang hal itu."Halo." Daffin mengangkat telepon dari Fatan. Agar istrinya tidak memiliki rasa curiga, Daffin mengangkat sambungan telepon, tanpa pergi dari kamar."Halo pak Daffin," jawab Fathan."Iya ada apa?""Pak Daffin, anda pasti sudah mendengar berit
Daffin Memandang istrinya dan tersenyum. "Semoga papa dan mama, tenang di sana." Diusapnya punggung Hana."Amin, Hana selalu mendoakan mereka." Hana tersenyum."Anak yang pintar." Diciumnya bibir istrinya sekilas. Hana diam ketika melihat mobil yang semakin dekat dengan arah rumahnya. "Abang ini beneran jalan ke rumah Hana. Nanti berhenti sebentar ya di depan rumah Hana." Ia begitu sangat senang, bisa menunjukkan rumah yang pernah ditempatinya bersama dengan papa dan mamanya."Iya, nanti kasih tahu, Abang jadi penasaran." Daffin mengulum senyumnya. Istrinya begitu sangat polos, bahkan arah tujuan, yang di datangnya, sudah sangat jelas. Namun tetap saja tidak berfikir, bahwa tujuannya, ke rumah mendiang orang tuanya."Tapi kita berhenti di tepi jalan aja, kita gak bisa masuk ke dalam. Soalnya, rumah itu ada yang punya. Nanti, bila uang Hana cukup untuk beli, kita baru bisa masuk ke dalam rumah itu lagi. Hana sangat rindu dengan kamar papa. Kalau kamar Hana, setelah papa meninggal, di