Daffin duduk di atas tempat tidur. Agar posisinya nyaman, pria itu menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur. Dipandangnya layar ponsel yang saat ini ada di tangannya, kemudian melirik ke arah istrinya yang sedang sibuk berdandan di depan meja rias.Hana mengusap lipstik di bibirnya, kemudian memakai blush on di pipi dan juga maskara di bulu matanya. Sejak hamil, ia begitu sangat senang berdandan. Bahkan hampir setiap hari, kerjanya menonton tutorial make up di YouTube dan kemudian mempraktekkan sendiri, bagaimana cara bermake up."Apa belum siap, mommy?" Daffin memandang ke arah istrinya."Belum bentar lagi," jawab Hana yang tersenyum lebar. Bila istrinya berdandan, maka akan memakan waktu yang lama. Ia sangat mengetahui tentang hal itu."Halo." Daffin mengangkat telepon dari Fatan. Agar istrinya tidak memiliki rasa curiga, Daffin mengangkat sambungan telepon, tanpa pergi dari kamar."Halo pak Daffin," jawab Fathan."Iya ada apa?""Pak Daffin, anda pasti sudah mendengar berit
Daffin Memandang istrinya dan tersenyum. "Semoga papa dan mama, tenang di sana." Diusapnya punggung Hana."Amin, Hana selalu mendoakan mereka." Hana tersenyum."Anak yang pintar." Diciumnya bibir istrinya sekilas. Hana diam ketika melihat mobil yang semakin dekat dengan arah rumahnya. "Abang ini beneran jalan ke rumah Hana. Nanti berhenti sebentar ya di depan rumah Hana." Ia begitu sangat senang, bisa menunjukkan rumah yang pernah ditempatinya bersama dengan papa dan mamanya."Iya, nanti kasih tahu, Abang jadi penasaran." Daffin mengulum senyumnya. Istrinya begitu sangat polos, bahkan arah tujuan, yang di datangnya, sudah sangat jelas. Namun tetap saja tidak berfikir, bahwa tujuannya, ke rumah mendiang orang tuanya."Tapi kita berhenti di tepi jalan aja, kita gak bisa masuk ke dalam. Soalnya, rumah itu ada yang punya. Nanti, bila uang Hana cukup untuk beli, kita baru bisa masuk ke dalam rumah itu lagi. Hana sangat rindu dengan kamar papa. Kalau kamar Hana, setelah papa meninggal, di
"Kok diam aja, ayo kita lihat-lihat." Mita tersenyum.Hana tidak mampu meredam suara tangisnya ia menangis dan memeluk suaminya."Jangan nangis lagi." Daffin mengusap Air mata istrinya."Hana benar-benar nggak nyangka, kalau rumah ini bakal menjadi milik Hana lagi. Abang terima kasih Hana memegang tangan suaminya dan menciumnya.Daffin tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Iya sayang," jawabnya yang kemudian mencium kening istrinya. "Abang, terima kasih." Hana kembali berkata."Iya dek, maaf ya, Abang baru bisa dapat rumahnya sekarang.""Iya bang, gak apa." Hana memandang papa Surya. Ia menangis dan memeluk papa mertua. "Papa terima kasih." Dirinya begitu sangat beruntung memiliki papa mertua seperti surya yang memang benar-benar tulus menyayanginya."Iya nak, seandainya Daffin cerita sejak awal dengan papa, rumah ini sudah lama kita dapat." Surya mengusap kepala menantunya."Nggak apa-apa pak Hana sudah senang, akhirnya rumah ini bisa jadi rumah Hana lagi.""Iya nak, Alhamdulill
Daffin masuk ke dalam kamarnya. Pria itu tersenyum memandang istrinya yang sedang duduk di atas tempat tidur sambil memainkan ponsel di tangannya. Ia duduk di tepi tempat tidur.Karena diam memandang wajah suaminya."Lagi apa?" Sambil mengusap perut istrinya. Tatapan mata Hana, begitu sangat sulit untuk dibacanya. "Ada apa?" Tanyanya, dengan kening yang berkerut. Hana menatap Daffin tanpa berkata apa-apa. Ada rasa bersalah ketika melihat wajah suaminya. Sungguh tidak diduganya, suaminya begitu sangat kewalahan mencarinya. Ia baru mengetahui hal ini, setelah melakukan chat dengan Cinta dan juga Nara.Apa perutnya sakit Davin mengusap perut istrinya.Hana tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Malu sekali, untuk menanyakan tentang hal ini. Apalagi, ia sudah sempat berburuk sangka kepada suaminya. "Terus kenapa diam aja?" Daffin memegang susu di tangan sebelah kanannya. "Hana sangat senang, terima kasih ya bang.""Senang kenapa, terimakasih untuk apa?"Terima kasih untuk cinta Abang b
"Ini tempat tidur kami, kalian silakan tidur di bagian sana dan bagian sana." Mega menunjukkan sudut yang bisa diisi oleh Berliana dan juga Susi. Susi dan Berliana diam ketika melihat tempat yang ditunjukkan oleh napi yang sekamar dengannya. Di bagian sudut kiri di samping pintu besi dan sudut kanan di depan pintu kamar mandi. Tempat yang ditunjuk, hanya bisa untuk duduk saja, tanpa bisa merebahkan tubuh. "Ini masih bisa untuk dua orang lagi." Berliana memandang lantai yang kosong."Apa kau tidak melihat badan kami besar. Mana muat untuk tempat tidur kami. Kau penghuni baru di sini, jangan pernah mengatur kami." Ditariknya rambut Berliana dengan keras. Napi yang bernama Eva itu, dengan sengaja memberikan peringatan untuk Berliana, yang sejak tadi sudah membuatnya menahan emosi.Berliana sudah tidak berani lagi untuk berbicara. Ia begitu sangat takut dan pada akhirnya hanya menganggukkan kepala. "Aku berjanji, akan membalas dendam kepadamu."Susi dan Berliana tidak berani lagi berkat
Berliana dan Susi berada di dalam sel. Setidaknya di dalam tahanan ini mereka berdua dan mereka bisa bersama-sama dan saling melindungi, ketika ada napi yang ingin berniat jahat. Berliana duduk termenung. Selama berada di dalam tahanan, tidak pernah sekalipun Bian datang mengunjunginya. Ini sudah 1 Minggu, ia menikmati dinginnya lantai ketika malam.Pria itu juga tidak pernah mendatangkan pengacara yang dikirim untuk membantunya menyelesaikan permasalahan ini. Bian seperti hilang begitu saja. "Di mana teman kamu itu Berli?" tanya Susi.Berliana menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menghubungi dia ma. Mama tahu sendiri, kalau dia tidak pernah bisa dihubungi kecuali dia menghubungi aku." Berliana berkata dengan wajah sendu. Harapannya begitu besar terhadap Bian, yang selama ini menjadi pahlawannya."Apa dia benar-benar sudah tidak mau lagi membantu kita?" Susi bertanya dengan nada frustasi. Selama ini ia tahu, bahwa putrinya dibantu oleh seorang pria. Meskipun belum pernah bertem
Berliana menangis ketika mendengar ucapan mamanya. Kepalanya menggeleng, pertanda tidak setuju. "Aku tidak mungkin membiarkan Mama di sini." "Mama sudah tua, nak, berada di sini dan berakhir di sini pun tidak masalah bagi mama. Kamu masih muda, jalan hidup kamu masih panjang. Kamu harus bisa bangkit." Susi tersenyum dan mengusap air mata putri kesayangannya."Bagaimana mungkin aku bisa pergi dari sini ma? Aku tidak mungkin membiarkan Mama tinggal di sini sendiri?" Seperti apa kerasnya hidup di dalam penjara, sudah dirasakannya. Ia tidak mungkin, bisa membiarkan mamanya sendiri di sini dan menghadapi kekerasan itu sendiri. "Bila Berli di luar, Berli bisa berjuang untuk Mama di sini. Mama yakin, Berli nanti bisa lepaskan Mama dari sini." Susi mencoba menjelaskan kepada putrinya. Bila dikatakan bersalah, sudah Susi yang bersalah, karena menjual semua aset peninggalan suaminya termasuk harta yang ditinggalkan untuk anak tirinya. Susi tidak ingin Putri kesayangannya harus menanggung pe
"Permisi pak, ada pak raffasya yang ingin bertemu dengan anda," ucap sekretaris pribadi Daffin."Suruh saja masuk jawab Davin sebenarnya dirinya begitu sangat malas menerima tamu namun karena yang datang sahabatnya mau tidak mau Davin menerimanya."Sibuk rafasa memandang Daffin yang duduk di depannya."Aku nggak punya waktu untuk jalan-jalan," sindir Daffin. Dipandangnya wajah sahabatnya sekilas dan kemudian kembali fokus dengan pekerjaannya.Raffasya ketawa saat mendengar ucapan sahabatnya. Di perusahaan aku, ada papa, jadi masih bisa santai lah," balasnya. Sampai saat ini, ia masih menjabat sebagai wakil direktur, karena papanya belum mempercayainya untuk menjadi direktur utama di perusahaan keluarganya.Daffin yang mendengar ucapan sahabatnya hanya menganggukkan kepala saja dan fokus dengan layar laptopnya."Semenjak menikah, kamu sudah sangat sulit untuk diajak keluar, untuk ngopi bareng.""Lebih mending aku di rumah sama istri aku, minum kopi berdua. Daripada minum kopi bareng