"Ini tempat tidur kami, kalian silakan tidur di bagian sana dan bagian sana." Mega menunjukkan sudut yang bisa diisi oleh Berliana dan juga Susi. Susi dan Berliana diam ketika melihat tempat yang ditunjukkan oleh napi yang sekamar dengannya. Di bagian sudut kiri di samping pintu besi dan sudut kanan di depan pintu kamar mandi. Tempat yang ditunjuk, hanya bisa untuk duduk saja, tanpa bisa merebahkan tubuh. "Ini masih bisa untuk dua orang lagi." Berliana memandang lantai yang kosong."Apa kau tidak melihat badan kami besar. Mana muat untuk tempat tidur kami. Kau penghuni baru di sini, jangan pernah mengatur kami." Ditariknya rambut Berliana dengan keras. Napi yang bernama Eva itu, dengan sengaja memberikan peringatan untuk Berliana, yang sejak tadi sudah membuatnya menahan emosi.Berliana sudah tidak berani lagi untuk berbicara. Ia begitu sangat takut dan pada akhirnya hanya menganggukkan kepala. "Aku berjanji, akan membalas dendam kepadamu."Susi dan Berliana tidak berani lagi berkat
Berliana dan Susi berada di dalam sel. Setidaknya di dalam tahanan ini mereka berdua dan mereka bisa bersama-sama dan saling melindungi, ketika ada napi yang ingin berniat jahat. Berliana duduk termenung. Selama berada di dalam tahanan, tidak pernah sekalipun Bian datang mengunjunginya. Ini sudah 1 Minggu, ia menikmati dinginnya lantai ketika malam.Pria itu juga tidak pernah mendatangkan pengacara yang dikirim untuk membantunya menyelesaikan permasalahan ini. Bian seperti hilang begitu saja. "Di mana teman kamu itu Berli?" tanya Susi.Berliana menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menghubungi dia ma. Mama tahu sendiri, kalau dia tidak pernah bisa dihubungi kecuali dia menghubungi aku." Berliana berkata dengan wajah sendu. Harapannya begitu besar terhadap Bian, yang selama ini menjadi pahlawannya."Apa dia benar-benar sudah tidak mau lagi membantu kita?" Susi bertanya dengan nada frustasi. Selama ini ia tahu, bahwa putrinya dibantu oleh seorang pria. Meskipun belum pernah bertem
Berliana menangis ketika mendengar ucapan mamanya. Kepalanya menggeleng, pertanda tidak setuju. "Aku tidak mungkin membiarkan Mama di sini." "Mama sudah tua, nak, berada di sini dan berakhir di sini pun tidak masalah bagi mama. Kamu masih muda, jalan hidup kamu masih panjang. Kamu harus bisa bangkit." Susi tersenyum dan mengusap air mata putri kesayangannya."Bagaimana mungkin aku bisa pergi dari sini ma? Aku tidak mungkin membiarkan Mama tinggal di sini sendiri?" Seperti apa kerasnya hidup di dalam penjara, sudah dirasakannya. Ia tidak mungkin, bisa membiarkan mamanya sendiri di sini dan menghadapi kekerasan itu sendiri. "Bila Berli di luar, Berli bisa berjuang untuk Mama di sini. Mama yakin, Berli nanti bisa lepaskan Mama dari sini." Susi mencoba menjelaskan kepada putrinya. Bila dikatakan bersalah, sudah Susi yang bersalah, karena menjual semua aset peninggalan suaminya termasuk harta yang ditinggalkan untuk anak tirinya. Susi tidak ingin Putri kesayangannya harus menanggung pe
"Permisi pak, ada pak raffasya yang ingin bertemu dengan anda," ucap sekretaris pribadi Daffin."Suruh saja masuk jawab Davin sebenarnya dirinya begitu sangat malas menerima tamu namun karena yang datang sahabatnya mau tidak mau Davin menerimanya."Sibuk rafasa memandang Daffin yang duduk di depannya."Aku nggak punya waktu untuk jalan-jalan," sindir Daffin. Dipandangnya wajah sahabatnya sekilas dan kemudian kembali fokus dengan pekerjaannya.Raffasya ketawa saat mendengar ucapan sahabatnya. Di perusahaan aku, ada papa, jadi masih bisa santai lah," balasnya. Sampai saat ini, ia masih menjabat sebagai wakil direktur, karena papanya belum mempercayainya untuk menjadi direktur utama di perusahaan keluarganya.Daffin yang mendengar ucapan sahabatnya hanya menganggukkan kepala saja dan fokus dengan layar laptopnya."Semenjak menikah, kamu sudah sangat sulit untuk diajak keluar, untuk ngopi bareng.""Lebih mending aku di rumah sama istri aku, minum kopi berdua. Daripada minum kopi bareng
"Saya ingin anda menambah tuntutan atas pencemaran nama baik. Saya tidak terima dengan apa yang dikatakan Berliana, di publik. Dia mengatakan bahwa saya melakukan ini karena, saya sakit hati dan marah kepadanya. Saya juga tidak terima, dia mengatakan saya yang sudah memfitnahnya atas perbuatan yang tidak dilakukannya. "Kita bisa menjeratnya dengan tuntutan pencemaran nama baik, karena memang apa yang dikatakannya bisa kita tuntut. Saya akan menambahkan lagi tuntutan untuk Berliana." Effendi mengetahui tentang apa yang sudah disampaikan Berliana di publis, sehingga dia berani mengatakan bahwa Berlian yang sudah mencemarkan nama baik kliennya. Sebelum Daffin meminta, Effendi sebenarnya ingin menawarkan. "Minggu depan, saya ingin melakukan klarifikasi dengan para wartawan. Saya ingin pak Effendi ikut serta mendampingi saya. Saya ingin pak Effendi memberikan bukti-bukti atas tuduhan yang kita lakukan. Saya tidak ingin ada orang yang beranggapan, bahwa apa yang saya lakukan, karena sak
Daffin berserta mamanya, sudah berada di dalam ruangan praktek dokter Lusi. Pria itu tersenyum memandang istrinya yang sudah berbaring di atas tempat tidur."Semoga kelihatan dua-duanya, ya pak Daffin." Dokter Lusi tersenyum"Iya dok, ngarep sekali." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya. Pria itu tidak mempermasalahkan bayinya nanti perempuan atau laki-laki. Namun tetap saja, ia berharap mendapat sepasang bayi kembar. "Apa sudah beli baju bayi?" tanya dokter Lusi yang mulai menggerakkan alat di atas perut Hana."Belum dok, maminya belum mau beli. Katanya takut nanti salah beli. Soalnya belum tahu, ini cewek dan cowok, cowok ke duanya, atau cewek keduanya." Daffin menjelaskan seperti apa yang dikatakan istrinya. Hana tersenyum ketika mendengar apa yang dijelaskan oleh suaminya."Oma Mita mau cewek atau cowok, tapi kalau kembar gini kebanyakan ngarep sepasang ya." Dokter Lusi tersenyum memandang Anita. Sejak awal Hana datang periksa kandungan dengannya, ada hal yang unik me
"Semoga aja teman kamu datang ke sini untuk membantu kita dan memberikan kita seorang pengacara." Susi berkata penuh harap."Ya ma, aku yakin yang datang pasti teman aku." Berlian berkata dengan yakin. Wajah terlihat begitu sangat senang. sudah hampir 1 bulan berada di sini, akhirnya ada juga yang datang mengunjunginya. Ibu dan anak itu berjalan dengan penuh semangat menuju ke ruang kunjungan.Berliana memandang ke dalam ruang kunjungan setelah memasuki ruangan tersebut. Dilihatnya, hanya ada satu pengunjung. Seorang pria yang memakai kemeja berwarna biru pekat.Senyum di wajahnya hilang seketika ketika dilihatnya, orang yang begitu sangat tidak diinginkannya. "Selamat pagi ibu Berliana, ibu Susi." Pria itu berdiri dan menjulurkan tangannya.Berliana hanya diam tanpa menyambut tangan pria yang berdiri di depannya. Begitu juga dengan Susi yang tidak menyambut tangan pria tersebut. Raut wajah ibu dan anak itu terlihat sangat kecewa."Kedatangan saya ke sini ingin membicarakan beberapa
Ketiga gadis itu kemudian masuk ke dalam rumah. "Apa sudah kelihatan calon keponakan kami." Nara bertanya ketika mendaratkan tubuhnya di sofa berwarna putih yang berukuran besar."Baru satu yang kelihatan, yang satu lagi enggak," jelas Hana. Wajahnya tersenyum penuh bahagia, ketika bercerita tentang calon bayinya."Yang kelihatan apa?" tanya Nara. Obrolannya terhenti sejenak, ketika mendengar suara dering di ponselnya. "Angkat dulu deh, nanti aku cerita." Hana memandang temannya. Matanya melirik ke layar ponsel milik Nara, namun dengan cepat, si pemilik ponsel, menutup layar ponselnya. "Dasar pelit, sok rahasia."Nara tersenyum nyengir dan kemudian mengangkat sambungan telepon tersebut. "Iya halo, bang," jawabnya."Kamu lagi di mana?""Di rumah Hana." Wajah Nara tersenyum ketika berbicara dengan pria di sebrang sana."Jam berapa, pulang dari rumah ibu Hana?""Rencananya di sininya sampai sore.""Kalau gitu nanti pulangnya, Abang yang jemput.""Beneran nanti ke sini?" Nara bertanya de
Hana hanya diam saat kalung indah itu melingkar di lehernya. "Abang, beneran ini?" Tanyanya yang masih tidak percaya. "Iya sayang, nanti kasih Abang bonus ya." Daffin tersenyum dan mengangkat 3 jarinya.Mata Hana terbuka lebar saat melihat tiga jari suaminya. "Maksudnya 3 ronde?" Wanita cantik itu bertanya dengan wajah serius."Iya dong sayang," jawab Daffin.Hana diam dan menelan air ludahnya. Namun wanita itu tidak mampu untuk menolak, berhubungan apa yang diberikan Daffin tidak sebanding dengan apa yang dia inginkan. "Jangankan 3, 10 aja Hana layani bang," kata Hana dengan candaan.Namun berbeda dengan tanggapan yang diberikan Daffin. Pria itu ternyata mengganggap apa yang dikatakan istrinya serius. "Kalau gitu sampai pagi ya sayang." Dengan sangat genit Daffin mengedipkan matanya.Hana diam dan menelan air ludahnya. Mengapa dia berkata seperti itu sehingga Daffin salah mengartikan. "Emang sanggup?" Dengan bodohnya Hana bertanya dan terkesan menantang sang suami. "Ya jelas sanggu
Hana begitu sangat menikmati liburnya di kota Dewata Bali. Sesuai dengan apa yang di katakan Daffin, ini merupakan perjalanan bulan madu pertama mereka setelah menikah. Ia memiliki waktu berdua dengan sang suami. Sedangkan kedua anaknya diasuh nenek, kakek dan baby sitter nya. Mama mertuanya benar-benar memberikannya waktu untuk berbulan madu. Hana tersenyum malu-malu ketika melihat Daffin menatapnya. "Kalau ada si kembar pasti lebih asik," ucapnya untuk menghilangkan rasa canggung. Meskipun sekarang mereka sudah memiliki dua bayi kembar, namun tetap saja Hana merasa canggung jika Daffin menatapnya tanpa berkedip."I love you," jawab Daffin dengan menyelisikan jari telunjuk dan jempolnya.Hana tertawa ketika melihat tingkah suaminya. "Lain yang dibilangin lain yang dijawab," ucapnya yang tersenyum malu."Emangnya tadi bilangin apa?" tanya Daffin yang mengulum senyumnya."Andaikan ada si kembar disini, pasti asik." Hana kembali mengulang ucapannya."Mana boleh si kembar datang kesini.
Udara yang tadi terasa dingin kini sudah berangsur menghangat dan matahari sudah mulai mengeluarkan panas paginya yang menyehatkan.Hana masih sangat nyaman dengan duduk di tepi pantai bersama bersama dengan Daffin. Dengan sangat manja menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Sayang, Abang mau ke kamar, ambil si kembar. Kalau nunggu bangun, takutnya nanti terlalu siang dan keburu panas." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."He... He.... Tahu aja kalau Hana lagi malas berdiri," ucapnya dengan tersenyum. Sejak tadi ia begitu malas untuk beranjak dari duduknya. Duduk di tepi pantai, melihat air omba yang saling berkejaran, membuat hatinya tenang. Dalam waktu sebentar saja permasalahan yang selama ini menghimpit dadanya berangsur-angsur terlupakan."Mami si kembar malasnya level tinggi." Daffin tersenyum dan beranjak dari duduknya. Panas pagi seperti ini sangat dibutuhkan oleh kedua anaknya, karena itu mereka sudah berniat untuk menjemur si kembar setiap pagi, selama berad
Udara pagi terasa sangat segar ketika masuk ke lubang hidung dan mengisi paru-parunya. Hana berulang kali menarik napas yang panjang dan menghembuskan secara berlahan-lahan. Pagi ini dia menikmati segarnya udara pagi di tepi pantai. Matahari yang mulai terbit, menambah indahnya suasana pagi ini.Daffin menggenggam tangan istrinya. Pria berwajah tampan itu tersenyum ketika melihat rona bahagia yang terpancar di wajah ibu dua anak tersebut. "Nanti kalau si kembar sudah bangun pasti dia senang ya lihat pantai." Hana tersenyum. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kiandra dan juga Keyzia saat melihat keindahan pantai seperti sekarang. "Pasti minta masuk ke dalam air." Daffin tertawa. Baru saja membayangkan saja sudah membuat ia gemas sendiri. Si kembar sudah sangat pintar bermain. Apalagi jika diajak bermain air. Biasanya bayi kembar itu tidak akan mau keluar dari dalam air dan mami mereka akan kesulitan ketika membujuk kedua bayi kembarnya agar mau berhenti berendam. Daffin bis
Berliana mendongakkan kepalanya ke atas dan memandang langit yang sudah semakin gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan kembali turun. Angin yang berhembus kencang, membuatnya sedikit takut. "Mama, tenanglah di sini. Mau seperti apapun mama, aku akan tetap selalu menyayangi mama. Mama, aku pamit pulang, Aku juga akan pergi meninggalkan Indonesia, dalam waktu 3 bulan ini. Jadi mungkin aku tidak datang ke sini untuk melihat mama. Tapi aku janji, aku akan langsung ke sini, setelah aku kembali dari Korea. Aku akan menuruti semua yang mama katakan. Aku juga sudah mendapatkan identitas baru. Aku sudah tidak menjadi Berliana lagi." Diusapnya air mata yang mengalir deras. Semua kisah hidupnya, semua cerita indah tentang kebersamaannya dengan sang mama, akan disimpan di dalam memori ingatannya. Berliana sudah mendapatkan kabar dari pria yang membantunya membuat identitas baru. Pria itu mengabarkan bahwa identitas barunya sudah selesai. Itu artinya, ia sudah bisa pergi meninggalkan Indonesia.
"Selamat tidur anak ganteng mami." Hana tersenyum dan mencium pipi bulat Keandra kiri dan kanan. Ia juga mencium bibir kecil bayi laki-laki tersebut.Selamat tidur sayang mami yang cantik jelita." Hana tersenyum dan mencium pipi kiri dan kanan, bayi cantiknya. Di mata ibu dua anak itu, anak-anaknya makhluk yang paling sempurna. Keandra yang terlihat begitu tampan dan Keyzia yang tampak begitu sangat cantik. "Kenapa ya, kalau cium adek nggak pernah ada puasnya. Mami ngerasa selalu aja kurang." Hana tersenyum sambil menatap wajah cantik putrinya. Meskipun kedua anaknya sudah tidur, namun Hana tetap saja berbicara, seakan kedua bayi itu mendengar apa yang dikatakannya. Ia kembali mencium kening dan juga puncak kepala bayi yang berambut tebal tersebut. "Abang Kean, jangan nakal ya sama adek. Jangan digigit kuping, jangan disedot hidung dan juga pipi adek ya." Hana tersenyum memandang Keandra. Sebenarnya ia ingin memisahkan tempat tidur kedua bayi itu, namun jika tidur ditempat tidur ter
Bian tersenyum penuh kepuasan ketika melihat hasil persidangan Susi. "Manusia iblis," ejeknya. Selama beberapa minggu ini pria itu selalu mengikuti perkembangan kasus Susi. Dan hari ini dia begitu sangat bahagia karena mendengar keputusan hakim. Wanita itu membayar perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Diambilnya telpon genggam yang terletak di atas meja. Ia langsung menghubungi nomor ponsel yang tersimpan di kontak telepon. Nomor ponsel yang selalu akan disimpannya. Suara panggilan telepon yang dilakukannya baru di angkat di panggil yang sudah ketiga kalinya. Biasanya Bian akan marah jika panggilan telepon yang dilaksanakannya diabaikan begitu saja. Namun saat ini, ia tidak marah, mungkin karena suasana hatinya yang sangat senang. "Halo." Suara serak yang menjawab telpon darinya, menandakan si penjawab telpon sedang menangis. "Pantas saja kamu bisa seperti ini Berliana, ternyata kamu keturunan iblis, betul nggak sih." Senyum penuh kemenangan terukir di wajah tampannya.Berliana
"Hana mau dengar semuanya ma." Hana memandang punggung Susi yang membelakanginya.Saya juga pernah merencanakan agar para preman melakukan perbuatan asusila kepada Hana. Setelah mereka puas dengan tubuhnya saya meminta agar menghabisi nyawanya. Karena apa Saya ingin terkesan seperti korban kejahatan preman yang mabuk. Namun nyatanya Hana tidak pulang ke rumah karena dia menginap di rumah teman sekolahnya. Dan hal itu sudah saya lakukan berulang kali. Namun selalu saja gagal dan pada akhirnya saya membatalkan rencana tersebut.Hana memegang dada yang terasa begitu sangat sakit dan sesak. Tidak terbayang olehnya ternyata wanita yang dinikahi ayahnya memang benar-benar iblis."Saya bahkan tidak pernah menyesal karena menghilangkan nyawa suami saya yang kebetulan bodoh itu. Karena jujur, saya tidak pernah mencintainya. Saya menikah dengan dia, hanya untuk mendapatkan harta dan uangnya. Dan semua itu karena dia yang terlalu bodoh dan terlalu berharap lebih kepada saya. Karena nyatanya, say
"Mama Berliana berlari dan memeluk Susi dengan erat. Air mata kesedihan tidak bisa di tutupinya. Susi tersenyum dan mengusap punggung putrinya. Senyum yang ditunjukkan sebagai bukti bahwa dirinya baik-baik saja. "Mama baik-baik aja nak.""Mama aku sungguh tidak sanggup." Berliana berkata di tengah isak tangisnya. Menyaksikan persidangan sang mama, sungguh membuat tubuhnya lemas dan tidak sanggup untuk menerima kenyataan pahit atas hukuman yang akan diterima oleh wanita yang sudah melahirkannya. Namun yang lebih membuat hatinya terasa sakit dan juga perih, ketika tidak bisa membela mamanya sama sekali. Ribuan kata makian untuk menghakimi perbuatan Susi. Mereka terlalu pandai untuk menilai dan menghakimi kesalahan yang orang lain lakukan. Ingin rasanya Berliana marah dan menangkis semua perkataan orang-orang itu. Namun apa yang dikatakan mereka benar. Semua fakta tidak bisa di pungkiri. Pada akhirnya dia berusaha untuk tuli dan tidak mendengarkan. Meskipun kenyataannya, apa yang dikat