"Ah ...!"
Sebelah tangan Raya tertahan di depan pintu. Wanita berambut sebahu itu tak jadi mengetuk pintu. Jauh-jauh dari kampung ke kostan suaminya yang ada di Jakarta karena ingin memberi kejutan. Tapi, telinganya tiba-tiba mendengar suara desahan wanita dari dalam kamar kostan suaminya. Ia mengusap perutnya yang buncit. Kehamilannya sudah menginjak usia ke delapan bulan. Namun sudah hampir tiga bulan sang suami tidak pulang, maka dari itu ia ingin memberi kejutan. Tapi... "Hnggh ..." Malah suara desahan wanita yang menyambut kedatangannya dari dalam kamar kostan. Suara siapa itu? Mengapa ada di dalam kamar Raihan? Dada Raya seketika berdebar lemas. Tangannya gemetar. Tapi ia berusaha mengatur napas kemudian menenangkan diri. Bisa saja kamar kostan telah berubah pemiliknya, bukan lagi Raihan. Tok tok tok!!! Dengan cepat Raya mengetuk pintu di depannya, meski tangannya masih bergetar lesu. "Siapa?" Raya bisa memastikan suara bariton yang bertanya dari dalam kamar kostan, adalah suara Raihan—suaminya. Ia membeku dalam beberapa detik. "Buka!" Raya langsung memutar handle pintu, namun sepertinya dikunci. "Sebentar!" Suara Raihan terdengar jelas menyahut. Ceklek! Pintu kamar terbuka. Keluarlah Raihan—suami Raya dari dalam sana. Pria itu terkejut melihat Raya sudah berdiri di depan kamar kostannya. Seandainya ia tahu kalau yang datang ternyata Raya, tentu Raihan tak akan membuka pintu. "Raya!" Raihan terbelalak. Air mata Raya seketika merembes di pipi. Ia menutup mulut karena terkejut. Bagaimana tidak kecewa, ia melihat dengan jelas sang suami membuka pintu dalam keadaan bertelanjang dada. "Siapa, Sayang?" Suara wanita bahkan turut menyahut dari dalam. Apa suami Raya telah berselingkuh? Ah tidak mungkin, sulit bagi Raya untuk bisa percaya ini. Saat ini Raya tengah mengandung anak Raihan. Anak yang sudah dua tahun dinantikan. Raihan pun selalu mengirim uang yang banyak untuk biaya sehari-hari Raya di kampung meskipun uang itu dipegang sang mertua. Tapi, siang ini bagaikan petir yang menyambar tubuh Raya. Raya masih terdiam karena shock. Napasnya lagi-lagi sesak, bagaikan kekurangan oksigen. "Ayolah, Sayang. Cepetan! Kita belum selesai." Suara wanita dari dalam kamar kembali memanggil Raihan. Raihan segera menutup pintu. Belum sempat pintunya dikunci, dengan cepat Raya menendang pintu itu. Brugh! Entah kekuatan dari mana, Raya menendang pintu kamar kostan Raihan hingga terbuka lebar. Wanita berusia 24 tahun itu berdiri diambang pintu, menyaksikan Raihan dengan seorang wanita tanpa busana menatapnya terkejut. Raihan terkesiap. Ia gagal menyembunyikan wanita paruh baya itu dari pandangan Raya "Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" Raya bertanya dengan bibir gemetar. Padahal lututnya terasa lemas, tapi ia berusaha menguatkan diri untuk berdiri. "Siapa itu, Sayang?" Wanita di atas ranjang Raihan bertanya seraya memungut pakaiannya yang berserakan di atas lantai. Wanita itu bahkan terlihat jauh lebih tua dari Raihan, terlihat bagaikan ibu-ibu. "Hmmm anu..." Raihan terlihat gugup. Ia menggaruk kepala yang dipastikan tidak gatal. "Lain kali tolong jangan ceroboh, Raihan!" Wanita paruh baya itu terlihat kecewa karena permainan yang belum tuntas. Setelah selesai dengan pakaiannya, ia langsung pergi meninggalkan kamar Raihan dengan langkah yang tergesa-gesa. Wanita itu bahkan tak perduli dengan Raya yang berderai air mata. Wanita itu pergi tanpa merasa berdosa. "Raya, kamu ngapain ke sini?" Raihan mendekati Raya. Ingin meraih tangan Raya, namun sayang dihempaskan. "Aku ke sini ingin memberi kejutan padamu yang sudah tiga bulan tidak pulang, tapi ternyata malah aku yang terkejut dengan kelakuanmu, Mas." Raya memeras air matanya. Dadanya semakin bergetar lemas. "A-aku bisa jelaskan." Raihan kembali meraih tangan Raya. "Tidak perlu, Mas. Aku sudah menyimpulkan." Kepala Raya tiba-tiba pusing. Ia berbalik tubuh ingin segera pergi. "Lebih baik aku kembali pulang." Dengan cepat Raihan menahannya. "Tunggu, Raya!" "Sudah, Mas! Aku kecewa sama kamu." Air mata Raya kembali menganak sungai di pipinya. Sakit hatinya memergoki sang suami di dalam kamar bersama wanita yang sudah berumur. Setelah mengusap pipinya yang basah, Raya langsung pergi dengan langkah pelan. Ia tak bisa jalan terburu-buru karena perutnya yang buncit pun turut terasa sakit. "Ah sial!" Raihan terlihat menyesal. Namun Raya sudah berlalu dari kamar kostan yang siang itu telah memberi kejutan pahit padanya. Ketika di dalam gerbong kereta menuju rumahnya, tangisan Raya kembali pecah tatkala mengingat penghianatan sang suami. Hingga tiba-tiba ia merasakan sesuatu pada perutnya. "Aww..." Raya mengusap perut bagian bawahnya. Ia merasakan perutnya menjadi tidak baik-baik saja. "Kenapa, Dek?" Seseorang bertanya pada Raya. Nampak khawatir. Padahal tidak kenal. "Tidak apa-apa, Bu," jawab Raya berusaha ramah, walau tengah menahan sakit pada perutnya. Raya pikir ini pasti hanya kontraksi palsu. Ia pernah mengalami hal ini sebelumnya. Akibat rasa sakit pada hatinya yang begitu dahsyat, Raya sampai mengabaikan rasa sakit pada perutnya yang kian bertambah parah. Hingga sampai di stasiun Bogor, langkah kaki Raya sudah lemah, keringat dingin nampak sudah membanjiri tubuhnya. Pandangannya tiba-tiba pudar akibat terlalu lama menangis di sepanjang perjalanan Jakarta menuju Bogor. Hingga Raya tak melihat anak tangga di depannya. Kaki Raya tersandung anak tangga hingga tubuhnya luruh di atas peron. Setelah itu, pandangannya gelap. Raya tak bisa melihat apa-apa. "Tolong! Wanita ini berdarah!" Hanya bisa mendengar suara wanita berteriak. Tubuhnya terasa dibopong seseorang. 'kenapa denganku?' batinnya. "Ya Tuhan, wanita hamil ini mengeluarkan darah?" Wanita yang turut menolong Raya terlihat kaget. Beruntung ada orang baik yang turut menolong Raya. Orang baik itu langsung membawa Raya menuju salah satu rumah sakit terdekat dari stasiun Bogor. Sesampainya di rumah sakit, beberapa petugas medis berseragam serba putih langsung melakukan pertolongan pertama. "Wanita ini akan segera melahirkan. Tapi kondisinya lemah. Apakah ada pihak keluarga yang bisa dihubungi?" Salah satu petugas medis bertanya pada wanita yang menolong Raya siang itu. "Saya tidak tahu, Sus. Saya hanya kebetulan sedang bersama wanita itu di stasiun Bogor." Petugas medis kemudian merogoh tas selempang milik Raya. Ditemukannya ponsel milik Raya di dalamnya. Namun sayang, ponsel Raya memakai password. Petugas medis kesulitan untuk membuka ponselnya. Di waktu yang bersamaan pula, ponsel Raya kebetulan berdering. Panggilan masuk datang dari kontak atas nama "Mama." Dengan cepat petugas medis menjawab sambungan telepon itu dengan tujuan mencari informasi. "Raya, kamu di mana? Kenapa jadi menantu sulit sekali diatur sih! Sudah Mama bilang, diam di rumah, jangan kemana-mana! Wanita hamil malah keluyuran. Dasar tidak punya otak!" cerocos suara wanita dari dalam telepon. Nadanya terdengar sedang marah di telinga petugas medis.Petugas medis sempat kebingungan. Namun ia segera menjelaskan, "Maaf, Bu. Pemilik handphone ini akan segera melahirkan. Sekiranya Ibu adalah pihak keluarga pasien, saya harap untuk segera datang ke rumah sakit.""Apa!" Suara dari balik telepon terdengar kaget. "Jadi Raya akan melahirkan?""Iya, Bu. Keadaan pasien sangat lemah." Perawat kembali menerangkan."Haduh, merepotkan saja jadi menantu!"Sambungan telepon langsung berakhir. Perawat di dekat Raya tampak menggelengkan kepala. Kok ada orang tua seperti itu? Menantu mau melahirkan malah dibilang merepotkan.Setelah sekitar satu jam tak sadarkan diri, kelopak mata Raya yang sembab perlahan mulai terbuka. Wanita berkulit putih itu mulai sadar dari pingsan."Dimana ini?" Raya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Sebelah tangannya langsung mengusap perutnya yang semakin terasa mules."Syukurlah Ibu telah sadar. Nama Ibu siapa?" Perawat langsung bertanya."Ra-Raya.""Baik, Ibu Raya. Bisa minta kartu identitas penduduk? Ibu akan
Mendengar itu, jantung Raya seakan berhenti berdegup. Napasnya bagai tersengal di tenggorokan."Apa maksud Mama?" tanya Raya pada Wati yang memasang wajah murka padanya."Bayimu meninggal, Bodoh!" Raya terkejut. Sebelah tangan nampak menutup mulut yang sendiri menganga. Air matanya kembali luruh di pipi. Isi hatinya benar-benar hancur porak poranda. "Tidak...." Wati pun mendekat pada Raya, bukan untuk menenangkan sang menantu, melainkan malah mendorong kepala Raya dengan jemari tangannya. "Ini semua gara-gara kamu!" geramnya.Bagaimana mungkin ini gara-gara Raya, sedang ia tak pernah tahu kondisi kehamilannya selama ini. Wati adalah mertua yang so tahu, tak pernah membiarkan Raya memeriksa kandungan ke Dokter atau Bidan. Dunia Raya seketika hancur, dadanya semakin sakit. Mendengar bayinya meninggal terasa lebih menyakitkan dari pada memergoki suaminya selingkuh. Kepala Raya tiba-tiba pusing, pandangannya gelap hingga ia kembali tak sadarkan diri."Baguslah kamu pingsan Raya! Menant
Aditya nampak menyeringai. Ia kemudian langsung masuk ke ruangan tempat bayinya berada. Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang terbendung. Pria itu nampak terharu."Permisi, Pak. Atas izin dari neneknya, bayi Pak Adit sudah mendapatkan ASI." Perawat yang berjaga di ruangan bayi langsung mendekati Aditya."Lalu, apakah ada perkembangan bagus pada bayi saya?" tanya Aditya nampak antusias."Tentu saja, Pak. Kondisi bayi Pak Adit berangsur baik. Apalagi jika terus menerus mendapatkan ASI secara maksimal."Sejenak Aditya terdiam. Ia menatap wajah bayinya yang memang sedikit lincah dari biasanya. Tangan dan kaki sang bayi yang keriput kini bergerak-gerak lincah, membuat Aditya merasa lega. Ia kemudian mengembalikan pandangan pada perawat di sampingnya."Dimana pemilik pendonor ASI itu? Saya ingin bertemu," tanya Aditya tak mau menunda waktu."Ibu Raya sudah keluar dari rumah sakit sejak siang tadi, Pak."Napas Aditya seketika lesu. "Apakah Anda bisa membantu saya? Saya ingin tahu ala
Bukan hanya Wati, Winda pun nampak tercengang. Kebetulan mereka memang tengah membutuhkan uang yang banyak untuk membayar hutang-hutang Winda."Minta tolong apa?" Wati kembali bertanya."Saya membutuhkan ASI yang banyak untuk pemulihan bayi saya." Aditya menjawab. Pandangannya kemudian beralih pada Winda yang ia sangka adalah Raya. "Jika Raya bersedia mendonorkan ASI-nya, saya bersedia membayar berapa pun nominal yang Raya minta. Asalkan bayi saya mendapat ASI yang cukup sampai berat badannya maksimal."Mendengar penjelasan Aditya, Wati dan Winda nampak menganga karena tercengang. Sepertinya ini adalah kesempatan bagus bagi mereka."Sebentar, Pak."Wati langsung menarik tangan Winda untuk masuk ke dalam kamar Winda. Tentu karena Wati ingin berbicara serius dengan putrinya itu.Di dalam kamar Winda, wajah Wati nampak masih terkejut. Isi kepalanya berseliweran tumpukan uang kertas berwarna merah."Dengarkan Mama, Winda. Kita akan kembali ke depan menemui pria yang bernama Aditya barusan
Bukan hanya Wati, Winda pun nampak tercengang. Kebetulan mereka memang tengah membutuhkan uang yang banyak untuk membayar hutang-hutang Winda."Minta tolong apa?" Wati kembali bertanya."Saya membutuhkan ASI yang banyak untuk pemulihan bayi saya." Aditya menjawab. Pandangannya kemudian beralih pada Winda yang ia sangka adalah Raya. "Jika Raya bersedia mendonorkan ASI-nya, saya bersedia membayar berapa pun nominal yang Raya minta. Asalkan bayi saya mendapat ASI yang cukup sampai berat badannya maksimal."Mendengar penjelasan Aditya, Wati dan Winda nampak menganga karena tercengang. Sepertinya ini adalah kesempatan bagus bagi mereka."Sebentar, Pak."Wati langsung menarik tangan Winda untuk masuk ke dalam kamar Winda. Tentu karena Wati ingin berbicara serius dengan putrinya itu.Di dalam kamar Winda, wajah Wati nampak masih terkejut. Isi kepalanya berseliweran tumpukan uang kertas berwarna merah."Dengarkan Mama, Winda. Kita akan kembali ke depan menemui pria yang bernama Aditya barusan
Aditya nampak menyeringai. Ia kemudian langsung masuk ke ruangan tempat bayinya berada. Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang terbendung. Pria itu nampak terharu."Permisi, Pak. Atas izin dari neneknya, bayi Pak Adit sudah mendapatkan ASI." Perawat yang berjaga di ruangan bayi langsung mendekati Aditya."Lalu, apakah ada perkembangan bagus pada bayi saya?" tanya Aditya nampak antusias."Tentu saja, Pak. Kondisi bayi Pak Adit berangsur baik. Apalagi jika terus menerus mendapatkan ASI secara maksimal."Sejenak Aditya terdiam. Ia menatap wajah bayinya yang memang sedikit lincah dari biasanya. Tangan dan kaki sang bayi yang keriput kini bergerak-gerak lincah, membuat Aditya merasa lega. Ia kemudian mengembalikan pandangan pada perawat di sampingnya."Dimana pemilik pendonor ASI itu? Saya ingin bertemu," tanya Aditya tak mau menunda waktu."Ibu Raya sudah keluar dari rumah sakit sejak siang tadi, Pak."Napas Aditya seketika lesu. "Apakah Anda bisa membantu saya? Saya ingin tahu ala
Mendengar itu, jantung Raya seakan berhenti berdegup. Napasnya bagai tersengal di tenggorokan."Apa maksud Mama?" tanya Raya pada Wati yang memasang wajah murka padanya."Bayimu meninggal, Bodoh!" Raya terkejut. Sebelah tangan nampak menutup mulut yang sendiri menganga. Air matanya kembali luruh di pipi. Isi hatinya benar-benar hancur porak poranda. "Tidak...." Wati pun mendekat pada Raya, bukan untuk menenangkan sang menantu, melainkan malah mendorong kepala Raya dengan jemari tangannya. "Ini semua gara-gara kamu!" geramnya.Bagaimana mungkin ini gara-gara Raya, sedang ia tak pernah tahu kondisi kehamilannya selama ini. Wati adalah mertua yang so tahu, tak pernah membiarkan Raya memeriksa kandungan ke Dokter atau Bidan. Dunia Raya seketika hancur, dadanya semakin sakit. Mendengar bayinya meninggal terasa lebih menyakitkan dari pada memergoki suaminya selingkuh. Kepala Raya tiba-tiba pusing, pandangannya gelap hingga ia kembali tak sadarkan diri."Baguslah kamu pingsan Raya! Menant
Petugas medis sempat kebingungan. Namun ia segera menjelaskan, "Maaf, Bu. Pemilik handphone ini akan segera melahirkan. Sekiranya Ibu adalah pihak keluarga pasien, saya harap untuk segera datang ke rumah sakit.""Apa!" Suara dari balik telepon terdengar kaget. "Jadi Raya akan melahirkan?""Iya, Bu. Keadaan pasien sangat lemah." Perawat kembali menerangkan."Haduh, merepotkan saja jadi menantu!"Sambungan telepon langsung berakhir. Perawat di dekat Raya tampak menggelengkan kepala. Kok ada orang tua seperti itu? Menantu mau melahirkan malah dibilang merepotkan.Setelah sekitar satu jam tak sadarkan diri, kelopak mata Raya yang sembab perlahan mulai terbuka. Wanita berkulit putih itu mulai sadar dari pingsan."Dimana ini?" Raya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Sebelah tangannya langsung mengusap perutnya yang semakin terasa mules."Syukurlah Ibu telah sadar. Nama Ibu siapa?" Perawat langsung bertanya."Ra-Raya.""Baik, Ibu Raya. Bisa minta kartu identitas penduduk? Ibu akan
"Ah ...!" Sebelah tangan Raya tertahan di depan pintu. Wanita berambut sebahu itu tak jadi mengetuk pintu. Jauh-jauh dari kampung ke kostan suaminya yang ada di Jakarta karena ingin memberi kejutan. Tapi, telinganya tiba-tiba mendengar suara desahan wanita dari dalam kamar kostan suaminya. Ia mengusap perutnya yang buncit. Kehamilannya sudah menginjak usia ke delapan bulan. Namun sudah hampir tiga bulan sang suami tidak pulang, maka dari itu ia ingin memberi kejutan. Tapi... "Hnggh ..." Malah suara desahan wanita yang menyambut kedatangannya dari dalam kamar kostan. Suara siapa itu? Mengapa ada di dalam kamar Raihan? Dada Raya seketika berdebar lemas. Tangannya gemetar. Tapi ia berusaha mengatur napas kemudian menenangkan diri. Bisa saja kamar kostan telah berubah pemiliknya, bukan lagi Raihan. Tok tok tok!!! Dengan cepat Raya mengetuk pintu di depannya, meski tangannya masih bergetar lesu. "Siapa?" Raya bisa memastikan suara bariton yang bertanya dari dalam kamar kostan, ada