Mendengar itu, jantung Raya seakan berhenti berdegup. Napasnya bagai tersengal di tenggorokan.
"Apa maksud Mama?" tanya Raya pada Wati yang memasang wajah murka padanya. "Bayimu meninggal, Bodoh!" Raya terkejut. Sebelah tangan nampak menutup mulut yang sendiri menganga. Air matanya kembali luruh di pipi. Isi hatinya benar-benar hancur porak poranda. "Tidak...." Wati pun mendekat pada Raya, bukan untuk menenangkan sang menantu, melainkan malah mendorong kepala Raya dengan jemari tangannya. "Ini semua gara-gara kamu!" geramnya. Bagaimana mungkin ini gara-gara Raya, sedang ia tak pernah tahu kondisi kehamilannya selama ini. Wati adalah mertua yang so tahu, tak pernah membiarkan Raya memeriksa kandungan ke Dokter atau Bidan. Dunia Raya seketika hancur, dadanya semakin sakit. Mendengar bayinya meninggal terasa lebih menyakitkan dari pada memergoki suaminya selingkuh. Kepala Raya tiba-tiba pusing, pandangannya gelap hingga ia kembali tak sadarkan diri. "Baguslah kamu pingsan Raya! Menantu tak bisa diatur! Mending aku urus saja jenazah cucuku sendiri." Wati membalikan badan. Ia malah meninggalkan Raya yang sedang pingsan. Satu malam berlalu setelah itu. Akhirnya Raya membuka kelopak matanya. Tentu saja petugas medis langsung melakukan tindakan, menolong Raya ketika pingsan. Ketika Raya melihat langit-langit kamar, ia merasa bukan lagi berada di ruangan bersalin. "Ini dimana?" desisnya. Raya berusaha bangkit, namun tubuhnya yang lemah membuatnya kembali terbaring. Tak ada siapa pun di sampingnya. "Selamat siang, Ibu." Seorang petugas berseragam putih menghampiri Raya untuk melakukan pemeriksaan ulang. Gegas Raya pun bertanya. "Sus, dimana bayi saya?" "Bayi Ibu sudah tiada. Semalaman Ibu tak sadarkan diri. Jenazah bayinya telah dibawa pulang oleh pihak keluarga Ibu." Raya menggelengkan kepala sambil menangis. "Kenapa tak beritahu saya terlebih dulu? Padahal saya ingin melihat bayi saya." "Mohon maaf, Ibu. Ibu cukup lama tidak sadarkan diri. Ibu Wati langsung mengurus kepulangan jenazah." Petugas berseragam putih itu kembali menjelaskan. "Saya harus segera pulang." Rasa kecewa menghujam jantung Raya. "Jangan, Bu. Ibu Raya Masih belum pulih. Ibu harus menunggu persetujuan dari Dokter. Jangan memaksa pulang karena kalau memaksa artinya Ibu siap menanggung biaya rumah sakit secara umum. Saat ini perawatan Ibu menggunakan bantuan dari pemerintah, jadi Ibu harus patuh sampai kondisi benar-benar sehat." Entah siapa yang mengurus hal itu, air mata Raya kian mengalir deras di pipinya. Padahal uang kiriman dari sang suami selalu banyak, tapi uang itu dipegang Wati. Raya tak pernah memiliki kuasa. Kalau harus seperti ini jadinya, Raya merasa lebih baik mati saja. Hidup pun sudah tak berarti lagi. *** Hari ke tiga di rumah sakit, kondisi Raya sudah pulih. Dokter pun sudah memperbolehkan Raya pulang. Tapi sebelum pulang, dada Raya tiba-tiba basah. Air susunya menetes cukup banyak. "Ya Tuhan, air susunya keluar." Raya kembali menangis. Harusnya air susu itu diberikan pada bayinya yang sudah meninggal, tapi kini malah terbuang sia-sia. Raya sudah mengganti pakaian beberapa kali, tapi cairan putih dari buah dadanya tak mau berhenti menetes. Air susunya sangat subur, sesuai dengan tubuh Raya yang saat ini terlihat berisi. Sementara di ruangan lain, terlihat satu keluarga tengah berduka atas kepergian seorang ibu pasca melahirkan. Bayinya selamat, tapi ibunya yang malah meninggal akibat pendarahan hebat. Bukan hanya itu, bayi yang dilahirkannya masuk inkubator karena prematur. Bayi itu hanya berukuran 1,5 kilogram. Bayi dari pemimpin PT.Fadillah grup itu terlihat tidak sehat dan kondisinya pun sangat memperihatinkan. "Bayinya sangat membutuhkan ASI, saya harap Bapak bisa mencari ASI untuk bayi Bapak." Dokter anak menjelaskan kepada Aditya Fadillah usai memeriksa kondisi bayinya. "Apakah tidak bisa diberikan susu formula saja yang gampang?" Aditya bertanya. Ia berpikir pasti akan sulit mencari ASI saat kondisi mendesak seperti saat ini. "Jangan, Pak. Kondisi bayi sangat memperihatinkan. Bayi Anda pun memiliki alergi terhadap susu formula. Sebaiknya ASI saja dari ibu yang tengah menyusui agar kondisi bayi Anda segera pulih." Aditya meremas kepalanya yang terasa berat. Dari balik dinding kaca yang tebal, ia hanya bisa melihat bayinya di dalam box inkubator tengah terbaring lemah. Tentu hatinya sakit bagai tertusuk belati. Istrinya meninggal, bayinya pun kini memprihatinkan. Apakah dia malah akan kehilangan dua-duanya orang yang sangat dicintai? Tidak, Aditya tidak mau itu terjadi. Ia menitipkan bayi kepada ibunya yang menunggu, sementara dirinya langsung pergi, berusaha mencari ASI untuk bayinya. *** "Baju Ibu sepertinya basah." Salah satu perawat yang membantu Raya, terlihat menegur. Saat ini Raya sudah bersiap akan segera pulang. Tak ada yang menjemputnya, baik Raihan atau pun Wati. "Iya, Sus. ASI saya terus merembes. Tak ada lagi baju ganti." Raya menutup buah dadanya yang basah, olah tengan. "ASI-nya banyak ya, Bu?" Perawat wanita itu nampak takjub. Raya pun langsung mengangguk sendu. Rasanya mubajir dengan kondisi ASI miliknya yang subur. "Nanti saya akan pompa dan membuangnya." "Jangan, Bu. Di luaran sana banyak sekali bayi yang membutuhkan ASI. Ibu bisa menyumbangkan ASI untuk bayi yang sedang membutuhkan. Kebetulan di ruangan bayi, terdapat bayi prematur yang sedang membutuhkan ASI. Kondisinya sangat memprihatinkan. Kasian sekali." Perawat menerangkan. Raya tercengang. Pemahamannya akan hal itu sangat kurang. "Memangnya Ibu bayinya kemana? Apa ASI-nya kering?" tanyanya. "Ibu bayinya meninggal saat melahirkan." Rasa mengusap dadanya. Bahkan ada yang lebih menyakitkan dari kisah hidupnya. "Baik, Sus. Saya akan mendonorkan ASI saya. Dari pada terbuang mubajir, lebih baik digunakan untuk menolong bayi yang membutuhkan." "Baik, Ibu. Jika berkenan, saya akan mengantar Ibu ke ruangan Bayi." Dengan menggunakan kursi roda, Raya di dorong oleh perawat rumah sakit menuju ruangan bayi. Di depan ruangan, Raya bertemu seorang wanita paruh baya yang terlihat berduka. "Permisi, Ibu." Perawat menyapa wanita itu. "Saya membawa ASI untuk cucu Ibu dari ibu yang baru melahirkan. Ibu Raya namanya. ASI-nya sangat banyak dan kebetulan cucu ibu sedang membutuhkan. Kondisi tubuh Ibu Raya juga sehat, tidak memiliki riwayat penyakit apa pun. Jika diperbolehkan kami akan berikan ASI Ibu Raya sekarang." Mendengar penjelasan perawat, wanita paruh baya itu nampak menyeringai senang. Tatapannya pun terlihat berbinar. "Tentu saja boleh, Sus. Putra saya sudah mencari ASI kemana-mana, tapi belum juga menemukan." Dia pun segera mengalihkan pandangan pada Raya yang duduk di kursi roda. "Terima kasih banyak, Nak Raya. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu," imbuhnya berucap pada Raya. "Sama-sama, Bu. ASI saya sangat banyak. Bayi saya sudah meninggal. Sayang sekali kalau ASI ini terbuang sia-sia," balas Raya sambil mengukir senyum. Manik wanita paruh baya itu nampak berkaca-kaca karena terharu. Raya pun kemudian dibawa perawat, masuk ke ruangan bayi untuk segera memompa ASI-nya. ASI yang raya hasilnya cukup banyak dan cukup untuk bayi Aditya selama tiga hari. "Hai, Bayi kecil." Raya menyapa di dekat inkubator. Seandainya bayi itu adalah anaknya, pasti ia sangat bahagia. "Lekas sehat ya... Semoga ASI yang aku berikan bisa membuat tubuhmu kuat dan segera keluar dari box ini," desisnya di dekat inkubator. Setalah Raya berlalu jauh dari rumah sakit, Aditya tiba dengan wajah kusut. Ia melapor pada ibunya di depan ruangan bayi. "Tidak ada satu pun wanita yang bisa memberikan ASI-nya, Bu," lapor Adit dengan wajah sendu pada ibunya. "Bayimu sudah mendapatkan ASI, Adit." Ibunya membalas. "Apa!" Aditya terkejut. "Dari siapa?" tanyanya kemudian. "Seorang wanita muda bernama Raya."Aditya nampak menyeringai. Ia kemudian langsung masuk ke ruangan tempat bayinya berada. Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang terbendung. Pria itu nampak terharu."Permisi, Pak. Atas izin dari neneknya, bayi Pak Adit sudah mendapatkan ASI." Perawat yang berjaga di ruangan bayi langsung mendekati Aditya."Lalu, apakah ada perkembangan bagus pada bayi saya?" tanya Aditya nampak antusias."Tentu saja, Pak. Kondisi bayi Pak Adit berangsur baik. Apalagi jika terus menerus mendapatkan ASI secara maksimal."Sejenak Aditya terdiam. Ia menatap wajah bayinya yang memang sedikit lincah dari biasanya. Tangan dan kaki sang bayi yang keriput kini bergerak-gerak lincah, membuat Aditya merasa lega. Ia kemudian mengembalikan pandangan pada perawat di sampingnya."Dimana pemilik pendonor ASI itu? Saya ingin bertemu," tanya Aditya tak mau menunda waktu."Ibu Raya sudah keluar dari rumah sakit sejak siang tadi, Pak."Napas Aditya seketika lesu. "Apakah Anda bisa membantu saya? Saya ingin tahu ala
Bukan hanya Wati, Winda pun nampak tercengang. Kebetulan mereka memang tengah membutuhkan uang yang banyak untuk membayar hutang-hutang Winda."Minta tolong apa?" Wati kembali bertanya."Saya membutuhkan ASI yang banyak untuk pemulihan bayi saya." Aditya menjawab. Pandangannya kemudian beralih pada Winda yang ia sangka adalah Raya. "Jika Raya bersedia mendonorkan ASI-nya, saya bersedia membayar berapa pun nominal yang Raya minta. Asalkan bayi saya mendapat ASI yang cukup sampai berat badannya maksimal."Mendengar penjelasan Aditya, Wati dan Winda nampak menganga karena tercengang. Sepertinya ini adalah kesempatan bagus bagi mereka."Sebentar, Pak."Wati langsung menarik tangan Winda untuk masuk ke dalam kamar Winda. Tentu karena Wati ingin berbicara serius dengan putrinya itu.Di dalam kamar Winda, wajah Wati nampak masih terkejut. Isi kepalanya berseliweran tumpukan uang kertas berwarna merah."Dengarkan Mama, Winda. Kita akan kembali ke depan menemui pria yang bernama Aditya barusan
"Ah ...!" Sebelah tangan Raya tertahan di depan pintu. Wanita berambut sebahu itu tak jadi mengetuk pintu. Jauh-jauh dari kampung ke kostan suaminya yang ada di Jakarta karena ingin memberi kejutan. Tapi, telinganya tiba-tiba mendengar suara desahan wanita dari dalam kamar kostan suaminya. Ia mengusap perutnya yang buncit. Kehamilannya sudah menginjak usia ke delapan bulan. Namun sudah hampir tiga bulan sang suami tidak pulang, maka dari itu ia ingin memberi kejutan. Tapi... "Hnggh ..." Malah suara desahan wanita yang menyambut kedatangannya dari dalam kamar kostan. Suara siapa itu? Mengapa ada di dalam kamar Raihan? Dada Raya seketika berdebar lemas. Tangannya gemetar. Tapi ia berusaha mengatur napas kemudian menenangkan diri. Bisa saja kamar kostan telah berubah pemiliknya, bukan lagi Raihan. Tok tok tok!!! Dengan cepat Raya mengetuk pintu di depannya, meski tangannya masih bergetar lesu. "Siapa?" Raya bisa memastikan suara bariton yang bertanya dari dalam kamar kostan, ada
Petugas medis sempat kebingungan. Namun ia segera menjelaskan, "Maaf, Bu. Pemilik handphone ini akan segera melahirkan. Sekiranya Ibu adalah pihak keluarga pasien, saya harap untuk segera datang ke rumah sakit.""Apa!" Suara dari balik telepon terdengar kaget. "Jadi Raya akan melahirkan?""Iya, Bu. Keadaan pasien sangat lemah." Perawat kembali menerangkan."Haduh, merepotkan saja jadi menantu!"Sambungan telepon langsung berakhir. Perawat di dekat Raya tampak menggelengkan kepala. Kok ada orang tua seperti itu? Menantu mau melahirkan malah dibilang merepotkan.Setelah sekitar satu jam tak sadarkan diri, kelopak mata Raya yang sembab perlahan mulai terbuka. Wanita berkulit putih itu mulai sadar dari pingsan."Dimana ini?" Raya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Sebelah tangannya langsung mengusap perutnya yang semakin terasa mules."Syukurlah Ibu telah sadar. Nama Ibu siapa?" Perawat langsung bertanya."Ra-Raya.""Baik, Ibu Raya. Bisa minta kartu identitas penduduk? Ibu akan
Bukan hanya Wati, Winda pun nampak tercengang. Kebetulan mereka memang tengah membutuhkan uang yang banyak untuk membayar hutang-hutang Winda."Minta tolong apa?" Wati kembali bertanya."Saya membutuhkan ASI yang banyak untuk pemulihan bayi saya." Aditya menjawab. Pandangannya kemudian beralih pada Winda yang ia sangka adalah Raya. "Jika Raya bersedia mendonorkan ASI-nya, saya bersedia membayar berapa pun nominal yang Raya minta. Asalkan bayi saya mendapat ASI yang cukup sampai berat badannya maksimal."Mendengar penjelasan Aditya, Wati dan Winda nampak menganga karena tercengang. Sepertinya ini adalah kesempatan bagus bagi mereka."Sebentar, Pak."Wati langsung menarik tangan Winda untuk masuk ke dalam kamar Winda. Tentu karena Wati ingin berbicara serius dengan putrinya itu.Di dalam kamar Winda, wajah Wati nampak masih terkejut. Isi kepalanya berseliweran tumpukan uang kertas berwarna merah."Dengarkan Mama, Winda. Kita akan kembali ke depan menemui pria yang bernama Aditya barusan
Aditya nampak menyeringai. Ia kemudian langsung masuk ke ruangan tempat bayinya berada. Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang terbendung. Pria itu nampak terharu."Permisi, Pak. Atas izin dari neneknya, bayi Pak Adit sudah mendapatkan ASI." Perawat yang berjaga di ruangan bayi langsung mendekati Aditya."Lalu, apakah ada perkembangan bagus pada bayi saya?" tanya Aditya nampak antusias."Tentu saja, Pak. Kondisi bayi Pak Adit berangsur baik. Apalagi jika terus menerus mendapatkan ASI secara maksimal."Sejenak Aditya terdiam. Ia menatap wajah bayinya yang memang sedikit lincah dari biasanya. Tangan dan kaki sang bayi yang keriput kini bergerak-gerak lincah, membuat Aditya merasa lega. Ia kemudian mengembalikan pandangan pada perawat di sampingnya."Dimana pemilik pendonor ASI itu? Saya ingin bertemu," tanya Aditya tak mau menunda waktu."Ibu Raya sudah keluar dari rumah sakit sejak siang tadi, Pak."Napas Aditya seketika lesu. "Apakah Anda bisa membantu saya? Saya ingin tahu ala
Mendengar itu, jantung Raya seakan berhenti berdegup. Napasnya bagai tersengal di tenggorokan."Apa maksud Mama?" tanya Raya pada Wati yang memasang wajah murka padanya."Bayimu meninggal, Bodoh!" Raya terkejut. Sebelah tangan nampak menutup mulut yang sendiri menganga. Air matanya kembali luruh di pipi. Isi hatinya benar-benar hancur porak poranda. "Tidak...." Wati pun mendekat pada Raya, bukan untuk menenangkan sang menantu, melainkan malah mendorong kepala Raya dengan jemari tangannya. "Ini semua gara-gara kamu!" geramnya.Bagaimana mungkin ini gara-gara Raya, sedang ia tak pernah tahu kondisi kehamilannya selama ini. Wati adalah mertua yang so tahu, tak pernah membiarkan Raya memeriksa kandungan ke Dokter atau Bidan. Dunia Raya seketika hancur, dadanya semakin sakit. Mendengar bayinya meninggal terasa lebih menyakitkan dari pada memergoki suaminya selingkuh. Kepala Raya tiba-tiba pusing, pandangannya gelap hingga ia kembali tak sadarkan diri."Baguslah kamu pingsan Raya! Menant
Petugas medis sempat kebingungan. Namun ia segera menjelaskan, "Maaf, Bu. Pemilik handphone ini akan segera melahirkan. Sekiranya Ibu adalah pihak keluarga pasien, saya harap untuk segera datang ke rumah sakit.""Apa!" Suara dari balik telepon terdengar kaget. "Jadi Raya akan melahirkan?""Iya, Bu. Keadaan pasien sangat lemah." Perawat kembali menerangkan."Haduh, merepotkan saja jadi menantu!"Sambungan telepon langsung berakhir. Perawat di dekat Raya tampak menggelengkan kepala. Kok ada orang tua seperti itu? Menantu mau melahirkan malah dibilang merepotkan.Setelah sekitar satu jam tak sadarkan diri, kelopak mata Raya yang sembab perlahan mulai terbuka. Wanita berkulit putih itu mulai sadar dari pingsan."Dimana ini?" Raya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Sebelah tangannya langsung mengusap perutnya yang semakin terasa mules."Syukurlah Ibu telah sadar. Nama Ibu siapa?" Perawat langsung bertanya."Ra-Raya.""Baik, Ibu Raya. Bisa minta kartu identitas penduduk? Ibu akan
"Ah ...!" Sebelah tangan Raya tertahan di depan pintu. Wanita berambut sebahu itu tak jadi mengetuk pintu. Jauh-jauh dari kampung ke kostan suaminya yang ada di Jakarta karena ingin memberi kejutan. Tapi, telinganya tiba-tiba mendengar suara desahan wanita dari dalam kamar kostan suaminya. Ia mengusap perutnya yang buncit. Kehamilannya sudah menginjak usia ke delapan bulan. Namun sudah hampir tiga bulan sang suami tidak pulang, maka dari itu ia ingin memberi kejutan. Tapi... "Hnggh ..." Malah suara desahan wanita yang menyambut kedatangannya dari dalam kamar kostan. Suara siapa itu? Mengapa ada di dalam kamar Raihan? Dada Raya seketika berdebar lemas. Tangannya gemetar. Tapi ia berusaha mengatur napas kemudian menenangkan diri. Bisa saja kamar kostan telah berubah pemiliknya, bukan lagi Raihan. Tok tok tok!!! Dengan cepat Raya mengetuk pintu di depannya, meski tangannya masih bergetar lesu. "Siapa?" Raya bisa memastikan suara bariton yang bertanya dari dalam kamar kostan, ada