Share

7 Menyakitkan

Auteur: Miss_Pupu
last update Dernière mise à jour: 2025-03-21 12:57:04

"Tidak mungkin!" Raya menggelengkan kepala, menepis berita mengejutkan itu.

"Belum cukupkah bukti-bukti poto itu, Raya?"

Raya menutup wajah sendunya dengan kedua telapak tangan. Seketika tangisannya kembali pecah. Wanita bernasib malang itu harus kembali merasakan duka yang mendalam. Mengapa hidupnya semakin kacau?

"Aku tidak berniat mengompori. Aku hanya tidak mau kamu semakin terluka, Raya." Hani mengusap bahu Raya guna menenangkannya.

"Iya, aku paham itu." Raya segera mengusap pipinya yang kembali basah. "Mungkin aku tidak perlu lagi pergi ke Jakarta. Aku percaya dengan keteranganmu, Han."

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Hani nampak memastikan.

"Aku akan pergi dari Mas Raihan. Aku akan mencari pekerjaan." Raya nampak yakin. "Tapi sepertinya, mencari pekerjaan di jaman sekarang tidaklah mudah. Aku sudah melamar kemana-mana, tapi sampai detik ini sama sekali belum ada kabar dari salah satu perusahaan yang aku tuju," tuturnya.

"Aku akan membantumu. Berikan nomor ponselmu padaku," pinta Raya.

"Sungguh?" Raya menyeringai.

Hani mengangguk yakin. Posisinya saat ini tak terlalu sulit untuk mengajukan Raya ke perusahaan tempatnya bekerja yakni di Fadillah group.

"Aku akan memberikan kabar selanjutnya padamu. Aku akan mengajukan proposal kamu pada Pak Aditya Fadillah. Semoga saja diterima." Hani nampak meyakinkan Raya.

Perbincangan dengan Hani siang itu bagaikan angin segar. Raya sangat berharap bisa mendapat pekerjaan. Ia sangat yakin, berpisah dengan Raihan adalah keputusan yang tepat.

Ketika mentari mulai turun ke ufuk barat, lagi-lagi Raya harus pulang terlambat. Pintu rumah Wati sudah terbuka dan siap menyambut kedatangan Raya dengan tatapan sinis.

"Dari mana saja kamu? Mengapa kamu kembali mengulang kesalahan?" Wati nampak berkacak pinggang. Emosinya seperti naik ke atas ubun-ubun karena kembali kecolongan.

Melihat wajah sang mertua begitu murka, Raya menjadi takut. "Maaf, Ma. Raya tadi habis kuli cuci gosok." Wanita berbulu mata lentik itu terpaksa berbohong.

"Apa!" Wati terbelalak. "Kamu pikir Mama sudah tak mampu memberikan kamu makan? Memalukan!" bentaknya kemudian.

"Bukan seperti itu, Ma. Aku ingin memiliki tabungan untuk bekal. Lagi pula, aku bosan kalau harus diam seharian di rumah," elak Raya. Ia berusaha meyakinkan Wati.

Wati kemudian menadahkan sebelah tangan kanannya kepada Raya. "Mana hasil kuli cuci gosoknya? Mama mau melihat buktinya."

Raya pun menelan saliva penuh resah. Tak disangka kalau Wati akan seteliti itu. "A-Ada, Ma. Tapi untuk tabungan Raya," jawabnya menjadi gugup.

"Ya mana? Mama ingin lihat sekarang."

Sempat bingung, namun Raya tak punya pilihan. Demi menyelamatkan diri, ia segera merogoh tas selempang miliknya. Di dalam tas kecil itu ia mengambil dua lembar uang kertas berwarna merah pemberian Hani.

"Ini, Ma." Diberikannya uang itu pada Wati. Padahal Hani memberikan uang senilai dua ratus ribu kepada Raya untuk bekal ongkos nantinya.

Dengan cepat Wati mengambil uang yang disodorkan Raya. "Lumayan juga, sehari dapat dua ratus ribu. Uang ini biar Mama yang simpan." Wanita paruh baya itu kemudian berlalu usai mengambil uang Raya.

Ingin sekali Raya protes, tapi apalah daya, dia tak memiliki kekuatan di rumah Wati.

Dalam sujudnya ia selalu berharap, semoga bisa lepas dari keluarga Raihan. Semoga ia bisa pergi sejauh mungkin, melupakan luka pahit yang Raihan berikan padanya.

Ketika pukul sebelas malam, Raya terbangun karena sebuah mimpi buruk. Ia bangkit dari tempat tidur lalu berjalan menuju toilet. Namun tiba-tiba langkahnya tertahan di dekat kamar Winda.

Samar-samar Raya mendengar suara berbincang dari dalam kamar Winda. Karena penasaran, ia kemudian menempelkan telinganya pada pintu kamar Winda.

"Uang kita sudah banyak, Ma. Seratus juta ini." Suara semringah Winda terdengar jelas di telinga Raya.

"Ini baru tiga Minggu, Win. Bagaimana kalau sebulan, dua bulan. Kita bakal jadi miliarder." Suara Wati menimpali di dalam sana.

Apa yang mereka bicarakan? Raya kian penasaran.

"Hutang-hutang aku pun bakal lunas, Ma. Pokoknya Mama jangan biarkan Raya kemana-mana. ASI-nya itu adalah berlian bagi kita. Kita bisa jadi konglomerat."

Degh!

Apa! ASI? Raya kian tercengang begitu Winda menyebut namanya. 'Jangan-jangan, selama ini mereka menjual ASI-ku?' gumam raya dalam hati.

Raya berjalan mundur, mulai menjauhi kamar Winda. Dadanya bergetar lesu. Mengapa masih ada manusia sekejam Wati dan Winda di dunia ini.

Prang!

Raya tak sengaja menyenggol vas bunga di atas meja.

"Hei! Siapa itu?" Dari dalam kamar Winda, suara Wati berteriak.

Gegas, Raya berlari kembali ke kamarnya. Ia mengunci diri di sana. Gemuruh di dalam dada kian keras. Ia takut ketahuan oleh Wati. Bisa bahaya kalau mertuanya itu melihatnya barusan.

"Vas bunganya pecah, Ma." Winda terkejut setelah mendapati vas bunga itu pecah. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tak ditemukan siapa pun di sana.

"Jangan-jangan ada maling?" tebak Winda.

"Tidak mungkin. Semua pintu sudah dikunci. "Jangan-jangan Raya keluar kamar." Insting Wati langsung tertuju pada Raya.

Gegas Wati menuju kamar Raya. Ia mengetuk pintu kamar Raya cukup keras.

Tok tok tok!

"Raya! Buka pintunya!"

Hening, tak ada suara di kamar Raya. Wanita berbulu mata lentik itu sepertinya berpura-pura kembali tidur.

"Raya, buka! Atau Mama akan dobrak pintunya." Suara Wati lebih keras lagi memanggil.

"I-iya, Ma." Raya terpaksa menyahut. Tangannya gemetar. Ia tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.

Ceklek.

"Ada apa, Ma?" Raya menyipitkan kelopak mata, agar terlihat seperti baru saja bangun.

"Siapa yang pecahkan vas bunga?" Wati langsung menginterogasi.

Raya pun langsung menggelengkan kepala. "Tidak tahu, Ma. Aku sedang tidur," elaknya.

"Jangan bohong, Raya!" Kedua manik Wati nampak membulat sempurna. "Kamu menguping pembicaraan Mama dan Winda. Ngaku, Raya!" tekannya.

"Tidak, Ma. Sungguh, aku sedang tidur." Raya berusaha meyakinkan.

Namun sepertinya Wati tidak percaya. Ia langsung masuk ke kamar Raya, menjarah seisi kamar itu. Wati pun mengambil ponsel Raya.

"Kembalikan handphone-ku, Ma." Raya pun tak terima ketika ponselnya diambil. Itu adalah benda satu-satunya untuk berkomunikasi dengan Hani nantinya.

"Kamu selalu saja membuat masalah. Mama akan sita handphone kamu dalam beberapa hari." Setelah itu, Wati mengunci jendela kamar Raya dari dalam, diambil kuncinya dan disimpan. Wati juga mengurung Raya di kamar, agar tidak kabur lagi. Wati melakukan itu, agar Raya tidak kemana-mana lagi.

"Ma, jangan lakukan ini." Raya mengiba dari dalam kamar yang sudah dikunci Wati.

"Maaf, Raya. Itulah akibatnya kalau menantu sering berulah. Sudah Mama katakan, jangan buat Mama marah. Tapi kamu tidak paham itu."

***

Hari ini sebagai mana biasanya, Aditya akan bertemu Winda di tempat biasa, di kafe dekat kantor. Hampir satu bulan mendapat ASI dari Winda membuat kondisi bayi Fatih benar-benar pulih. Aditya sangat bahagia melihat berat badan anaknya yang semakin bertambah, itu semua berkat ASI yang diberikan Winda setiap hari.

"Hari ini saya membawa enam botol, Pak." Winda menyodorkan ASI yang telah diperas Raya pagi tadi kepada Aditya Fadillah—pimpinan perusahaan fadillah group. Winda masih berpura-pura menjadi Raya—sang pemilik ASI yang sebenarnya.

"Terima kasih banyak, Raya. Kamu telah menyelamatkan nyawa anak saya," ucapnya pada Winda yang selama ini masih disangka Raya. "Bolehkah saya meminta satu hal?" imbuhnya.

"Tentu saja boleh, Pak. Katakan saja." jawab Winda nampak semringah. Bagaimana tidak semringah, ia sedang berbicara dengan pria tampan kaya raya. Winda bahkan mulai jatuh hati padanya.

"Jika bersedia, ibu saya ingin bertemu dengan kamu," pinta Aditya Fadillah.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Related chapter

  • Bukan Ibu Susu Palsu   8 Tak Bisa Lepas

    "Jika bersedia, ibu saya ingin bertemu dengan kamu," pinta Aditya Fadillah. Mata Winda sampai membulat mendengar permintaan Aditya. "Untuk apa, Pak?"Merasa berhutang budi yang begitu banyak. Aditya telah mempertimbangkan suatu keputusan yang besar. "Ibu saya ingin mengucapkan terima kasih. Namun selain itu, saya pun berniat menjadikan kamu sebagai ibu sambung untuk anak saya.""Apa!" Winda kian dibuat terkejut. Ia sampai tersendat ludahnya sendiri hingga batuk. "Uhuk... Uhuk..."Respect, Aditya langsung menyodorkan segelas minum pada Winda. "Minumlah." Segelas air dingin diteguk Winda sampai habis. Dia nampak menepuk pipinya sendiri. "Apa saya sedang bermimpi?" tanyanya gugup."Tidak. Ini bukan mimpi. Kamu bisa pikirkan tawaran saya. Jika sudah siap, saya tunggu kabarnya."Tawaran Aditya membuat Winda serasa melayang ke udara. Adik ipar Raya itu terlihat sangat bahagia. Ia pulang dengan wajah berseri-seri."Mama!" Sesampainya di rumah, Winda berteriak kegirangan saat memanggil Wati

    Dernière mise à jour : 2025-03-22
  • Bukan Ibu Susu Palsu   9 Tak Berdaya

    Ketika hari sudah gelap. Wati terpaksa mengeluarkan Raya dari kamar, tentu dengan penjagaan ketat. Wati harus memberi Raya makan karena esok pagi ASI-nya harus banyak.Makanan yang disediakan untuk Raya sudah tak asing, setiap hari hanya ikan asin dan rebusan pepaya muda. Tak pernah ada makanan enak yang disajikan di depan Raya, berbeda dengan makanan Winda dan Wati yang selalu mewah."Kenapa belum juga makan, Raya?" tegur Wati saat melihat Raya masih belum juga memakan makanannya."Aku tidak nafsu makan, Ma." Raya terlihat menunduk lemas."Kamu harus tetap makan, Raya. Mama tidak mau kalau kamu sampai sakit." Wati pun mengeluarkan jurus merayunya. Ia mendekat dan duduk di samping Raya. "Maafkan Mama ya. Mama tahu, Mama sudah kasar padamu. Mama janji, gak akan kasar lagi," rayunya kemudian. Ketika Wati membelai rambutnya, Raya sama sekali tidak tersentuh hatinya. Terlalu banyak rasa sakit yang ditorehkan sang mertua padanya. "Ayolah, Raya. Segera makan yang banyak. Mama juga sudah s

    Dernière mise à jour : 2025-03-23
  • Bukan Ibu Susu Palsu   10 Tak Sesuai Ekspektasi

    1 hari sebelum Raya berpindah tempat. Pagi-pagi sekali Winda sudah pulang dari salon, dia sudah bersiap dengan rambut yang sudah distylish. Adik ipar Raya itu juga sudah memakai pakaian terbaiknya yang dibeli di butik beberapa hari yang lalu. Winda berusaha berpenampilan semenarik mungkin untuk memikat hati ibunda Aditya Fadillah."Impian menjadi orang kaya raya, sudah ada di depan mata." Di depan cermin ia berbicara sendirian, sambil memandang senyumannya sendiri. "Tidak sia-sia pengorbananku berpura-pura menjadi Raya." Tiiittt!Suara klakson berbunyi di depan rumah Wati menandakan kalau Aditya sudah datang untuk menjemput. Hari ini memang sudah terjadwal, kalau Aditya akan membawa Winda bertemu dengan Anita—ibunda dari Aditya.Presiden direktur Fadillah group itu keluar dari kendaraan mewah miliknya dengan mengenakan jas berwarna abu-abu, jas kesayangannya.Sebenarnya Aditya tidak memiliki perasaan lebih pada Winda, namun demi sang anak, dia rela mengorbankan perasaannya sendiri.

    Dernière mise à jour : 2025-03-24
  • Bukan Ibu Susu Palsu   1 Kehilangan

    "Bayimu meninggal, Bodoh!" Raya terkejut. Sebelah tangan nampak menutup mulut yang sedikit menganga. Air matanya seketika luruh di pipi. Isi hatinya benar-benar hancur porak poranda. "Tidak...." Wati—sang mertua mendekat pada Raya, bukan untuk menenangkan sang menantu, melainkan malah mendorong kepala Raya dengan jemari tangannya. "Ini semua gara-gara kamu!" geramnya. Wati marah karena Raya nekad pergi ke Jakarta sendirian. Akibatnya Raya harus mendadak melahirkan karena batinnya terguncang usai memergoki sang suami bersama seorang wanita paruh baya tengah berduaan di kamar kostnya. Bagaimana mungkin ini gara-gara Raya, sedang ia tak pernah tahu kondisi kehamilannya selama ini. Wati adalah mertua yang so tahu, tak pernah membiarkan Raya memeriksa kandungan ke Dokter atau Bidan. Dunia Raya seketika hancur, dadanya semakin sakit. Mendengar bayinya meninggal terasa lebih menyakitkan dari pada memergoki suaminya selingkuh. Kepala Raya tiba-tiba pusing, pandangannya gelap hingg

    Dernière mise à jour : 2025-03-14
  • Bukan Ibu Susu Palsu   2 Diusir

    Aditya nampak menyeringai. Ia kemudian langsung masuk ke ruangan tempat bayinya berada. Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang terbendung. Pria itu nampak terharu. "Permisi, Pak. Atas izin dari neneknya, bayi Pak Adit sudah mendapatkan ASI." Perawat yang berjaga di ruangan bayi langsung mendekati Aditya. "Lalu, apakah ada perkembangan bagus pada bayi saya?" tanya Aditya nampak antusias. "Tentu saja, Pak. Kondisi bayi Pak Adit berangsur baik. Apalagi jika terus menerus mendapatkan ASI secara maksimal." Sejenak Aditya terdiam. Ia menatap wajah bayinya yang memang sedikit lincah dari biasanya. Tangan dan kaki sang bayi yang keriput kini bergerak-gerak lincah, membuat Aditya merasa lega. Ia kemudian mengembalikan pandangan pada perawat di sampingnya. "Dimana pemilik pendonor ASI itu? Saya ingin bertemu," tanya Aditya tak mau menunda waktu. "Ibu Raya sudah keluar dari rumah sakit sejak siang tadi, Pak." Napas Aditya seketika lesu. "Apakah Anda bisa membantu saya? Saya ingin ta

    Dernière mise à jour : 2025-03-14
  • Bukan Ibu Susu Palsu   3 Dimanfaatkan

    Bukan hanya Wati, Winda pun nampak tercengang. Kebetulan mereka memang tengah membutuhkan uang yang banyak untuk membayar hutang-hutang Winda. "Minta tolong apa?" Wati kembali bertanya. "Saya membutuhkan ASI yang banyak untuk pemulihan bayi saya." Aditya menjawab. Pandangannya kemudian beralih pada Winda yang ia sangka adalah Raya. "Jika Raya bersedia mendonorkan ASI-nya, saya bersedia membayar berapa pun nominal yang Raya minta. Asalkan bayi saya mendapat ASI yang cukup sampai berat badannya maksimal." Mendengar penjelasan Aditya, Wati dan Winda nampak menganga karena tercengang. Sepertinya ini adalah kesempatan bagus bagi mereka. "Sebentar, Pak." Wati langsung menarik tangan Winda untuk masuk ke dalam kamar Winda. Tentu karena Wati ingin berbicara serius dengan putrinya itu. Di dalam kamar Winda, wajah Wati nampak masih terkejut. Isi kepalanya berseliweran tumpukan uang kertas berwarna merah. "Dengarkan Mama, Winda. Kita akan kembali ke depan menemui pria yang bernama Aditya b

    Dernière mise à jour : 2025-03-14
  • Bukan Ibu Susu Palsu   4 Bertemu Kembali Dengan Bayi Mungil

    Beberapa jam setelah Wati dan Winda berlalu, kini tinggalah Raya sendiri d rumah yang sederhana itu. Keadaan rumah masih berantakan, Raya berusaha membereskan semuanya. Tapi pekerjaannya harus tertunda ketika mendengar pintu di depan rumah diketuk seseorang. Tok tok tok! Apakah Wati dan Winda sudah kembali? Secepat itukah? Raya bergegas mengelap tangannya yang basah usai mencuci piring. Ia segera melangkah menuju pintu utama. Ketika Raya membuka pintu, yang datang ternyata Raihan. Sedikit tercengang namun Raya berusaha tenang. "Kemana saja kamu, Mas?" tanya Raya pada suaminya. Namun tanggapan Raihan terlihat sinis. "Harusnya aku yang bertanya, kamu yang ke mana saja? Anak meninggal malah keluyuran!" geramnya. Mendengar itu, Raya menautkan kedua alisnya. "Aku keluyuran? Gak salah dengar aku?" Ia menunjuk wajahnya sendiri. "Sudahlah! Aku tidak bisa kamu bodohi." Raihan melangkah masuk, melewati tubuh Raya tanpa perduli. Pria itu seolah amnesia akan kesalahan sebelumnya. "Aku ba

    Dernière mise à jour : 2025-03-14
  • Bukan Ibu Susu Palsu   5 Tertekan

    Ketika jarum pada benda bundar yang melilit pergelangan tangan Raya sudah menunjukan pukul lima sore, wanita berbulu mata lentik itu baru saja tiba di rumah Wati. Sempat ragu untuk masuk rumah karena takut dimarahi mertua, tapi Raya belum punya pilihan lain. Pintu utama di rumah Wati nampak terbuka, Raya tak usah repot mengetuk pintu. Ketika Raya sudah berdiri di ambang pintu, ia melihat Wati dan Raihan tengah berbincang serius di ruang tamu. "Begitulah istri kamu, Raihan. Kerjaannya hanya keluyuran. Menghabiskan semua uang hasil kerja kerasmu. Itulah alasan mengapa Mama tak pernah suka dengan Raya." Wati kembali memanipulasi keadaan dengan melempar bensin di atas bara yang tengah menyala. Degh! Dada Raya terasa geram mendengar ucapan Wati dari balik celah pintu. Langkahnya seketika tertahan. Bisa-bisanya Wati berbohong pada anaknya. Padahal selama ini Wati dan Winda yang telah menghabiskan uang kiriman dari Raihan. "Dulu, aku pikir Raya adalah wanita lugu, Ma. Tak disangka kalau

    Dernière mise à jour : 2025-03-14

Latest chapter

  • Bukan Ibu Susu Palsu   10 Tak Sesuai Ekspektasi

    1 hari sebelum Raya berpindah tempat. Pagi-pagi sekali Winda sudah pulang dari salon, dia sudah bersiap dengan rambut yang sudah distylish. Adik ipar Raya itu juga sudah memakai pakaian terbaiknya yang dibeli di butik beberapa hari yang lalu. Winda berusaha berpenampilan semenarik mungkin untuk memikat hati ibunda Aditya Fadillah."Impian menjadi orang kaya raya, sudah ada di depan mata." Di depan cermin ia berbicara sendirian, sambil memandang senyumannya sendiri. "Tidak sia-sia pengorbananku berpura-pura menjadi Raya." Tiiittt!Suara klakson berbunyi di depan rumah Wati menandakan kalau Aditya sudah datang untuk menjemput. Hari ini memang sudah terjadwal, kalau Aditya akan membawa Winda bertemu dengan Anita—ibunda dari Aditya.Presiden direktur Fadillah group itu keluar dari kendaraan mewah miliknya dengan mengenakan jas berwarna abu-abu, jas kesayangannya.Sebenarnya Aditya tidak memiliki perasaan lebih pada Winda, namun demi sang anak, dia rela mengorbankan perasaannya sendiri.

  • Bukan Ibu Susu Palsu   9 Tak Berdaya

    Ketika hari sudah gelap. Wati terpaksa mengeluarkan Raya dari kamar, tentu dengan penjagaan ketat. Wati harus memberi Raya makan karena esok pagi ASI-nya harus banyak.Makanan yang disediakan untuk Raya sudah tak asing, setiap hari hanya ikan asin dan rebusan pepaya muda. Tak pernah ada makanan enak yang disajikan di depan Raya, berbeda dengan makanan Winda dan Wati yang selalu mewah."Kenapa belum juga makan, Raya?" tegur Wati saat melihat Raya masih belum juga memakan makanannya."Aku tidak nafsu makan, Ma." Raya terlihat menunduk lemas."Kamu harus tetap makan, Raya. Mama tidak mau kalau kamu sampai sakit." Wati pun mengeluarkan jurus merayunya. Ia mendekat dan duduk di samping Raya. "Maafkan Mama ya. Mama tahu, Mama sudah kasar padamu. Mama janji, gak akan kasar lagi," rayunya kemudian. Ketika Wati membelai rambutnya, Raya sama sekali tidak tersentuh hatinya. Terlalu banyak rasa sakit yang ditorehkan sang mertua padanya. "Ayolah, Raya. Segera makan yang banyak. Mama juga sudah s

  • Bukan Ibu Susu Palsu   8 Tak Bisa Lepas

    "Jika bersedia, ibu saya ingin bertemu dengan kamu," pinta Aditya Fadillah. Mata Winda sampai membulat mendengar permintaan Aditya. "Untuk apa, Pak?"Merasa berhutang budi yang begitu banyak. Aditya telah mempertimbangkan suatu keputusan yang besar. "Ibu saya ingin mengucapkan terima kasih. Namun selain itu, saya pun berniat menjadikan kamu sebagai ibu sambung untuk anak saya.""Apa!" Winda kian dibuat terkejut. Ia sampai tersendat ludahnya sendiri hingga batuk. "Uhuk... Uhuk..."Respect, Aditya langsung menyodorkan segelas minum pada Winda. "Minumlah." Segelas air dingin diteguk Winda sampai habis. Dia nampak menepuk pipinya sendiri. "Apa saya sedang bermimpi?" tanyanya gugup."Tidak. Ini bukan mimpi. Kamu bisa pikirkan tawaran saya. Jika sudah siap, saya tunggu kabarnya."Tawaran Aditya membuat Winda serasa melayang ke udara. Adik ipar Raya itu terlihat sangat bahagia. Ia pulang dengan wajah berseri-seri."Mama!" Sesampainya di rumah, Winda berteriak kegirangan saat memanggil Wati

  • Bukan Ibu Susu Palsu   7 Menyakitkan

    "Tidak mungkin!" Raya menggelengkan kepala, menepis berita mengejutkan itu. "Belum cukupkah bukti-bukti poto itu, Raya?" Raya menutup wajah sendunya dengan kedua telapak tangan. Seketika tangisannya kembali pecah. Wanita bernasib malang itu harus kembali merasakan duka yang mendalam. Mengapa hidupnya semakin kacau? "Aku tidak berniat mengompori. Aku hanya tidak mau kamu semakin terluka, Raya." Hani mengusap bahu Raya guna menenangkannya. "Iya, aku paham itu." Raya segera mengusap pipinya yang kembali basah. "Mungkin aku tidak perlu lagi pergi ke Jakarta. Aku percaya dengan keteranganmu, Han." "Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Hani nampak memastikan. "Aku akan pergi dari Mas Raihan. Aku akan mencari pekerjaan." Raya nampak yakin. "Tapi sepertinya, mencari pekerjaan di jaman sekarang tidaklah mudah. Aku sudah melamar kemana-mana, tapi sampai detik ini sama sekali belum ada kabar dari salah satu perusahaan yang aku tuju," tuturnya. "Aku akan membantumu. Berikan nomor

  • Bukan Ibu Susu Palsu   6 Bagai Disambar Petir

    Setiap pagi, ASI Raya selalu diperas, dibawa Wati dan Winda pergi untuk kemudian diberikan kepada Aditya Fadillah. Mereka bilang, ASI itu akan didonorkan pada bayi yang membutuhkan. Tapi ketika Raya meminta ikut, Wati langsung melarangnya. "Aku ingin melihat bayi yang aku beri ASI setiap hari itu." "Memangnya kamu tidak percaya pada Mama? Kamu pikir Mama berbohong?" "Tentu saja bukan itu alasannya, Ma. Aku hanya ingin ketemu saja dengan bayinya." "Tidak perlu. Pekerjaan di rumah masih banyak. Kamu cukup selesaikan pekerjaan kamu. Jangan membantah. Jangan membuat Mama marah dan kecewa. Diam di rumah, bereskan rumah, jangan kemana-mana!" Karena Raya banyak protes, pagi ini pintu rumah bahkan di kunci dari luar. Artinya, Raya tidak bisa kemana-mana. Kondisi saat ini membuat Raya kian tertekan. Sementara dalam hati, ia ingin sekali pergi ke Jakarta. Ada yang harus diselidiki. Raya tidak bisa diam saja. Ia segera berganti pakaian. Namun ketika melihat isi dompet, seketika tubuhnya l

  • Bukan Ibu Susu Palsu   5 Tertekan

    Ketika jarum pada benda bundar yang melilit pergelangan tangan Raya sudah menunjukan pukul lima sore, wanita berbulu mata lentik itu baru saja tiba di rumah Wati. Sempat ragu untuk masuk rumah karena takut dimarahi mertua, tapi Raya belum punya pilihan lain. Pintu utama di rumah Wati nampak terbuka, Raya tak usah repot mengetuk pintu. Ketika Raya sudah berdiri di ambang pintu, ia melihat Wati dan Raihan tengah berbincang serius di ruang tamu. "Begitulah istri kamu, Raihan. Kerjaannya hanya keluyuran. Menghabiskan semua uang hasil kerja kerasmu. Itulah alasan mengapa Mama tak pernah suka dengan Raya." Wati kembali memanipulasi keadaan dengan melempar bensin di atas bara yang tengah menyala. Degh! Dada Raya terasa geram mendengar ucapan Wati dari balik celah pintu. Langkahnya seketika tertahan. Bisa-bisanya Wati berbohong pada anaknya. Padahal selama ini Wati dan Winda yang telah menghabiskan uang kiriman dari Raihan. "Dulu, aku pikir Raya adalah wanita lugu, Ma. Tak disangka kalau

  • Bukan Ibu Susu Palsu   4 Bertemu Kembali Dengan Bayi Mungil

    Beberapa jam setelah Wati dan Winda berlalu, kini tinggalah Raya sendiri d rumah yang sederhana itu. Keadaan rumah masih berantakan, Raya berusaha membereskan semuanya. Tapi pekerjaannya harus tertunda ketika mendengar pintu di depan rumah diketuk seseorang. Tok tok tok! Apakah Wati dan Winda sudah kembali? Secepat itukah? Raya bergegas mengelap tangannya yang basah usai mencuci piring. Ia segera melangkah menuju pintu utama. Ketika Raya membuka pintu, yang datang ternyata Raihan. Sedikit tercengang namun Raya berusaha tenang. "Kemana saja kamu, Mas?" tanya Raya pada suaminya. Namun tanggapan Raihan terlihat sinis. "Harusnya aku yang bertanya, kamu yang ke mana saja? Anak meninggal malah keluyuran!" geramnya. Mendengar itu, Raya menautkan kedua alisnya. "Aku keluyuran? Gak salah dengar aku?" Ia menunjuk wajahnya sendiri. "Sudahlah! Aku tidak bisa kamu bodohi." Raihan melangkah masuk, melewati tubuh Raya tanpa perduli. Pria itu seolah amnesia akan kesalahan sebelumnya. "Aku ba

  • Bukan Ibu Susu Palsu   3 Dimanfaatkan

    Bukan hanya Wati, Winda pun nampak tercengang. Kebetulan mereka memang tengah membutuhkan uang yang banyak untuk membayar hutang-hutang Winda. "Minta tolong apa?" Wati kembali bertanya. "Saya membutuhkan ASI yang banyak untuk pemulihan bayi saya." Aditya menjawab. Pandangannya kemudian beralih pada Winda yang ia sangka adalah Raya. "Jika Raya bersedia mendonorkan ASI-nya, saya bersedia membayar berapa pun nominal yang Raya minta. Asalkan bayi saya mendapat ASI yang cukup sampai berat badannya maksimal." Mendengar penjelasan Aditya, Wati dan Winda nampak menganga karena tercengang. Sepertinya ini adalah kesempatan bagus bagi mereka. "Sebentar, Pak." Wati langsung menarik tangan Winda untuk masuk ke dalam kamar Winda. Tentu karena Wati ingin berbicara serius dengan putrinya itu. Di dalam kamar Winda, wajah Wati nampak masih terkejut. Isi kepalanya berseliweran tumpukan uang kertas berwarna merah. "Dengarkan Mama, Winda. Kita akan kembali ke depan menemui pria yang bernama Aditya b

  • Bukan Ibu Susu Palsu   2 Diusir

    Aditya nampak menyeringai. Ia kemudian langsung masuk ke ruangan tempat bayinya berada. Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang terbendung. Pria itu nampak terharu. "Permisi, Pak. Atas izin dari neneknya, bayi Pak Adit sudah mendapatkan ASI." Perawat yang berjaga di ruangan bayi langsung mendekati Aditya. "Lalu, apakah ada perkembangan bagus pada bayi saya?" tanya Aditya nampak antusias. "Tentu saja, Pak. Kondisi bayi Pak Adit berangsur baik. Apalagi jika terus menerus mendapatkan ASI secara maksimal." Sejenak Aditya terdiam. Ia menatap wajah bayinya yang memang sedikit lincah dari biasanya. Tangan dan kaki sang bayi yang keriput kini bergerak-gerak lincah, membuat Aditya merasa lega. Ia kemudian mengembalikan pandangan pada perawat di sampingnya. "Dimana pemilik pendonor ASI itu? Saya ingin bertemu," tanya Aditya tak mau menunda waktu. "Ibu Raya sudah keluar dari rumah sakit sejak siang tadi, Pak." Napas Aditya seketika lesu. "Apakah Anda bisa membantu saya? Saya ingin ta

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status