Hari ini Raya bisa menghela nafas lega, Dia baru saja selesai mengajukan permohonan gugatan perceraian ke pengadilan agama.Proses ini masih cukup panjang. Raya harus mempersiapkan mental untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Dia juga harus mempersiapkan diri untuk tahap selanjutnya yakni tahap mediasi. Saat ini Raya dan Aditya telah kembali ke kendaraan roda 4 milik Aditya. Ketika matahari sudah naik ke atas ubun-ubun, kendaraan Aditya harus terjebak macet di jalanan yang ramai oleh kendaraan. Saat itu pula, kemeja yang Raya gunakan nampak basah di bagian dadanya. Buah dada Raya basah. ASI-nya merembes. "Oh ya ampun." Menyadari hal itu, Raya langsung menutupi bagian dadanya dengan kedua telapak tangan. Ia baru sadar dengan pakaian yang sudah basah oleh ASI yang merembes keluar. Pun dengan Aditya sadar akan hal itu, menjadi serba salah. Ia tahu yang basah itu pasti ASI. Tapi Aditya tidak enak untuk mengatakannya."Kamu kenapa?" Aditya memilih untuk pura-pura
"Hey! Pergi!" Mendengar Raihan berteriak di depan rumah majikannya, satpam yang berjaga di rumah Aditya langsung mengusir Raihan."Saya harus bertemu dengan istri saya!" pinta Raihan memaksa. Namun satpam berseragam putih hitam itu langsung mendorong Raihan hingga mundur beberapa langkah ke belakang."Anda tidak sopan! Pergi sekarang, atau saya akan melaporkan Anda ke pihak berwajib." Satpam pun segera mengeluarkan ancaman."Halah! Kamu dan majikanmu itu tak jauh beda, sama-sama tukang mengancam." Raihan tidak takut. Malah semakin menantang."Saya tidak mengancam. Anda telah membuat kekacauan di dapan rumah orang. Kami tidak nyaman dengan teriakan Anda. Pergi dari sini sekarang sebelum saya bertindak lebih jauh." Bukan hanya satu orang satpam, beberapa satpam di rumah Aditya nampak berkumpul untuk mengusir Raihan. Satpam kediaman Aditya itu sudah diberitahu mengenai Raihan. Penjagaan ketat mulai diterapkan sedari kemarin.Ditengah kekacauan yang dibuat Raihan, tiba-tiba sebuah sedan
"Heh! Ngapain kamu berdiri di situ?" tegur Seline yang baru saja menyadari keberadaan Raya di dekat tangga. "Kamu sedang nguping ya? Nggak sopan banget," imbuhnya menyindir.Dengan cepat, Aditya menoleh. Raut wajahnya seketika berubah menjadi tercengang. Ia benar-benar tidak tahu kalau Raya sudah berdiri di situ."Raya!" Aditya napak menganga. Bagaimana kalau Raya sampai mendengar percakapannya barusan. Sudah dipastikan Ibu susu Fatih pasti itu pasti sakit hati.Raya segera mengatur nafasnya. "Maaf, saya tidak berniat menguping. Saya hanya ingin mengantarkan pesanan kopi untuk Pak Aditya," ucapnya. Raya melanjutkan langkah lalu meletakan satu cangkir yang berisi kopi di atas meja. "Silahkan, Pak."Raya langsung berbalik arah, hendak turun.Namun Selin langsung menahan langkahnya. "Tunggu!"Akhirnya Raya menjeda langkah. "Kenapa, Bu?" tanyanya seraya menoleh."Apa! Ibu? Kamu pikir aku ibumu!" protes Selin pada Raya.Raya segera menunduk. "Maaf." "Panggil saya Nona!" pinta Selin dengan
Malam ini, Raya sampai tak dapat tidur. Kelopak matanya terus saja terbuka tanpa bisa dipejamkan. Pikirannya kalut. Setiap kali berusaha untuk tidur, Fatih malah terbangun dan dia harus kembali menyusui Fatih.Bahkan ketika menatap wajah Fatih, tak terasa ada yang menetes dari sudut matanya. Ada kesedihan yang tak mampu dibendungnya malam ini.Raya terisak. Dihapusnya segera pipi yang sudah basah oleh tetesan bulir bening. Dia sendiri tidak tahu penyebab tangisannya malam ini. Yang pasti, ucapan Aditya tadi sore telah membuat hatinya terluka. "Ibu akan tetap bertahan di sini, sampai memastikan kamu tidak membutuhkan Ibu lagi, Fatih." Raya semakin terisak ketika menuturkan kalimat barusan. Anak susunya itu yang kini berada dalam pangkuan, terlihat mengukir senyuman pada Raya. Senyuman Fatih, ketika membuat perasaan Raya terasa lebih tenang dari sebelumnya. Bagaimana mungkin Raya bisa hidup tanpa Fatih? Ia merasa sebagian dari hidupnya, ada pada Fatih. Saya juga merasa kalau Fatih ada
"Bayimu meninggal, Bodoh!" Raya terkejut. Sebelah tangan nampak menutup mulut yang sedikit menganga. Air matanya seketika luruh di pipi. Isi hatinya benar-benar hancur porak poranda. "Tidak...." Wati—sang mertua mendekat pada Raya, bukan untuk menenangkan sang menantu, melainkan malah mendorong kepala Raya dengan jemari tangannya. "Ini semua gara-gara kamu!" geramnya. Wati marah karena Raya nekad pergi ke Jakarta sendirian. Akibatnya Raya harus mendadak melahirkan karena batinnya terguncang usai memergoki sang suami bersama seorang wanita paruh baya tengah berduaan di kamar kostnya. Bagaimana mungkin ini gara-gara Raya, sedang ia tak pernah tahu kondisi kehamilannya selama ini. Wati adalah mertua yang so tahu, tak pernah membiarkan Raya memeriksa kandungan ke Dokter atau Bidan. Dunia Raya seketika hancur, dadanya semakin sakit. Mendengar bayinya meninggal terasa lebih menyakitkan dari pada memergoki suaminya selingkuh. Kepala Raya tiba-tiba pusing, pandangannya gelap hingg
Aditya nampak menyeringai. Ia kemudian langsung masuk ke ruangan tempat bayinya berada. Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang terbendung. Pria itu nampak terharu. "Permisi, Pak. Atas izin dari neneknya, bayi Pak Adit sudah mendapatkan ASI." Perawat yang berjaga di ruangan bayi langsung mendekati Aditya. "Lalu, apakah ada perkembangan bagus pada bayi saya?" tanya Aditya nampak antusias. "Tentu saja, Pak. Kondisi bayi Pak Adit berangsur baik. Apalagi jika terus menerus mendapatkan ASI secara maksimal." Sejenak Aditya terdiam. Ia menatap wajah bayinya yang memang sedikit lincah dari biasanya. Tangan dan kaki sang bayi yang keriput kini bergerak-gerak lincah, membuat Aditya merasa lega. Ia kemudian mengembalikan pandangan pada perawat di sampingnya. "Dimana pemilik pendonor ASI itu? Saya ingin bertemu," tanya Aditya tak mau menunda waktu. "Ibu Raya sudah keluar dari rumah sakit sejak siang tadi, Pak." Napas Aditya seketika lesu. "Apakah Anda bisa membantu saya? Saya ingin ta
Bukan hanya Wati, Winda pun nampak tercengang. Kebetulan mereka memang tengah membutuhkan uang yang banyak untuk membayar hutang-hutang Winda. "Minta tolong apa?" Wati kembali bertanya. "Saya membutuhkan ASI yang banyak untuk pemulihan bayi saya." Aditya menjawab. Pandangannya kemudian beralih pada Winda yang ia sangka adalah Raya. "Jika Raya bersedia mendonorkan ASI-nya, saya bersedia membayar berapa pun nominal yang Raya minta. Asalkan bayi saya mendapat ASI yang cukup sampai berat badannya maksimal." Mendengar penjelasan Aditya, Wati dan Winda nampak menganga karena tercengang. Sepertinya ini adalah kesempatan bagus bagi mereka. "Sebentar, Pak." Wati langsung menarik tangan Winda untuk masuk ke dalam kamar Winda. Tentu karena Wati ingin berbicara serius dengan putrinya itu. Di dalam kamar Winda, wajah Wati nampak masih terkejut. Isi kepalanya berseliweran tumpukan uang kertas berwarna merah. "Dengarkan Mama, Winda. Kita akan kembali ke depan menemui pria yang bernama Aditya b
Beberapa jam setelah Wati dan Winda berlalu, kini tinggalah Raya sendiri d rumah yang sederhana itu. Keadaan rumah masih berantakan, Raya berusaha membereskan semuanya. Tapi pekerjaannya harus tertunda ketika mendengar pintu di depan rumah diketuk seseorang. Tok tok tok! Apakah Wati dan Winda sudah kembali? Secepat itukah? Raya bergegas mengelap tangannya yang basah usai mencuci piring. Ia segera melangkah menuju pintu utama. Ketika Raya membuka pintu, yang datang ternyata Raihan. Sedikit tercengang namun Raya berusaha tenang. "Kemana saja kamu, Mas?" tanya Raya pada suaminya. Namun tanggapan Raihan terlihat sinis. "Harusnya aku yang bertanya, kamu yang ke mana saja? Anak meninggal malah keluyuran!" geramnya. Mendengar itu, Raya menautkan kedua alisnya. "Aku keluyuran? Gak salah dengar aku?" Ia menunjuk wajahnya sendiri. "Sudahlah! Aku tidak bisa kamu bodohi." Raihan melangkah masuk, melewati tubuh Raya tanpa perduli. Pria itu seolah amnesia akan kesalahan sebelumnya. "Aku ba
Malam ini, Raya sampai tak dapat tidur. Kelopak matanya terus saja terbuka tanpa bisa dipejamkan. Pikirannya kalut. Setiap kali berusaha untuk tidur, Fatih malah terbangun dan dia harus kembali menyusui Fatih.Bahkan ketika menatap wajah Fatih, tak terasa ada yang menetes dari sudut matanya. Ada kesedihan yang tak mampu dibendungnya malam ini.Raya terisak. Dihapusnya segera pipi yang sudah basah oleh tetesan bulir bening. Dia sendiri tidak tahu penyebab tangisannya malam ini. Yang pasti, ucapan Aditya tadi sore telah membuat hatinya terluka. "Ibu akan tetap bertahan di sini, sampai memastikan kamu tidak membutuhkan Ibu lagi, Fatih." Raya semakin terisak ketika menuturkan kalimat barusan. Anak susunya itu yang kini berada dalam pangkuan, terlihat mengukir senyuman pada Raya. Senyuman Fatih, ketika membuat perasaan Raya terasa lebih tenang dari sebelumnya. Bagaimana mungkin Raya bisa hidup tanpa Fatih? Ia merasa sebagian dari hidupnya, ada pada Fatih. Saya juga merasa kalau Fatih ada
"Heh! Ngapain kamu berdiri di situ?" tegur Seline yang baru saja menyadari keberadaan Raya di dekat tangga. "Kamu sedang nguping ya? Nggak sopan banget," imbuhnya menyindir.Dengan cepat, Aditya menoleh. Raut wajahnya seketika berubah menjadi tercengang. Ia benar-benar tidak tahu kalau Raya sudah berdiri di situ."Raya!" Aditya napak menganga. Bagaimana kalau Raya sampai mendengar percakapannya barusan. Sudah dipastikan Ibu susu Fatih pasti itu pasti sakit hati.Raya segera mengatur nafasnya. "Maaf, saya tidak berniat menguping. Saya hanya ingin mengantarkan pesanan kopi untuk Pak Aditya," ucapnya. Raya melanjutkan langkah lalu meletakan satu cangkir yang berisi kopi di atas meja. "Silahkan, Pak."Raya langsung berbalik arah, hendak turun.Namun Selin langsung menahan langkahnya. "Tunggu!"Akhirnya Raya menjeda langkah. "Kenapa, Bu?" tanyanya seraya menoleh."Apa! Ibu? Kamu pikir aku ibumu!" protes Selin pada Raya.Raya segera menunduk. "Maaf." "Panggil saya Nona!" pinta Selin dengan
"Hey! Pergi!" Mendengar Raihan berteriak di depan rumah majikannya, satpam yang berjaga di rumah Aditya langsung mengusir Raihan."Saya harus bertemu dengan istri saya!" pinta Raihan memaksa. Namun satpam berseragam putih hitam itu langsung mendorong Raihan hingga mundur beberapa langkah ke belakang."Anda tidak sopan! Pergi sekarang, atau saya akan melaporkan Anda ke pihak berwajib." Satpam pun segera mengeluarkan ancaman."Halah! Kamu dan majikanmu itu tak jauh beda, sama-sama tukang mengancam." Raihan tidak takut. Malah semakin menantang."Saya tidak mengancam. Anda telah membuat kekacauan di dapan rumah orang. Kami tidak nyaman dengan teriakan Anda. Pergi dari sini sekarang sebelum saya bertindak lebih jauh." Bukan hanya satu orang satpam, beberapa satpam di rumah Aditya nampak berkumpul untuk mengusir Raihan. Satpam kediaman Aditya itu sudah diberitahu mengenai Raihan. Penjagaan ketat mulai diterapkan sedari kemarin.Ditengah kekacauan yang dibuat Raihan, tiba-tiba sebuah sedan
Hari ini Raya bisa menghela nafas lega, Dia baru saja selesai mengajukan permohonan gugatan perceraian ke pengadilan agama.Proses ini masih cukup panjang. Raya harus mempersiapkan mental untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Dia juga harus mempersiapkan diri untuk tahap selanjutnya yakni tahap mediasi. Saat ini Raya dan Aditya telah kembali ke kendaraan roda 4 milik Aditya. Ketika matahari sudah naik ke atas ubun-ubun, kendaraan Aditya harus terjebak macet di jalanan yang ramai oleh kendaraan. Saat itu pula, kemeja yang Raya gunakan nampak basah di bagian dadanya. Buah dada Raya basah. ASI-nya merembes. "Oh ya ampun." Menyadari hal itu, Raya langsung menutupi bagian dadanya dengan kedua telapak tangan. Ia baru sadar dengan pakaian yang sudah basah oleh ASI yang merembes keluar. Pun dengan Aditya sadar akan hal itu, menjadi serba salah. Ia tahu yang basah itu pasti ASI. Tapi Aditya tidak enak untuk mengatakannya."Kamu kenapa?" Aditya memilih untuk pura-pura
"Ada apa ini?" Anita yang tak sengaja mendengar suara Selin, turut serta masuk ke kamar Fatih Sadar akan kedatangan Anita, Selin pun langsung merubah raut wajahnya menjadi sendu."Tante." Selin yang sudah memasang wajah sendu, langsung memeluk Anita. Menyembunyikan tangisan palsunya."Kenapa, Selin?" Anita menjadi keheranan. "Bukankah tadi kamu marah-marah? Kenapa jadi menangis?" tanyanya seraya mengusap lembut punggung Selin."Aku marah karena wanita itu menghinaku, Tante." Selin sambil terisak. Terlihat menangis, tapi tak ada setetes pun air mata yang keluar.Mendengar tuduhan Selin, Raya pun mendongak terkejut. Raya juga langsung menggelengkan kepalanya. "Saya tidak menghina siapa pun," bantahnya segera."Bohong, Tante. Dia berkata, kalau aku tidak pantas dekat dengan Fatih. Dia mengusirku. Aku menjadi marah dan sedih." Selin kembali berpura-pura menangis dalam pelukan Anita."Masa sih?" Anita menautkan kedua alisnya. Terlihat tak percaya."Tante gak percaya sama aku?" Wajah manja
"Hah!" Mendengar itu seketika Raya mendongak terkejut. "Maksudnya?" Sadar dengan ucapan barusan, Aditya terlihat menjadi gugup. "Eh maksudnya, saya. Mmm... Maksud saya, saya akan melakukan apa pun untuk siapa saja yang menyayangi Fatih. Termasuk kamu. Kamu sayang 'kan pada Fatih?" ralatnya segera.Nampak kedua sudut bibir Raya tertarik ke samping. Ia mengukir senyum. "Tentu saja, Pak. Saya sangat menyayangi Fatih bagaikan anak kandung sendiri. Maaf jika perasaan saya pada Fatih terlalu berlebihan," balasnya pada Aditya."Tidak usah minta maaf, Raya. Saya malah merasa senang atas kasih sayang yang kamu berikan pada Fatih." Aditya menjadi salah tingkah. Ia meluruskan pandangan ke depan, tak tentu tujuan.Hingga akhirnya Raya telah sampai di kediaman mewahnya Aditya Fadillah."Titip Fatih ya. Saya harus meeting seharian ini," ucap Aditya ketika Raya hendak keluar dari mobilnya."Iya, Pak. Tentu saja." Raya menganggukan kepala kemudian keluar dari mobil Aditya.Raya merasa senang sebab i
Hingga akhirnya, kendaraan Aditya berhasil menyalip kendaraan Raihan. Secara mendadak Raihan menginjak pedal rem hingga kening Raya sampai terkena dashboard mobil."Aww!" pekik Raya. Keningnya sampai memerah. "Sakit, Mas!" Raihan terlihat mengerutkan bibirnya, rahangnya nampak mengeras, terlihat tengah menahan emosi. Kendaraannya berhasil dihentikan oleh Aditya. Tok tok tok! Kaca mobil diketuk Aditya dari luar. "Buka!" pinta Aditya dengan tegas.Namun Raihan masih terdiam, ia terlihat enggan untuk menurunkan kaca mobilnya.Tok tok tok!Merasa perintahnya tidak diindahkan, Aditya kembali mengetuk pintu kaca mobil Raihan. "Buka! Atau saya pecahkan kaca mobilnya," ancamnya dengan keras, dari luar.Merasa tengah berada di posisi yang tidak aman, Raya segera membuka kunci, lalu dengan cepat keluar dari mobil Raihan."Raya, tunggu!" Raihan langsung menarik tangan Raya namun terlepas kembali.Raya sudah berhasil keluar dari mobil Raihan, lalu berlindung di belakang Aditya. "Pak, saya tak
"Tidak usah, Pak. Saya makan sendiri saja." Raya menolak dengan sopan. Dia masih menyusui Fatih. "Tidak apa-apa, Raya. Kalau menunggu sampai Fatih selesai, nanti keburu dingin." Aditya tetap memaksa dengan perhatian. Dia mulai menyendok spaghetti lalu disodorkan ke dekat bibir Raya."Buka mulut kamu, Raya. Makanlah," titah Aditya. Dia tak tahu betapa tersipu malunya Raya saat ini oleh sikap dan perlakuannya.Sebenarnya Raya enggan membuka mulutnya. Dia merasa tak enak. Tapi jika tetap menolak, khawatir Aditya marah karena dianggap tak menghargai.Mulut Raya pun terbuka. Ia memakan suapan spaghetti dari Aditya.Di ruangan kamar bayi itu, ketika Fatih masih menyedot ASI Raya dalam waktu yang cukup lama, Aditya pun masih menyuapi Raya sampai spaghetti di atas piring itu habis.Setelah selesai, Aditya segera beranjak. "Selamat istirahat ya, Raya. Jangan tidur terlalu malam," ucapnya kemudian pergi.Raya tak membalas ucapan Aditya. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum malu. Raya menunduka
Sementara dengan Raya, malam ini wanita berbulu mata lentik itu telah sampai di kediaman Aditya. Sebelum ke kamar Fatih, terlebih dahulu Raya mencuci tangan dan wajahnya yang dirasa belum higienis setelah dari luar.Ketika Raya hendak masuk ke kamar Fatih, samar-samar terdengar suara berbicara dari dalam ruangan. Langkah Raya seketika tertahan di ambang pintu."Kerja bagus malam ini. Besok saya akan berikan kamu bonus." Suara bariton terdengar berbisik.Sepertinya itu suara Aditya. Raya bisa mendengar suara Aditya tengah berbicara. Dengan siapa?Raya menengok benda bundar yang menempel di dinding rumah? Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Pikir Raya, mungkin saja Aditya memang belum tidur di ruangan yang lain.Raya kemudian melanjutkan niatnya masuk ke kamar Fatih. Raya segera memutar handle pintu.Ceklek!Begitu pintu terbuka, seketika bola mata Raya dibuat terkejut."Raya!" Aditya terkejut melihat Raya membuka pintu. Dia terkejut karena tengah berbicara dengan seseorang melalu