Petugas medis sempat kebingungan. Namun ia segera menjelaskan, "Maaf, Bu. Pemilik handphone ini akan segera melahirkan. Sekiranya Ibu adalah pihak keluarga pasien, saya harap untuk segera datang ke rumah sakit."
"Apa!" Suara dari balik telepon terdengar kaget. "Jadi Raya akan melahirkan?" "Iya, Bu. Keadaan pasien sangat lemah." Perawat kembali menerangkan. "Haduh, merepotkan saja jadi menantu!" Sambungan telepon langsung berakhir. Perawat di dekat Raya tampak menggelengkan kepala. Kok ada orang tua seperti itu? Menantu mau melahirkan malah dibilang merepotkan. Setelah sekitar satu jam tak sadarkan diri, kelopak mata Raya yang sembab perlahan mulai terbuka. Wanita berkulit putih itu mulai sadar dari pingsan. "Dimana ini?" Raya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Sebelah tangannya langsung mengusap perutnya yang semakin terasa mules. "Syukurlah Ibu telah sadar. Nama Ibu siapa?" Perawat langsung bertanya. "Ra-Raya." "Baik, Ibu Raya. Bisa minta kartu identitas penduduk? Ibu akan segera melahirkan. Sudah mulai pembukaan dua." "Di dalam tas," jawab Raya dengan suara pelan. Tubuhnya terasa sangat lemah, bagaikan tak bertenaga. Setelah mendapatkan kartu identitas penduduk milik Raya, salah satu petugas medis segera mengurus pendaftaran. Sementara petugas medis yang lainnya langsung menangani kondisi Raya yang semakin melemah. Memasang selang infusan dan pertolongan medis yang lainnya. Pada hidung Raya pun nampak terpasang selang oksigen. Napas Raya terasa sesak. "Aww... Sakit." Raya meringgis. Namun ia berusaha memendam. Rasa sakit di dalam hatinya, bahkan melebihi rasa sakit pada perutnya saat ini. Harusnya di sampingnya ada Raihan, sebagaimana wanita lain yang hendak melahirkan. Tapi Raya hanya sendirian, dadanya kian sesak tatkala mengingat itu. "Sabar ya, Ibu. Atur napas dengan baik." Selagi menahan sakit, Raya berusaha mengeluarkan rasa penasaran. "Kandungan saya baru menginjak 8 bulan, kenapa bisa—" Kalimat Raya tertahan di tenggorokan. Rasa sakit pada perutnya kian bertambah parah. "Setalah kami melakukan pemeriksaan, usia kehamilan Ibu sudah menginjak sembilan bulan. Memang sudah waktunya untuk melahirkan. Mengapa Ibu Raya bisa tidak mengetahui hal itu?" "Apa!" Raya terkejut. Ia memang tak pernah memeriksa kandungan ke Bidan atau Dokter. Selama ini hanya mertuanya yang memeriksa di rumah, itu karena sang mertua adalah dukun beranak di kampungnya. "Jangan manja! Jangan dibiasakan ke Dokter. Apa-apa Dokter. Mama juga mampu memeriksa kandungan kamu. Mama sudah ahlinya. Jika kelak kamu akan melahirkan, maka Mama yang akan membantu persalinan kamu. Jangan pernah buang-buang uang berjuta-juta. Melahirkan sama Mama gratis, tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Paham kan!" Kalimat tegas yang tak bisa dibantah selalu keluar dari sang mertua kepada Raya di setiap harinya. Raya yang polos dan penurut, tak bisa membantah. Ia selalu patuh pada perintah sang mertua, padahal kiriman uang dari Raihan selalu banyak bahkan lebih dari cukup untuk biaya pemeriksaan kandungan sampai melahirkan. Namun nyatanya, perkiraan sang mertua melenceng. Usia kehamilan yang diperkirakan baru menginjak delapan bulan, nyatanya sudah lebih dari sembilan bulan dan Raya akan segera melahirkan dengan normal. Di atas hospital bed, Raya berbaring sambil meringis kesakitan. Semakin lama, perutnya semakin sakit. Entah obat apa yang dimasukan petugas medis ke dalam cairan infusan dan alat kelamin Raya. Wanita berbulu mata lentik itu semakin tidak kuat menahan rasa sakit. "Aww... Sus! Saya sudah tidak kuat. Sepertinya mau keluar!" Raya menjerit. Dua orang petugas medis pun telah siap untuk membantu Raya. "Kepalanya sudah mulai terlihat, Ibu. Ayo tarik napas pelan-pelan lewat hidung, keluarkan lewat mulut." Sudah tak bisa dikendalikan lagi, saking dahsyatnya rasa sakit pada perut Raya saat ini. Ia merasa kematian sudah menunggu di depan mata. Tapi, kalau dia mati, bagaimana dengan bayinya? Bayi Raya adalah harapan suami dan sang mertua. Raya segera menguatkan diri, dia harus mengeluarkan bayinya dengan selamat bagaimana pun caranya. Di akan berjuang, menahan rasa sakit bertaruh nyawa demi melahirkan bayinya ke dunia. Hanya kekuatan dan pertolongan dari Tuhan, 30 menit kemudian seorang bayi laki-laki lahir ke dunia. Namun, sepertinya ada yang tak beres. Kenapa petugas medis nampak terkejut? "Kenapa, Sus?" Perasaan Raya tidak enak. "Bayinya tidak menangis. Kami akan segera melakukan pertolongan pada Bayi Ibu Raya." Lagi-lagi tubuh Raya terasa remuk mendengar jawaban pertugas medis. Wanita berseragam putih itu langsung membawa Bayi Raya ke tempat lain. Sementara salah satu petugas medis masih membersihkan kelamin Raya. "Kenapa dengan bayi saya, Sus?" Bibir Raya nampak bergetar ketika bertanya. Bersamaan dengan itu, bulir bening kembali menetes dari sudut matanya. "Ibu berdoa yang terbaik ya. Petugas akan melakukan yang terbaik." Dengan tenang petugas medis menjelaskan. Bagaimana bisa tenang, jawaban petugas medis membuat perasaan Raya begitu kuat akan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Di saat wanita lain melahirkan didampingi pasangan, Raya malah harus menahan pilu karena hanya berjuang sendirian. Lebih-lebih, jawaban suster barusan membuat isi dada terasa cemas memikirkan keadaan bayinya saat ini. Tidak lama, seorang wanita paruh baya tiba di dekat Raya. Dia adalah Wati—mertua Raya. "Raya, apa bayinya sudah lahir?" "Sudah, Ma. Tapi—" Raya nampak berat untuk menjawab. "Tapi apa?" potong Wati sambil memasang wajah kecewa. Wanita paruh baya itu kecewa karena Raya malah melahirkan di rumah sakit. Padahal Wati adalah dukun beranak yang sudah profesional dan dia sangat ingin membantu Raya melahirkan cucu pertamanya. "Bayinya di bawa ke ruangan tindakan, Bu." Suster yang sudah selesai membersihkan tubuh Raya, turut menjawab. "Loh! Memangnya kenapa? Harusnya bayinya langsung diletakan dekat ibunya." Wati nampak protes. "Bayinya tidak menangis, Bu. Kulitnya pun nampak membiru." "Apa!" Wati terkejut. Ia pun mengalihkan pandangan kepada Raya. "Ini gara-gara kamu yang pembangkang! Sudah Mama katakan jangan pergi kemana-mana. Ini malah sok banget pergi ke Jakarta sendiri. Ini pasti ulah makhluk halus." Usai mengoceh, Wati langsung pergi ke ruangan tempat bayi Raya ditindak. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Pemikiran yang kolot, Wati selalu menyangkut pautkan sesuatu dengan makhluk astral. "Sus... Memangnya bayi yang baru lahir harus menangis?" Bibir Raya bergetar lemas ketika bertanya pada petugas medis. "Iya, Ibu. Semua bayi yang baru lahir lumrahnya memang menangis. Jika tidak, kemungkinan ada yang salah pada otak atau beberapa bagian tubuhnya." Tangisan Raya kian deras. Tentu karena ia takut terjadi sesuatu yang berbahaya pada bayinya. Rasa sakit pada hatinya saat ini, bahkan mengalahkan sakit pada kelamin usai melahirkan barusan. 'Ya Tuhan, selamatkan bayiku. Jangan sampai terjadi sesuatu yang membahayakan nyawanya,' batinnya. Cukup lama Wati pergi meninggalkan Raya yang kini sendirian di ruangan bersalin. Perasaan cemas bercampur penasaran berseliweran di kepala Raya. Ia berusaha untuk duduk, kemudian mencoba turun dari hospital bed. Wanita berbulu mata lentik itu harus melihat bayinya. Namun belum sempat Raya melangkah, Wati pun kembali ke ruangan bersalin dengan langkah cepat. "Dasar wanita pembangkang! Tidak bisa dikasih tahu!" Wati langsung mendorong tubuh Raya hingga terduduk di atas hospital bed. "Gara-gara kamu, aku harus kehilangan cucu pertama!" murkanya.Mendengar itu, jantung Raya seakan berhenti berdegup. Napasnya bagai tersengal di tenggorokan."Apa maksud Mama?" tanya Raya pada Wati yang memasang wajah murka padanya."Bayimu meninggal, Bodoh!" Raya terkejut. Sebelah tangan nampak menutup mulut yang sendiri menganga. Air matanya kembali luruh di pipi. Isi hatinya benar-benar hancur porak poranda. "Tidak...." Wati pun mendekat pada Raya, bukan untuk menenangkan sang menantu, melainkan malah mendorong kepala Raya dengan jemari tangannya. "Ini semua gara-gara kamu!" geramnya.Bagaimana mungkin ini gara-gara Raya, sedang ia tak pernah tahu kondisi kehamilannya selama ini. Wati adalah mertua yang so tahu, tak pernah membiarkan Raya memeriksa kandungan ke Dokter atau Bidan. Dunia Raya seketika hancur, dadanya semakin sakit. Mendengar bayinya meninggal terasa lebih menyakitkan dari pada memergoki suaminya selingkuh. Kepala Raya tiba-tiba pusing, pandangannya gelap hingga ia kembali tak sadarkan diri."Baguslah kamu pingsan Raya! Menant
Aditya nampak menyeringai. Ia kemudian langsung masuk ke ruangan tempat bayinya berada. Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang terbendung. Pria itu nampak terharu."Permisi, Pak. Atas izin dari neneknya, bayi Pak Adit sudah mendapatkan ASI." Perawat yang berjaga di ruangan bayi langsung mendekati Aditya."Lalu, apakah ada perkembangan bagus pada bayi saya?" tanya Aditya nampak antusias."Tentu saja, Pak. Kondisi bayi Pak Adit berangsur baik. Apalagi jika terus menerus mendapatkan ASI secara maksimal."Sejenak Aditya terdiam. Ia menatap wajah bayinya yang memang sedikit lincah dari biasanya. Tangan dan kaki sang bayi yang keriput kini bergerak-gerak lincah, membuat Aditya merasa lega. Ia kemudian mengembalikan pandangan pada perawat di sampingnya."Dimana pemilik pendonor ASI itu? Saya ingin bertemu," tanya Aditya tak mau menunda waktu."Ibu Raya sudah keluar dari rumah sakit sejak siang tadi, Pak."Napas Aditya seketika lesu. "Apakah Anda bisa membantu saya? Saya ingin tahu ala
Bukan hanya Wati, Winda pun nampak tercengang. Kebetulan mereka memang tengah membutuhkan uang yang banyak untuk membayar hutang-hutang Winda."Minta tolong apa?" Wati kembali bertanya."Saya membutuhkan ASI yang banyak untuk pemulihan bayi saya." Aditya menjawab. Pandangannya kemudian beralih pada Winda yang ia sangka adalah Raya. "Jika Raya bersedia mendonorkan ASI-nya, saya bersedia membayar berapa pun nominal yang Raya minta. Asalkan bayi saya mendapat ASI yang cukup sampai berat badannya maksimal."Mendengar penjelasan Aditya, Wati dan Winda nampak menganga karena tercengang. Sepertinya ini adalah kesempatan bagus bagi mereka."Sebentar, Pak."Wati langsung menarik tangan Winda untuk masuk ke dalam kamar Winda. Tentu karena Wati ingin berbicara serius dengan putrinya itu.Di dalam kamar Winda, wajah Wati nampak masih terkejut. Isi kepalanya berseliweran tumpukan uang kertas berwarna merah."Dengarkan Mama, Winda. Kita akan kembali ke depan menemui pria yang bernama Aditya barusan
"Ah ...!" Sebelah tangan Raya tertahan di depan pintu. Wanita berambut sebahu itu tak jadi mengetuk pintu. Jauh-jauh dari kampung ke kostan suaminya yang ada di Jakarta karena ingin memberi kejutan. Tapi, telinganya tiba-tiba mendengar suara desahan wanita dari dalam kamar kostan suaminya. Ia mengusap perutnya yang buncit. Kehamilannya sudah menginjak usia ke delapan bulan. Namun sudah hampir tiga bulan sang suami tidak pulang, maka dari itu ia ingin memberi kejutan. Tapi... "Hnggh ..." Malah suara desahan wanita yang menyambut kedatangannya dari dalam kamar kostan. Suara siapa itu? Mengapa ada di dalam kamar Raihan? Dada Raya seketika berdebar lemas. Tangannya gemetar. Tapi ia berusaha mengatur napas kemudian menenangkan diri. Bisa saja kamar kostan telah berubah pemiliknya, bukan lagi Raihan. Tok tok tok!!! Dengan cepat Raya mengetuk pintu di depannya, meski tangannya masih bergetar lesu. "Siapa?" Raya bisa memastikan suara bariton yang bertanya dari dalam kamar kostan, ada
Bukan hanya Wati, Winda pun nampak tercengang. Kebetulan mereka memang tengah membutuhkan uang yang banyak untuk membayar hutang-hutang Winda."Minta tolong apa?" Wati kembali bertanya."Saya membutuhkan ASI yang banyak untuk pemulihan bayi saya." Aditya menjawab. Pandangannya kemudian beralih pada Winda yang ia sangka adalah Raya. "Jika Raya bersedia mendonorkan ASI-nya, saya bersedia membayar berapa pun nominal yang Raya minta. Asalkan bayi saya mendapat ASI yang cukup sampai berat badannya maksimal."Mendengar penjelasan Aditya, Wati dan Winda nampak menganga karena tercengang. Sepertinya ini adalah kesempatan bagus bagi mereka."Sebentar, Pak."Wati langsung menarik tangan Winda untuk masuk ke dalam kamar Winda. Tentu karena Wati ingin berbicara serius dengan putrinya itu.Di dalam kamar Winda, wajah Wati nampak masih terkejut. Isi kepalanya berseliweran tumpukan uang kertas berwarna merah."Dengarkan Mama, Winda. Kita akan kembali ke depan menemui pria yang bernama Aditya barusan
Aditya nampak menyeringai. Ia kemudian langsung masuk ke ruangan tempat bayinya berada. Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang terbendung. Pria itu nampak terharu."Permisi, Pak. Atas izin dari neneknya, bayi Pak Adit sudah mendapatkan ASI." Perawat yang berjaga di ruangan bayi langsung mendekati Aditya."Lalu, apakah ada perkembangan bagus pada bayi saya?" tanya Aditya nampak antusias."Tentu saja, Pak. Kondisi bayi Pak Adit berangsur baik. Apalagi jika terus menerus mendapatkan ASI secara maksimal."Sejenak Aditya terdiam. Ia menatap wajah bayinya yang memang sedikit lincah dari biasanya. Tangan dan kaki sang bayi yang keriput kini bergerak-gerak lincah, membuat Aditya merasa lega. Ia kemudian mengembalikan pandangan pada perawat di sampingnya."Dimana pemilik pendonor ASI itu? Saya ingin bertemu," tanya Aditya tak mau menunda waktu."Ibu Raya sudah keluar dari rumah sakit sejak siang tadi, Pak."Napas Aditya seketika lesu. "Apakah Anda bisa membantu saya? Saya ingin tahu ala
Mendengar itu, jantung Raya seakan berhenti berdegup. Napasnya bagai tersengal di tenggorokan."Apa maksud Mama?" tanya Raya pada Wati yang memasang wajah murka padanya."Bayimu meninggal, Bodoh!" Raya terkejut. Sebelah tangan nampak menutup mulut yang sendiri menganga. Air matanya kembali luruh di pipi. Isi hatinya benar-benar hancur porak poranda. "Tidak...." Wati pun mendekat pada Raya, bukan untuk menenangkan sang menantu, melainkan malah mendorong kepala Raya dengan jemari tangannya. "Ini semua gara-gara kamu!" geramnya.Bagaimana mungkin ini gara-gara Raya, sedang ia tak pernah tahu kondisi kehamilannya selama ini. Wati adalah mertua yang so tahu, tak pernah membiarkan Raya memeriksa kandungan ke Dokter atau Bidan. Dunia Raya seketika hancur, dadanya semakin sakit. Mendengar bayinya meninggal terasa lebih menyakitkan dari pada memergoki suaminya selingkuh. Kepala Raya tiba-tiba pusing, pandangannya gelap hingga ia kembali tak sadarkan diri."Baguslah kamu pingsan Raya! Menant
Petugas medis sempat kebingungan. Namun ia segera menjelaskan, "Maaf, Bu. Pemilik handphone ini akan segera melahirkan. Sekiranya Ibu adalah pihak keluarga pasien, saya harap untuk segera datang ke rumah sakit.""Apa!" Suara dari balik telepon terdengar kaget. "Jadi Raya akan melahirkan?""Iya, Bu. Keadaan pasien sangat lemah." Perawat kembali menerangkan."Haduh, merepotkan saja jadi menantu!"Sambungan telepon langsung berakhir. Perawat di dekat Raya tampak menggelengkan kepala. Kok ada orang tua seperti itu? Menantu mau melahirkan malah dibilang merepotkan.Setelah sekitar satu jam tak sadarkan diri, kelopak mata Raya yang sembab perlahan mulai terbuka. Wanita berkulit putih itu mulai sadar dari pingsan."Dimana ini?" Raya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Sebelah tangannya langsung mengusap perutnya yang semakin terasa mules."Syukurlah Ibu telah sadar. Nama Ibu siapa?" Perawat langsung bertanya."Ra-Raya.""Baik, Ibu Raya. Bisa minta kartu identitas penduduk? Ibu akan
"Ah ...!" Sebelah tangan Raya tertahan di depan pintu. Wanita berambut sebahu itu tak jadi mengetuk pintu. Jauh-jauh dari kampung ke kostan suaminya yang ada di Jakarta karena ingin memberi kejutan. Tapi, telinganya tiba-tiba mendengar suara desahan wanita dari dalam kamar kostan suaminya. Ia mengusap perutnya yang buncit. Kehamilannya sudah menginjak usia ke delapan bulan. Namun sudah hampir tiga bulan sang suami tidak pulang, maka dari itu ia ingin memberi kejutan. Tapi... "Hnggh ..." Malah suara desahan wanita yang menyambut kedatangannya dari dalam kamar kostan. Suara siapa itu? Mengapa ada di dalam kamar Raihan? Dada Raya seketika berdebar lemas. Tangannya gemetar. Tapi ia berusaha mengatur napas kemudian menenangkan diri. Bisa saja kamar kostan telah berubah pemiliknya, bukan lagi Raihan. Tok tok tok!!! Dengan cepat Raya mengetuk pintu di depannya, meski tangannya masih bergetar lesu. "Siapa?" Raya bisa memastikan suara bariton yang bertanya dari dalam kamar kostan, ada