Langit menampakkan senyumannya. Semuanya yang ada di bawah atap itu bergembira. Acara akad nikah baru saja selesai. Filza, pipinya memerah, menambah kecantikannya.
Hingga sosok yang masih asing untuk Filza datang. Ramahnya terlihat jelas.
"Assalamu'alaikum. Maaf, aku terlambat." Ucapnya sopan.
"Wa'alaikumsalam. Gak papa." Filza sendiri yang menjawab.
Satu jam setelah itu, semuanya selesai. Filza merasa harus buang air. Langkahnya terburu-buru menuju toilet. Saat berada pas di tengah-tengah pintu, bukannya langsung masuk, dia malah terpaku.
"Aaa!"
Teriakan itu mengagetkan semua orang, termasuk suaminya, Satria. Filza melihat dengan jelas, ayah mertuanya tergeletak bersimbah darah. Pisau masih tertancap di perut pria lansia itu. Sontak Filza langsung mencabut pisau itu. Pas saat itulah suaminya dan yang lain datang.
"Papa!"
Satria memeluk tubuh Wiroyo. Lalu mengamati sekitarnya. Sontak membawanya ke rumah sakit.
Di depan ruang operasi Satria tak henti-hentinya mendoakan Wiroyo. Ingatannya tertuju pada Filza.
"Apa yang terjadi?" Tanya pada Filza.
"Aku juga gak tau, Mas ...." Belum selesai bicara, Satria malah menatapnya tajam.
"Kenapa Kamu pegang pisau itu?!"
Filza langsung paham apa yang dimaksud suaminya.
"Mas, jangan salah paham. Tadi aku liat pisau ini masih menancap di perut papa. Makanya aku cabut pisau itu."
"Bohong! Aku sendiri yang liat." Suara itu masih asing walau beberapa jam lalu baru mendengarnya.
"Airin?"
Satria heran. Bagaimana mantan pacarnya bisa tahu kejadian ini. Padahal sedari tadi wanita itu berkumpul bersama yang lain.
"Ya, aku saksinya. Filza membunuh papamu."
"Apa itu benar?" Suara Satria melemah bahkan hampir tak terdengar.
"Enggak, Mas. Itu gak bener. Aku baru aja ke sini."
"Ini buktinya."
Tanpa basa-basi, Airin menunjukkan rekaman video yang menunjukkan Filza dengan wajah ditutup masker mengenakan pakaian pengantin, menusuk Wiroyo.
"Filza, apa ini?" Suara dingin Satria menusuknya.
"Enggak, Mas. Itu bukan aku. Bukan, Mas."
"Lalu ini apa? Kenapa Kamu setega ini? Kenapa?!"
"Mas salah paham. Aku gak ngelakuin apapun. Aku cuma narik pisau itu. Cuma itu, Mas."
"Udah ada buktinya. Kamu gak bisa mengelak."
Dokter keluar. Memberi kabar bahagia. Satria dibolehkan masuk ke ruang operasi sebentar saja.
"Papa gak papa?" Tanya Satria saat sampai di hadapan Wiroyo.
"Alhamdulillah, pa ... papa gak papa."
"Pa, Filza bener-bener keterlaluan. Aku akan ceraikan dia."
"Kenapa?"
"Loh? Papa kok nanya gitu? Dia udah berani berusaha membunuh papa."
"Ka ... kamu .... Papa gak mau denger kata cerai dari Kamu. Kamu gak boleh berpisah dari Filza."
"Tapi kenapa, Pa?"
"Karena ...." Sebelum Wiroyo mengatakan yang sebenarnya, matanya terlebih dulu tertutup.
"Papa kenapa? Pa, bangun!"
Langit jadi mendung. Suasana rumah Wiroyo jadi pilu. Apa yang terjadi?
"Pa, bangun!" Satria sesenggukan.
"Ikhlasin papa Kamu, Nak." Biha, tantenya Satria menepuk pelan pundak pria itu.
Di balik dinding yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang keluarga, Airin berdiri tegak, muncul seringai kecil di bibirnya.
Pemakaman sudah selesai. Kini Filza berada di dalam rumah barunya dengan suaminya. Tapi tak sesuai bayangan, bayangan yang selama ini dia harapkan. Saat-saat dia bahagia bersama Satria, itu tidak terjadi. Kenyataannya, malah terbalik.
"Kamu tidur di sana. Aku di sana." Menunjuk dua kamar yang bersebrangan.
"Loh, bukannya yang itu mau dibuat kamar tamu?" Filza heran.
"Seorang pembunuh gak boleh tidur sekamar apalagi seranjang bersamaku." Ucapan itu menandai berakhirnya pembicaraan antara Filza dan suaminya hari ini.
Sontak mata Filza berkaca-kaca. Rupanya Satria masih mengira dia yang membunuh Wiroyo. Menyadari betapa Satria tak memercayainya, hatinya hancur. Berat, tapi dia harus masuk ke kamar tamu. Sendirian tentunya.
Pagi datang. Suara itu berasal dari dapur. Filza sibuk dengan kompor di hadapannya. Satria muncul, duduk di kursi makan sambil terus merapikan letak dasinya.
"Mas, ini udah jadi sarapannya."
Filza girang, memberikan masakannya pada Satria. Diletakkan seporsi menu sarapan pagi ini. Tapi sayangnya Satya beranjak.
"Aku udah terlambat. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Tapi, Mas ...."
"Aku berangkat."
Setitik kecewa mendarat di pelupuk hati Filza. Tapi tak apa. Bukan masalah besar baginya. Pagi ini, jadwalnya sarapan sendirian.
Malam, Filza sudah menyiapkan masakan khusus untuk Satria. Lelaki itu keluar dari kamar menuju dapur. Baru sadar bahwa Filza yang memasak, dia langsung berbalik arah.
"Mas, mau ke mana? Makan dulu, ya!" Filza mendekat.
"Aku makan di luar aja."
"Tapi aku udah masak khusus buat Mas."
"Aku bilang apa barusan?"
Filza sedikit bingung, tapi dia tahu apa yang harus dia jawab. Sedikit takut memang, tapi mudah-mudahan jawabannya benar.
"Mas mau makan di luar."
"Itu tau. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Filza memandang punggung itu yang semakin menjauh. Lagi-lagi Satria tak mau banyak terlibat dengannya.
Filza sendiri seorang guru Sekolah Dasar. Dia suka anak-anak, apalagi yang gendut, menggemaskan. Seperti biasa, dia datang lebih awal dari guru-guru yang lain. Berkutat di bangkunya, memerhatikan nilai-nilai muridnya.
"Assalamu'alaikum. Bu Filza udah dateng, ya? Rajin banget dateng sepagi ini." Ucap salah satu guru di sana, namanya Tiyas
"Wa'alaikumsalam. Bu Tiyas juga rajin."
"Oh iya, gimana sama suami Ibu? Pasti bahagia, kan? Maaf, ya. Saya gak bisa dateng di resepsi pernikahan Ibu."
"Alhamdulillah, gak papa Bu."
Di dalam hati Filza, "aku bahagia sama Mas Satria. Bagaimanapun dia. Insyaa Allah. Cepat atau lambat mas berubah. Aamiin."
Tiyas menepuk pundaknya pelan. Alhasil, Filza terkejut.
"Kenapa, Bu?"
"Eh, enggak, Bu."
Selesai mengajar, Filza menuju parkiran sekolah. Sontak menggembungkan kedua pipinya melihat ban motor bagian depannya bocor. Tak mau menunggu, Filza menelpon Satria.
"Assalamu'alaikum." Filza memulai pembicaraan di telepon.
"Wa'alaikumsalam."
"Mas, ban motorku kempis. Mas bisa jemput aku?"
"Gak bisa. Aku sibuk. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Rasa sedih kembali lagi. Sekejap Filza memejamkan matanya. Berusaha segenap hati sabar menghadapi Satria. Mau bagaimana lagi? Dia tak punya bukti kuat bahwa dia bukan pelaku pembunuhan ayah mertuanya.
Malam datang, sepeti kemarin, Satria tiba-tiba pergi. Saat ditanya, dia mau makan di luar.
"Mas kenapa?" Kali ini Filza tak mau suaminya cuek lagi.
"Gak papa."
"Makanlah di sini! Aku udah masak buat Mas."
"Kalau aku bilang makan di luar, ya udah, makan di luar. Jangan maksa!"
"M ... maaf, Mas."
Satria pergi. Filza duduk di sofa ruang keluarga. Pandangannya tertunduk. Matanya basah. Sesaat kemudian bulir bening menetes. Cepat-cepat dia menghapusnya.
Di sepertiga malam, Filza bangun. Dia membayangkan ada Satria yang tidur di sampingnya. Tapi nyatanya tak ada. Satria tidur di kamar lain. Rasanya sakit jika mengingat itu. Tak mau membuang waktu, Filza menggelar sajadah dan mengambil wudhu.
Setelah shalat tahajjud selesai, dia berdoa dengan sepenuh hati.
"Ya Allah .... Tolong sadarkan Mas Satria. Hanya Engkau yang bisa menyadarkannya. Hamba sudah menunggu masa-masa ini dari dulu. Hamba tidak mau kehilangan Mas Satria. Hamba mohon, sadarkan Mas Satria. Aamiin."
Pagi ini seperti biasa, Satria tak sekalipun menyentuh masakan Filza. Miris sekali. Bahkan dia sekalipun tak menatap Filza."Mas, mau berangkat kerja?""Hm."***Siang, Filza berpikir untuk membuatkan bekal makanan untuk suaminya. Mungkin dengan ini hati suaminya bisa luluh. Langkahnya terburu-buru menuju ruangan Satria. Sampai di sana, dilihatnya Satria sibuk dengan laptop."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Ngapain Kamu di sini?""Ini aku bawain bekal makanan buat Mas.""Gak perlu. Aku makan di luar, bukan masakan Kamu."Tentu saja sakit hatinya muncul kembali. Ucapan Satria semakin membuat lukanya lebar."Makan aja, Mas! Aku udah masakin buat Mas." Ucapnya dengan lembut."Kalau aku bilang enggak, ya enggak! Jangan maksa!" Sedikit kasar nadanya.Filza tak berani menatap matanya. Sakit itu semakin perih. Dia berat hati membawa bekal itu kembali ke rumah.Sampai di rumah. Bukannya segera menuju sekolah
Pulang kerja, Satria langsung masuk kamar. Ada lagi yang harus dia hadapi. Menurutnya, bersama Filza merupakan masalah besar. Beberapa hari lagi adalah hari pertunangan adiknya, Santi. Tentu saja Filza harus ikut."Mas, bisa tolong bukain pintu sebentar?" Suara Filza di balik pintu.Malasnya Satria membuka pintu. Bahkan raut wajahnya tak menunjukkan bahwa dia bahagia. Sekarang di hadapannya ada Filza dengan dua pakaian indah lengkap dengan pasmina yang digantung di kedua pundaknya."Apa?""Aku pakai yang mana di pertunangan Santi?" Tanya Filza sambil menjajarkan dua pakaian itu di samping kanan dan kiri badannya."Terserah." Lalu menutup pintu.Filza tak mengira dirinya mendapat jawaban seperti itu. Hanya bisa menghembuskan napas gusar lalu pergi ke kamarnya sendiri.Di sinilah Filza, di balkon kamar dengan suasana minimalis. Termenung menatap langit. Perlahan matanya basah. Dia menangis.***Hari yang ditunggu tiba. Filza terlih
Sekarang hari Minggu. Filza bisa santai di rumah. Berharap Satria menemaninya pagi ini. Entah itu minum teh ataupun ngapain lagi, terserah."Mas, mau ke mana?""Kantor.""Tapi sekarang hari Minggu. Mas gak bisa di rumah aja? Temenin aku.""Enggak. Aku sibuk."Filza tak berani membuka mulut lagi. Dia membiarkan Satria pergi begitu saja. Tapi saat Satria hampir saja melesat, "Mas, jangan makan di luar! Nanti aku anterin bekal makanan buat Mas." Ucapnya dari kejauhan."Gak perlu!"Lagi-lagi Filza diam. Masuk kembali ke rumah. Duduk di sofa rumah tamu. Mengingat masa-masa indah bersama suaminya. Tapi mau dikata apa? Sekarang suaminya sudah berubah. Mengisi waktu luang, akhinya dia menemukan daftar keseharian baru. Tiba-tiba saja seekor anak kucing mengeong padanya.Filza datang menghampiri anak kucing itu. Tergeletak tanpa induk. Tentunya di depan rumahnya. "Kenapa aku gak liat dari tadi?"Filza meraih anak kucing itu dan membawanya
"Mas masih belum tidur?" Tanya Filza hati-hati."Belum.""Kenapa? Tidur aja.""Aku gak bisa tidur."Filza duduk di sofa. Menunggu sampai Satria bisa tidur. Sabar sekali sepertinya. Satria yang melihat Filza belum tidur, balik bertanya, "kenapa gak tidur?""Nunggu Mas bisa tidur." Ucapnya sejujur-jujurnya."Gak perlu. Aku malah seneng Kamu pulang! Gak usah di sini."Filza sakit. Sakit hati lebih tepatnya. Dia berusaha memendam itu sendiri.Lampu di ruangan rumah sakit itu sudah dimatikan. Pagi datang."Mas, sudah waktunya sarapan." Filza hendak menyuapinya."Gak perlu. Aku bisa sendiri.""Tapi, Mas ...." Ucapan itu belum selesai karena tatapan tajam Satria, membuat Filza diam seketika.Sesaat setelah kondisi mulai tenang, Filza akhinya berani membuka mulut lagi."Mas, aku mau berangkat ke sekolah. Mas gak papa di sini?""Malah aku seneng Kamu pergi."Lagi-lagi ucapan Satria menyakitkan. Apa dia
Pagi, seperti biasa, Filza memasak. Juga seperti bisa, Satria hendak pergi begitu saja."Mas, mau ke mana?""Makan di luar.""Di sini aja, Mas. Mas masih belum sembuh total.""Aku gak papa. Jangan ganggu aku!"Filza tak berani membantah. Dia membiarkan Satria keluar. Tapi bukan Filza namanya jika membiarkan begitu saja Satria keluar sendirian. Filza mengikutinya dari belakang.Memaksakan diri menjadi sifat Satria sejak dulu. Dia harus mengakui bahwa sekarang rasa tubuhnya ingin ambruk. Tepat di depan pintu warung, Satria benar-benar ambruk. Semua yang berada di sekitar langsung mengerumuni Satria. Filza lari setelah memarkirkan sepeda motor."Mas, Mas bangun!" Filza berusaha menyadarkan Satria.Beberapa menit setelah itu, Satria membuka mata. Di rumah sakit lagi dirinya saat ini. Pandangannya melayang pada sosok Biha di samping kanan dan Filza di samping kiri."Satria, Kamu kok bisa jadi gini, sih? Pasti dia yang gak becus ngeraw
Filza menyipitkan mata. "Aku pikir Mas mau bilang apa.""Ayo cari!""I ... iya, Mas."Filza celingukan mencari kecoa. Mencarinya sampai ke sudut-sudut ruangan. Tapi pencariannya tak menuai hasil. Filza menatap Satria sambil mengangkat kedua pundaknya."Ya udah, sana keluar!" Usir Satria.Filza keluar dari kamar itu. Baru kali ini dia dibuat terkekeh karena sikap Satria. Suaminya yang dia kenal sebagai seorang pria kuat, pendiam dan memesona, sekarang seperti layaknya seorang anak Sekolah Dasar."Kamu ngetawain aku?" Tanya Satria sedikit mendengar kekehan Filza."Eh, enggak, Mas. Aku cuma b ... batuk." Kebohongan Filza.***Sekolah ini membuat Filza seakan istirahat dari lelahnya menyikapi sifat Satria. Kali ini dia memerhatikan wajah lugu seorang siswa imut yang tengah bercanda dengan temannya."Mungkin Mas Satria dulu kayak gitu." Gumam Filza.Pulang mengajar dia sempatkan ke toko buku. Membaca menjadi temannya sejak
Pagi ini sedikit berbeda dari pagi yang lalu-lalu. Filza memasak, Satria langsung datang ke dapur. Tentu ada alasannya. Dia lupa menaruh dompet di mana. Alhasil, Fiza yang ditanyai."Aku gak tau, Mas. Emangnya Mas taruh di mana?" Tanya Filza sambil tetap membalik menu sarapan kali ini."Aku lupa.""Aku bantu cari, ya. Tapi selesai goreng ini dulu." Ucap Filza tanpa menatap suaminya.Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi dompet Satria belum ketemu juga. Bingung tentu. Apalagi sebentar lagi dia harus berangkat kerja. Satria menyerah mencari. Sementara Filza masih mencarinya. Mengingat suaminya harus kerja, akhirnya dia mencari jalan keluar lain."Mas, makan di sini aja, ya! Nanti Mas bisa pegang uang aku dulu." Ucap Filza tulus."Enggak.""Kalau Mas gak mau makan di sini. Terserah. Tapi Mas bisa telat kerja. Lagian kalau gak makan dulu, gak konsen lagi. Mau ngutang, malu lah." Ucap Filza.Akhirnya Satri
Filza baru saja hendak tidur, pintu kamarnya diketuk. Filza membuka kembali pintu kamar yang terkunci. Sekarang di hadapannya ada Satria."Iya, Mas?" Tanya Filza heran."Maafin aku soal yang tadi." Ucap Satria ragu."Gak papa, kok." Filza tersenyum.Tanpa mengatakan sesuatu, Satria malah nyelonong masuk ke kamar Filza. Istrinya itu bingung."Mas, mau ngapain?" Tanya Filza gugup."Terserah aku mau tidur di mana." Jawaban itu membuat Filza bahagia.Filza tidak menanyakan apapun lagi. Dia baru saja hendak menjatuhkan tubuhnya ke ranjang itu, tapi dia mengingat sesuatu. Dia ingat betul bahwa suaminya tidak mau dekat dengannya. Batal tidur di ranjang yang sama, Filza memilih untuk tidur di sofa.Satria menyadari suara langkah kaki Filza yang menjauh. Dia membuka satu matanya. Terkejut melihat Filza yang malah memilih tidur di sofa, Satria bangun."Ngapain tidur di situ?" Tanyanya ketus."Enggak papa." Jawaban yang sebenarnya baru saj