Sekarang hari Minggu. Filza bisa santai di rumah. Berharap Satria menemaninya pagi ini. Entah itu minum teh ataupun ngapain lagi, terserah.
"Mas, mau ke mana?"
"Kantor."
"Tapi sekarang hari Minggu. Mas gak bisa di rumah aja? Temenin aku."
"Enggak. Aku sibuk."
Filza tak berani membuka mulut lagi. Dia membiarkan Satria pergi begitu saja. Tapi saat Satria hampir saja melesat, "Mas, jangan makan di luar! Nanti aku anterin bekal makanan buat Mas." Ucapnya dari kejauhan.
"Gak perlu!"
Lagi-lagi Filza diam. Masuk kembali ke rumah. Duduk di sofa rumah tamu. Mengingat masa-masa indah bersama suaminya. Tapi mau dikata apa? Sekarang suaminya sudah berubah. Mengisi waktu luang, akhinya dia menemukan daftar keseharian baru. Tiba-tiba saja seekor anak kucing mengeong padanya.
Filza datang menghampiri anak kucing itu. Tergeletak tanpa induk. Tentunya di depan rumahnya. "Kenapa aku gak liat dari tadi?"
Filza meraih anak kucing itu dan membawanya ke dalam rumah. Tapi dia bingung mau memberi makan apa. Menelpon Nisa.
"Assalamu'alaikum." Filza yang memulai.
"Wa'alaikumsalam. Kamu baik-baik aja, Nak?"
"Alhamdulillah. Ma, aku mau tanya. Anak kucing itu dikasih makan apa, ya?"
"Kok tanya itu? Kalau kucing ya dikasih makanan buat kucing, dong."
"Belinya di mana?"
"Kok tanya itu?"
"Tadi aku nemuin anak kucing. Gak ada induknya. Kasian, kan?"
"Ya udah, jemput mama di rumah! Nanti kita beli sama-sama makanan buat kucingnya."
"Iya, Ma. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Cepat-cepat Filza menelpon Satria. Di sisi lain, Satria tengah beradu tatap dengan laptop. Ponselnya berdering. Itu dari Filza. "Gak penting banget." Gerutunya kesal.
Mematikan telponnya itu. Filza berdecak sebal. "Ih! Kok dimatiin, sih?!"
Dia berusaha menelpon Satria lagi. Tapi tetap sama. Malah kali ini sepertinya sengaja tak diangkat. Filza menyerah. Mengirim pesan.
Pesan itu berisi, "Mas, aku mau ke rumah mama. Setelah itu langsung beli makan buat anak kucing."
***
Selesai, Filza dan Nisa sampai di rumah Filza. Nisa sedikit ragu untuk masuk. Mengingat Satria tak seperti dulu lagi. "Nak, apa boleh mama masuk?"
"Boleh, lah."
"Satria marah, gak?"
"Ya enggak lah, Ma."
"Beneran, Kamu?"
"Iya."
***
Satria pulang. Tak ada orang di rumahnya. Mencari-cari Filza yang biasanya nyengir melihatnya pulang. Tapi kali ini tak ada.
Baru saja Satria duduk di sofa ruang keluarga, dirinya langsung disapa Filza dari belakang. Kaget. Membuat Filza terkekeh.
"Mas, ada apa?"
"Kamu dari mana aja?"
"Tadi aku anterin mama pulang."
"Oh, ibumu ke sini?"
"Iya. Soalnya tadi aku nemuin anak kucing di depan rumah. Gak ada induknya. Kasian, jadi aku bawa ke dalam. Gak tau kucing makannya apa, makanya aku telpon mama."
"Hm."
"Mas, mau minum apa?"
"Gak."
"Makan apa?"
"Enggak!"
Filza berusaha tetap tenang. Walau wajah Satria datar-datar dingin begitu. "Mas, tadi di makan bekal makan siang dari aku?"
"Enggak. Aku kasih ke Pak Satpam."
"Kok gitu? Itu aku yang buat, loh."
"Terus kenapa?" Satria meremas selembar koran yang dibacanya.
Filza diam. Tak berani. Sementara Satria terus memandangnya dengan pandangan benci. Dia pergi begitu saja. Masuk ke kamarnya.
Saat Satria sudah ada di kamarnya, Filza menatap pintu kamar itu dengan nanar. Malang sekali dia.
"Kenapa sih, Mas? Segitu bencinya sama aku. Padahal bukan aku yang bunuh papa Kamu. Sampai kapan aku harus begini?" Matanya makin nanar saja.
***
Filza Sampai di parkiran motor sekolah. Seragam dinasnya terlihat rapi. Sayangnya tak serapi hatinya saat ini. Kesabarannya masih banyak untuk menghadapi sikap Satria. Banyak murid-muridnya yang menyapa bahkan mengecup punggung tangannya.
Baru saja duduk, Filza mendapati ada telpon masuk. Ternyata dari Satria. Girangnya sampai ke ubun-ubun.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Mohon maaf sebelumnya. Apa Anda mengenal Satria?" Suara asing yang bicara.
"Iya, Beliau suami saya."
"Bu, diharap cepat datang ke rumah sakit! Pak Satria kecelakaan."
"Apa?! B ... baik, saya akan segera ke sana."
Buru-buru bahkan lupa ijin, Filza langsung menuju rumah sakit. Hingga setelah sampai di sana, dia belum menemukan suaminya. Hanya ada beberapa orang laki-laki dan perempuan.
"Saya Filza, istrinya Pak Satria. Di mana?"
"Sedang dirawat di ruang operasi. Ada luka sobekan di lengan kanannya."
Filza menangkupkan kedua tangan ke bibirnya. Terkejut, tapi dia berusaha tenang. Menelpon Nisa dan Biha.
***
"Di mana Satria?" Tanya Biha cemas.
"Masih dirawat, Tan."
"Pasti ini semua gara-gara Kamu, kan?" Biha ketus.
"Maaf, Tan. Aku gak tau apa-apa. Tapi seseorang nelpon aku lewat ponselnya Mas Satria. Dia bilang Mas Satria kecelakaan."
Biha langsung diam. Tapi dia tetap saja benci pada wanita di hadapannya itu.
"Nak, Kamu gak papa, kan?" Nisa cemas.
"Alhamdulillah. Gak papa."
"Satria gak kasar, kan? Sama Kamu?"
"Enggak kok."
***
Matanya terbuka. Di hadapannya kali ini ada Biha. Wajahnya terlihat begitu cemas.
"Kamu gak papa, Satria?" Tanya Biha.
"Alhamdulillah. Gak papa, kok."
"Kenapa bisa jadi gini?"
"Aku ngelamun saat nyetir. Jadi gini."
"Kamu sih! Jangan ngelamun pas di jalanan! Apalagi sambil nyetir! Bahaya!" Biha kesal.
"Maaf, Tan."
Filza hendak masuk. Tapi saat dia hampir masuk, tak sengaja mendengar obrolan Biha dan Satria.
"Kenapa Kamu gak ceraiin dia?" Suara Biha.
"Gak bisa."
"Tapi kenapa?"
"Papa gak bolehin aku bercerai sama dia."
"Tapi kenapa?"
"Aku juga gak tau. Kalau aja papa setuju aku cerai sama dia, aku udah cerain dia lama sebelum saat ini."
Seakan jantungnya ditusuk belati, sakit sekali. Filza memang bukan istri yang diharapkan suaminya. Tidak juga diharapkan keluarga suaminya. Hanya satu yang masih sayang sama dia, Wiroyo.
***
Setelah Biha keluar, Filza masuk. Tak ada sapaan dari Biha saat bertemu Filza di jalan.
"Mas gak papa?" Tak ada jawaban dari suaminya.
"Mas, laper gak?"
"Enggak."
"Ya udah. Kalau Mas butuh apapun. Panggil aku, ya! Kalau perlu aku bisa di sini nemenin Mas."
"Gak perlu. Pulang sana! Lagian aku gak butuh bantuan apapun dari Kamu."
Filza tertegun. Sakit memang, tapi dia berusaha tegar. Di dalam hati, "ah! Udah biasa Mas kayak gini."
Sudah malam, tentu waktunya Satria makan malam. Filza datang membawa makanan dari rumah sakit.
"Mas, makan dulu, ya." Sambil duduk di samping terbaringnya Satria.
"Makan aja sendiri."
"Aku suapin."
"Gak mau! Tante ...." Memanggil Biha yang ada di luar ruangan.
Biha datang. "Iya? Kenapa?"
"Tante mau gak, nyuapin aku?"
"Boleh." Merampas makanan di tangan Filza.
Sakit, kan? Banget. Tapi mau bilang apa lagi? Sudahlah, kali ini Filza hanya bisa mengalah. Dia keluar dari sana. Duduk di tempat yang sengaja disiapkan. Matanya kembali meneteskan air mata.
"Mas masih belum tidur?" Tanya Filza hati-hati."Belum.""Kenapa? Tidur aja.""Aku gak bisa tidur."Filza duduk di sofa. Menunggu sampai Satria bisa tidur. Sabar sekali sepertinya. Satria yang melihat Filza belum tidur, balik bertanya, "kenapa gak tidur?""Nunggu Mas bisa tidur." Ucapnya sejujur-jujurnya."Gak perlu. Aku malah seneng Kamu pulang! Gak usah di sini."Filza sakit. Sakit hati lebih tepatnya. Dia berusaha memendam itu sendiri.Lampu di ruangan rumah sakit itu sudah dimatikan. Pagi datang."Mas, sudah waktunya sarapan." Filza hendak menyuapinya."Gak perlu. Aku bisa sendiri.""Tapi, Mas ...." Ucapan itu belum selesai karena tatapan tajam Satria, membuat Filza diam seketika.Sesaat setelah kondisi mulai tenang, Filza akhinya berani membuka mulut lagi."Mas, aku mau berangkat ke sekolah. Mas gak papa di sini?""Malah aku seneng Kamu pergi."Lagi-lagi ucapan Satria menyakitkan. Apa dia
Pagi, seperti biasa, Filza memasak. Juga seperti bisa, Satria hendak pergi begitu saja."Mas, mau ke mana?""Makan di luar.""Di sini aja, Mas. Mas masih belum sembuh total.""Aku gak papa. Jangan ganggu aku!"Filza tak berani membantah. Dia membiarkan Satria keluar. Tapi bukan Filza namanya jika membiarkan begitu saja Satria keluar sendirian. Filza mengikutinya dari belakang.Memaksakan diri menjadi sifat Satria sejak dulu. Dia harus mengakui bahwa sekarang rasa tubuhnya ingin ambruk. Tepat di depan pintu warung, Satria benar-benar ambruk. Semua yang berada di sekitar langsung mengerumuni Satria. Filza lari setelah memarkirkan sepeda motor."Mas, Mas bangun!" Filza berusaha menyadarkan Satria.Beberapa menit setelah itu, Satria membuka mata. Di rumah sakit lagi dirinya saat ini. Pandangannya melayang pada sosok Biha di samping kanan dan Filza di samping kiri."Satria, Kamu kok bisa jadi gini, sih? Pasti dia yang gak becus ngeraw
Filza menyipitkan mata. "Aku pikir Mas mau bilang apa.""Ayo cari!""I ... iya, Mas."Filza celingukan mencari kecoa. Mencarinya sampai ke sudut-sudut ruangan. Tapi pencariannya tak menuai hasil. Filza menatap Satria sambil mengangkat kedua pundaknya."Ya udah, sana keluar!" Usir Satria.Filza keluar dari kamar itu. Baru kali ini dia dibuat terkekeh karena sikap Satria. Suaminya yang dia kenal sebagai seorang pria kuat, pendiam dan memesona, sekarang seperti layaknya seorang anak Sekolah Dasar."Kamu ngetawain aku?" Tanya Satria sedikit mendengar kekehan Filza."Eh, enggak, Mas. Aku cuma b ... batuk." Kebohongan Filza.***Sekolah ini membuat Filza seakan istirahat dari lelahnya menyikapi sifat Satria. Kali ini dia memerhatikan wajah lugu seorang siswa imut yang tengah bercanda dengan temannya."Mungkin Mas Satria dulu kayak gitu." Gumam Filza.Pulang mengajar dia sempatkan ke toko buku. Membaca menjadi temannya sejak
Pagi ini sedikit berbeda dari pagi yang lalu-lalu. Filza memasak, Satria langsung datang ke dapur. Tentu ada alasannya. Dia lupa menaruh dompet di mana. Alhasil, Fiza yang ditanyai."Aku gak tau, Mas. Emangnya Mas taruh di mana?" Tanya Filza sambil tetap membalik menu sarapan kali ini."Aku lupa.""Aku bantu cari, ya. Tapi selesai goreng ini dulu." Ucap Filza tanpa menatap suaminya.Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi dompet Satria belum ketemu juga. Bingung tentu. Apalagi sebentar lagi dia harus berangkat kerja. Satria menyerah mencari. Sementara Filza masih mencarinya. Mengingat suaminya harus kerja, akhirnya dia mencari jalan keluar lain."Mas, makan di sini aja, ya! Nanti Mas bisa pegang uang aku dulu." Ucap Filza tulus."Enggak.""Kalau Mas gak mau makan di sini. Terserah. Tapi Mas bisa telat kerja. Lagian kalau gak makan dulu, gak konsen lagi. Mau ngutang, malu lah." Ucap Filza.Akhirnya Satri
Filza baru saja hendak tidur, pintu kamarnya diketuk. Filza membuka kembali pintu kamar yang terkunci. Sekarang di hadapannya ada Satria."Iya, Mas?" Tanya Filza heran."Maafin aku soal yang tadi." Ucap Satria ragu."Gak papa, kok." Filza tersenyum.Tanpa mengatakan sesuatu, Satria malah nyelonong masuk ke kamar Filza. Istrinya itu bingung."Mas, mau ngapain?" Tanya Filza gugup."Terserah aku mau tidur di mana." Jawaban itu membuat Filza bahagia.Filza tidak menanyakan apapun lagi. Dia baru saja hendak menjatuhkan tubuhnya ke ranjang itu, tapi dia mengingat sesuatu. Dia ingat betul bahwa suaminya tidak mau dekat dengannya. Batal tidur di ranjang yang sama, Filza memilih untuk tidur di sofa.Satria menyadari suara langkah kaki Filza yang menjauh. Dia membuka satu matanya. Terkejut melihat Filza yang malah memilih tidur di sofa, Satria bangun."Ngapain tidur di situ?" Tanyanya ketus."Enggak papa." Jawaban yang sebenarnya baru saj
Pagi ini hanya terdengar suara seseorang yang tengah memasak. Tentu itu adalah Filza. Satria tidak sengaja berpapasan dengan Filza di ruang keluarga. Entah, Filza tak seperti biasa. Dia hanya diam saat melihat Satria.Satria juga heran. Tidak biasa Filza seperti ini. Biasanya Filza menyapa atau bahkan mengajaknya sarapan bersama. Tapi kali ini tidak. Filza melangkah ke dapur. Merapikan kotoran bekas dia memasak tadi. Lalu duduk di kursi makan.Tanpa menunggu aba-aba, dia makan begitu saja. Biasanya dia masih berusaha menunggu Satria untuk sarapan bersama, tapi kali ini tidak. Satria merasa ini kesalahannya. Mungkin Filza marah karena ucapannya kemarin. Padahal bukan paling lagi, tapi iya.Satria sengaja memancing Filza dengan suara jasnya. Berharap Filza menemuinya untuk sekedar mencium punggung tangan. Ternyata tidak ada sama sekali. Sudahlah, Satria tidak ingin berlama-lama.Dia langsung keluar rumah berangkat kerja. Sementara itu, Filza selsai makan. Dia y
"Kenapa?" Satria penasaran."Lagi males aja."Setelah menjawa pertanyaan Satria, Filza pergi. Rasanya makin bersalah lagi Satria sekarang. Untuk saat ini dia tidak mau mengganggu Filza lebih lama dan membuat masalah.Seperti biasa, Filza mengajar anak-anak mungil nan lucu di sekolah. Tingkah konyol mereka sering membuat Filza tertawa. Nun sekarang sedikit berkurang sejak dia tidak sengaja menutup hatinya untuk Satria. Filza tidak ingin banyak tertawa, dia memilih pergi.Sajak Satria merasa bersalah, dia rutin menjemput Filza di sekolah. Tidak peduli sedang sibuk apa dirinya, tapi nyatanya tetap meluangkan waktu untuk menjemput Filza. Istrinya itu sering menolak dengan alasan membawa motor sendiri. Tentu mudah bagi Satria mengatasi alasan itu.Malam yang sunyi seperti biasanya. Filza mengotak-atik laptop di ruang keluarga. Satria ikutan duduk sambil menyeruput teh hangat buatannya sendiri. Satria melirik aktivitas Filza. Dia jadi penasaran."Ngapai
"Tapi ini berbahaya, Bu." Jelas seorang petugas pemadam kebakaran."Saya gak ...." Belum selesai berbicara, sosok Satria keluar dari pintu rumah.Filza berlari menghampirinya. Sontak memeluk Satria, cemas. Satria yang mendapat pelukan seketika terdiam. Perasaan inilah yang dia rindukan. Perasaan yang sempat hilang. Kini mungkin telah kembali.Kejadian itu sudah lama. Setelah lima belas hari, akhinya Satria menemukan sebuah apartemen yang akan dia tinggali bersama Filza saat tanah yang dibelinya belum merampungkan pembangunan rumah. Dia membelinya setelah pemikiran yang panjang. Sekarang Satria dan Filza berada di rumah Biha. Mereka menyusun rencana pembangunan rumah baru."Mas, mau kopi?" Tanya Filza."Gak perlu.""Jadi, Kamu yakin tentang apartemen?" Tanya Biha serius pada Satria."Ya. Gak mungkin aku dan Filza terus-menerus numpang di sini. Lebih baik kami pindah ke apartemen dulu sebelum rumah barunya jadi."Setelah kejadian itu, Fi