Langit menampakkan senyumannya. Semuanya yang ada di bawah atap itu bergembira. Acara akad nikah baru saja selesai. Filza, pipinya memerah, menambah kecantikannya.Hingga sosok yang masih asing untuk Filza datang. Ramahnya terlihat jelas."Assalamu'alaikum. Maaf, aku terlambat." Ucapnya sopan."Wa'alaikumsalam. Gak papa." Filza sendiri yang menjawab.Satu jam setelah itu, semuanya selesai. Filza merasa harus buang air. Langkahnya terburu-buru menuju toilet. Saat berada pas di tengah-tengah pintu, bukannya langsung masuk, dia malah terpaku."Aaa!"Teriakan itu mengagetkan semua orang, termasuk suaminya, Satria. Filza melihat dengan jelas, ayah mertuanya tergeletak bersimbah darah. Pisau masih tertancap di perut pria lansia itu. Sontak Filza langsung mencabut pisau itu. Pas saat itulah suaminya dan yang lain datang."Papa!"Satria memeluk tubuh Wiroyo. Lalu mengamati sekitarnya. Sontak membawanya ke rumah sakit.Di depan r
Pagi ini seperti biasa, Satria tak sekalipun menyentuh masakan Filza. Miris sekali. Bahkan dia sekalipun tak menatap Filza."Mas, mau berangkat kerja?""Hm."***Siang, Filza berpikir untuk membuatkan bekal makanan untuk suaminya. Mungkin dengan ini hati suaminya bisa luluh. Langkahnya terburu-buru menuju ruangan Satria. Sampai di sana, dilihatnya Satria sibuk dengan laptop."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Ngapain Kamu di sini?""Ini aku bawain bekal makanan buat Mas.""Gak perlu. Aku makan di luar, bukan masakan Kamu."Tentu saja sakit hatinya muncul kembali. Ucapan Satria semakin membuat lukanya lebar."Makan aja, Mas! Aku udah masakin buat Mas." Ucapnya dengan lembut."Kalau aku bilang enggak, ya enggak! Jangan maksa!" Sedikit kasar nadanya.Filza tak berani menatap matanya. Sakit itu semakin perih. Dia berat hati membawa bekal itu kembali ke rumah.Sampai di rumah. Bukannya segera menuju sekolah
Pulang kerja, Satria langsung masuk kamar. Ada lagi yang harus dia hadapi. Menurutnya, bersama Filza merupakan masalah besar. Beberapa hari lagi adalah hari pertunangan adiknya, Santi. Tentu saja Filza harus ikut."Mas, bisa tolong bukain pintu sebentar?" Suara Filza di balik pintu.Malasnya Satria membuka pintu. Bahkan raut wajahnya tak menunjukkan bahwa dia bahagia. Sekarang di hadapannya ada Filza dengan dua pakaian indah lengkap dengan pasmina yang digantung di kedua pundaknya."Apa?""Aku pakai yang mana di pertunangan Santi?" Tanya Filza sambil menjajarkan dua pakaian itu di samping kanan dan kiri badannya."Terserah." Lalu menutup pintu.Filza tak mengira dirinya mendapat jawaban seperti itu. Hanya bisa menghembuskan napas gusar lalu pergi ke kamarnya sendiri.Di sinilah Filza, di balkon kamar dengan suasana minimalis. Termenung menatap langit. Perlahan matanya basah. Dia menangis.***Hari yang ditunggu tiba. Filza terlih
Sekarang hari Minggu. Filza bisa santai di rumah. Berharap Satria menemaninya pagi ini. Entah itu minum teh ataupun ngapain lagi, terserah."Mas, mau ke mana?""Kantor.""Tapi sekarang hari Minggu. Mas gak bisa di rumah aja? Temenin aku.""Enggak. Aku sibuk."Filza tak berani membuka mulut lagi. Dia membiarkan Satria pergi begitu saja. Tapi saat Satria hampir saja melesat, "Mas, jangan makan di luar! Nanti aku anterin bekal makanan buat Mas." Ucapnya dari kejauhan."Gak perlu!"Lagi-lagi Filza diam. Masuk kembali ke rumah. Duduk di sofa rumah tamu. Mengingat masa-masa indah bersama suaminya. Tapi mau dikata apa? Sekarang suaminya sudah berubah. Mengisi waktu luang, akhinya dia menemukan daftar keseharian baru. Tiba-tiba saja seekor anak kucing mengeong padanya.Filza datang menghampiri anak kucing itu. Tergeletak tanpa induk. Tentunya di depan rumahnya. "Kenapa aku gak liat dari tadi?"Filza meraih anak kucing itu dan membawanya
"Mas masih belum tidur?" Tanya Filza hati-hati."Belum.""Kenapa? Tidur aja.""Aku gak bisa tidur."Filza duduk di sofa. Menunggu sampai Satria bisa tidur. Sabar sekali sepertinya. Satria yang melihat Filza belum tidur, balik bertanya, "kenapa gak tidur?""Nunggu Mas bisa tidur." Ucapnya sejujur-jujurnya."Gak perlu. Aku malah seneng Kamu pulang! Gak usah di sini."Filza sakit. Sakit hati lebih tepatnya. Dia berusaha memendam itu sendiri.Lampu di ruangan rumah sakit itu sudah dimatikan. Pagi datang."Mas, sudah waktunya sarapan." Filza hendak menyuapinya."Gak perlu. Aku bisa sendiri.""Tapi, Mas ...." Ucapan itu belum selesai karena tatapan tajam Satria, membuat Filza diam seketika.Sesaat setelah kondisi mulai tenang, Filza akhinya berani membuka mulut lagi."Mas, aku mau berangkat ke sekolah. Mas gak papa di sini?""Malah aku seneng Kamu pergi."Lagi-lagi ucapan Satria menyakitkan. Apa dia
Pagi, seperti biasa, Filza memasak. Juga seperti bisa, Satria hendak pergi begitu saja."Mas, mau ke mana?""Makan di luar.""Di sini aja, Mas. Mas masih belum sembuh total.""Aku gak papa. Jangan ganggu aku!"Filza tak berani membantah. Dia membiarkan Satria keluar. Tapi bukan Filza namanya jika membiarkan begitu saja Satria keluar sendirian. Filza mengikutinya dari belakang.Memaksakan diri menjadi sifat Satria sejak dulu. Dia harus mengakui bahwa sekarang rasa tubuhnya ingin ambruk. Tepat di depan pintu warung, Satria benar-benar ambruk. Semua yang berada di sekitar langsung mengerumuni Satria. Filza lari setelah memarkirkan sepeda motor."Mas, Mas bangun!" Filza berusaha menyadarkan Satria.Beberapa menit setelah itu, Satria membuka mata. Di rumah sakit lagi dirinya saat ini. Pandangannya melayang pada sosok Biha di samping kanan dan Filza di samping kiri."Satria, Kamu kok bisa jadi gini, sih? Pasti dia yang gak becus ngeraw
Filza menyipitkan mata. "Aku pikir Mas mau bilang apa.""Ayo cari!""I ... iya, Mas."Filza celingukan mencari kecoa. Mencarinya sampai ke sudut-sudut ruangan. Tapi pencariannya tak menuai hasil. Filza menatap Satria sambil mengangkat kedua pundaknya."Ya udah, sana keluar!" Usir Satria.Filza keluar dari kamar itu. Baru kali ini dia dibuat terkekeh karena sikap Satria. Suaminya yang dia kenal sebagai seorang pria kuat, pendiam dan memesona, sekarang seperti layaknya seorang anak Sekolah Dasar."Kamu ngetawain aku?" Tanya Satria sedikit mendengar kekehan Filza."Eh, enggak, Mas. Aku cuma b ... batuk." Kebohongan Filza.***Sekolah ini membuat Filza seakan istirahat dari lelahnya menyikapi sifat Satria. Kali ini dia memerhatikan wajah lugu seorang siswa imut yang tengah bercanda dengan temannya."Mungkin Mas Satria dulu kayak gitu." Gumam Filza.Pulang mengajar dia sempatkan ke toko buku. Membaca menjadi temannya sejak
Pagi ini sedikit berbeda dari pagi yang lalu-lalu. Filza memasak, Satria langsung datang ke dapur. Tentu ada alasannya. Dia lupa menaruh dompet di mana. Alhasil, Fiza yang ditanyai."Aku gak tau, Mas. Emangnya Mas taruh di mana?" Tanya Filza sambil tetap membalik menu sarapan kali ini."Aku lupa.""Aku bantu cari, ya. Tapi selesai goreng ini dulu." Ucap Filza tanpa menatap suaminya.Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi dompet Satria belum ketemu juga. Bingung tentu. Apalagi sebentar lagi dia harus berangkat kerja. Satria menyerah mencari. Sementara Filza masih mencarinya. Mengingat suaminya harus kerja, akhirnya dia mencari jalan keluar lain."Mas, makan di sini aja, ya! Nanti Mas bisa pegang uang aku dulu." Ucap Filza tulus."Enggak.""Kalau Mas gak mau makan di sini. Terserah. Tapi Mas bisa telat kerja. Lagian kalau gak makan dulu, gak konsen lagi. Mau ngutang, malu lah." Ucap Filza.Akhirnya Satri