Pulang kerja, Satria langsung masuk kamar. Ada lagi yang harus dia hadapi. Menurutnya, bersama Filza merupakan masalah besar. Beberapa hari lagi adalah hari pertunangan adiknya, Santi. Tentu saja Filza harus ikut.
"Mas, bisa tolong bukain pintu sebentar?" Suara Filza di balik pintu.
Malasnya Satria membuka pintu. Bahkan raut wajahnya tak menunjukkan bahwa dia bahagia. Sekarang di hadapannya ada Filza dengan dua pakaian indah lengkap dengan pasmina yang digantung di kedua pundaknya.
"Apa?"
"Aku pakai yang mana di pertunangan Santi?" Tanya Filza sambil menjajarkan dua pakaian itu di samping kanan dan kiri badannya.
"Terserah." Lalu menutup pintu.
Filza tak mengira dirinya mendapat jawaban seperti itu. Hanya bisa menghembuskan napas gusar lalu pergi ke kamarnya sendiri.
Di sinilah Filza, di balkon kamar dengan suasana minimalis. Termenung menatap langit. Perlahan matanya basah. Dia menangis.
***
Hari yang ditunggu tiba. Filza terlihat cantik dengan pakaian yang dia kenakan. Satria memanggilnya. Girang, Filza menghampirinya.
"Ayo berangkat! Jangan sampai orang lain tau kalau kita gak akur." Ucapnya dingin.
"Iya, Mas."
Filza berjalan di belakang Satria. Lalu masuk ke mobil suaminya.
Sampai di sana, banyak yang menyambut Filza dan Satria. Tapi sebenarnya mereka hanya bermaksud menyambut Satria. Keberadaan tamu yang membuat mereka, keluarga Satria terpaksa menyapa Filza juga. Ada kedua orang tua Filza juga di sini. Nisa dan Dimantoro.
"Assalamu'alaikum, Ma, Yah." Filza mencium punggung tangan keduanya.
"Wa'alaikumsalam. Gimana keadaanmu?" Tanya Nisa.
"Alhamdulillah. Baik, Ma." Bohongnya Filza.
"Ih! Pengantin baru, nih." Ucap salah satu tamu yang datang.
"Iya, sayangnya yang cewek bukan idaman." Santi mengatakan itu tanpa rasa bersalah.
Jadilah Filza sangat menciut nyalinya. Perih semakin melebar. Santi menaburkan garam di atasnya. Dia harus ekstra sabar. Karena ucapan Santi, semua tamu membicarakan Filza dan Satria sebagai pengantin baru. Lebih tepatnya membicarakan Filza. Bahkan di antaranya tengah berbisik-bisik di sekeliling Filza. Menyakitkan, bukan?
"Permisi, Tan. Aku mau ke toilet."
Filza berlari memasuki toilet. Menangis di sana. Cinta yang ada di antara dirinya dan Satria sudah runtuh. Begitu pula perhatian dan kasih sayang dari keluarga Satria untuk Filza juga runtuh. Seakan tak pernah ada kasih sayang dan cinta di antara mereka. Lenyap tak tersisa.
***
Malam ini, seperti biasa Filza sendiri di kamar tamu yang sekarang menjadi kamarnya. Muka nanarnya masih terlihat jelas. Memeluk bantalnya. Membuat bantal itu basah karena air mata. Sampai kapan dia akan begini?
Satria menyadari ponselnya tak kelihatan sejak tadi. Mencarinya ke mana-mana sampai ke sudut-sudut kamar, tapi belum juga ditemukan. Menepuk jidat saat mengingat dia sendiri yang menitipkan ponselnya pada Filza. "Ah! Harus ketemu wanita pembunuh itu lagi." Geramnya dalam hati.
Filza menemukan sesuatu di dalam tas selempangnya. Sedikit gugup menyadari itu ponsel suaminya.
"Gimana caranya aku kembalikan ini, ya? Mas Satria gak mau ketemu aku. Ah, masa bodoh. Aku pergi ke kamarnya aja."
Membuka pintu kamarnya. Tersentak, teryata di hadapannya sudah ada Satria.
"Eh, Mas. Ini ponsel Mas."
Langsung dirampas itu ponsel. Filza saja sampai kaget. Kasar sekali cara merebut ponsel itu. Lalu pergi tanpa sepatah katapun. Lupa sudah keberapa kalinya, Filza hanya bisa memejamkan mata, menahan getaran di dada.
Dia belum tidur. Padahal jarum jam menunjuk angka dua belas. Sambil memeluk guling kesayangannya, Filza berusaha tidur. Tapi tetap saja tidak bisa. Diraihnya ponsel yang berada di meja di samping ranjangnya. Membuka kumpulan foto. Memandang foto-foto bersama Satria. Foto-foto di mana mimik wajah Satria masih menyiratkan cinta. Mata Filza kembali basah. Mengingat sikap Satria yang sudah berbeda.
***
"Assalamu'alaikum." Airin tiba di rumah Biha.
"Wa'alaikumsalam. Eh, ada Airin. Ayo masuk!"
Hari ini, Filza sudah ada di depan rumah Biha. Semangat sekali dia masuk. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Bukan suara Biha saja, tapi juga Airin.
Sekarang yang ada di pikiran Filza bermacam-macam. Dia takut Airin merebut suaminya. Tapi dia selalu berusaha mengambil hati suaminya. Apa mungkin Airin bisa?
"Ngapain Kamu di sini?" Pertanyaan ketus dilempar Biha untuk Filza.
"Ini, Tan. Aku bawain makanan. Memang sengaja mau ke sini."
"Nggak perlu. Airin udah bawain makanan buat tante."
Filza langsung diam. Perih semakin terasa saja. Tapi mau dikata apa?
***
Piarrr!
Suara piring jatuh terdengar di telinga Satria. Dia langsung memasuki dapur. Sampai di sana, tampak Filza membersihkan pecahan piring. "Kok bisa?" Tanya Satria.
"Maaf, Mas. Aku gak sengaja. Au!"
Seketika memegang jari tengah kanannya yang ternyata berdarah. Filza mengernyit kesakitan. Tanpa disangka, Satria memegang tangan kanan Filza, bermaksud mengobatinya. Tapi kematian ayahnya membuat dirinya tak mampu mengobati tangan Filza.
"Sana obati!" Ucap Satria ketus.
"Iya, Mas."
Filza mengambil kotak P3K di ujung dapur. Sekejap pipinya memerah karena perlakuan Satria tadi padanya. Tak kunjung sampai di situ, Satria menghampirinya.
"Bisa gak? Jangan manja! Obati yang bener!"
"Iya, Mas."
Walau dengan perkataan ketus, terapi Filza bahagia. Baginya itu sebuah kemajuan untuk hubungannya dengan Satria. Rasanya ingin setiap saat terluka.
***
Filza memasak makan malam. Dia belum melihat Satria dari satu jam yang lalu. Celingukan mencari Satria. Tapi suaminya tak ada di rumah.
"Oh, mungkin Mas lagi makan di luar. Udah biasa kayak gitu." Ucapnya menyerah.
Filza sengaja memasak sedikit karena dia terbiasa makan sendirian tanpa suaminya. Di kursi yang tepat berada di depannya, Filza membayangkan sosok Satria di hadapannya. Sontak mata Filza nanar.
"Seandainya saja Mas Satria mau duduk di sini sama aku." Gumamnya pelan.
***
"Anak-anak! Ayo masuk! Kok pada di luar?" Filza sedikit kesal dengan tingkah murid-muridnya.
Beberapa detik kemudian, dia terkekeh. Imut sekali wajah seorang anak perempuan di hadapannya. Dia meletakkan lututnya di atas lantai agar tingginya setara dengan anak perempuan itu.
"Hai, Oci." Sapa Filza.
"Ibu Filza yang cantik. Ibu cantik banget, deh. Pasti banyak yang sayang sama Ibu." Ucap anak itu lalu pergi meninggalkan Filza.
Filza termenung mendengar ucapan Oci. "Banyak yang sayang? Alhamdulillah. Tapi tidak untuk suamiku sendiri." Gumamnya dalam hati.
***
"Pak, rapat sebentar lagi akan dimulai."
"Baik, saya akan segera ke sana." Satria melangkah mendekati ruangan lebar.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Ada nama Filza di sana. Tanpa berpikir panjang, Satria langsung mematikan ponsel itu.
"Yah ...." Filza kecewa.
"Padahal aku mau minta jemput Mas. Mungkin Mas sibuk." Gumamnya pelan.
***
"Mas, tadi sibuk, ya?" Tanya Filza sambil duduk di sampingnya."Setiap hari juga gitu."
"Maaf, nelpon Mas tiba-tiba. Tadinya aku mau minta jemput."
"Apa gak bawa motor?"
"Enggak, Mas."
"Gimana, sih? Dasar!"
"Maaf, Mas." Filza tahu itu salahnya sendiri.
Sekarang hari Minggu. Filza bisa santai di rumah. Berharap Satria menemaninya pagi ini. Entah itu minum teh ataupun ngapain lagi, terserah."Mas, mau ke mana?""Kantor.""Tapi sekarang hari Minggu. Mas gak bisa di rumah aja? Temenin aku.""Enggak. Aku sibuk."Filza tak berani membuka mulut lagi. Dia membiarkan Satria pergi begitu saja. Tapi saat Satria hampir saja melesat, "Mas, jangan makan di luar! Nanti aku anterin bekal makanan buat Mas." Ucapnya dari kejauhan."Gak perlu!"Lagi-lagi Filza diam. Masuk kembali ke rumah. Duduk di sofa rumah tamu. Mengingat masa-masa indah bersama suaminya. Tapi mau dikata apa? Sekarang suaminya sudah berubah. Mengisi waktu luang, akhinya dia menemukan daftar keseharian baru. Tiba-tiba saja seekor anak kucing mengeong padanya.Filza datang menghampiri anak kucing itu. Tergeletak tanpa induk. Tentunya di depan rumahnya. "Kenapa aku gak liat dari tadi?"Filza meraih anak kucing itu dan membawanya
"Mas masih belum tidur?" Tanya Filza hati-hati."Belum.""Kenapa? Tidur aja.""Aku gak bisa tidur."Filza duduk di sofa. Menunggu sampai Satria bisa tidur. Sabar sekali sepertinya. Satria yang melihat Filza belum tidur, balik bertanya, "kenapa gak tidur?""Nunggu Mas bisa tidur." Ucapnya sejujur-jujurnya."Gak perlu. Aku malah seneng Kamu pulang! Gak usah di sini."Filza sakit. Sakit hati lebih tepatnya. Dia berusaha memendam itu sendiri.Lampu di ruangan rumah sakit itu sudah dimatikan. Pagi datang."Mas, sudah waktunya sarapan." Filza hendak menyuapinya."Gak perlu. Aku bisa sendiri.""Tapi, Mas ...." Ucapan itu belum selesai karena tatapan tajam Satria, membuat Filza diam seketika.Sesaat setelah kondisi mulai tenang, Filza akhinya berani membuka mulut lagi."Mas, aku mau berangkat ke sekolah. Mas gak papa di sini?""Malah aku seneng Kamu pergi."Lagi-lagi ucapan Satria menyakitkan. Apa dia
Pagi, seperti biasa, Filza memasak. Juga seperti bisa, Satria hendak pergi begitu saja."Mas, mau ke mana?""Makan di luar.""Di sini aja, Mas. Mas masih belum sembuh total.""Aku gak papa. Jangan ganggu aku!"Filza tak berani membantah. Dia membiarkan Satria keluar. Tapi bukan Filza namanya jika membiarkan begitu saja Satria keluar sendirian. Filza mengikutinya dari belakang.Memaksakan diri menjadi sifat Satria sejak dulu. Dia harus mengakui bahwa sekarang rasa tubuhnya ingin ambruk. Tepat di depan pintu warung, Satria benar-benar ambruk. Semua yang berada di sekitar langsung mengerumuni Satria. Filza lari setelah memarkirkan sepeda motor."Mas, Mas bangun!" Filza berusaha menyadarkan Satria.Beberapa menit setelah itu, Satria membuka mata. Di rumah sakit lagi dirinya saat ini. Pandangannya melayang pada sosok Biha di samping kanan dan Filza di samping kiri."Satria, Kamu kok bisa jadi gini, sih? Pasti dia yang gak becus ngeraw
Filza menyipitkan mata. "Aku pikir Mas mau bilang apa.""Ayo cari!""I ... iya, Mas."Filza celingukan mencari kecoa. Mencarinya sampai ke sudut-sudut ruangan. Tapi pencariannya tak menuai hasil. Filza menatap Satria sambil mengangkat kedua pundaknya."Ya udah, sana keluar!" Usir Satria.Filza keluar dari kamar itu. Baru kali ini dia dibuat terkekeh karena sikap Satria. Suaminya yang dia kenal sebagai seorang pria kuat, pendiam dan memesona, sekarang seperti layaknya seorang anak Sekolah Dasar."Kamu ngetawain aku?" Tanya Satria sedikit mendengar kekehan Filza."Eh, enggak, Mas. Aku cuma b ... batuk." Kebohongan Filza.***Sekolah ini membuat Filza seakan istirahat dari lelahnya menyikapi sifat Satria. Kali ini dia memerhatikan wajah lugu seorang siswa imut yang tengah bercanda dengan temannya."Mungkin Mas Satria dulu kayak gitu." Gumam Filza.Pulang mengajar dia sempatkan ke toko buku. Membaca menjadi temannya sejak
Pagi ini sedikit berbeda dari pagi yang lalu-lalu. Filza memasak, Satria langsung datang ke dapur. Tentu ada alasannya. Dia lupa menaruh dompet di mana. Alhasil, Fiza yang ditanyai."Aku gak tau, Mas. Emangnya Mas taruh di mana?" Tanya Filza sambil tetap membalik menu sarapan kali ini."Aku lupa.""Aku bantu cari, ya. Tapi selesai goreng ini dulu." Ucap Filza tanpa menatap suaminya.Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi dompet Satria belum ketemu juga. Bingung tentu. Apalagi sebentar lagi dia harus berangkat kerja. Satria menyerah mencari. Sementara Filza masih mencarinya. Mengingat suaminya harus kerja, akhirnya dia mencari jalan keluar lain."Mas, makan di sini aja, ya! Nanti Mas bisa pegang uang aku dulu." Ucap Filza tulus."Enggak.""Kalau Mas gak mau makan di sini. Terserah. Tapi Mas bisa telat kerja. Lagian kalau gak makan dulu, gak konsen lagi. Mau ngutang, malu lah." Ucap Filza.Akhirnya Satri
Filza baru saja hendak tidur, pintu kamarnya diketuk. Filza membuka kembali pintu kamar yang terkunci. Sekarang di hadapannya ada Satria."Iya, Mas?" Tanya Filza heran."Maafin aku soal yang tadi." Ucap Satria ragu."Gak papa, kok." Filza tersenyum.Tanpa mengatakan sesuatu, Satria malah nyelonong masuk ke kamar Filza. Istrinya itu bingung."Mas, mau ngapain?" Tanya Filza gugup."Terserah aku mau tidur di mana." Jawaban itu membuat Filza bahagia.Filza tidak menanyakan apapun lagi. Dia baru saja hendak menjatuhkan tubuhnya ke ranjang itu, tapi dia mengingat sesuatu. Dia ingat betul bahwa suaminya tidak mau dekat dengannya. Batal tidur di ranjang yang sama, Filza memilih untuk tidur di sofa.Satria menyadari suara langkah kaki Filza yang menjauh. Dia membuka satu matanya. Terkejut melihat Filza yang malah memilih tidur di sofa, Satria bangun."Ngapain tidur di situ?" Tanyanya ketus."Enggak papa." Jawaban yang sebenarnya baru saj
Pagi ini hanya terdengar suara seseorang yang tengah memasak. Tentu itu adalah Filza. Satria tidak sengaja berpapasan dengan Filza di ruang keluarga. Entah, Filza tak seperti biasa. Dia hanya diam saat melihat Satria.Satria juga heran. Tidak biasa Filza seperti ini. Biasanya Filza menyapa atau bahkan mengajaknya sarapan bersama. Tapi kali ini tidak. Filza melangkah ke dapur. Merapikan kotoran bekas dia memasak tadi. Lalu duduk di kursi makan.Tanpa menunggu aba-aba, dia makan begitu saja. Biasanya dia masih berusaha menunggu Satria untuk sarapan bersama, tapi kali ini tidak. Satria merasa ini kesalahannya. Mungkin Filza marah karena ucapannya kemarin. Padahal bukan paling lagi, tapi iya.Satria sengaja memancing Filza dengan suara jasnya. Berharap Filza menemuinya untuk sekedar mencium punggung tangan. Ternyata tidak ada sama sekali. Sudahlah, Satria tidak ingin berlama-lama.Dia langsung keluar rumah berangkat kerja. Sementara itu, Filza selsai makan. Dia y
"Kenapa?" Satria penasaran."Lagi males aja."Setelah menjawa pertanyaan Satria, Filza pergi. Rasanya makin bersalah lagi Satria sekarang. Untuk saat ini dia tidak mau mengganggu Filza lebih lama dan membuat masalah.Seperti biasa, Filza mengajar anak-anak mungil nan lucu di sekolah. Tingkah konyol mereka sering membuat Filza tertawa. Nun sekarang sedikit berkurang sejak dia tidak sengaja menutup hatinya untuk Satria. Filza tidak ingin banyak tertawa, dia memilih pergi.Sajak Satria merasa bersalah, dia rutin menjemput Filza di sekolah. Tidak peduli sedang sibuk apa dirinya, tapi nyatanya tetap meluangkan waktu untuk menjemput Filza. Istrinya itu sering menolak dengan alasan membawa motor sendiri. Tentu mudah bagi Satria mengatasi alasan itu.Malam yang sunyi seperti biasanya. Filza mengotak-atik laptop di ruang keluarga. Satria ikutan duduk sambil menyeruput teh hangat buatannya sendiri. Satria melirik aktivitas Filza. Dia jadi penasaran."Ngapai