Beranda / Romansa / Bukan Aku / Haruskah Mengusir Filza?

Share

Haruskah Mengusir Filza?

Pagi ini sedikit berbeda dari pagi yang lalu-lalu. Filza memasak, Satria langsung datang ke dapur. Tentu ada alasannya. Dia lupa menaruh dompet di mana. Alhasil, Fiza yang ditanyai.

"Aku gak tau, Mas. Emangnya Mas taruh di mana?" Tanya Filza sambil tetap membalik menu sarapan kali ini.

"Aku lupa."

"Aku bantu cari, ya. Tapi selesai goreng ini dulu." Ucap Filza tanpa menatap suaminya.

Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi dompet Satria belum ketemu juga. Bingung tentu. Apalagi sebentar lagi dia harus berangkat kerja. Satria menyerah mencari. Sementara Filza masih mencarinya. Mengingat suaminya harus kerja, akhirnya dia mencari jalan keluar lain.

"Mas, makan di sini aja, ya! Nanti Mas bisa pegang uang aku dulu." Ucap Filza tulus.

"Enggak."

"Kalau Mas gak mau makan di sini. Terserah. Tapi Mas bisa telat kerja. Lagian kalau gak makan dulu, gak konsen lagi. Mau ngutang, malu lah." Ucap Filza.

Akhirnya Satria memikirkan ucapan Filza barusan. Otaknya masih bekerja cukup baik. Hingga egonya sedikit mundur, mau sarapan di rumahnya. Filza gembira. Inilah hal jarang, Satria mau duduk berhadapan dengannya di meja makan ini.

"Mas, ini bawa uangku dulu!" Filza menyerahkan dompetnya.

"Enggak. Aku bisa ...." Tampak berpikir.

"Bisa apa? Pakai kartu kredit? Mana? Ada di dompet Mas, kan?" Sukses membuat Satria diam seketika.

"Tapi aku tetap gak mau pegang uang Kamu." Ucap Satria tegas.

"Mas yakin gak papa?" Tanya Filza sedikit cemas.

"Hm." 

Satria pergi begitu saja. Seperti biasa, Filza tidak punya kesempatan mencium punggung tangannya. Sudahlah, menang harus ekstra sabar. Daripada memikirkan Satria, lebih baik dia langsung ke sekolah. Terlambat Filza, tapi tetap ke sekolah.

Sampai di sana, dia disambut satpam yang tengah berjaga. Filza hanya memberikan senyuman lalu masuk.

Sudah berjam-jam terlewati hari ini. Sekarang malam mulai datang. Filza sibuk dengan dapur. Beberapa saat kemudian, di teringat sesuatu. Dompet Satria belum ketemu. Cepat-cepat dia mencari itu dompet.

Saat Satria datang, Fllza masih dengan aktivitas lamanya. Satria yang melihat itu jadi heran. Dia mendekat.

"Cari apa?" Tanya Satria.

"Dompet Mas." Jawaban tanpa tatapan mata.

"Udah ketemu." Langsung saja Filza menatap suaminya bingung.

"Kapan?"

"Ketinggalan di kantor."

Filza lega. Dia bisa berdiri sekarang. Kembali ke dapur. Tidak lupa dia menawari Satria makan di rumah. Tapi sayangnya senjata andalan Satria untuk makan di luar ada sekarang.

"Dompet udah ketemu. Aku makan di luar."

"Sesekali makan di sini."

"Tadi udah." Jawaban santai.

Filza bungkam. Dia bersyukur tidak masak banyak. Beberapa detik kemudian, Satria sudah tidak ada di rumah. Filza duduk sendirian di meja makan. Dia senyum-senyum.

"Gak papa. Yang penting Mas udah pernah makan di sini sama aku." Ucapnya pada diri sendiri.

Filza menunggu Satria pulang. Duduk di sofa ruang keluarga. Rasanya ada yang kurang saat Satria belum pulang. Sedikit lama setelah itu, Satria pulang. Filza yang tengah menunggunya di ruang keluarga ternyata ketiduran. Sejenak memandang Filza yang tertidur pulas, lalu masuk ke kamar tanpa membangunkan Filza.

Subuh datang, Filza merasa remuk. Terlalu lama tidur di sofa ternyata sedikit tidak enak. Sempit juga, sekali berguling jatoh. Filza langsung mengambil air wudhu.

Langkah kakinya menuju ruangan shalat yang tersedia. Sudah ada Satria di sana. Tidak mau menunggu lama, dia shalat juga.

Baru saja Satria hendak pergi, ponselnya berdering. Nama Biha tertera. Beberapa detik 

kemudian, Filza dipanggil Satria ke luar rumah.

"Ada apa, Mas?" Tanya Filza saat sampai di teras rumah.

"Tante masuk rumah sakit. Kita disuruh ke sana sekarang."

Tanpa bicara lagi, mereka berangkat bersama. Kejadian langka tapi nyata, berangkat bersama. Selama di dalam mobil, Filza diam. Memandang ke depan tanpa menoleh sedikitpun. Dia tahu benar, mungkin Satria terpaksa berangkat bersama ke rumah sakit. Biasa, lebih memilih sendiri daripada bersama Filza.

Sesampainya di sana, terlihat Biha yang tertidur pulas di ranjang rumah sakit. Satria tidak berniat membangunkannya. Langsung saja duduk di samping Biha. Entah kenapa hari-hari belakangan ini Satria jadi melunak. Bahkan seperti hari ini, dia menceritakan tentang ibunya dan Biha pada Filza.

"Ibuku sudah meninggal. Dan tante yang merawatku." Ucapnya sambil menatap Biha.

Beberapa menit kemudian, Biha terbangun. Melihat Satria di sampingnya, dia tersenyum. Berusaha duduk, tapi Satria menghentikan gerakannya.

"Tante tidur aja." Ucap Satria sambil memegangi kedua pundaknya.

"Oh .... Pembunuh ada di sini juga? Ngapain kamu ajak dia?" Tanya Biha.

"Aku pikir Tante suka aku ajak dia." Ucap Satria sedikit tidak enak hati.

"Tante malah gak suka dia di sini. Ntar dia bunuh tante lagi." Ceplas-ceplos Biha.

"Kok Tante mikir gitu?" Filza tidak tahan lagi.

"Sudah! Sekarang lebih baik, Kamu pulang!" Satria tidak mau ada keributan. Tapi haruskah mengusir Filza dari sana?

Sekarang Filza di lorong menuju pintu keluar rumah sakit. Terbayang-bayang di benaknya kata-kata Biha dan Satria tadi. Tunggu! Dia pulang naik apa? Bahkan Satria tidak mengantarnya pulang. Kunci mobil juga di suaminya.

Alhasil, sekarang Filza sampai di teras rumahnya diantar ojek. Dia hendak masuk rumah. Pintu rumah tidak terkunci. Filza heran, karena yang dia ingat, dia sudah mengunci pintu itu. Baru saja hendak melangkah masuk, dirinya mendengar suara pria di dalam rumah. Sekarang rasa takut Filza muncul.

Filza menjauh dari rumah itu. Melangkahkan kaki ke bagian samping rumah, menyelinap mengintip dari jendela yang ada. Benar dugaannya, dua orang pria yang tengah berusaha mencuri. Filza panik. Cepat-cepat dia menghubungi Satria. Tapi gagal.

Di sisi lain, Satria yang mendapat telepon dari Filza, memutuskan untuk mematikan, tidak menjawab telpon itu. Dia tidak suka diganggu saat menemani Biha di rumah sakit. Dia menganggap Filza tidak penting. Dan Biha sudah menjadi sosok ibu baginya, hingga Biha lebih penting daripada istrinya.

Filza mendengus, tidak bisa menghubungi Satria. Dia lari keluar lalu berteriak meminta bantuan. Karena suara Filza yang keras, akhinya beberapa tetangga menghampirinya.

"Ada apa?" Tanya seorang pria usia sekitar 40 an terdengar panik.

"Ada maling di rumah saya." Jawab Filza.

Satria pulang. Dia melihat banyak warga mengerumuni rumahnya. Penasaran, cepat-cepat dia masuk. Ada Filza dan beberapa orang di dalam. Dua pria duduk dengan kedua tangan terikat.

"Ada apa ini?" Tanya Satria.

"Pencuri masuk rumah. Sekarang nunggu polisi datang nangkap mereka."

"Benarkah?"

"Iya. Yang lebih parah, ada orang yang gak bisa dihubungi." Ucap Filza menyindir.

Tentu saja Satria menelan ludah. Sekarang dia sadar yang dia perbuat tadi salah. Membiarkan Filza pulang sendirian. Untung saja Filza mendengar suara dan tidak jadi masuk. Kalau seandainya dia tidak mendengar apapun dan masuk gitu aja, apa yang akan dilakukan para pencuri itu pada Filza?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status