Pagi ini sedikit berbeda dari pagi yang lalu-lalu. Filza memasak, Satria langsung datang ke dapur. Tentu ada alasannya. Dia lupa menaruh dompet di mana. Alhasil, Fiza yang ditanyai.
"Aku gak tau, Mas. Emangnya Mas taruh di mana?" Tanya Filza sambil tetap membalik menu sarapan kali ini."Aku lupa.""Aku bantu cari, ya. Tapi selesai goreng ini dulu." Ucap Filza tanpa menatap suaminya.Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi dompet Satria belum ketemu juga. Bingung tentu. Apalagi sebentar lagi dia harus berangkat kerja. Satria menyerah mencari. Sementara Filza masih mencarinya. Mengingat suaminya harus kerja, akhirnya dia mencari jalan keluar lain."Mas, makan di sini aja, ya! Nanti Mas bisa pegang uang aku dulu." Ucap Filza tulus."Enggak.""Kalau Mas gak mau makan di sini. Terserah. Tapi Mas bisa telat kerja. Lagian kalau gak makan dulu, gak konsen lagi. Mau ngutang, malu lah." Ucap Filza.Akhirnya Satria memikirkan ucapan Filza barusan. Otaknya masih bekerja cukup baik. Hingga egonya sedikit mundur, mau sarapan di rumahnya. Filza gembira. Inilah hal jarang, Satria mau duduk berhadapan dengannya di meja makan ini."Mas, ini bawa uangku dulu!" Filza menyerahkan dompetnya."Enggak. Aku bisa ...." Tampak berpikir."Bisa apa? Pakai kartu kredit? Mana? Ada di dompet Mas, kan?" Sukses membuat Satria diam seketika."Tapi aku tetap gak mau pegang uang Kamu." Ucap Satria tegas."Mas yakin gak papa?" Tanya Filza sedikit cemas."Hm." Satria pergi begitu saja. Seperti biasa, Filza tidak punya kesempatan mencium punggung tangannya. Sudahlah, menang harus ekstra sabar. Daripada memikirkan Satria, lebih baik dia langsung ke sekolah. Terlambat Filza, tapi tetap ke sekolah.Sampai di sana, dia disambut satpam yang tengah berjaga. Filza hanya memberikan senyuman lalu masuk.Sudah berjam-jam terlewati hari ini. Sekarang malam mulai datang. Filza sibuk dengan dapur. Beberapa saat kemudian, di teringat sesuatu. Dompet Satria belum ketemu. Cepat-cepat dia mencari itu dompet.Saat Satria datang, Fllza masih dengan aktivitas lamanya. Satria yang melihat itu jadi heran. Dia mendekat."Cari apa?" Tanya Satria."Dompet Mas." Jawaban tanpa tatapan mata."Udah ketemu." Langsung saja Filza menatap suaminya bingung."Kapan?""Ketinggalan di kantor."Filza lega. Dia bisa berdiri sekarang. Kembali ke dapur. Tidak lupa dia menawari Satria makan di rumah. Tapi sayangnya senjata andalan Satria untuk makan di luar ada sekarang."Dompet udah ketemu. Aku makan di luar.""Sesekali makan di sini.""Tadi udah." Jawaban santai.Filza bungkam. Dia bersyukur tidak masak banyak. Beberapa detik kemudian, Satria sudah tidak ada di rumah. Filza duduk sendirian di meja makan. Dia senyum-senyum."Gak papa. Yang penting Mas udah pernah makan di sini sama aku." Ucapnya pada diri sendiri.Filza menunggu Satria pulang. Duduk di sofa ruang keluarga. Rasanya ada yang kurang saat Satria belum pulang. Sedikit lama setelah itu, Satria pulang. Filza yang tengah menunggunya di ruang keluarga ternyata ketiduran. Sejenak memandang Filza yang tertidur pulas, lalu masuk ke kamar tanpa membangunkan Filza.Subuh datang, Filza merasa remuk. Terlalu lama tidur di sofa ternyata sedikit tidak enak. Sempit juga, sekali berguling jatoh. Filza langsung mengambil air wudhu.Langkah kakinya menuju ruangan shalat yang tersedia. Sudah ada Satria di sana. Tidak mau menunggu lama, dia shalat juga.Baru saja Satria hendak pergi, ponselnya berdering. Nama Biha tertera. Beberapa detik kemudian, Filza dipanggil Satria ke luar rumah."Ada apa, Mas?" Tanya Filza saat sampai di teras rumah."Tante masuk rumah sakit. Kita disuruh ke sana sekarang."Tanpa bicara lagi, mereka berangkat bersama. Kejadian langka tapi nyata, berangkat bersama. Selama di dalam mobil, Filza diam. Memandang ke depan tanpa menoleh sedikitpun. Dia tahu benar, mungkin Satria terpaksa berangkat bersama ke rumah sakit. Biasa, lebih memilih sendiri daripada bersama Filza.Sesampainya di sana, terlihat Biha yang tertidur pulas di ranjang rumah sakit. Satria tidak berniat membangunkannya. Langsung saja duduk di samping Biha. Entah kenapa hari-hari belakangan ini Satria jadi melunak. Bahkan seperti hari ini, dia menceritakan tentang ibunya dan Biha pada Filza."Ibuku sudah meninggal. Dan tante yang merawatku." Ucapnya sambil menatap Biha.Beberapa menit kemudian, Biha terbangun. Melihat Satria di sampingnya, dia tersenyum. Berusaha duduk, tapi Satria menghentikan gerakannya."Tante tidur aja." Ucap Satria sambil memegangi kedua pundaknya."Oh .... Pembunuh ada di sini juga? Ngapain kamu ajak dia?" Tanya Biha."Aku pikir Tante suka aku ajak dia." Ucap Satria sedikit tidak enak hati."Tante malah gak suka dia di sini. Ntar dia bunuh tante lagi." Ceplas-ceplos Biha."Kok Tante mikir gitu?" Filza tidak tahan lagi."Sudah! Sekarang lebih baik, Kamu pulang!" Satria tidak mau ada keributan. Tapi haruskah mengusir Filza dari sana?Sekarang Filza di lorong menuju pintu keluar rumah sakit. Terbayang-bayang di benaknya kata-kata Biha dan Satria tadi. Tunggu! Dia pulang naik apa? Bahkan Satria tidak mengantarnya pulang. Kunci mobil juga di suaminya.
Alhasil, sekarang Filza sampai di teras rumahnya diantar ojek. Dia hendak masuk rumah. Pintu rumah tidak terkunci. Filza heran, karena yang dia ingat, dia sudah mengunci pintu itu. Baru saja hendak melangkah masuk, dirinya mendengar suara pria di dalam rumah. Sekarang rasa takut Filza muncul.Filza menjauh dari rumah itu. Melangkahkan kaki ke bagian samping rumah, menyelinap mengintip dari jendela yang ada. Benar dugaannya, dua orang pria yang tengah berusaha mencuri. Filza panik. Cepat-cepat dia menghubungi Satria. Tapi gagal.Di sisi lain, Satria yang mendapat telepon dari Filza, memutuskan untuk mematikan, tidak menjawab telpon itu. Dia tidak suka diganggu saat menemani Biha di rumah sakit. Dia menganggap Filza tidak penting. Dan Biha sudah menjadi sosok ibu baginya, hingga Biha lebih penting daripada istrinya.Filza mendengus, tidak bisa menghubungi Satria. Dia lari keluar lalu berteriak meminta bantuan. Karena suara Filza yang keras, akhinya beberapa tetangga menghampirinya.
"Ada apa?" Tanya seorang pria usia sekitar 40 an terdengar panik."Ada maling di rumah saya." Jawab Filza.Satria pulang. Dia melihat banyak warga mengerumuni rumahnya. Penasaran, cepat-cepat dia masuk. Ada Filza dan beberapa orang di dalam. Dua pria duduk dengan kedua tangan terikat."Ada apa ini?" Tanya Satria."Pencuri masuk rumah. Sekarang nunggu polisi datang nangkap mereka.""Benarkah?""Iya. Yang lebih parah, ada orang yang gak bisa dihubungi." Ucap Filza menyindir.Tentu saja Satria menelan ludah. Sekarang dia sadar yang dia perbuat tadi salah. Membiarkan Filza pulang sendirian. Untung saja Filza mendengar suara dan tidak jadi masuk. Kalau seandainya dia tidak mendengar apapun dan masuk gitu aja, apa yang akan dilakukan para pencuri itu pada Filza?Filza baru saja hendak tidur, pintu kamarnya diketuk. Filza membuka kembali pintu kamar yang terkunci. Sekarang di hadapannya ada Satria."Iya, Mas?" Tanya Filza heran."Maafin aku soal yang tadi." Ucap Satria ragu."Gak papa, kok." Filza tersenyum.Tanpa mengatakan sesuatu, Satria malah nyelonong masuk ke kamar Filza. Istrinya itu bingung."Mas, mau ngapain?" Tanya Filza gugup."Terserah aku mau tidur di mana." Jawaban itu membuat Filza bahagia.Filza tidak menanyakan apapun lagi. Dia baru saja hendak menjatuhkan tubuhnya ke ranjang itu, tapi dia mengingat sesuatu. Dia ingat betul bahwa suaminya tidak mau dekat dengannya. Batal tidur di ranjang yang sama, Filza memilih untuk tidur di sofa.Satria menyadari suara langkah kaki Filza yang menjauh. Dia membuka satu matanya. Terkejut melihat Filza yang malah memilih tidur di sofa, Satria bangun."Ngapain tidur di situ?" Tanyanya ketus."Enggak papa." Jawaban yang sebenarnya baru saj
Pagi ini hanya terdengar suara seseorang yang tengah memasak. Tentu itu adalah Filza. Satria tidak sengaja berpapasan dengan Filza di ruang keluarga. Entah, Filza tak seperti biasa. Dia hanya diam saat melihat Satria.Satria juga heran. Tidak biasa Filza seperti ini. Biasanya Filza menyapa atau bahkan mengajaknya sarapan bersama. Tapi kali ini tidak. Filza melangkah ke dapur. Merapikan kotoran bekas dia memasak tadi. Lalu duduk di kursi makan.Tanpa menunggu aba-aba, dia makan begitu saja. Biasanya dia masih berusaha menunggu Satria untuk sarapan bersama, tapi kali ini tidak. Satria merasa ini kesalahannya. Mungkin Filza marah karena ucapannya kemarin. Padahal bukan paling lagi, tapi iya.Satria sengaja memancing Filza dengan suara jasnya. Berharap Filza menemuinya untuk sekedar mencium punggung tangan. Ternyata tidak ada sama sekali. Sudahlah, Satria tidak ingin berlama-lama.Dia langsung keluar rumah berangkat kerja. Sementara itu, Filza selsai makan. Dia y
"Kenapa?" Satria penasaran."Lagi males aja."Setelah menjawa pertanyaan Satria, Filza pergi. Rasanya makin bersalah lagi Satria sekarang. Untuk saat ini dia tidak mau mengganggu Filza lebih lama dan membuat masalah.Seperti biasa, Filza mengajar anak-anak mungil nan lucu di sekolah. Tingkah konyol mereka sering membuat Filza tertawa. Nun sekarang sedikit berkurang sejak dia tidak sengaja menutup hatinya untuk Satria. Filza tidak ingin banyak tertawa, dia memilih pergi.Sajak Satria merasa bersalah, dia rutin menjemput Filza di sekolah. Tidak peduli sedang sibuk apa dirinya, tapi nyatanya tetap meluangkan waktu untuk menjemput Filza. Istrinya itu sering menolak dengan alasan membawa motor sendiri. Tentu mudah bagi Satria mengatasi alasan itu.Malam yang sunyi seperti biasanya. Filza mengotak-atik laptop di ruang keluarga. Satria ikutan duduk sambil menyeruput teh hangat buatannya sendiri. Satria melirik aktivitas Filza. Dia jadi penasaran."Ngapai
"Tapi ini berbahaya, Bu." Jelas seorang petugas pemadam kebakaran."Saya gak ...." Belum selesai berbicara, sosok Satria keluar dari pintu rumah.Filza berlari menghampirinya. Sontak memeluk Satria, cemas. Satria yang mendapat pelukan seketika terdiam. Perasaan inilah yang dia rindukan. Perasaan yang sempat hilang. Kini mungkin telah kembali.Kejadian itu sudah lama. Setelah lima belas hari, akhinya Satria menemukan sebuah apartemen yang akan dia tinggali bersama Filza saat tanah yang dibelinya belum merampungkan pembangunan rumah. Dia membelinya setelah pemikiran yang panjang. Sekarang Satria dan Filza berada di rumah Biha. Mereka menyusun rencana pembangunan rumah baru."Mas, mau kopi?" Tanya Filza."Gak perlu.""Jadi, Kamu yakin tentang apartemen?" Tanya Biha serius pada Satria."Ya. Gak mungkin aku dan Filza terus-menerus numpang di sini. Lebih baik kami pindah ke apartemen dulu sebelum rumah barunya jadi."Setelah kejadian itu, Fi
Sosok Airin sudah ada di depan Filza. Tersenyum misterius. Satria yang penasaran siapa tamunya, mengikuti langkah Filza."Ngapain Kamu di sini?" Tanya Satria langsung pada intinya."Aku cuma mau ngasih ini buat kalian. Tadi habis dari pasar, sekalian mampir ke sini." Ucap Airin sambil memberikan sekantung penuh berisi bermacam buah-buahan pada Satria."Terima itu!" Perintah Satria pada istrinya.Beberapa detik kemudian, Airin duduk di sofa dalam apartemen mereka berdua. Pandangan Satria seperti tak suka dengan kedatangan Airin. Sama seperti suaminya, Filza juga tidak suka. Dia malah cemas Airin akan merebut hati Satria."Kamu gak takut tinggal di sini, apalagi sama Filza?" Tanya Airin pada Satria."Kalau udah selesai urusannya, Kamu boleh pergi!" Satria tegas.Airin nampak tidak suka. Tapi dia berusaha setenang mungkin. Sedangkan Filza sedikit bingung dengan ucapan Satria barusan. Bukannya menjawab, Satria malah mengusir wanita itu."K
"Rencana apa?" Tanya Satria sedikit cemas."Tante tau gimana caranya buat dia jauh dari Kamu, tanpa Kamu repot-repot ceraikan dia." Ucap Biha masih dengan nada liciknya.Sejak beberapa hari yang lalu Filza masak sedikit lebih dari biasanya. Karena beberapa hari belakangan ini, Satria selalu makan di rumah. Bagi Filza itu hal yang luar biasa dan dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas seperti itu.Langkah kaki Satria yang masuk rumah membuat Filza menghampirinya. Filza mencium punggung tangan Satria, ini sudah tujuh kalinya."Mas mau langsung makan?" Tanya Filza ramah."Iya." Satria berlalu sambil meletakkan tasnya di sofa ruang keluarga.Tibalah mereka di ruang makan. Filza memulai makannya setelah Satria menyantap sesendok pertama. Ingatan Satria tentang rencana Biha tadi harus mengurangi nafsu makannya."Filza.""Iya?" Filza yang kurang fokus, menjawab pertanyaan itu sedikit agak lambat."Minggu depan kita jalan-j
Filza keluar dari kamar hotel. Langkahnya mantap. Dia mengenakan masker mulut, agar dua pria itu tidak bisa mengenalinya lagi. Hari ini, di pagi yang indah, dia akan mulai mencari suaminya kembali.Tepat saat dia berada di depan hotel, sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya. Tentu Filza tidak mau menunda kesempatan itu. Dia menyiapkan ponselnya untuk mencari translate dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Karena jujur saja dia tidak pandai dalam bidang bahasa.Saat sopir bertanya ke mana dia akan pergi, dengan Bahasa Inggris, Filza menjawab dengan cara menunjukkan layar ponselnya yang di layar itu tertulis kalimat dengan Bahasa Inggris yang artinya, "bandara."Sopir langsung mengerti tempat mana yang akan dituju. Filza meninggalkan hotel dengan aman. Memang terlihat jelas dua pria aneh itu sudah berada tak jauh darinya beberapa menit lalu, tapi mereka tidak mengenali Filza.Saat sampai di bandara, dia langsung menuju tempat yang tiga hari lalu menja
"Kamu ngapain, Sat?" Biha muncul, mengacaukan aktivitas Satria.Spontan Satria menutup laptopnya. Menyembunyikan apa yang dia lakukan sedari tadi. Senyum dipaksa juga muncul dari bibirnya."Gak ngapa-ngapain, Tan. Cuma liat medsos." Jawab Satria."Lagi gak sibuk, ya?" Biha memperhatikan Satria yang santai, tidak seperti biasa."Iya, Tan."Jauh di negeri orang, hari berganti. Kini Filza sibuk menata rambutnya. Lalu membalutnya dalam pasmina. Dia bertekat kali ini untuk mencari cara kembali ke tanah kelahirannya.Hingga sampailah Filza di sebuah ruangan dengan beberapa orang di dalamnya. Dia tengah duduk berhadapan dengan seorang pria yang juga berasal dari Indonesia."Lalu di mana paspor Anda?" Tanya pria itu, yang kemudian diketahui bernama Ruslan."Saya sering menelpon suami saya juga kerabat saya. Salah satu dari mereka bilang kalau paspor saya sudah ada di tangan suami saya. Saya berusaha menelponnya lagi dan lagi, tapi satupun tida