“Tapi, ngapain Kamu tanya itu?” Abidah sedikit heran.“Enggak papa, Cuma penasaran aja.” Hana cemas melihat tatapan Abidah yang masih mengisyaratkan kebingungan.“Bayu itu temanku sejak kecil. Jadi gak salah kan, kalau aku tanya soal itu?” Hana berusaha meyakinkan Abidah bahwa itu bukan pertanyaan aneh.Benar saja, Abidah menangguk tanda setuju. Tidak lama setelah itu Abidah memutuskan untuk pulang. Di sisi lain, di rumahnya Bayu memofuskan pandangannya pada layer televisi sambil menikmati kopi hangat buatannya sendiri. Ruangan itu terlihat sepi karena memang hanya Bayu yang tinggal di sana. Di usianya yang masih muda, dia bisa membangun rumah masa depannya. Rumah itu dia persiapkan untuk masa tuanya yang rencananya akan dihuni bersama istri dan anak-anaknya kelak. Sayangnya sampai sekarang dia masih jomblo.Berita di televisi menghentikan pergerakan tangannya yang tengah memegang cangkir kopi. Berita tentang pengusaha sukses yang ditipu rekan kerjanya sendiri. Pengusaha sukses yang d
Jantungnya berdegup kencang, dia gugup. Seorang wanita berdiri karena mendengar namanya dipanggil. Lalu wanita tersebut masuk ke ruangan yang memang membuat gugup orang-orang di hadapannya. Abidah mengangkat ponselnya hingga layar dari ponsel itu menyala. Ternyata sudah satu jam dia menunggu gilirannya tiba.Singkatnya, hari demi hari berlalu hingga pada suatu malam, Abidah baru saja pulang dari pusat perbelanjaan. Dia membeli benda-benda yang mugkin akan membantunya dalam bekerja di perusahaan itu. Ya, dia diterima bekerja di sana. Filza mengusap-usap pundak Abidah sambil tersenyum.***Mukena itu baru saja dilipat rapi oleh pemiliknya. Tidak menunggu waktu lama, Abidah sudah siap dengan pakaian yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Dia berdiri di depan cermin sambil memandangi penampilan barunya. Terdengar suara pintu dibuka.“Apa mama harus selalu mengingatkanmu agar berangkat lebih awal? Mau sampai kapan?” Tanya Filza dengan setengah senyum.Abidah meraih tas di atas ranjang lal
Suara ketikan terdengar hampir di semua meja di sekeliling Abidah. Gadis itu tampak tidak peduli, melanjutkan Langkah ke meja kerjanya. Sesaat kemudian terdengar suara mesin pencetak yang tengah bekerja mencetak file penting. Di antara kesibukan orang-orang di sana, dia melihat Bayu yang tengah melintas. “Dia lagi.” Gumam Abidah tidak suka. Abidah merasa aneh saat teman-teman kerjanya malah memberikan sapaan sopan kepada Bayu, tampak seperti menyapa atasan mereka. Abidah berpikir untuk apa mereka memberi sapaan begitu sopan pada orang seketus Bayu. Gadis itu hanya tidak mengerti siapa sebenarnya Bayu. “Eh, Kamu ini, bersikaplah sopan pada Pak Bos! Kamu malah memandanginya begitu.” Qirana menyenggol lengan gadis itu. “Pak Bos?” Tanya Abidah bingung. “Iya. Oh, Kamu mungkin belum tahu. Beliau itu pemilik perusahaan ini.” Penjelasan Qirana membuat Abidah sedikit kaget. “Apa?” Abidah masih tidak percaya. Alih-alih menjawab, Qirana hanya mengangguk lalu pergi. Abidah masih sedikit ter
Seorang pria yang bertugas sebagai mc memulai tugasnya. Diawali pembukaan, sambutan dari pemilik acara itu, dilanjutkan dengan lain sebagaimnya. Uniknya, dalam suatu kesempatan, diadakan sesi tanya jawab, tentu itu hanya untuk memeriahkan pesta saja.“kamu punya pacar?” Pertanyaan itu dilontarkan seorang wanita yang usianya hampir sama seperti Filza. Namanya Aminah, ibunda dari Bayu sendiri.Sontak semua orang yang ada di pesta itu melihat ke arah pintu masuk. Aminah datang dengan sebuah kotak indah yang dia pegang. Senyumannya masih belum memudar. Tiga detik kemudian Lila datang dan langsung memberikan bingkisan kecil kepada Bayu.“Selamat ulang tahun Kakakku yang tampan!” Teriak Lila yang membuat Aminah langsung menempelkan jari telunjuk di depan bibir sambil memanggilnya lembut.“Lila ….” Gadis remaja itu nyengir. Sadar kalau semua mata tengah menatapnya.“Buka dong!” Lila meletakkan kedua tangannya di belakang badan. Menunjuk bingkisan itu dengan isyarat kedua alisnya.Menuruti pe
Mulutnya tertutup rapat. Tentu saja pertanyaan Qirana tidak bisa dijawabnya. Sudahlah, aku akan kembali bekerja.” Abidah bermaksud menghindari percakapan lebih lanjut.Tepat saat Abidah sampai di lantai dasar kantor saat jam bekerjanya berakhir, terdengar gemericik air yang dengan cepat berubah menjadi hujan deras. Abidah menghembuskan napas berat dan secepatnya berlari menghampiri angkot yang biasanya. Dari jendela angkot dia melihat Bayu tengah mengobrol bersama seorang wanita, kira-kira seusia dirinya.“Oh, sudah punya pacar ya? Tapi, sepertinya Wanita itu tidak asing.” tebak Abidah sembarangan. Angkot itu melaju tidak peduli sepasang mata Abidah yang masih terpaku melihat dua orang di seberang jalan.Malam, Abidah baru saja sampai di rumah. Sudah satu jam setengah dia habiskan untuk membeli makan malam. Baru saja mengucap salam dan membuka pintu, raut wajahnya yang datar tiba-tiba terkejut. “Sandra?”Wanita itu duduk di sofa tepat di samping Filza. Abidah memeluknya erat. Sandra t
Langit menampakkan senyumannya. Semuanya yang ada di bawah atap itu bergembira. Acara akad nikah baru saja selesai. Filza, pipinya memerah, menambah kecantikannya.Hingga sosok yang masih asing untuk Filza datang. Ramahnya terlihat jelas."Assalamu'alaikum. Maaf, aku terlambat." Ucapnya sopan."Wa'alaikumsalam. Gak papa." Filza sendiri yang menjawab.Satu jam setelah itu, semuanya selesai. Filza merasa harus buang air. Langkahnya terburu-buru menuju toilet. Saat berada pas di tengah-tengah pintu, bukannya langsung masuk, dia malah terpaku."Aaa!"Teriakan itu mengagetkan semua orang, termasuk suaminya, Satria. Filza melihat dengan jelas, ayah mertuanya tergeletak bersimbah darah. Pisau masih tertancap di perut pria lansia itu. Sontak Filza langsung mencabut pisau itu. Pas saat itulah suaminya dan yang lain datang."Papa!"Satria memeluk tubuh Wiroyo. Lalu mengamati sekitarnya. Sontak membawanya ke rumah sakit.Di depan r
Pagi ini seperti biasa, Satria tak sekalipun menyentuh masakan Filza. Miris sekali. Bahkan dia sekalipun tak menatap Filza."Mas, mau berangkat kerja?""Hm."***Siang, Filza berpikir untuk membuatkan bekal makanan untuk suaminya. Mungkin dengan ini hati suaminya bisa luluh. Langkahnya terburu-buru menuju ruangan Satria. Sampai di sana, dilihatnya Satria sibuk dengan laptop."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Ngapain Kamu di sini?""Ini aku bawain bekal makanan buat Mas.""Gak perlu. Aku makan di luar, bukan masakan Kamu."Tentu saja sakit hatinya muncul kembali. Ucapan Satria semakin membuat lukanya lebar."Makan aja, Mas! Aku udah masakin buat Mas." Ucapnya dengan lembut."Kalau aku bilang enggak, ya enggak! Jangan maksa!" Sedikit kasar nadanya.Filza tak berani menatap matanya. Sakit itu semakin perih. Dia berat hati membawa bekal itu kembali ke rumah.Sampai di rumah. Bukannya segera menuju sekolah
Pulang kerja, Satria langsung masuk kamar. Ada lagi yang harus dia hadapi. Menurutnya, bersama Filza merupakan masalah besar. Beberapa hari lagi adalah hari pertunangan adiknya, Santi. Tentu saja Filza harus ikut."Mas, bisa tolong bukain pintu sebentar?" Suara Filza di balik pintu.Malasnya Satria membuka pintu. Bahkan raut wajahnya tak menunjukkan bahwa dia bahagia. Sekarang di hadapannya ada Filza dengan dua pakaian indah lengkap dengan pasmina yang digantung di kedua pundaknya."Apa?""Aku pakai yang mana di pertunangan Santi?" Tanya Filza sambil menjajarkan dua pakaian itu di samping kanan dan kiri badannya."Terserah." Lalu menutup pintu.Filza tak mengira dirinya mendapat jawaban seperti itu. Hanya bisa menghembuskan napas gusar lalu pergi ke kamarnya sendiri.Di sinilah Filza, di balkon kamar dengan suasana minimalis. Termenung menatap langit. Perlahan matanya basah. Dia menangis.***Hari yang ditunggu tiba. Filza terlih