Pagi ini seperti biasa, Satria tak sekalipun menyentuh masakan Filza. Miris sekali. Bahkan dia sekalipun tak menatap Filza.
"Mas, mau berangkat kerja?"
"Hm."
***
Siang, Filza berpikir untuk membuatkan bekal makanan untuk suaminya. Mungkin dengan ini hati suaminya bisa luluh. Langkahnya terburu-buru menuju ruangan Satria. Sampai di sana, dilihatnya Satria sibuk dengan laptop.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Ngapain Kamu di sini?"
"Ini aku bawain bekal makanan buat Mas."
"Gak perlu. Aku makan di luar, bukan masakan Kamu."
Tentu saja sakit hatinya muncul kembali. Ucapan Satria semakin membuat lukanya lebar.
"Makan aja, Mas! Aku udah masakin buat Mas." Ucapnya dengan lembut.
"Kalau aku bilang enggak, ya enggak! Jangan maksa!" Sedikit kasar nadanya.
Filza tak berani menatap matanya. Sakit itu semakin perih. Dia berat hati membawa bekal itu kembali ke rumah.
Sampai di rumah. Bukannya segera menuju sekolah tempatnya mengajar, Filza justru menangis di sofa ruang keluarga. Suaminya setega itu padanya. Tapi percuma dia menangis. Diusapnya air mata dan langsung bersiap ke sekolah.
Malam, girang melihat Satria duduk menonton siaran televisi. Filza duduk di sampingnya. Senyumnya tak putus. Tak membalas senyuman itu, Satria malah bangkit. Menuju kamar pribadinya di mana Filza secara terang-terangan tak boleh masuk.
"Mas, mau ke mana?"
"Tidur."
Entah sudah yang keberapa kalinya, Filza kembali merenung. Memilah-milah kesalahannya.
Pagi yang sepi. Tak ada orang di rumah. Filza mencari Satria di mana-mana. Tak kunjung hadir. Berkali-kali dipanggil, tapi tak ada sahutan.
"Apa mas udah berangkat, ya?" Tanyanya pada diri sendiri.
***
"Satria, ada undangan resepsi pernikahan dari Dodi." Ucap teman kecilnya, Andre.
"Ya, makasih. Insyaa Allah. Aku dateng."
"Jangan lupa ajak istri Lo, ya?"
"Dia gak akan ikut."
"Kenapa?" Andre menekuk keningnya.
"Dia lagi gak enak badan." Bohongnya kelewatan.
***
"Mas mau aku bikinin kopi?" Filza duduk di samping suaminya.
"Gak perlu." Mata Satria masih setia menatap lembaran koran.
"Teh? Susu?"
"Gak usah."
"Mau aku masakin sesuatu?"
"Gak usah! Udah aku bilang, kan?!"
"Maaf, Mas."
Matanya dilapisi bulir bening, itulah keadaan Filza saat ini. Dia memberanikan diri.
"Mas, kalau aku ada salah, aku minta maaf, ya." Sambil menahan getaran di dada.
"Ada, besar banget."
"Apa?"
"Kamu yang udah membunuh papaku."
"Mas, aku gak ngelakuin itu. Kalau memang aku yang ngelakuin itu, aku pasti ngaku. Tapi bukan aku. Aku gak bohong, Mas."
"Airin punya buktinya."
"Jadi Mas lebih percaya sama Airin daripada aku?" Mata Filza nanar.
"Ya. Emangnya kenapa? Kamu gak terima? Udah jelas Kamu yang salah, ngaku aja!"
"Kalau emang Mas nyalahin aku, kenapa gak bawa aku ke kantor polisi sekalian?"
"Karena aku terpaksa. Papa yang bilang aku gak boleh berpisah dari Kamu. Kalau aku mau, aku bisa ceraikan Kamu detik ini juga. Tapi aku gak bisa ngelakuin itu, papa gak ngebolehin. Beliau juga gak akan mau aku memasukkanmu ke penjara."
"J ... jadi gara-gara itu, Mas?"
"Ya."
Filza menunduk. Dia masih bisa membendung air matanya. Sekarang harapannya untuk dicintai Satria tak tercapai. Dia ada di sini karena terpaksa. Bukan hati Satria yang menginginkannya.
***
"Mas, aku udah siapin jas kesukaan Mas."
"Suruh siapa Kamu masuk ke sini?" Tanya Satria yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Maaf, Mas. Aku cuma mau nyiapin pakaian Kamu."
"Keluar!"
Filza tak mau berdebat. Cukup sakit diusir dari kamar suaminya. Sudahlah, sekarang dia harus keluar. Menuju dapur, menangis di sana. Seperi biasa, tanpa pamit, Satria keluar rumah, buat apa lagi kalau bukan kerja?
Mumpung Satria pergi, Filza masuk ke kamarnya. Dia hendak membersihkan kamar suaminya. Saat sampai di kamar itu, mata Filza tak sengaja melihat sebuah benda persegi yang tergeletak di meja kecil Satria. Meraih benda itu.
"Undangan resepsi pernikahan? Kenapa Mas gak bilang soal ini ke aku?"
Tak mau membuang waktu, Filza pergi dari sana. Tanpa membawa undangan itu.
Sampai di kelas tempat dia mengajar, Filza mengamati seorang anak dengan dua kepang di kepalanya. Imut sekali anak itu. Filza jadi menghayal. Hayalannya adalah dia dan Satria memiliki anak yang lucu. Bercanda bersama. Melakukan hal kecil yang seru dan yang lain lagi. Tapi kembali pada kenyataan. Satria tak mungkin bisa menerimanya.
Malam ini, Satria terlihat rapi. Dia bahkan menggunakan sedikit parfum. Mau ke mana?
"Mas, mau ke mana?"
"Aku diundang ke resepsi pernikahan temanku."
"E ... aku ikut?"
"Ngapain?"
Filza langsung diam. Sudah paham jawaban Satria. Hendak mencium punggung tangan Satria, tapi terlebih dulu pria itu menghindar. Perih, kan? Lagi-lagi Filza harus menahan rasa sakit itu.
Teh hangat menjadi temannya malam ini. Sekarang jam tujuh malam. Jam delapan malam, Satria baru pulang. Filza langsung menghampirinya. Hendak mencium punggung tangan suaminya. Tapi lagi-lagi Satria langsung ke kamar, menghindari Filza.
Filza memejamkan mata. Perih rasanya. Rasanya ingin dia protes. Dia ingin mengungkapkan segalanya. Dia ingin memaki Satria. Dia ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi apa gunanya?
Malam ini sepi. Filza membaca tulisan muridnya yang tadi tak sengaja dia bawa. Terkekeh membaca setiap tulisan yang bentuknya masih tak karuan.
***
Isi pesan dari Filza ....
"Assalamu'alaikum. Mas lagi apa? Aku udah kirim bekal makanan. Biar Mas gak perlu beli di luar. Di makan, ya!"
Tak dijawab, sengaja memang. Satria meletakan ponselnya di atas meja kerja. Laptopnya masih menyala.
Filza tengah memeriksa jawaban dari soal yang dia berikan untuk murid-muridnya. Ada saja jawaban dari muridnya yang melenceng dari pertanyaan. Sangking melencengnya hingga membuat Filza terkekeh.
"Ada apa, Bu?" tanya Wita, salah satu guru di sana.
"Eh, ini loh, Bu. Jawaban anak-anak ada yang lucu."
"Namanya juga anak-anak."
"Saya sampai ketawa bacanya."
Pulang sekolah, sosok Airin sudah ada di parkiran. Filza bingung kenapa dia bisa ada di sini.
"Airin?"
"Eh, ini dia Si Pembunuh. Kamu harus bersyukur! Kamu gak masuk penjara, itu semua gara-gara papanya Satria sayang banget sama Kamu. Coba aja kalau bukan gara-gara beliau, Kamu pasti udah ditendang jauh-jauh." Ucapnya sambil menarik tepi bibir.
"Kamu kenapa, sih? Kenapa sekejam itu? Kenapa Kamu bilang aku yang salah?"
"Loh, ada buktinya, kan?"
"Tapi aku gak tau apa-apa."
"Jadi perempuan gak boleh tukang bohong!"
"Aku gak bohong."
"Eh, eh, Ibu-ibu. Ini nih, pembunuh." Ucap Airin pada Wita dan Santi.
"Enggak, Ibu-ibu. Itu gak bener. Saya difitnah."
"Padahal udah ada buktinya. Tega bunuh ayah mertuanya sendiri."
Terkejut, WIta dan Santi meninggalkan mereka berdua. Tak mau berurusan lebih panjang dengan Filza.
Pulang kerja, Satria langsung masuk kamar. Ada lagi yang harus dia hadapi. Menurutnya, bersama Filza merupakan masalah besar. Beberapa hari lagi adalah hari pertunangan adiknya, Santi. Tentu saja Filza harus ikut."Mas, bisa tolong bukain pintu sebentar?" Suara Filza di balik pintu.Malasnya Satria membuka pintu. Bahkan raut wajahnya tak menunjukkan bahwa dia bahagia. Sekarang di hadapannya ada Filza dengan dua pakaian indah lengkap dengan pasmina yang digantung di kedua pundaknya."Apa?""Aku pakai yang mana di pertunangan Santi?" Tanya Filza sambil menjajarkan dua pakaian itu di samping kanan dan kiri badannya."Terserah." Lalu menutup pintu.Filza tak mengira dirinya mendapat jawaban seperti itu. Hanya bisa menghembuskan napas gusar lalu pergi ke kamarnya sendiri.Di sinilah Filza, di balkon kamar dengan suasana minimalis. Termenung menatap langit. Perlahan matanya basah. Dia menangis.***Hari yang ditunggu tiba. Filza terlih
Sekarang hari Minggu. Filza bisa santai di rumah. Berharap Satria menemaninya pagi ini. Entah itu minum teh ataupun ngapain lagi, terserah."Mas, mau ke mana?""Kantor.""Tapi sekarang hari Minggu. Mas gak bisa di rumah aja? Temenin aku.""Enggak. Aku sibuk."Filza tak berani membuka mulut lagi. Dia membiarkan Satria pergi begitu saja. Tapi saat Satria hampir saja melesat, "Mas, jangan makan di luar! Nanti aku anterin bekal makanan buat Mas." Ucapnya dari kejauhan."Gak perlu!"Lagi-lagi Filza diam. Masuk kembali ke rumah. Duduk di sofa rumah tamu. Mengingat masa-masa indah bersama suaminya. Tapi mau dikata apa? Sekarang suaminya sudah berubah. Mengisi waktu luang, akhinya dia menemukan daftar keseharian baru. Tiba-tiba saja seekor anak kucing mengeong padanya.Filza datang menghampiri anak kucing itu. Tergeletak tanpa induk. Tentunya di depan rumahnya. "Kenapa aku gak liat dari tadi?"Filza meraih anak kucing itu dan membawanya
"Mas masih belum tidur?" Tanya Filza hati-hati."Belum.""Kenapa? Tidur aja.""Aku gak bisa tidur."Filza duduk di sofa. Menunggu sampai Satria bisa tidur. Sabar sekali sepertinya. Satria yang melihat Filza belum tidur, balik bertanya, "kenapa gak tidur?""Nunggu Mas bisa tidur." Ucapnya sejujur-jujurnya."Gak perlu. Aku malah seneng Kamu pulang! Gak usah di sini."Filza sakit. Sakit hati lebih tepatnya. Dia berusaha memendam itu sendiri.Lampu di ruangan rumah sakit itu sudah dimatikan. Pagi datang."Mas, sudah waktunya sarapan." Filza hendak menyuapinya."Gak perlu. Aku bisa sendiri.""Tapi, Mas ...." Ucapan itu belum selesai karena tatapan tajam Satria, membuat Filza diam seketika.Sesaat setelah kondisi mulai tenang, Filza akhinya berani membuka mulut lagi."Mas, aku mau berangkat ke sekolah. Mas gak papa di sini?""Malah aku seneng Kamu pergi."Lagi-lagi ucapan Satria menyakitkan. Apa dia
Pagi, seperti biasa, Filza memasak. Juga seperti bisa, Satria hendak pergi begitu saja."Mas, mau ke mana?""Makan di luar.""Di sini aja, Mas. Mas masih belum sembuh total.""Aku gak papa. Jangan ganggu aku!"Filza tak berani membantah. Dia membiarkan Satria keluar. Tapi bukan Filza namanya jika membiarkan begitu saja Satria keluar sendirian. Filza mengikutinya dari belakang.Memaksakan diri menjadi sifat Satria sejak dulu. Dia harus mengakui bahwa sekarang rasa tubuhnya ingin ambruk. Tepat di depan pintu warung, Satria benar-benar ambruk. Semua yang berada di sekitar langsung mengerumuni Satria. Filza lari setelah memarkirkan sepeda motor."Mas, Mas bangun!" Filza berusaha menyadarkan Satria.Beberapa menit setelah itu, Satria membuka mata. Di rumah sakit lagi dirinya saat ini. Pandangannya melayang pada sosok Biha di samping kanan dan Filza di samping kiri."Satria, Kamu kok bisa jadi gini, sih? Pasti dia yang gak becus ngeraw
Filza menyipitkan mata. "Aku pikir Mas mau bilang apa.""Ayo cari!""I ... iya, Mas."Filza celingukan mencari kecoa. Mencarinya sampai ke sudut-sudut ruangan. Tapi pencariannya tak menuai hasil. Filza menatap Satria sambil mengangkat kedua pundaknya."Ya udah, sana keluar!" Usir Satria.Filza keluar dari kamar itu. Baru kali ini dia dibuat terkekeh karena sikap Satria. Suaminya yang dia kenal sebagai seorang pria kuat, pendiam dan memesona, sekarang seperti layaknya seorang anak Sekolah Dasar."Kamu ngetawain aku?" Tanya Satria sedikit mendengar kekehan Filza."Eh, enggak, Mas. Aku cuma b ... batuk." Kebohongan Filza.***Sekolah ini membuat Filza seakan istirahat dari lelahnya menyikapi sifat Satria. Kali ini dia memerhatikan wajah lugu seorang siswa imut yang tengah bercanda dengan temannya."Mungkin Mas Satria dulu kayak gitu." Gumam Filza.Pulang mengajar dia sempatkan ke toko buku. Membaca menjadi temannya sejak
Pagi ini sedikit berbeda dari pagi yang lalu-lalu. Filza memasak, Satria langsung datang ke dapur. Tentu ada alasannya. Dia lupa menaruh dompet di mana. Alhasil, Fiza yang ditanyai."Aku gak tau, Mas. Emangnya Mas taruh di mana?" Tanya Filza sambil tetap membalik menu sarapan kali ini."Aku lupa.""Aku bantu cari, ya. Tapi selesai goreng ini dulu." Ucap Filza tanpa menatap suaminya.Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi dompet Satria belum ketemu juga. Bingung tentu. Apalagi sebentar lagi dia harus berangkat kerja. Satria menyerah mencari. Sementara Filza masih mencarinya. Mengingat suaminya harus kerja, akhirnya dia mencari jalan keluar lain."Mas, makan di sini aja, ya! Nanti Mas bisa pegang uang aku dulu." Ucap Filza tulus."Enggak.""Kalau Mas gak mau makan di sini. Terserah. Tapi Mas bisa telat kerja. Lagian kalau gak makan dulu, gak konsen lagi. Mau ngutang, malu lah." Ucap Filza.Akhirnya Satri
Filza baru saja hendak tidur, pintu kamarnya diketuk. Filza membuka kembali pintu kamar yang terkunci. Sekarang di hadapannya ada Satria."Iya, Mas?" Tanya Filza heran."Maafin aku soal yang tadi." Ucap Satria ragu."Gak papa, kok." Filza tersenyum.Tanpa mengatakan sesuatu, Satria malah nyelonong masuk ke kamar Filza. Istrinya itu bingung."Mas, mau ngapain?" Tanya Filza gugup."Terserah aku mau tidur di mana." Jawaban itu membuat Filza bahagia.Filza tidak menanyakan apapun lagi. Dia baru saja hendak menjatuhkan tubuhnya ke ranjang itu, tapi dia mengingat sesuatu. Dia ingat betul bahwa suaminya tidak mau dekat dengannya. Batal tidur di ranjang yang sama, Filza memilih untuk tidur di sofa.Satria menyadari suara langkah kaki Filza yang menjauh. Dia membuka satu matanya. Terkejut melihat Filza yang malah memilih tidur di sofa, Satria bangun."Ngapain tidur di situ?" Tanyanya ketus."Enggak papa." Jawaban yang sebenarnya baru saj
Pagi ini hanya terdengar suara seseorang yang tengah memasak. Tentu itu adalah Filza. Satria tidak sengaja berpapasan dengan Filza di ruang keluarga. Entah, Filza tak seperti biasa. Dia hanya diam saat melihat Satria.Satria juga heran. Tidak biasa Filza seperti ini. Biasanya Filza menyapa atau bahkan mengajaknya sarapan bersama. Tapi kali ini tidak. Filza melangkah ke dapur. Merapikan kotoran bekas dia memasak tadi. Lalu duduk di kursi makan.Tanpa menunggu aba-aba, dia makan begitu saja. Biasanya dia masih berusaha menunggu Satria untuk sarapan bersama, tapi kali ini tidak. Satria merasa ini kesalahannya. Mungkin Filza marah karena ucapannya kemarin. Padahal bukan paling lagi, tapi iya.Satria sengaja memancing Filza dengan suara jasnya. Berharap Filza menemuinya untuk sekedar mencium punggung tangan. Ternyata tidak ada sama sekali. Sudahlah, Satria tidak ingin berlama-lama.Dia langsung keluar rumah berangkat kerja. Sementara itu, Filza selsai makan. Dia y
Mulutnya tertutup rapat. Tentu saja pertanyaan Qirana tidak bisa dijawabnya. Sudahlah, aku akan kembali bekerja.” Abidah bermaksud menghindari percakapan lebih lanjut.Tepat saat Abidah sampai di lantai dasar kantor saat jam bekerjanya berakhir, terdengar gemericik air yang dengan cepat berubah menjadi hujan deras. Abidah menghembuskan napas berat dan secepatnya berlari menghampiri angkot yang biasanya. Dari jendela angkot dia melihat Bayu tengah mengobrol bersama seorang wanita, kira-kira seusia dirinya.“Oh, sudah punya pacar ya? Tapi, sepertinya Wanita itu tidak asing.” tebak Abidah sembarangan. Angkot itu melaju tidak peduli sepasang mata Abidah yang masih terpaku melihat dua orang di seberang jalan.Malam, Abidah baru saja sampai di rumah. Sudah satu jam setengah dia habiskan untuk membeli makan malam. Baru saja mengucap salam dan membuka pintu, raut wajahnya yang datar tiba-tiba terkejut. “Sandra?”Wanita itu duduk di sofa tepat di samping Filza. Abidah memeluknya erat. Sandra t
Seorang pria yang bertugas sebagai mc memulai tugasnya. Diawali pembukaan, sambutan dari pemilik acara itu, dilanjutkan dengan lain sebagaimnya. Uniknya, dalam suatu kesempatan, diadakan sesi tanya jawab, tentu itu hanya untuk memeriahkan pesta saja.“kamu punya pacar?” Pertanyaan itu dilontarkan seorang wanita yang usianya hampir sama seperti Filza. Namanya Aminah, ibunda dari Bayu sendiri.Sontak semua orang yang ada di pesta itu melihat ke arah pintu masuk. Aminah datang dengan sebuah kotak indah yang dia pegang. Senyumannya masih belum memudar. Tiga detik kemudian Lila datang dan langsung memberikan bingkisan kecil kepada Bayu.“Selamat ulang tahun Kakakku yang tampan!” Teriak Lila yang membuat Aminah langsung menempelkan jari telunjuk di depan bibir sambil memanggilnya lembut.“Lila ….” Gadis remaja itu nyengir. Sadar kalau semua mata tengah menatapnya.“Buka dong!” Lila meletakkan kedua tangannya di belakang badan. Menunjuk bingkisan itu dengan isyarat kedua alisnya.Menuruti pe
Suara ketikan terdengar hampir di semua meja di sekeliling Abidah. Gadis itu tampak tidak peduli, melanjutkan Langkah ke meja kerjanya. Sesaat kemudian terdengar suara mesin pencetak yang tengah bekerja mencetak file penting. Di antara kesibukan orang-orang di sana, dia melihat Bayu yang tengah melintas. “Dia lagi.” Gumam Abidah tidak suka. Abidah merasa aneh saat teman-teman kerjanya malah memberikan sapaan sopan kepada Bayu, tampak seperti menyapa atasan mereka. Abidah berpikir untuk apa mereka memberi sapaan begitu sopan pada orang seketus Bayu. Gadis itu hanya tidak mengerti siapa sebenarnya Bayu. “Eh, Kamu ini, bersikaplah sopan pada Pak Bos! Kamu malah memandanginya begitu.” Qirana menyenggol lengan gadis itu. “Pak Bos?” Tanya Abidah bingung. “Iya. Oh, Kamu mungkin belum tahu. Beliau itu pemilik perusahaan ini.” Penjelasan Qirana membuat Abidah sedikit kaget. “Apa?” Abidah masih tidak percaya. Alih-alih menjawab, Qirana hanya mengangguk lalu pergi. Abidah masih sedikit ter
Jantungnya berdegup kencang, dia gugup. Seorang wanita berdiri karena mendengar namanya dipanggil. Lalu wanita tersebut masuk ke ruangan yang memang membuat gugup orang-orang di hadapannya. Abidah mengangkat ponselnya hingga layar dari ponsel itu menyala. Ternyata sudah satu jam dia menunggu gilirannya tiba.Singkatnya, hari demi hari berlalu hingga pada suatu malam, Abidah baru saja pulang dari pusat perbelanjaan. Dia membeli benda-benda yang mugkin akan membantunya dalam bekerja di perusahaan itu. Ya, dia diterima bekerja di sana. Filza mengusap-usap pundak Abidah sambil tersenyum.***Mukena itu baru saja dilipat rapi oleh pemiliknya. Tidak menunggu waktu lama, Abidah sudah siap dengan pakaian yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Dia berdiri di depan cermin sambil memandangi penampilan barunya. Terdengar suara pintu dibuka.“Apa mama harus selalu mengingatkanmu agar berangkat lebih awal? Mau sampai kapan?” Tanya Filza dengan setengah senyum.Abidah meraih tas di atas ranjang lal
“Tapi, ngapain Kamu tanya itu?” Abidah sedikit heran.“Enggak papa, Cuma penasaran aja.” Hana cemas melihat tatapan Abidah yang masih mengisyaratkan kebingungan.“Bayu itu temanku sejak kecil. Jadi gak salah kan, kalau aku tanya soal itu?” Hana berusaha meyakinkan Abidah bahwa itu bukan pertanyaan aneh.Benar saja, Abidah menangguk tanda setuju. Tidak lama setelah itu Abidah memutuskan untuk pulang. Di sisi lain, di rumahnya Bayu memofuskan pandangannya pada layer televisi sambil menikmati kopi hangat buatannya sendiri. Ruangan itu terlihat sepi karena memang hanya Bayu yang tinggal di sana. Di usianya yang masih muda, dia bisa membangun rumah masa depannya. Rumah itu dia persiapkan untuk masa tuanya yang rencananya akan dihuni bersama istri dan anak-anaknya kelak. Sayangnya sampai sekarang dia masih jomblo.Berita di televisi menghentikan pergerakan tangannya yang tengah memegang cangkir kopi. Berita tentang pengusaha sukses yang ditipu rekan kerjanya sendiri. Pengusaha sukses yang d
Salah satu tangan Abidah berhasil menarik perhatian Bayu. Dengan cekatan Bayu meraih tangan gadis itu dan memegangnya erat. Tangan kirinya berhasil memeluk batu besar, berusaha bertahan dari arus sungai.“Tolong! Tolong! Tolong!” Teriak Bayu berharap ada yang mendengar.Dua orang pria dan seorang wanita yang tidak sengaja lewat di dekat sungai mendengar teriakan Bayu. Mereka langsung mendekat ke arah sungai. Melihat Bayu yang tengah kesulitan, dua pria itu mulai turun ke sungai, sementara wanita itu hanya bisa berdiri cemas di tepi sungai. Usaha mereka membuahkan hasil. Bayu dan Abidah berhasil keluar dari sungai dibantu dua pria tadi. Bayu berusaha menyadarkan Abidah yang masih pingsan. Abidah terbatuk, dia mulai sadar. Matanya menangkap wajah cemas Bayu dan yang lain.“Bagaimana? Kamu tidak apa-apa?” Tanya Bayu.Abidah belum sempat menjawab, “kita bawa saja Abidah ke rumah Nenek Arini.” Kata wanita di samping Bayu.Tidak menunggu Abidah menjawab pertanyaannya, Bayu mulai berbalik ba
Tidak lama setelah itu, Abidah muncul sambil membawa tiga cangkir teh hangat yang baru dia buat. Meletakkan secangkir teh di hadapan Bayu. Abidah duduk di samping Arini, ikut bergabung dalam percakapan. Bayu mulai menyeruput teh sampai akhirnya Abidah membuka pembicaraan.“Nek, kenapa Nenek tidak beli obat saja? Kenapa mesti capek-capek meracik sendiri?” Tanya Abidah heran.“Itu obat herbal racikan sendiri. Nenek tidak punya uang untuk membeli obat di apotek. Lagian, nenek masih ingin mengikuti tradisi desa ini, yaitu meracik obat herbal sendiri. Itu sudah dilakukan di desa ini dari dulu.” Jawan Arini santai.“Nek, kalau Nenek butuh obat, Nenek bisa panggil saya. Saya akan belikan obat untuk Nenek, jangan khawatir tentang biayanya.” Bayu menimpali.Abidah sedikit terkejut. Ternyata pria dingin dan kaku seperti Bayu juga punya sisi baik dalam dirinya.“Terimakasih atas perhatianmu, Nak. Kamu memang pria yang baik.” Arini tersenyum penuh arti.***Abidah tengah membantu Arini memasak.
Mereka melanjutkan jalan. Abidah memerhatikan sekelilingnya. Sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka dan angin yang kadang berhembus. Karena Bayu yang daritadi belum berhenti, Abidah malah berpikir negatif. Dia takut kalau ternyata Bayu menipunya.“Kenapa belum sampai-sampai?” Tanya Abidah, sedikit takut.“Diam dan ikuti saja.” Jawab Bayu dingin.“Kamu gak lagi nipu aku, kan? Jangan macam-macam ya!” Abidah semakin merasa takut tanpa alasan.“Itu ide bagus,” balas Bayu tanpa melihat ke arah Abidah sedikitpun.Abidah mendengus. Bayu mulai mendengar suara aliran air, dia tahu ada sungai di sekitar sini. Tanpa ragu dia mulai mendekat. Abidah terpesona melihat pemandangan di depannya. Aliran air yang bersih dan jernih, sampai terlihat dasarnya yang berisi bebatuan. Abidah mendekat ke arah aliran air tersebut.“Airnya jernih sekali,” ucap Abidah sambil menoleh ke belakang, ke arah Bayu yang tadi sempat tertinggal. Abidah kaget karena Bayu tidak ada di belakangnya.“Bayu!” Abidah me
Mata Abidah menyelidik, berusaha mencari tahu apa yang terjadi, membuat Hana makin menyembunyikan wajahnya. Merasa Hana sedang tidak ingin diganggu, Abidah berpaling ke arah luar. Terlihat Laili berdiri tegak di pintu kelas. Gadis kecil itu berhasil menemukan apa yang dia cari. Abidah menghampirinya, mengajaknya duduk di kursi kayu dekat dengan ruang kelas tiga.“Bagaimana hari-harimu di panti?’” Tanya Abidah lembut.“Sepi,” jawab Laili masih dengan muka imutnya.“Eh, kenapa sepi?” Tanya Abidah heran.“Gak ada Kakak cantik,” Laili tersenyum manis. Gadis kecil tersebut mulai terbiasa memanggil Abidah dengan sebutan Kakak Cantik.Abidah ikut tertawa sambil mengacak-acak pelan kepala Laili. Sekejap setelah itu, seorang pria paruh baya melintas di depan sekolah sambil mendorong gerobak. Abidah mengejar pria itu, hingga berhasil membuat gerobak tersebut berhenti. Abidah memanggil Laili. Masih dengan wajah polos, laili berlari ke arah Abidah.“Pak, bakso dua porsi.” Pesan Abidah yang langsu