Beranda / Romansa / Bukan Aku / Teh Hangat

Share

Teh Hangat

Pagi ini seperti biasa, Satria tak sekalipun menyentuh masakan Filza. Miris sekali. Bahkan dia sekalipun tak menatap Filza.

"Mas, mau berangkat kerja?"

"Hm."

***

Siang, Filza berpikir untuk membuatkan bekal makanan untuk suaminya. Mungkin dengan ini hati suaminya bisa luluh. Langkahnya terburu-buru menuju ruangan Satria. Sampai di sana, dilihatnya Satria sibuk dengan laptop.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Ngapain Kamu di sini?"

"Ini aku bawain bekal makanan buat Mas."

"Gak perlu. Aku makan di luar, bukan masakan Kamu."

Tentu saja sakit hatinya muncul kembali. Ucapan Satria semakin membuat lukanya lebar.

"Makan aja, Mas! Aku udah masakin buat Mas." Ucapnya dengan lembut.

"Kalau aku bilang enggak, ya enggak! Jangan maksa!" Sedikit kasar nadanya.

Filza tak berani menatap matanya. Sakit itu semakin perih. Dia berat hati membawa bekal itu kembali ke rumah.

Sampai di rumah. Bukannya segera menuju sekolah tempatnya mengajar, Filza justru menangis di sofa ruang keluarga. Suaminya setega itu padanya. Tapi percuma dia menangis. Diusapnya air mata dan langsung bersiap ke sekolah.

Malam, girang melihat Satria duduk menonton siaran televisi. Filza duduk di sampingnya. Senyumnya tak putus. Tak membalas senyuman itu, Satria malah bangkit. Menuju kamar pribadinya di mana Filza secara terang-terangan tak boleh masuk.

"Mas, mau ke mana?"

"Tidur."

Entah sudah yang keberapa kalinya, Filza kembali merenung. Memilah-milah kesalahannya.

Pagi yang sepi. Tak ada orang di rumah. Filza mencari Satria di mana-mana. Tak kunjung hadir. Berkali-kali dipanggil, tapi tak ada sahutan.

"Apa mas udah berangkat, ya?" Tanyanya pada diri sendiri.

***

"Satria, ada undangan resepsi pernikahan dari Dodi." Ucap teman kecilnya, Andre.

"Ya, makasih. Insyaa Allah. Aku dateng."

"Jangan lupa ajak istri Lo, ya?"

"Dia gak akan ikut."

"Kenapa?" Andre menekuk keningnya.

"Dia lagi gak enak badan." Bohongnya kelewatan.

***

"Mas mau aku bikinin kopi?" Filza duduk di samping suaminya.

"Gak perlu." Mata Satria masih setia menatap lembaran koran.

"Teh? Susu?"

"Gak usah."

"Mau aku masakin sesuatu?"

"Gak usah! Udah aku bilang, kan?!"

"Maaf, Mas."

Matanya dilapisi bulir bening, itulah keadaan Filza saat ini. Dia memberanikan diri.

"Mas, kalau aku ada salah, aku minta maaf, ya." Sambil menahan getaran di dada.

"Ada, besar banget."

"Apa?"

"Kamu yang udah membunuh papaku."

"Mas, aku gak ngelakuin itu. Kalau memang aku yang ngelakuin itu, aku pasti ngaku. Tapi bukan aku. Aku gak bohong, Mas."

"Airin punya buktinya."

"Jadi Mas lebih percaya sama Airin daripada aku?" Mata Filza nanar.

"Ya. Emangnya kenapa? Kamu gak terima? Udah jelas Kamu yang salah, ngaku aja!"

"Kalau emang Mas nyalahin aku, kenapa gak bawa aku ke kantor polisi sekalian?"

"Karena aku terpaksa. Papa yang bilang aku gak boleh berpisah dari Kamu. Kalau aku mau, aku bisa ceraikan Kamu detik ini juga. Tapi aku gak bisa ngelakuin itu, papa gak ngebolehin. Beliau juga gak akan mau aku memasukkanmu ke penjara."

"J ... jadi gara-gara itu, Mas?"

"Ya."

Filza menunduk. Dia masih bisa membendung air matanya. Sekarang harapannya untuk dicintai Satria tak tercapai. Dia ada di sini karena terpaksa. Bukan hati Satria yang menginginkannya.

***

"Mas, aku udah siapin jas kesukaan Mas."

"Suruh siapa Kamu masuk ke sini?" Tanya Satria yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Maaf, Mas. Aku cuma mau nyiapin pakaian Kamu."

"Keluar!"

Filza tak mau berdebat. Cukup sakit diusir dari kamar suaminya. Sudahlah, sekarang dia harus keluar. Menuju dapur, menangis di sana. Seperi biasa, tanpa pamit, Satria keluar rumah, buat apa lagi kalau bukan kerja?

Mumpung Satria pergi, Filza masuk ke kamarnya. Dia hendak membersihkan kamar suaminya. Saat sampai di kamar itu, mata Filza tak sengaja melihat sebuah benda persegi yang tergeletak di meja kecil Satria. Meraih benda itu.

"Undangan resepsi pernikahan? Kenapa Mas gak bilang soal ini ke aku?"

Tak mau membuang waktu, Filza pergi dari sana. Tanpa membawa undangan itu.

Sampai di kelas tempat dia mengajar, Filza mengamati seorang anak dengan dua kepang di kepalanya. Imut sekali anak itu. Filza jadi menghayal. Hayalannya adalah dia dan Satria memiliki anak yang lucu. Bercanda bersama. Melakukan hal kecil yang seru dan yang lain lagi. Tapi kembali pada kenyataan. Satria tak mungkin bisa menerimanya.

Malam ini, Satria terlihat rapi. Dia bahkan menggunakan sedikit parfum. Mau ke mana?

"Mas, mau ke mana?"

"Aku diundang ke resepsi pernikahan temanku."

"E ... aku ikut?"

"Ngapain?"

Filza langsung diam. Sudah paham jawaban Satria. Hendak mencium punggung tangan Satria, tapi terlebih dulu pria itu menghindar. Perih, kan? Lagi-lagi Filza harus menahan rasa sakit itu.

Teh hangat menjadi temannya malam ini. Sekarang jam tujuh malam. Jam delapan malam, Satria baru pulang. Filza langsung menghampirinya. Hendak mencium punggung tangan suaminya. Tapi lagi-lagi Satria langsung ke kamar, menghindari Filza.

Filza memejamkan mata. Perih rasanya. Rasanya ingin dia protes. Dia ingin mengungkapkan segalanya. Dia ingin memaki Satria. Dia ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi apa gunanya?

Malam ini sepi. Filza membaca tulisan muridnya yang tadi tak sengaja dia bawa. Terkekeh membaca setiap tulisan yang bentuknya masih tak karuan.

***

Isi pesan dari Filza ....

"Assalamu'alaikum. Mas lagi apa? Aku udah kirim bekal makanan. Biar Mas gak perlu beli di luar. Di makan, ya!"

Tak dijawab, sengaja memang. Satria meletakan ponselnya di atas meja kerja. Laptopnya masih menyala.

Filza tengah memeriksa jawaban dari soal yang dia berikan untuk murid-muridnya. Ada saja jawaban dari muridnya yang melenceng dari pertanyaan. Sangking melencengnya hingga membuat Filza terkekeh.

"Ada apa, Bu?" tanya Wita, salah satu guru di sana.

"Eh, ini loh, Bu. Jawaban anak-anak ada yang lucu."

"Namanya juga anak-anak."

"Saya sampai ketawa bacanya."

Pulang sekolah, sosok Airin sudah ada di parkiran. Filza bingung kenapa dia bisa ada di sini.

"Airin?"

"Eh, ini dia Si Pembunuh. Kamu harus bersyukur! Kamu gak masuk penjara, itu semua gara-gara papanya Satria sayang banget sama Kamu. Coba aja kalau bukan gara-gara beliau, Kamu pasti udah ditendang jauh-jauh." Ucapnya sambil menarik tepi bibir.

"Kamu kenapa, sih? Kenapa sekejam itu? Kenapa Kamu bilang aku yang salah?"

"Loh, ada buktinya, kan?"

"Tapi aku gak tau apa-apa."

"Jadi perempuan gak boleh tukang bohong!"

"Aku gak bohong."

"Eh, eh, Ibu-ibu. Ini nih, pembunuh." Ucap Airin pada Wita dan Santi.

"Enggak, Ibu-ibu. Itu gak bener. Saya difitnah."

"Padahal udah ada buktinya. Tega bunuh ayah mertuanya sendiri."

Terkejut, WIta dan Santi meninggalkan mereka berdua. Tak mau berurusan lebih panjang dengan Filza.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status