"Mas masih belum tidur?" Tanya Filza hati-hati.
"Belum."
"Kenapa? Tidur aja."
"Aku gak bisa tidur."
Filza duduk di sofa. Menunggu sampai Satria bisa tidur. Sabar sekali sepertinya. Satria yang melihat Filza belum tidur, balik bertanya, "kenapa gak tidur?"
"Nunggu Mas bisa tidur." Ucapnya sejujur-jujurnya.
"Gak perlu. Aku malah seneng Kamu pulang! Gak usah di sini."
Filza sakit. Sakit hati lebih tepatnya. Dia berusaha memendam itu sendiri.
Lampu di ruangan rumah sakit itu sudah dimatikan. Pagi datang.
"Mas, sudah waktunya sarapan." Filza hendak menyuapinya.
"Gak perlu. Aku bisa sendiri."
"Tapi, Mas ...." Ucapan itu belum selesai karena tatapan tajam Satria, membuat Filza diam seketika.
Sesaat setelah kondisi mulai tenang, Filza akhinya berani membuka mulut lagi.
"Mas, aku mau berangkat ke sekolah. Mas gak papa di sini?"
"Malah aku seneng Kamu pergi."
Lagi-lagi ucapan Satria menyakitkan. Apa dia tak pernah berpikir? Tentu saja tidak.
Filza sudah tiba di tempatnya mengajar. Menjadi kewajibannya merawat Satria di rumah sakit. Di saat jam istirahat sekolah tiba, dia selalu meminta ijin untuk pergi ke rumah sakit sebentar. Hanya untuk melihat keadaan Satria. Meskipun keberadaan dirinya tak diharapkan.
Sesampainya di sana, ada Airin dan Biha. Filza menelan ludah. Entah apa yang mereka bicarakan. Saat Filza masuk, "eh, ini menantu yang tak diharapkan." Suara itu datang dari Airin.
Filza memaksakan senyuman. Walau hati sejujurnya sakit. Hendak mencium punggung tangan Biha, tapi Biha keluar dari ruangan. Bahkan tak menoleh sedikitpun pada Filza. Begitu pula dengan Airin. Dia nyelonong pergi begitu saja. Tinggal Filza dan Satria di ruangan itu.
"Mas, udah makan siang?"
"Udah."
"Mas, maaf aku gak bisa lama-lama. Bentar lagi murid-murid masuk kelas."
"Bagus."
Filza menatap ubin dingin. Agar gejolak panas di hatinya menjadi dingin pula. Kalimat yang tepat memang.
Pulang dari mengajar, Filza langsung ke rumah sakit. Buru-buru melihat keadaan suaminya. Cemasnya selangit. Padahal dokter sudah bilang bahwa Satria baik-baik saja.
"Assalamu'alaikum." Filza dengan senyumannya.
"Wa'alaikumsalam."
"Mas, maaf aku telat. Tadi masih ada urusan."
"Bagus, sekalian aja gak ke sini."
"Mas, kok bilangnya gitu, sih?" Filza sudah muak.
Tak ada jawaban dari Satria. Jelas sekali bibir Satria tertutup. Filza memaklumi. Mungkin suaminya saat ini masih belum sehat.
Seseorang mengetuk pintu kamar rumah sakit yang ditempati Satria. Filza membuka pintunya. Ternyata kerabat Satria menjenguk. Filza menyambut mereka dengan senyuman, walau tak balik disambut begitu.
Mereka langsung melewati Filza begitu saja. Tanpa bersalaman tangan. Langsung menghampiri Satria. Menanyakan keadaannya. Filza menyiapkan air bening dalam kemasan sesuai dengan jumlah kerabat yang datang.
"Hai." Sapa Filza pada seorang wanita yang juga kerabat Satria.
Bukan jawaban hai atau apalah yang lain. Tak ada jawaban dari wanita itu. Seseorang menatap Filza dengan pandangan terkesan menuduh.
"Satria, ngapain Kamu nikah sama cewek gak tau malu kayak dia?" Terang-terangan sekali pria yang duduk di sebelah Satria bertanya.
Tak ada jawaban dari Satria. Dia hanya diam mendengarkan setiap pertanyaan yang diajukan untuknya.
"Ceraiin aja!" Sahut pria yang satunya.
Sakit rasanya, remuk rasanya. Filza dengan mata nanarnya mulai tak nyaman berada di situ.
"Iya, nih. Kamu bisa cari yang lebih baik dari dia. Kenapa mesti dia, sih? Apalagi, dia yang udah bunuh ayah Kamu, kan?"
Sudah cukup! Filza tak tahan lagi. Dia berdiri dengan meredam marahnya.
"Sekali lagi saya bilang, bukan saya yang membunuh papa ...."
"Bahkan Kamu gak pantas panggil Wiroyo dengan sebutan papa!" Bentak pria di samping Satria.
Filza terdiam. Bulir-bulir bening mulai berjatuhan. Filza lari keluar. Lalu menangis sejadinya di luar ruangan.
Sudah sepi. Hanya ada Satria dan Filza. Filza sendiri tidur di sofa dengan posisi membelakangi Satria agar pria itu tak tahu Filza tengah menangis. Padahal dia tahu Satria sudah tidur sejak tadi.
Giliran Filza yang tidak bisa tidur. Dia hanya memandangi sandaran sofa dengan pandangan kosong. Di hatinya, "kapan semua ini bisa berakhir?"
Pagi, Filza memaksa menyuapi Satria. Tapi Satria tetap bersikukuh tak mau, bahkan telah terang-terangan tidak mau disuapi istrinya. Filza mengalah lagi. Dia meletakkan piring berisi nasi itu di meja kecil di samping Satria.
"Di makan, ya!" Filza tersenyum.
"Mas, aku mau ke luar cari makan."
Filza menemukan gerobak bakso di depan rumah sakit. Dia langsung menghampiri gerobak itu. Seorang penjualnya menunjukkan wajah di depan Filza.
"Bu, mau pesan apa?" Tanya penjual bakso itu dengan sopan.
"Baksonya seporsi, dibungkus, ya."
"Siap!"
Setelah beberapa detik menunggu, Filza mendapatkan menu sarapannya. Membawa kantong plastik berisi bakso itu ke dalam rumah sakit. Tak lupa mengganti bungkusnya dengan tempat bekal makan agar lebih nyaman.
"Assalamu'alaikum." Filza masuk.
"Wa'alaikumsalam. Kenapa masih di sini? Gak ke sekolah?"
"Bentar lagi, Mas."
"Cepat! Lebih cepat Kamu pergi, lebih baik aku."
Filza tertegun. Untuk yang kesekian kalinya, dirinya ditusuk ucapan tajam seperti itu. Terang-terangan sekali.
Setelah selesai sarapan, Filza berangkat. Walau sudah ijin, tak ada jawaban dari Satria. Sebenci itu, kah?
Sesampainya di sekolah ....
"Gimana sama suaminya Ibu?" Tanya Burhan, salah satu guru di sekolah yang sama.
"Alhamdulillah. Udah lebih baik, Pak."
"Semoga cepat sembuh, ya."
"Aamiin. Makasih, Pak."
"Iya, sama-sama."
Filza membuka chat suaminya. Mengetik sesuatu. "Mas, udah sarapan?" Itu yang tertulis.
Tak ada balasan dari Satria. Alhasil, Filza hanya bisa menunggu jawaban itu. Walau dia tahu tak akan pernah mendapatkannya.
Beberapa hari setelah itu, Satria boleh pulang. Filza membantunya mengemasi barang-barang di rumah sakit. Lalu pulang ke rumah. Satria duduk di sofa ruang keluarga.
"Mas, gak istirahat di kamar?"
"Enggak."
"Aku buatin apa? Teh? Susu?"
"Gak usah."
"Mas, aku mau tanya sama Kamu."
"Hm?"
"Mas, apa Mas gak mau dengerin penjelasan aku?"
"Apa?"
"Bukan aku yang bunuh papa. Apa Mas masih gak percaya? Sampai kapan aku harus begini? Aku gak bohong, Mas. Bukan aku. Saat aku dateng ke toilet itu, papa udah pingsan."
"Buktinya udah ada."
"Mas, percaya sama aku! Bukan aku, Mas."
"Terus siapa lagi? Gak ada orang lain, kan?"
"Semoga Kamu menyadari sebelum semuanya terlambat." Filza pergi ke kamarnya begitu saja setelah mengatakan itu.
Tertegun, tapi Satria berusaha tenang. Dia menganggap itu hanya sandiwara Filza saja. Menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Lalu melupakan kalimat Filza tadi.
Di kamarnya, Filza merosot, menangis lagi. Tak tahu lagi mau meyakinkan Satria dengan cara apa. Dia hanya bisa membela diri dengan ucapan, bukan tindakan. Sebab memang tak punya bukti apapun untuk meloloskan dirinya dari kebencian Satria dan yang lainnya. Filza tidur, lebih tepatnya memaksakan diri tidur.
Pagi, seperti biasa, Filza memasak. Juga seperti bisa, Satria hendak pergi begitu saja."Mas, mau ke mana?""Makan di luar.""Di sini aja, Mas. Mas masih belum sembuh total.""Aku gak papa. Jangan ganggu aku!"Filza tak berani membantah. Dia membiarkan Satria keluar. Tapi bukan Filza namanya jika membiarkan begitu saja Satria keluar sendirian. Filza mengikutinya dari belakang.Memaksakan diri menjadi sifat Satria sejak dulu. Dia harus mengakui bahwa sekarang rasa tubuhnya ingin ambruk. Tepat di depan pintu warung, Satria benar-benar ambruk. Semua yang berada di sekitar langsung mengerumuni Satria. Filza lari setelah memarkirkan sepeda motor."Mas, Mas bangun!" Filza berusaha menyadarkan Satria.Beberapa menit setelah itu, Satria membuka mata. Di rumah sakit lagi dirinya saat ini. Pandangannya melayang pada sosok Biha di samping kanan dan Filza di samping kiri."Satria, Kamu kok bisa jadi gini, sih? Pasti dia yang gak becus ngeraw
Filza menyipitkan mata. "Aku pikir Mas mau bilang apa.""Ayo cari!""I ... iya, Mas."Filza celingukan mencari kecoa. Mencarinya sampai ke sudut-sudut ruangan. Tapi pencariannya tak menuai hasil. Filza menatap Satria sambil mengangkat kedua pundaknya."Ya udah, sana keluar!" Usir Satria.Filza keluar dari kamar itu. Baru kali ini dia dibuat terkekeh karena sikap Satria. Suaminya yang dia kenal sebagai seorang pria kuat, pendiam dan memesona, sekarang seperti layaknya seorang anak Sekolah Dasar."Kamu ngetawain aku?" Tanya Satria sedikit mendengar kekehan Filza."Eh, enggak, Mas. Aku cuma b ... batuk." Kebohongan Filza.***Sekolah ini membuat Filza seakan istirahat dari lelahnya menyikapi sifat Satria. Kali ini dia memerhatikan wajah lugu seorang siswa imut yang tengah bercanda dengan temannya."Mungkin Mas Satria dulu kayak gitu." Gumam Filza.Pulang mengajar dia sempatkan ke toko buku. Membaca menjadi temannya sejak
Pagi ini sedikit berbeda dari pagi yang lalu-lalu. Filza memasak, Satria langsung datang ke dapur. Tentu ada alasannya. Dia lupa menaruh dompet di mana. Alhasil, Fiza yang ditanyai."Aku gak tau, Mas. Emangnya Mas taruh di mana?" Tanya Filza sambil tetap membalik menu sarapan kali ini."Aku lupa.""Aku bantu cari, ya. Tapi selesai goreng ini dulu." Ucap Filza tanpa menatap suaminya.Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi dompet Satria belum ketemu juga. Bingung tentu. Apalagi sebentar lagi dia harus berangkat kerja. Satria menyerah mencari. Sementara Filza masih mencarinya. Mengingat suaminya harus kerja, akhirnya dia mencari jalan keluar lain."Mas, makan di sini aja, ya! Nanti Mas bisa pegang uang aku dulu." Ucap Filza tulus."Enggak.""Kalau Mas gak mau makan di sini. Terserah. Tapi Mas bisa telat kerja. Lagian kalau gak makan dulu, gak konsen lagi. Mau ngutang, malu lah." Ucap Filza.Akhirnya Satri
Filza baru saja hendak tidur, pintu kamarnya diketuk. Filza membuka kembali pintu kamar yang terkunci. Sekarang di hadapannya ada Satria."Iya, Mas?" Tanya Filza heran."Maafin aku soal yang tadi." Ucap Satria ragu."Gak papa, kok." Filza tersenyum.Tanpa mengatakan sesuatu, Satria malah nyelonong masuk ke kamar Filza. Istrinya itu bingung."Mas, mau ngapain?" Tanya Filza gugup."Terserah aku mau tidur di mana." Jawaban itu membuat Filza bahagia.Filza tidak menanyakan apapun lagi. Dia baru saja hendak menjatuhkan tubuhnya ke ranjang itu, tapi dia mengingat sesuatu. Dia ingat betul bahwa suaminya tidak mau dekat dengannya. Batal tidur di ranjang yang sama, Filza memilih untuk tidur di sofa.Satria menyadari suara langkah kaki Filza yang menjauh. Dia membuka satu matanya. Terkejut melihat Filza yang malah memilih tidur di sofa, Satria bangun."Ngapain tidur di situ?" Tanyanya ketus."Enggak papa." Jawaban yang sebenarnya baru saj
Pagi ini hanya terdengar suara seseorang yang tengah memasak. Tentu itu adalah Filza. Satria tidak sengaja berpapasan dengan Filza di ruang keluarga. Entah, Filza tak seperti biasa. Dia hanya diam saat melihat Satria.Satria juga heran. Tidak biasa Filza seperti ini. Biasanya Filza menyapa atau bahkan mengajaknya sarapan bersama. Tapi kali ini tidak. Filza melangkah ke dapur. Merapikan kotoran bekas dia memasak tadi. Lalu duduk di kursi makan.Tanpa menunggu aba-aba, dia makan begitu saja. Biasanya dia masih berusaha menunggu Satria untuk sarapan bersama, tapi kali ini tidak. Satria merasa ini kesalahannya. Mungkin Filza marah karena ucapannya kemarin. Padahal bukan paling lagi, tapi iya.Satria sengaja memancing Filza dengan suara jasnya. Berharap Filza menemuinya untuk sekedar mencium punggung tangan. Ternyata tidak ada sama sekali. Sudahlah, Satria tidak ingin berlama-lama.Dia langsung keluar rumah berangkat kerja. Sementara itu, Filza selsai makan. Dia y
"Kenapa?" Satria penasaran."Lagi males aja."Setelah menjawa pertanyaan Satria, Filza pergi. Rasanya makin bersalah lagi Satria sekarang. Untuk saat ini dia tidak mau mengganggu Filza lebih lama dan membuat masalah.Seperti biasa, Filza mengajar anak-anak mungil nan lucu di sekolah. Tingkah konyol mereka sering membuat Filza tertawa. Nun sekarang sedikit berkurang sejak dia tidak sengaja menutup hatinya untuk Satria. Filza tidak ingin banyak tertawa, dia memilih pergi.Sajak Satria merasa bersalah, dia rutin menjemput Filza di sekolah. Tidak peduli sedang sibuk apa dirinya, tapi nyatanya tetap meluangkan waktu untuk menjemput Filza. Istrinya itu sering menolak dengan alasan membawa motor sendiri. Tentu mudah bagi Satria mengatasi alasan itu.Malam yang sunyi seperti biasanya. Filza mengotak-atik laptop di ruang keluarga. Satria ikutan duduk sambil menyeruput teh hangat buatannya sendiri. Satria melirik aktivitas Filza. Dia jadi penasaran."Ngapai
"Tapi ini berbahaya, Bu." Jelas seorang petugas pemadam kebakaran."Saya gak ...." Belum selesai berbicara, sosok Satria keluar dari pintu rumah.Filza berlari menghampirinya. Sontak memeluk Satria, cemas. Satria yang mendapat pelukan seketika terdiam. Perasaan inilah yang dia rindukan. Perasaan yang sempat hilang. Kini mungkin telah kembali.Kejadian itu sudah lama. Setelah lima belas hari, akhinya Satria menemukan sebuah apartemen yang akan dia tinggali bersama Filza saat tanah yang dibelinya belum merampungkan pembangunan rumah. Dia membelinya setelah pemikiran yang panjang. Sekarang Satria dan Filza berada di rumah Biha. Mereka menyusun rencana pembangunan rumah baru."Mas, mau kopi?" Tanya Filza."Gak perlu.""Jadi, Kamu yakin tentang apartemen?" Tanya Biha serius pada Satria."Ya. Gak mungkin aku dan Filza terus-menerus numpang di sini. Lebih baik kami pindah ke apartemen dulu sebelum rumah barunya jadi."Setelah kejadian itu, Fi
Sosok Airin sudah ada di depan Filza. Tersenyum misterius. Satria yang penasaran siapa tamunya, mengikuti langkah Filza."Ngapain Kamu di sini?" Tanya Satria langsung pada intinya."Aku cuma mau ngasih ini buat kalian. Tadi habis dari pasar, sekalian mampir ke sini." Ucap Airin sambil memberikan sekantung penuh berisi bermacam buah-buahan pada Satria."Terima itu!" Perintah Satria pada istrinya.Beberapa detik kemudian, Airin duduk di sofa dalam apartemen mereka berdua. Pandangan Satria seperti tak suka dengan kedatangan Airin. Sama seperti suaminya, Filza juga tidak suka. Dia malah cemas Airin akan merebut hati Satria."Kamu gak takut tinggal di sini, apalagi sama Filza?" Tanya Airin pada Satria."Kalau udah selesai urusannya, Kamu boleh pergi!" Satria tegas.Airin nampak tidak suka. Tapi dia berusaha setenang mungkin. Sedangkan Filza sedikit bingung dengan ucapan Satria barusan. Bukannya menjawab, Satria malah mengusir wanita itu."K
Mulutnya tertutup rapat. Tentu saja pertanyaan Qirana tidak bisa dijawabnya. Sudahlah, aku akan kembali bekerja.” Abidah bermaksud menghindari percakapan lebih lanjut.Tepat saat Abidah sampai di lantai dasar kantor saat jam bekerjanya berakhir, terdengar gemericik air yang dengan cepat berubah menjadi hujan deras. Abidah menghembuskan napas berat dan secepatnya berlari menghampiri angkot yang biasanya. Dari jendela angkot dia melihat Bayu tengah mengobrol bersama seorang wanita, kira-kira seusia dirinya.“Oh, sudah punya pacar ya? Tapi, sepertinya Wanita itu tidak asing.” tebak Abidah sembarangan. Angkot itu melaju tidak peduli sepasang mata Abidah yang masih terpaku melihat dua orang di seberang jalan.Malam, Abidah baru saja sampai di rumah. Sudah satu jam setengah dia habiskan untuk membeli makan malam. Baru saja mengucap salam dan membuka pintu, raut wajahnya yang datar tiba-tiba terkejut. “Sandra?”Wanita itu duduk di sofa tepat di samping Filza. Abidah memeluknya erat. Sandra t
Seorang pria yang bertugas sebagai mc memulai tugasnya. Diawali pembukaan, sambutan dari pemilik acara itu, dilanjutkan dengan lain sebagaimnya. Uniknya, dalam suatu kesempatan, diadakan sesi tanya jawab, tentu itu hanya untuk memeriahkan pesta saja.“kamu punya pacar?” Pertanyaan itu dilontarkan seorang wanita yang usianya hampir sama seperti Filza. Namanya Aminah, ibunda dari Bayu sendiri.Sontak semua orang yang ada di pesta itu melihat ke arah pintu masuk. Aminah datang dengan sebuah kotak indah yang dia pegang. Senyumannya masih belum memudar. Tiga detik kemudian Lila datang dan langsung memberikan bingkisan kecil kepada Bayu.“Selamat ulang tahun Kakakku yang tampan!” Teriak Lila yang membuat Aminah langsung menempelkan jari telunjuk di depan bibir sambil memanggilnya lembut.“Lila ….” Gadis remaja itu nyengir. Sadar kalau semua mata tengah menatapnya.“Buka dong!” Lila meletakkan kedua tangannya di belakang badan. Menunjuk bingkisan itu dengan isyarat kedua alisnya.Menuruti pe
Suara ketikan terdengar hampir di semua meja di sekeliling Abidah. Gadis itu tampak tidak peduli, melanjutkan Langkah ke meja kerjanya. Sesaat kemudian terdengar suara mesin pencetak yang tengah bekerja mencetak file penting. Di antara kesibukan orang-orang di sana, dia melihat Bayu yang tengah melintas. “Dia lagi.” Gumam Abidah tidak suka. Abidah merasa aneh saat teman-teman kerjanya malah memberikan sapaan sopan kepada Bayu, tampak seperti menyapa atasan mereka. Abidah berpikir untuk apa mereka memberi sapaan begitu sopan pada orang seketus Bayu. Gadis itu hanya tidak mengerti siapa sebenarnya Bayu. “Eh, Kamu ini, bersikaplah sopan pada Pak Bos! Kamu malah memandanginya begitu.” Qirana menyenggol lengan gadis itu. “Pak Bos?” Tanya Abidah bingung. “Iya. Oh, Kamu mungkin belum tahu. Beliau itu pemilik perusahaan ini.” Penjelasan Qirana membuat Abidah sedikit kaget. “Apa?” Abidah masih tidak percaya. Alih-alih menjawab, Qirana hanya mengangguk lalu pergi. Abidah masih sedikit ter
Jantungnya berdegup kencang, dia gugup. Seorang wanita berdiri karena mendengar namanya dipanggil. Lalu wanita tersebut masuk ke ruangan yang memang membuat gugup orang-orang di hadapannya. Abidah mengangkat ponselnya hingga layar dari ponsel itu menyala. Ternyata sudah satu jam dia menunggu gilirannya tiba.Singkatnya, hari demi hari berlalu hingga pada suatu malam, Abidah baru saja pulang dari pusat perbelanjaan. Dia membeli benda-benda yang mugkin akan membantunya dalam bekerja di perusahaan itu. Ya, dia diterima bekerja di sana. Filza mengusap-usap pundak Abidah sambil tersenyum.***Mukena itu baru saja dilipat rapi oleh pemiliknya. Tidak menunggu waktu lama, Abidah sudah siap dengan pakaian yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Dia berdiri di depan cermin sambil memandangi penampilan barunya. Terdengar suara pintu dibuka.“Apa mama harus selalu mengingatkanmu agar berangkat lebih awal? Mau sampai kapan?” Tanya Filza dengan setengah senyum.Abidah meraih tas di atas ranjang lal
“Tapi, ngapain Kamu tanya itu?” Abidah sedikit heran.“Enggak papa, Cuma penasaran aja.” Hana cemas melihat tatapan Abidah yang masih mengisyaratkan kebingungan.“Bayu itu temanku sejak kecil. Jadi gak salah kan, kalau aku tanya soal itu?” Hana berusaha meyakinkan Abidah bahwa itu bukan pertanyaan aneh.Benar saja, Abidah menangguk tanda setuju. Tidak lama setelah itu Abidah memutuskan untuk pulang. Di sisi lain, di rumahnya Bayu memofuskan pandangannya pada layer televisi sambil menikmati kopi hangat buatannya sendiri. Ruangan itu terlihat sepi karena memang hanya Bayu yang tinggal di sana. Di usianya yang masih muda, dia bisa membangun rumah masa depannya. Rumah itu dia persiapkan untuk masa tuanya yang rencananya akan dihuni bersama istri dan anak-anaknya kelak. Sayangnya sampai sekarang dia masih jomblo.Berita di televisi menghentikan pergerakan tangannya yang tengah memegang cangkir kopi. Berita tentang pengusaha sukses yang ditipu rekan kerjanya sendiri. Pengusaha sukses yang d
Salah satu tangan Abidah berhasil menarik perhatian Bayu. Dengan cekatan Bayu meraih tangan gadis itu dan memegangnya erat. Tangan kirinya berhasil memeluk batu besar, berusaha bertahan dari arus sungai.“Tolong! Tolong! Tolong!” Teriak Bayu berharap ada yang mendengar.Dua orang pria dan seorang wanita yang tidak sengaja lewat di dekat sungai mendengar teriakan Bayu. Mereka langsung mendekat ke arah sungai. Melihat Bayu yang tengah kesulitan, dua pria itu mulai turun ke sungai, sementara wanita itu hanya bisa berdiri cemas di tepi sungai. Usaha mereka membuahkan hasil. Bayu dan Abidah berhasil keluar dari sungai dibantu dua pria tadi. Bayu berusaha menyadarkan Abidah yang masih pingsan. Abidah terbatuk, dia mulai sadar. Matanya menangkap wajah cemas Bayu dan yang lain.“Bagaimana? Kamu tidak apa-apa?” Tanya Bayu.Abidah belum sempat menjawab, “kita bawa saja Abidah ke rumah Nenek Arini.” Kata wanita di samping Bayu.Tidak menunggu Abidah menjawab pertanyaannya, Bayu mulai berbalik ba
Tidak lama setelah itu, Abidah muncul sambil membawa tiga cangkir teh hangat yang baru dia buat. Meletakkan secangkir teh di hadapan Bayu. Abidah duduk di samping Arini, ikut bergabung dalam percakapan. Bayu mulai menyeruput teh sampai akhirnya Abidah membuka pembicaraan.“Nek, kenapa Nenek tidak beli obat saja? Kenapa mesti capek-capek meracik sendiri?” Tanya Abidah heran.“Itu obat herbal racikan sendiri. Nenek tidak punya uang untuk membeli obat di apotek. Lagian, nenek masih ingin mengikuti tradisi desa ini, yaitu meracik obat herbal sendiri. Itu sudah dilakukan di desa ini dari dulu.” Jawan Arini santai.“Nek, kalau Nenek butuh obat, Nenek bisa panggil saya. Saya akan belikan obat untuk Nenek, jangan khawatir tentang biayanya.” Bayu menimpali.Abidah sedikit terkejut. Ternyata pria dingin dan kaku seperti Bayu juga punya sisi baik dalam dirinya.“Terimakasih atas perhatianmu, Nak. Kamu memang pria yang baik.” Arini tersenyum penuh arti.***Abidah tengah membantu Arini memasak.
Mereka melanjutkan jalan. Abidah memerhatikan sekelilingnya. Sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka dan angin yang kadang berhembus. Karena Bayu yang daritadi belum berhenti, Abidah malah berpikir negatif. Dia takut kalau ternyata Bayu menipunya.“Kenapa belum sampai-sampai?” Tanya Abidah, sedikit takut.“Diam dan ikuti saja.” Jawab Bayu dingin.“Kamu gak lagi nipu aku, kan? Jangan macam-macam ya!” Abidah semakin merasa takut tanpa alasan.“Itu ide bagus,” balas Bayu tanpa melihat ke arah Abidah sedikitpun.Abidah mendengus. Bayu mulai mendengar suara aliran air, dia tahu ada sungai di sekitar sini. Tanpa ragu dia mulai mendekat. Abidah terpesona melihat pemandangan di depannya. Aliran air yang bersih dan jernih, sampai terlihat dasarnya yang berisi bebatuan. Abidah mendekat ke arah aliran air tersebut.“Airnya jernih sekali,” ucap Abidah sambil menoleh ke belakang, ke arah Bayu yang tadi sempat tertinggal. Abidah kaget karena Bayu tidak ada di belakangnya.“Bayu!” Abidah me
Mata Abidah menyelidik, berusaha mencari tahu apa yang terjadi, membuat Hana makin menyembunyikan wajahnya. Merasa Hana sedang tidak ingin diganggu, Abidah berpaling ke arah luar. Terlihat Laili berdiri tegak di pintu kelas. Gadis kecil itu berhasil menemukan apa yang dia cari. Abidah menghampirinya, mengajaknya duduk di kursi kayu dekat dengan ruang kelas tiga.“Bagaimana hari-harimu di panti?’” Tanya Abidah lembut.“Sepi,” jawab Laili masih dengan muka imutnya.“Eh, kenapa sepi?” Tanya Abidah heran.“Gak ada Kakak cantik,” Laili tersenyum manis. Gadis kecil tersebut mulai terbiasa memanggil Abidah dengan sebutan Kakak Cantik.Abidah ikut tertawa sambil mengacak-acak pelan kepala Laili. Sekejap setelah itu, seorang pria paruh baya melintas di depan sekolah sambil mendorong gerobak. Abidah mengejar pria itu, hingga berhasil membuat gerobak tersebut berhenti. Abidah memanggil Laili. Masih dengan wajah polos, laili berlari ke arah Abidah.“Pak, bakso dua porsi.” Pesan Abidah yang langsu