Filza menyipitkan mata. "Aku pikir Mas mau bilang apa."
"Ayo cari!"
"I ... iya, Mas."
Filza celingukan mencari kecoa. Mencarinya sampai ke sudut-sudut ruangan. Tapi pencariannya tak menuai hasil. Filza menatap Satria sambil mengangkat kedua pundaknya.
"Ya udah, sana keluar!" Usir Satria.
Filza keluar dari kamar itu. Baru kali ini dia dibuat terkekeh karena sikap Satria. Suaminya yang dia kenal sebagai seorang pria kuat, pendiam dan memesona, sekarang seperti layaknya seorang anak Sekolah Dasar.
"Kamu ngetawain aku?" Tanya Satria sedikit mendengar kekehan Filza.
"Eh, enggak, Mas. Aku cuma b ... batuk." Kebohongan Filza.
***
Sekolah ini membuat Filza seakan istirahat dari lelahnya menyikapi sifat Satria. Kali ini dia memerhatikan wajah lugu seorang siswa imut yang tengah bercanda dengan temannya.
"Mungkin Mas Satria dulu kayak gitu." Gumam Filza.
Pulang mengajar dia sempatkan ke toko buku. Membaca menjadi temannya sejak dirinya setinggi pundak orang dewasa. Mungkin bahkan lebih pendek dari itu.
Puas memilih buku dan akhirnya menemukan yang cocok dengan hatinya, buku itu dibawa sampai ke meja kecil di kamar Filza. Niatnya untuk membaca novel itu urung saat pintu kamar tiba-tiba diketuk dari luar.
Dibuka pintu itu, "Mas?"
"Ada acara reuni sama temen-temen SMA ku. Jadi, Kamu jaga rumah! Jangan keluar!"
"I ... iya, Mas." Sebenarnya Filza berharap dirinya diajak juga.
Sedetik setelah itu, Satria pergi begitu saja. Bahkan Filza belum sempat mencium punggung tangannya. Jika diingat-ingat, Filza jarang sekali mencium punggung tangan Satria. Bukan Filza yang tak mau, tapi Satria yang terus saja menghindar.
Baru saja Filza selesai melaksanakan shalat maghrib, terdengar ribut-ribut di ruang keluarga. Filza secepatnya menuju asal suara. Bukannya terkejut, dia malah tertawa melihat Satria yang berusaha melepaskan kakinya dari cengkeraman anak kucing.
"Mas, bawa pulang anak kucing? Di sini udah ada, loh."
"Enggak lah. Dia sendiri yang ngikutin aku."
"Terus?"
"Tolongin aku!"
"Iya, iya ...." Kata Filza sambil terkekeh.
Filza mencoba melepas kedua kaki depan anak kucing itu dari celana panjang Satria. Agak sulit karena anak kucing itu memperdalam cakarannya. Tapi tak lama setelah itu, berhasil juga.
"Alhamdulillah."
"Bawa dia keluar!" Satria membersihkan celana panjangnya.
"Kasian, Mas. Tadi apa ada induknya?"
"Gak ada."
"Ya udah, aku yang rawat, ya?" Berharap Satria mengijinkan.
"Kamu udah bawa satu kucing ke sini. Masih mau nambah?"
"Kasian, Mas. Gak ada induknya. Terus dia makan apa?"
"Cari makan sendiri, lah."
"Aku yang rawat, ya?"
"Gak!"
Satria pergi. Filza akhirnya mau membawa kucing itu keluar.
"Assalamu'alaikum. Fan, aku mau ngomong sama Kamu." Menghubungi temannya yang juga memelihara kucing di rumah.
Satu jam kemudian, Filza kembali ke rumah. Satria menghampirinya.
"Dari mana?"
"Antar anak kucing tadi ke Fani. Alhamdulillah. Dia mau rawat."
Tak ada suara lagi dari bibir Satria. Filza berpikir untuk mengajak Satria berbincang, tapi urung saat Satria duluan masuk kamar. Filza menarik napas panjang. Lalu menghembuskannya perlahan, duduk di sofa. Satu detik kemudian, televisi menyala.
Pagi, Satria keluar kamar. Hari ini Filza bertekat tak membiarkan Satria makan di luar. Dia langsung menghadang Satria yang baru keluar kamar.
"Apa?" Tanya Satria dingin.
"Mas, makan sama aku, yuk! Aku udah masakin yang enak."
"Gak, aku makan di luar." Nyelonong melewati Filza.
"Sampai kapan kamu mau makan di luar?" Tanya Filza hampir putus asa.
"Selamanya. Kalau Kamu berniat keluar dari rumah ini, detik itu juga aku makan di rumah."
Seakan ada petir di jantungnya, Filza kaget kepalang. Rasa sakit kembali berkecamuk di dada.
"Sayangnya aku gak bisa buat Kamu keluar dari rumah ini. Itu semua aku lakukan karena papa yang melarang. Aku jadi gak habis pikir, gimana papa bisa tetep baik sama orang yang udah menusuknya sendiri?"
Seketika Filza tak bisa berkata apa-apa. Bibirnya kaku. Deru jantungnya tak karuan. Napasnya naik-turun cepat. Dengan cepat menggigit bibir bawahnya, menahan agar tangisan tak pecah. Berkali-kali juga menahan air bening di pelupuk mata. Kepalanya tertunduk sakit.
"Aku ke kamar dulu, Mas."
Sudah. Filza tak tahan. Dia tidak bisa tetap di sana walau hanya sedetik saja. Kamar Filza itu menjadi saksi air mata Filza yang sering kali menetes.
Filza berangkat ke sekolah tanpa sarapan. Pikirannya semrawut. Di jam istirahat, Filza habiskan untuk merenungi dirinya sendiri.
Pulang, Filza disambut dingin Satria. Lebih tepatnya tak disambut. Dia duduk di samping Satria.
"Mas, udah makan siang?" Tanya dia lembut.
"Hm."
"Udah atau belum?"
"Udah."
"Oh iya, Mas. Bulan depan ada acara rekreasi kelas enam. Aku ikut, gak papa?"
"Malah bagus Kamu gak ada di sini."
Sekali lagi ucapan Satria menusuk jantung istrinya sendiri. Suami yang seharusnya tidak tenang jika istrinya tidak ada di rumah, ini malah senang.
Bulan depan tiba. Filza sudah ada di dalam bus. Sempat-sempatnya masih memikirkan Satria sudah sarapan atau belum. Sudah berangkat kerja atau belum. Merindukannya atau tidak. Eh, untuk poin yang ketiga, mungkin tidak akan.
Bus itu melaju stabil. Sedangkan di sisi lain, Satria berhadapan dengan laptop. Sesuatu yang sudah biasa bahkan terkadang membuat dia bosan.
Hari menjelang sore, Filza belum pulang. Tubuh Satria jadi panas dingin. Dia tak bisa menjelaskannya. Hari ini tidak ada Filza yang memasak sarapan, memasak makan siang, tidak ada yang menanyainya sudah makan atau belum. Bahkan tidak ada bayangan Filza di sini. Satria seperti cacing kepanasan. Ke sana ke sini tak tentu arah. Mondar-mandir ke kamarnya, dan ke kamar Filza. Ada apa dengannya kali ini?
Malam datang, Filza membuka pintu. Baru saja kaki kanannya menyentuh ubin pertama di dalam rumah, sepasang kaki ada di hadapan kaki kanannya. Filza mengangkat kepala. Ternyata Satria berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Wajahnya kusut.
"Assalamu'alaikum." Filza lupa mengucap salam.
"Wa'alaikumsalam. Udah pulang? Udah puas jalan-jalannya?" Tanya Satria dengan nada ketus.
"Em .... Maaf, ya. Jam segini pulangnya."
"Ini udah waktunya shalat maghrib. Gimana, sih? Gak bisa apa, pulang sebelum maghrib?"
"Maaf, Mas."
"Sana masuk!"
Filza masuk. Hari ini hari istimewa menurutnya. Mungkin Satria terkesan ketus, tapi di matanya ada kecemasan karena Filza tak kunjung pulang. Masa iya Satria tidak mau mengakui bahwa dia mencemaskan Filza?
Selesai shalat, belum selesai melipat mukenanya, Filza sudah dihadapkan pada tatapan sinis Satria.
"Iya, Mas?"
"Tumben gak ada makanan?"
"Maaf, aku memang belum masak malam ini. Soalnya biasanya Mas makan di luar. Jadi aku pikir gak masak hari ini."
Satria tertegun. Benar juga kata Filza. Dia biasanya makan di luar. Lalu kenapa sekarang malah menanyakan makanan? Tidak mau membuang waktu, Satria langsung keluar rumah.
"Mas, aku aja yang masakin buat Mas, ya?" Tanya Filza sebelum akhirnya Satria pergi tanpa menjawab kalimat itu
Pagi ini sedikit berbeda dari pagi yang lalu-lalu. Filza memasak, Satria langsung datang ke dapur. Tentu ada alasannya. Dia lupa menaruh dompet di mana. Alhasil, Fiza yang ditanyai."Aku gak tau, Mas. Emangnya Mas taruh di mana?" Tanya Filza sambil tetap membalik menu sarapan kali ini."Aku lupa.""Aku bantu cari, ya. Tapi selesai goreng ini dulu." Ucap Filza tanpa menatap suaminya.Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi dompet Satria belum ketemu juga. Bingung tentu. Apalagi sebentar lagi dia harus berangkat kerja. Satria menyerah mencari. Sementara Filza masih mencarinya. Mengingat suaminya harus kerja, akhirnya dia mencari jalan keluar lain."Mas, makan di sini aja, ya! Nanti Mas bisa pegang uang aku dulu." Ucap Filza tulus."Enggak.""Kalau Mas gak mau makan di sini. Terserah. Tapi Mas bisa telat kerja. Lagian kalau gak makan dulu, gak konsen lagi. Mau ngutang, malu lah." Ucap Filza.Akhirnya Satri
Filza baru saja hendak tidur, pintu kamarnya diketuk. Filza membuka kembali pintu kamar yang terkunci. Sekarang di hadapannya ada Satria."Iya, Mas?" Tanya Filza heran."Maafin aku soal yang tadi." Ucap Satria ragu."Gak papa, kok." Filza tersenyum.Tanpa mengatakan sesuatu, Satria malah nyelonong masuk ke kamar Filza. Istrinya itu bingung."Mas, mau ngapain?" Tanya Filza gugup."Terserah aku mau tidur di mana." Jawaban itu membuat Filza bahagia.Filza tidak menanyakan apapun lagi. Dia baru saja hendak menjatuhkan tubuhnya ke ranjang itu, tapi dia mengingat sesuatu. Dia ingat betul bahwa suaminya tidak mau dekat dengannya. Batal tidur di ranjang yang sama, Filza memilih untuk tidur di sofa.Satria menyadari suara langkah kaki Filza yang menjauh. Dia membuka satu matanya. Terkejut melihat Filza yang malah memilih tidur di sofa, Satria bangun."Ngapain tidur di situ?" Tanyanya ketus."Enggak papa." Jawaban yang sebenarnya baru saj
Pagi ini hanya terdengar suara seseorang yang tengah memasak. Tentu itu adalah Filza. Satria tidak sengaja berpapasan dengan Filza di ruang keluarga. Entah, Filza tak seperti biasa. Dia hanya diam saat melihat Satria.Satria juga heran. Tidak biasa Filza seperti ini. Biasanya Filza menyapa atau bahkan mengajaknya sarapan bersama. Tapi kali ini tidak. Filza melangkah ke dapur. Merapikan kotoran bekas dia memasak tadi. Lalu duduk di kursi makan.Tanpa menunggu aba-aba, dia makan begitu saja. Biasanya dia masih berusaha menunggu Satria untuk sarapan bersama, tapi kali ini tidak. Satria merasa ini kesalahannya. Mungkin Filza marah karena ucapannya kemarin. Padahal bukan paling lagi, tapi iya.Satria sengaja memancing Filza dengan suara jasnya. Berharap Filza menemuinya untuk sekedar mencium punggung tangan. Ternyata tidak ada sama sekali. Sudahlah, Satria tidak ingin berlama-lama.Dia langsung keluar rumah berangkat kerja. Sementara itu, Filza selsai makan. Dia y
"Kenapa?" Satria penasaran."Lagi males aja."Setelah menjawa pertanyaan Satria, Filza pergi. Rasanya makin bersalah lagi Satria sekarang. Untuk saat ini dia tidak mau mengganggu Filza lebih lama dan membuat masalah.Seperti biasa, Filza mengajar anak-anak mungil nan lucu di sekolah. Tingkah konyol mereka sering membuat Filza tertawa. Nun sekarang sedikit berkurang sejak dia tidak sengaja menutup hatinya untuk Satria. Filza tidak ingin banyak tertawa, dia memilih pergi.Sajak Satria merasa bersalah, dia rutin menjemput Filza di sekolah. Tidak peduli sedang sibuk apa dirinya, tapi nyatanya tetap meluangkan waktu untuk menjemput Filza. Istrinya itu sering menolak dengan alasan membawa motor sendiri. Tentu mudah bagi Satria mengatasi alasan itu.Malam yang sunyi seperti biasanya. Filza mengotak-atik laptop di ruang keluarga. Satria ikutan duduk sambil menyeruput teh hangat buatannya sendiri. Satria melirik aktivitas Filza. Dia jadi penasaran."Ngapai
"Tapi ini berbahaya, Bu." Jelas seorang petugas pemadam kebakaran."Saya gak ...." Belum selesai berbicara, sosok Satria keluar dari pintu rumah.Filza berlari menghampirinya. Sontak memeluk Satria, cemas. Satria yang mendapat pelukan seketika terdiam. Perasaan inilah yang dia rindukan. Perasaan yang sempat hilang. Kini mungkin telah kembali.Kejadian itu sudah lama. Setelah lima belas hari, akhinya Satria menemukan sebuah apartemen yang akan dia tinggali bersama Filza saat tanah yang dibelinya belum merampungkan pembangunan rumah. Dia membelinya setelah pemikiran yang panjang. Sekarang Satria dan Filza berada di rumah Biha. Mereka menyusun rencana pembangunan rumah baru."Mas, mau kopi?" Tanya Filza."Gak perlu.""Jadi, Kamu yakin tentang apartemen?" Tanya Biha serius pada Satria."Ya. Gak mungkin aku dan Filza terus-menerus numpang di sini. Lebih baik kami pindah ke apartemen dulu sebelum rumah barunya jadi."Setelah kejadian itu, Fi
Sosok Airin sudah ada di depan Filza. Tersenyum misterius. Satria yang penasaran siapa tamunya, mengikuti langkah Filza."Ngapain Kamu di sini?" Tanya Satria langsung pada intinya."Aku cuma mau ngasih ini buat kalian. Tadi habis dari pasar, sekalian mampir ke sini." Ucap Airin sambil memberikan sekantung penuh berisi bermacam buah-buahan pada Satria."Terima itu!" Perintah Satria pada istrinya.Beberapa detik kemudian, Airin duduk di sofa dalam apartemen mereka berdua. Pandangan Satria seperti tak suka dengan kedatangan Airin. Sama seperti suaminya, Filza juga tidak suka. Dia malah cemas Airin akan merebut hati Satria."Kamu gak takut tinggal di sini, apalagi sama Filza?" Tanya Airin pada Satria."Kalau udah selesai urusannya, Kamu boleh pergi!" Satria tegas.Airin nampak tidak suka. Tapi dia berusaha setenang mungkin. Sedangkan Filza sedikit bingung dengan ucapan Satria barusan. Bukannya menjawab, Satria malah mengusir wanita itu."K
"Rencana apa?" Tanya Satria sedikit cemas."Tante tau gimana caranya buat dia jauh dari Kamu, tanpa Kamu repot-repot ceraikan dia." Ucap Biha masih dengan nada liciknya.Sejak beberapa hari yang lalu Filza masak sedikit lebih dari biasanya. Karena beberapa hari belakangan ini, Satria selalu makan di rumah. Bagi Filza itu hal yang luar biasa dan dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas seperti itu.Langkah kaki Satria yang masuk rumah membuat Filza menghampirinya. Filza mencium punggung tangan Satria, ini sudah tujuh kalinya."Mas mau langsung makan?" Tanya Filza ramah."Iya." Satria berlalu sambil meletakkan tasnya di sofa ruang keluarga.Tibalah mereka di ruang makan. Filza memulai makannya setelah Satria menyantap sesendok pertama. Ingatan Satria tentang rencana Biha tadi harus mengurangi nafsu makannya."Filza.""Iya?" Filza yang kurang fokus, menjawab pertanyaan itu sedikit agak lambat."Minggu depan kita jalan-j
Filza keluar dari kamar hotel. Langkahnya mantap. Dia mengenakan masker mulut, agar dua pria itu tidak bisa mengenalinya lagi. Hari ini, di pagi yang indah, dia akan mulai mencari suaminya kembali.Tepat saat dia berada di depan hotel, sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya. Tentu Filza tidak mau menunda kesempatan itu. Dia menyiapkan ponselnya untuk mencari translate dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Karena jujur saja dia tidak pandai dalam bidang bahasa.Saat sopir bertanya ke mana dia akan pergi, dengan Bahasa Inggris, Filza menjawab dengan cara menunjukkan layar ponselnya yang di layar itu tertulis kalimat dengan Bahasa Inggris yang artinya, "bandara."Sopir langsung mengerti tempat mana yang akan dituju. Filza meninggalkan hotel dengan aman. Memang terlihat jelas dua pria aneh itu sudah berada tak jauh darinya beberapa menit lalu, tapi mereka tidak mengenali Filza.Saat sampai di bandara, dia langsung menuju tempat yang tiga hari lalu menja