Sosok Airin sudah ada di depan Filza. Tersenyum misterius. Satria yang penasaran siapa tamunya, mengikuti langkah Filza.
"Ngapain Kamu di sini?" Tanya Satria langsung pada intinya.
"Aku cuma mau ngasih ini buat kalian. Tadi habis dari pasar, sekalian mampir ke sini." Ucap Airin sambil memberikan sekantung penuh berisi bermacam buah-buahan pada Satria.
"Terima itu!" Perintah Satria pada istrinya.
Beberapa detik kemudian, Airin duduk di sofa dalam apartemen mereka berdua. Pandangan Satria seperti tak suka dengan kedatangan Airin. Sama seperti suaminya, Filza juga tidak suka. Dia malah cemas Airin akan merebut hati Satria.
"Kamu gak takut tinggal di sini, apalagi sama Filza?" Tanya Airin pada Satria.
"Kalau udah selesai urusannya, Kamu boleh pergi!" Satria tegas.
Airin nampak tidak suka. Tapi dia berusaha setenang mungkin. Sedangkan Filza sedikit bingung dengan ucapan Satria barusan. Bukannya menjawab, Satria malah mengusir wanita itu.
"K
"Rencana apa?" Tanya Satria sedikit cemas."Tante tau gimana caranya buat dia jauh dari Kamu, tanpa Kamu repot-repot ceraikan dia." Ucap Biha masih dengan nada liciknya.Sejak beberapa hari yang lalu Filza masak sedikit lebih dari biasanya. Karena beberapa hari belakangan ini, Satria selalu makan di rumah. Bagi Filza itu hal yang luar biasa dan dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas seperti itu.Langkah kaki Satria yang masuk rumah membuat Filza menghampirinya. Filza mencium punggung tangan Satria, ini sudah tujuh kalinya."Mas mau langsung makan?" Tanya Filza ramah."Iya." Satria berlalu sambil meletakkan tasnya di sofa ruang keluarga.Tibalah mereka di ruang makan. Filza memulai makannya setelah Satria menyantap sesendok pertama. Ingatan Satria tentang rencana Biha tadi harus mengurangi nafsu makannya."Filza.""Iya?" Filza yang kurang fokus, menjawab pertanyaan itu sedikit agak lambat."Minggu depan kita jalan-j
Filza keluar dari kamar hotel. Langkahnya mantap. Dia mengenakan masker mulut, agar dua pria itu tidak bisa mengenalinya lagi. Hari ini, di pagi yang indah, dia akan mulai mencari suaminya kembali.Tepat saat dia berada di depan hotel, sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya. Tentu Filza tidak mau menunda kesempatan itu. Dia menyiapkan ponselnya untuk mencari translate dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Karena jujur saja dia tidak pandai dalam bidang bahasa.Saat sopir bertanya ke mana dia akan pergi, dengan Bahasa Inggris, Filza menjawab dengan cara menunjukkan layar ponselnya yang di layar itu tertulis kalimat dengan Bahasa Inggris yang artinya, "bandara."Sopir langsung mengerti tempat mana yang akan dituju. Filza meninggalkan hotel dengan aman. Memang terlihat jelas dua pria aneh itu sudah berada tak jauh darinya beberapa menit lalu, tapi mereka tidak mengenali Filza.Saat sampai di bandara, dia langsung menuju tempat yang tiga hari lalu menja
"Kamu ngapain, Sat?" Biha muncul, mengacaukan aktivitas Satria.Spontan Satria menutup laptopnya. Menyembunyikan apa yang dia lakukan sedari tadi. Senyum dipaksa juga muncul dari bibirnya."Gak ngapa-ngapain, Tan. Cuma liat medsos." Jawab Satria."Lagi gak sibuk, ya?" Biha memperhatikan Satria yang santai, tidak seperti biasa."Iya, Tan."Jauh di negeri orang, hari berganti. Kini Filza sibuk menata rambutnya. Lalu membalutnya dalam pasmina. Dia bertekat kali ini untuk mencari cara kembali ke tanah kelahirannya.Hingga sampailah Filza di sebuah ruangan dengan beberapa orang di dalamnya. Dia tengah duduk berhadapan dengan seorang pria yang juga berasal dari Indonesia."Lalu di mana paspor Anda?" Tanya pria itu, yang kemudian diketahui bernama Ruslan."Saya sering menelpon suami saya juga kerabat saya. Salah satu dari mereka bilang kalau paspor saya sudah ada di tangan suami saya. Saya berusaha menelponnya lagi dan lagi, tapi satupun tida
"Aku bilang enggak. Udah sana!""Kenapa, sih? Mas selalu gak mau nganterin aku kalau aku yang minta?"Tanpa menunggu jawaban, Filza keluar. Mencari angkot di tengah hujan emang gak semudah menjentikkan jari. Tapi ada saja beberapa walau tidak terlalu banyak, siap mengantar Filza. Akhinya dia memilih angkot yang tepat.Apa benar itu angkot yang tepat? Di dalamnya duduk seorang penumpang pria. Filza menilai, dia harus berhati-hati. Pria gagah dengan kumis tebal. Terlihat garang. Sorot mata yang tajam membuat Filza tidak berani menoleh ke arah pria itu.Tampak pria asing itu mengawasi sekitar. Beberapa kali terdengar samar-samar supir berbicara. Entah bicara pada siapa. Derasnya hujan membuat suara supir itu tertelan.Pria misterius melirik ke sana ke mari. Seperti siap menghadapi sesuatu. Dia bangkit dari duduknya. Filza jadi ikutan waspada. Pria itu merogoh saku celana. Terkejut, ternyata yang dikeluarkan adalah sebuah pistol.Kini Filza gemetar ke
Tampak mereka tengah berselisih. Filza yang mati-matian mengatakan bahwa dirinya bukan pelaku. Sementara Airin yang ngotot menyalahkan Filza. Tapi, tunggu dulu! Satria menajamkan mata saat melihat alas kaki yang dikenakan Airin. Sepertinya dia pernah melihat.Satria terus memutar ulang rekaman itu hingga dirinya menyadari sesuatu. Tidak mau berburuk sangka, Satria memutar rekaman pertama saat pelaku itu membunuh Wiroyo. Ya, alas kaki kini menjadi kunci masalah ini. Dia melihat dengan jelas, Airin mengenakan alas kaki berwarna kuning di rekaman kedua. Sementara Filza tetap mengenakan alas kaki pemberiannya yang warnanya jelas-jelas putih. Diketahui, pembunuh Wiroyo saat itu mengenakan alas kaki berwarna kuning, bukan putih!Satria diam membeku. Ada harapan untuk membuktikan bahwa Filza tidak bersalah. Satria menoleh ke belakang, ke arah Filza yang masih terlelap. Ada gurat bahagia di wajah Satria saat ini. Dia beranjak. Menghampiri Filza. Duduk di samping istrinya lalu
Filza bertarung dengan pedasnya bawang merah. Dia bersikukuh memotong bawang merah walau matanya berair. Tapi itu memang sudah bisa untuk seorang istri. Suara langkah kaki seseorang mendekat. Tentu Filza tahu itu Satria."Mas mau berangkat sekarang?" Tanya Filza tanpa menoleh ke belakang."Mau sarapan dulu.""Tunggu, ya! Bentar lagi udah matang."Beberapa menit setelah itu, masakan tulus dari Filza sudah siap. Filza jadi terharu. Melihat Satria yang duduk di sana dengan sarapan buatannya. Ini mimpinya dari dulu. Dia sempat berpikir, mungkin Satria sudah berubah. Tapi apa benar seperti itu?Tiba-tiba saja ketukan pintu terdengar keras. Filza yang tadinya berniat membuka, dilarang Satria. Akhinya dia hanya diam sambil mengikuti Satria dari belakang.Setelah pintu itu dibuka, tapak Airin dengan muka kesal. Filza menelan ludah. Kini drama apa lagi yang dibuat wanita itu?"Mau apa?" Satria menghalangi Airin masuk."Di mana istri gak
"Aku udah bilang, kan? Aku gak sengaja." Alasan Satria."Ya udah. Aku masuk dulu. Anak-anak udah nungguin. Mas gak ke kantor?""Bentar lagi."Filza masuk kembali ke kelas. Ribut-ribut yang tadinya terdengar, sekarang mulai senyap. Anak-anak mungil itu merasa bahagia melihat Filza datang lagi. Mereka mulai memperhatikan Filza.Itu sudah berjam-jam yang lalu. Sekarang Filza menuju dapur. Dia berpikir Satria pasti menunggu makanan darinya. Tapi belum sampai di dapur, ponselnya berdering. Filza berjalan cepat menuju meja tidak jauh dari situ. Terdapat tulisan "suamiku" di layar ponselnya. Semangat, Filza mengangkat telepon."Assalamu'alaikum." Filza yang memulai."Wa'alaikumsalam. Kamu jangan masak, ya!""Tapi kenapa?""Malam ini kita makan di luar." Mendengar itu, Filza tersenyum."Kalau gitu, aku siap-siap dulu.""Ya, aku jemput Kamu. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Filza girang. Langkahnya cepat
Cahaya matahari menusuk matanya. Filza terbangun. Seketika dia teringat bahwa dirinya ketiduran selepas solat subuh. Menepuk keningnya sendiri, merutuki diri. Di sampingnya, Satria sudah tidak ada. Entah ke mana dia sekarang. Filza beranjak, perutnya masih ramping, memang belum genap tiga Minggu.Suara khas seperti seseorang yang tengah memotong bawang, terdengar. Filza penasaran, hingga memutuskan mengeceknya sendiri. Sampai di sana, ternyata Satria yang melakukan itu. Filza mendekat. Sebenarnya agak terganggu dengan bawang merah yang tengah dipotong Satria. Tapi dia sungguh tidak mau melewatkan momen langka ini."Mas ngapain?" Tanya Filza."Masak. Kamu duduk aja! Biar aku yang gantian masak." Balas Satria dengan tangan yang masih bergerak."Biar aku aja, Mas."Tangan Filza hendak mengambil pisau di genggaman Satria. Sayangnya tangan Satria berhasil terngakat dulu hingga pisau itu tidak jadi diambil."Enggak, udah sana!" Ucapnya sambi