"Aku bilang enggak. Udah sana!"
"Kenapa, sih? Mas selalu gak mau nganterin aku kalau aku yang minta?"
Tanpa menunggu jawaban, Filza keluar. Mencari angkot di tengah hujan emang gak semudah menjentikkan jari. Tapi ada saja beberapa walau tidak terlalu banyak, siap mengantar Filza. Akhinya dia memilih angkot yang tepat.
Apa benar itu angkot yang tepat? Di dalamnya duduk seorang penumpang pria. Filza menilai, dia harus berhati-hati. Pria gagah dengan kumis tebal. Terlihat garang. Sorot mata yang tajam membuat Filza tidak berani menoleh ke arah pria itu.
Tampak pria asing itu mengawasi sekitar. Beberapa kali terdengar samar-samar supir berbicara. Entah bicara pada siapa. Derasnya hujan membuat suara supir itu tertelan.
Pria misterius melirik ke sana ke mari. Seperti siap menghadapi sesuatu. Dia bangkit dari duduknya. Filza jadi ikutan waspada. Pria itu merogoh saku celana. Terkejut, ternyata yang dikeluarkan adalah sebuah pistol.
Kini Filza gemetar ke
Tampak mereka tengah berselisih. Filza yang mati-matian mengatakan bahwa dirinya bukan pelaku. Sementara Airin yang ngotot menyalahkan Filza. Tapi, tunggu dulu! Satria menajamkan mata saat melihat alas kaki yang dikenakan Airin. Sepertinya dia pernah melihat.Satria terus memutar ulang rekaman itu hingga dirinya menyadari sesuatu. Tidak mau berburuk sangka, Satria memutar rekaman pertama saat pelaku itu membunuh Wiroyo. Ya, alas kaki kini menjadi kunci masalah ini. Dia melihat dengan jelas, Airin mengenakan alas kaki berwarna kuning di rekaman kedua. Sementara Filza tetap mengenakan alas kaki pemberiannya yang warnanya jelas-jelas putih. Diketahui, pembunuh Wiroyo saat itu mengenakan alas kaki berwarna kuning, bukan putih!Satria diam membeku. Ada harapan untuk membuktikan bahwa Filza tidak bersalah. Satria menoleh ke belakang, ke arah Filza yang masih terlelap. Ada gurat bahagia di wajah Satria saat ini. Dia beranjak. Menghampiri Filza. Duduk di samping istrinya lalu
Filza bertarung dengan pedasnya bawang merah. Dia bersikukuh memotong bawang merah walau matanya berair. Tapi itu memang sudah bisa untuk seorang istri. Suara langkah kaki seseorang mendekat. Tentu Filza tahu itu Satria."Mas mau berangkat sekarang?" Tanya Filza tanpa menoleh ke belakang."Mau sarapan dulu.""Tunggu, ya! Bentar lagi udah matang."Beberapa menit setelah itu, masakan tulus dari Filza sudah siap. Filza jadi terharu. Melihat Satria yang duduk di sana dengan sarapan buatannya. Ini mimpinya dari dulu. Dia sempat berpikir, mungkin Satria sudah berubah. Tapi apa benar seperti itu?Tiba-tiba saja ketukan pintu terdengar keras. Filza yang tadinya berniat membuka, dilarang Satria. Akhinya dia hanya diam sambil mengikuti Satria dari belakang.Setelah pintu itu dibuka, tapak Airin dengan muka kesal. Filza menelan ludah. Kini drama apa lagi yang dibuat wanita itu?"Mau apa?" Satria menghalangi Airin masuk."Di mana istri gak
"Aku udah bilang, kan? Aku gak sengaja." Alasan Satria."Ya udah. Aku masuk dulu. Anak-anak udah nungguin. Mas gak ke kantor?""Bentar lagi."Filza masuk kembali ke kelas. Ribut-ribut yang tadinya terdengar, sekarang mulai senyap. Anak-anak mungil itu merasa bahagia melihat Filza datang lagi. Mereka mulai memperhatikan Filza.Itu sudah berjam-jam yang lalu. Sekarang Filza menuju dapur. Dia berpikir Satria pasti menunggu makanan darinya. Tapi belum sampai di dapur, ponselnya berdering. Filza berjalan cepat menuju meja tidak jauh dari situ. Terdapat tulisan "suamiku" di layar ponselnya. Semangat, Filza mengangkat telepon."Assalamu'alaikum." Filza yang memulai."Wa'alaikumsalam. Kamu jangan masak, ya!""Tapi kenapa?""Malam ini kita makan di luar." Mendengar itu, Filza tersenyum."Kalau gitu, aku siap-siap dulu.""Ya, aku jemput Kamu. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Filza girang. Langkahnya cepat
Cahaya matahari menusuk matanya. Filza terbangun. Seketika dia teringat bahwa dirinya ketiduran selepas solat subuh. Menepuk keningnya sendiri, merutuki diri. Di sampingnya, Satria sudah tidak ada. Entah ke mana dia sekarang. Filza beranjak, perutnya masih ramping, memang belum genap tiga Minggu.Suara khas seperti seseorang yang tengah memotong bawang, terdengar. Filza penasaran, hingga memutuskan mengeceknya sendiri. Sampai di sana, ternyata Satria yang melakukan itu. Filza mendekat. Sebenarnya agak terganggu dengan bawang merah yang tengah dipotong Satria. Tapi dia sungguh tidak mau melewatkan momen langka ini."Mas ngapain?" Tanya Filza."Masak. Kamu duduk aja! Biar aku yang gantian masak." Balas Satria dengan tangan yang masih bergerak."Biar aku aja, Mas."Tangan Filza hendak mengambil pisau di genggaman Satria. Sayangnya tangan Satria berhasil terngakat dulu hingga pisau itu tidak jadi diambil."Enggak, udah sana!" Ucapnya sambi
Pagi ini Filza sibuk menggendong Abidah yang rewel sejak sejam yang lalu. Entah sudah keberapa kalinya Filza sedikit kesal saat Satria mengganggu usil Abidah yang tengah tertidur, hingga Abidah terbangun dan menangis. Filza cuma bisa menghela napas."Maaf, Sayang." Ucap Satria setengah romantis agar Filza memaafkannya.Filza cuma mengangguk, lalu berlalu sambil menggendong anaknya. Satria mengikuti Filza, bermaksud menghibur Abidah. Filza yang sudah seharian lelah, meletakkan Abidah dalam gendongan papanya.Di sisi lain, Biha tengah sendirian di tepi jalan. Jarak dari rumah ke warung, masih bisa dibilang dekat. Sesekali dia ingin berjalan kaki ke rumahnya. Berniat berganti pakaian setelah sampai di rumah, menginap di rumah Satria. Mobil hitam mengkilat, berhenti tepat di samping Biha. Tidak curiga sama sekali, Biha berhenti, menoleh ke sebelah kanannya, memerhatikan mobil yang pintunya mulai terbuka.Biha membelalakkan mata saat ujung pistol itu mengarah
Filza masih belum pulang, masih ada di dekat Biha. Dia berputar lagi, tanpa sadar semakin dekat dengan Biha. Mana tau kalau Biha lagi disekap di gudang itu? Filza terus hingga belok ke kiri, menuju bagian depan gudang, itu juga tanpa mengetahui apa-apa.Ujung matanya menangkap sebuah tas selempang yang tergeletak di depan gudang. Tadinya Filza pikir itu biasa saja. Mungkin karena terburu-buru, seseorang menjatuhkannya. Tapi kembali dia lihat itu tas. Dia mengenalnya. Filza mendekat, mungkin itu milik temannya atau siapa yang dia kenal.Dia ingat, itu tas milik Biha. Cepat-cepat dia ambil itu tas. Talinya putus di ujung. Mungkin ini yang membuat tas bisa jatuh. Mata Filza perlahan mendongak, memerhatikan gedung di depannya."Assalamu'alaikum. Mas, aku nemuin tas Tante." Ucap Biha di telepon."Di mana?" Suara Satria di seberang sana.Tidak lama setelah itu, Satria datang. Tepat, tiga orang penculik itu keluar dari gudang. Mereka kaget, karena tas itu
Tidak mungkin jika Rianti pergi selama ini. Pasalnya, sudah sebulan dia tidak datang bekerja. Biha yang selalu menanti kedatangannya jadi cemas. Berharap Rianti tidak apa-apa. Satria, istri dan anaknya yang hari itu kebetulan berkunjung ke rumah Biha, juga ikut ditanyai oleh Biha. Mungkin saja mereka mengatahui di mana Rianti.Tapi persoalan perusahaannya yang di ujung tanduk lebih berharga dari seorang pembantu yang lama tidak datang bekerja. Bisa saja Rianti masih sibuk akan suatu hal, itu di pikiran Biha. Hingga dia sedikit tidak mempermasalahkan hal itu. Bukan tanpa sebab, Biha tengah kebingungan karena tiba-tiba ada yang mengklaim bahwa perusahaannya itu milik orang lain. Tentu itu bukan persoalan kecil."Siapa orangnya?" Tanya Satria yang langsung panik saat mendengar cerita dari Biha."Doni. Tapi tante tidak tau siapa dia," jawab Biha.Itu sudah beberapa jam yang lalu. Sekarang Satria tengah duduk kebingungan di ruang kerjanya. Filza masuk dengan m
Suara tangisan Abidah terdengar hingga ke sudut-sudut rumah. Tidak heran kalau Biha yang mendengar jadi sedikit panik, takut Abidah kenapa-napa. Nyatanya setelah didatangi, Abidah tengah menangis keras di gendongan Filza. Satria sudah siap dengan pakaiannya juga tas berisi susu milik Abidah."Tante, Kami mau ke rumah sakit dulu. Abidah demam." Ucap Filza pada Biha."Ya udah, kalian hati-hati, ya." Biha mengusap kepala Abidah hingga tangannya bisa merasakan suhu tubuh Abidah."Iya, assalamu'alaikum." Satria dan Filza menuju garasi."Wa'alaikumsalam."Tidak sampai berjam-jam, mereka pulang. Bersyukur sekali mereka karena tidak terlambat membawa Abidah ke rumah sakit hingga sakitnya tidak terlalu parah. Filza meminta ijin lebih dulu untuk tidak masuk kerja, dia memilih untuk merawat anaknya sampai sembuh. Sedangkan Satria, mau tidak mau dia harus berangkat ngantor.Hanya berselang seminggu dari kejadian itu, Satria kembali dilanda kesedihan. Se
Mulutnya tertutup rapat. Tentu saja pertanyaan Qirana tidak bisa dijawabnya. Sudahlah, aku akan kembali bekerja.” Abidah bermaksud menghindari percakapan lebih lanjut.Tepat saat Abidah sampai di lantai dasar kantor saat jam bekerjanya berakhir, terdengar gemericik air yang dengan cepat berubah menjadi hujan deras. Abidah menghembuskan napas berat dan secepatnya berlari menghampiri angkot yang biasanya. Dari jendela angkot dia melihat Bayu tengah mengobrol bersama seorang wanita, kira-kira seusia dirinya.“Oh, sudah punya pacar ya? Tapi, sepertinya Wanita itu tidak asing.” tebak Abidah sembarangan. Angkot itu melaju tidak peduli sepasang mata Abidah yang masih terpaku melihat dua orang di seberang jalan.Malam, Abidah baru saja sampai di rumah. Sudah satu jam setengah dia habiskan untuk membeli makan malam. Baru saja mengucap salam dan membuka pintu, raut wajahnya yang datar tiba-tiba terkejut. “Sandra?”Wanita itu duduk di sofa tepat di samping Filza. Abidah memeluknya erat. Sandra t
Seorang pria yang bertugas sebagai mc memulai tugasnya. Diawali pembukaan, sambutan dari pemilik acara itu, dilanjutkan dengan lain sebagaimnya. Uniknya, dalam suatu kesempatan, diadakan sesi tanya jawab, tentu itu hanya untuk memeriahkan pesta saja.“kamu punya pacar?” Pertanyaan itu dilontarkan seorang wanita yang usianya hampir sama seperti Filza. Namanya Aminah, ibunda dari Bayu sendiri.Sontak semua orang yang ada di pesta itu melihat ke arah pintu masuk. Aminah datang dengan sebuah kotak indah yang dia pegang. Senyumannya masih belum memudar. Tiga detik kemudian Lila datang dan langsung memberikan bingkisan kecil kepada Bayu.“Selamat ulang tahun Kakakku yang tampan!” Teriak Lila yang membuat Aminah langsung menempelkan jari telunjuk di depan bibir sambil memanggilnya lembut.“Lila ….” Gadis remaja itu nyengir. Sadar kalau semua mata tengah menatapnya.“Buka dong!” Lila meletakkan kedua tangannya di belakang badan. Menunjuk bingkisan itu dengan isyarat kedua alisnya.Menuruti pe
Suara ketikan terdengar hampir di semua meja di sekeliling Abidah. Gadis itu tampak tidak peduli, melanjutkan Langkah ke meja kerjanya. Sesaat kemudian terdengar suara mesin pencetak yang tengah bekerja mencetak file penting. Di antara kesibukan orang-orang di sana, dia melihat Bayu yang tengah melintas. “Dia lagi.” Gumam Abidah tidak suka. Abidah merasa aneh saat teman-teman kerjanya malah memberikan sapaan sopan kepada Bayu, tampak seperti menyapa atasan mereka. Abidah berpikir untuk apa mereka memberi sapaan begitu sopan pada orang seketus Bayu. Gadis itu hanya tidak mengerti siapa sebenarnya Bayu. “Eh, Kamu ini, bersikaplah sopan pada Pak Bos! Kamu malah memandanginya begitu.” Qirana menyenggol lengan gadis itu. “Pak Bos?” Tanya Abidah bingung. “Iya. Oh, Kamu mungkin belum tahu. Beliau itu pemilik perusahaan ini.” Penjelasan Qirana membuat Abidah sedikit kaget. “Apa?” Abidah masih tidak percaya. Alih-alih menjawab, Qirana hanya mengangguk lalu pergi. Abidah masih sedikit ter
Jantungnya berdegup kencang, dia gugup. Seorang wanita berdiri karena mendengar namanya dipanggil. Lalu wanita tersebut masuk ke ruangan yang memang membuat gugup orang-orang di hadapannya. Abidah mengangkat ponselnya hingga layar dari ponsel itu menyala. Ternyata sudah satu jam dia menunggu gilirannya tiba.Singkatnya, hari demi hari berlalu hingga pada suatu malam, Abidah baru saja pulang dari pusat perbelanjaan. Dia membeli benda-benda yang mugkin akan membantunya dalam bekerja di perusahaan itu. Ya, dia diterima bekerja di sana. Filza mengusap-usap pundak Abidah sambil tersenyum.***Mukena itu baru saja dilipat rapi oleh pemiliknya. Tidak menunggu waktu lama, Abidah sudah siap dengan pakaian yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Dia berdiri di depan cermin sambil memandangi penampilan barunya. Terdengar suara pintu dibuka.“Apa mama harus selalu mengingatkanmu agar berangkat lebih awal? Mau sampai kapan?” Tanya Filza dengan setengah senyum.Abidah meraih tas di atas ranjang lal
“Tapi, ngapain Kamu tanya itu?” Abidah sedikit heran.“Enggak papa, Cuma penasaran aja.” Hana cemas melihat tatapan Abidah yang masih mengisyaratkan kebingungan.“Bayu itu temanku sejak kecil. Jadi gak salah kan, kalau aku tanya soal itu?” Hana berusaha meyakinkan Abidah bahwa itu bukan pertanyaan aneh.Benar saja, Abidah menangguk tanda setuju. Tidak lama setelah itu Abidah memutuskan untuk pulang. Di sisi lain, di rumahnya Bayu memofuskan pandangannya pada layer televisi sambil menikmati kopi hangat buatannya sendiri. Ruangan itu terlihat sepi karena memang hanya Bayu yang tinggal di sana. Di usianya yang masih muda, dia bisa membangun rumah masa depannya. Rumah itu dia persiapkan untuk masa tuanya yang rencananya akan dihuni bersama istri dan anak-anaknya kelak. Sayangnya sampai sekarang dia masih jomblo.Berita di televisi menghentikan pergerakan tangannya yang tengah memegang cangkir kopi. Berita tentang pengusaha sukses yang ditipu rekan kerjanya sendiri. Pengusaha sukses yang d
Salah satu tangan Abidah berhasil menarik perhatian Bayu. Dengan cekatan Bayu meraih tangan gadis itu dan memegangnya erat. Tangan kirinya berhasil memeluk batu besar, berusaha bertahan dari arus sungai.“Tolong! Tolong! Tolong!” Teriak Bayu berharap ada yang mendengar.Dua orang pria dan seorang wanita yang tidak sengaja lewat di dekat sungai mendengar teriakan Bayu. Mereka langsung mendekat ke arah sungai. Melihat Bayu yang tengah kesulitan, dua pria itu mulai turun ke sungai, sementara wanita itu hanya bisa berdiri cemas di tepi sungai. Usaha mereka membuahkan hasil. Bayu dan Abidah berhasil keluar dari sungai dibantu dua pria tadi. Bayu berusaha menyadarkan Abidah yang masih pingsan. Abidah terbatuk, dia mulai sadar. Matanya menangkap wajah cemas Bayu dan yang lain.“Bagaimana? Kamu tidak apa-apa?” Tanya Bayu.Abidah belum sempat menjawab, “kita bawa saja Abidah ke rumah Nenek Arini.” Kata wanita di samping Bayu.Tidak menunggu Abidah menjawab pertanyaannya, Bayu mulai berbalik ba
Tidak lama setelah itu, Abidah muncul sambil membawa tiga cangkir teh hangat yang baru dia buat. Meletakkan secangkir teh di hadapan Bayu. Abidah duduk di samping Arini, ikut bergabung dalam percakapan. Bayu mulai menyeruput teh sampai akhirnya Abidah membuka pembicaraan.“Nek, kenapa Nenek tidak beli obat saja? Kenapa mesti capek-capek meracik sendiri?” Tanya Abidah heran.“Itu obat herbal racikan sendiri. Nenek tidak punya uang untuk membeli obat di apotek. Lagian, nenek masih ingin mengikuti tradisi desa ini, yaitu meracik obat herbal sendiri. Itu sudah dilakukan di desa ini dari dulu.” Jawan Arini santai.“Nek, kalau Nenek butuh obat, Nenek bisa panggil saya. Saya akan belikan obat untuk Nenek, jangan khawatir tentang biayanya.” Bayu menimpali.Abidah sedikit terkejut. Ternyata pria dingin dan kaku seperti Bayu juga punya sisi baik dalam dirinya.“Terimakasih atas perhatianmu, Nak. Kamu memang pria yang baik.” Arini tersenyum penuh arti.***Abidah tengah membantu Arini memasak.
Mereka melanjutkan jalan. Abidah memerhatikan sekelilingnya. Sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka dan angin yang kadang berhembus. Karena Bayu yang daritadi belum berhenti, Abidah malah berpikir negatif. Dia takut kalau ternyata Bayu menipunya.“Kenapa belum sampai-sampai?” Tanya Abidah, sedikit takut.“Diam dan ikuti saja.” Jawab Bayu dingin.“Kamu gak lagi nipu aku, kan? Jangan macam-macam ya!” Abidah semakin merasa takut tanpa alasan.“Itu ide bagus,” balas Bayu tanpa melihat ke arah Abidah sedikitpun.Abidah mendengus. Bayu mulai mendengar suara aliran air, dia tahu ada sungai di sekitar sini. Tanpa ragu dia mulai mendekat. Abidah terpesona melihat pemandangan di depannya. Aliran air yang bersih dan jernih, sampai terlihat dasarnya yang berisi bebatuan. Abidah mendekat ke arah aliran air tersebut.“Airnya jernih sekali,” ucap Abidah sambil menoleh ke belakang, ke arah Bayu yang tadi sempat tertinggal. Abidah kaget karena Bayu tidak ada di belakangnya.“Bayu!” Abidah me
Mata Abidah menyelidik, berusaha mencari tahu apa yang terjadi, membuat Hana makin menyembunyikan wajahnya. Merasa Hana sedang tidak ingin diganggu, Abidah berpaling ke arah luar. Terlihat Laili berdiri tegak di pintu kelas. Gadis kecil itu berhasil menemukan apa yang dia cari. Abidah menghampirinya, mengajaknya duduk di kursi kayu dekat dengan ruang kelas tiga.“Bagaimana hari-harimu di panti?’” Tanya Abidah lembut.“Sepi,” jawab Laili masih dengan muka imutnya.“Eh, kenapa sepi?” Tanya Abidah heran.“Gak ada Kakak cantik,” Laili tersenyum manis. Gadis kecil tersebut mulai terbiasa memanggil Abidah dengan sebutan Kakak Cantik.Abidah ikut tertawa sambil mengacak-acak pelan kepala Laili. Sekejap setelah itu, seorang pria paruh baya melintas di depan sekolah sambil mendorong gerobak. Abidah mengejar pria itu, hingga berhasil membuat gerobak tersebut berhenti. Abidah memanggil Laili. Masih dengan wajah polos, laili berlari ke arah Abidah.“Pak, bakso dua porsi.” Pesan Abidah yang langsu