Tampak mereka tengah berselisih. Filza yang mati-matian mengatakan bahwa dirinya bukan pelaku. Sementara Airin yang ngotot menyalahkan Filza. Tapi, tunggu dulu! Satria menajamkan mata saat melihat alas kaki yang dikenakan Airin. Sepertinya dia pernah melihat.
Satria terus memutar ulang rekaman itu hingga dirinya menyadari sesuatu. Tidak mau berburuk sangka, Satria memutar rekaman pertama saat pelaku itu membunuh Wiroyo. Ya, alas kaki kini menjadi kunci masalah ini. Dia melihat dengan jelas, Airin mengenakan alas kaki berwarna kuning di rekaman kedua. Sementara Filza tetap mengenakan alas kaki pemberiannya yang warnanya jelas-jelas putih. Diketahui, pembunuh Wiroyo saat itu mengenakan alas kaki berwarna kuning, bukan putih!
Satria diam membeku. Ada harapan untuk membuktikan bahwa Filza tidak bersalah. Satria menoleh ke belakang, ke arah Filza yang masih terlelap. Ada gurat bahagia di wajah Satria saat ini. Dia beranjak. Menghampiri Filza. Duduk di samping istrinya lalu
Filza bertarung dengan pedasnya bawang merah. Dia bersikukuh memotong bawang merah walau matanya berair. Tapi itu memang sudah bisa untuk seorang istri. Suara langkah kaki seseorang mendekat. Tentu Filza tahu itu Satria."Mas mau berangkat sekarang?" Tanya Filza tanpa menoleh ke belakang."Mau sarapan dulu.""Tunggu, ya! Bentar lagi udah matang."Beberapa menit setelah itu, masakan tulus dari Filza sudah siap. Filza jadi terharu. Melihat Satria yang duduk di sana dengan sarapan buatannya. Ini mimpinya dari dulu. Dia sempat berpikir, mungkin Satria sudah berubah. Tapi apa benar seperti itu?Tiba-tiba saja ketukan pintu terdengar keras. Filza yang tadinya berniat membuka, dilarang Satria. Akhinya dia hanya diam sambil mengikuti Satria dari belakang.Setelah pintu itu dibuka, tapak Airin dengan muka kesal. Filza menelan ludah. Kini drama apa lagi yang dibuat wanita itu?"Mau apa?" Satria menghalangi Airin masuk."Di mana istri gak
"Aku udah bilang, kan? Aku gak sengaja." Alasan Satria."Ya udah. Aku masuk dulu. Anak-anak udah nungguin. Mas gak ke kantor?""Bentar lagi."Filza masuk kembali ke kelas. Ribut-ribut yang tadinya terdengar, sekarang mulai senyap. Anak-anak mungil itu merasa bahagia melihat Filza datang lagi. Mereka mulai memperhatikan Filza.Itu sudah berjam-jam yang lalu. Sekarang Filza menuju dapur. Dia berpikir Satria pasti menunggu makanan darinya. Tapi belum sampai di dapur, ponselnya berdering. Filza berjalan cepat menuju meja tidak jauh dari situ. Terdapat tulisan "suamiku" di layar ponselnya. Semangat, Filza mengangkat telepon."Assalamu'alaikum." Filza yang memulai."Wa'alaikumsalam. Kamu jangan masak, ya!""Tapi kenapa?""Malam ini kita makan di luar." Mendengar itu, Filza tersenyum."Kalau gitu, aku siap-siap dulu.""Ya, aku jemput Kamu. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Filza girang. Langkahnya cepat
Cahaya matahari menusuk matanya. Filza terbangun. Seketika dia teringat bahwa dirinya ketiduran selepas solat subuh. Menepuk keningnya sendiri, merutuki diri. Di sampingnya, Satria sudah tidak ada. Entah ke mana dia sekarang. Filza beranjak, perutnya masih ramping, memang belum genap tiga Minggu.Suara khas seperti seseorang yang tengah memotong bawang, terdengar. Filza penasaran, hingga memutuskan mengeceknya sendiri. Sampai di sana, ternyata Satria yang melakukan itu. Filza mendekat. Sebenarnya agak terganggu dengan bawang merah yang tengah dipotong Satria. Tapi dia sungguh tidak mau melewatkan momen langka ini."Mas ngapain?" Tanya Filza."Masak. Kamu duduk aja! Biar aku yang gantian masak." Balas Satria dengan tangan yang masih bergerak."Biar aku aja, Mas."Tangan Filza hendak mengambil pisau di genggaman Satria. Sayangnya tangan Satria berhasil terngakat dulu hingga pisau itu tidak jadi diambil."Enggak, udah sana!" Ucapnya sambi
Pagi ini Filza sibuk menggendong Abidah yang rewel sejak sejam yang lalu. Entah sudah keberapa kalinya Filza sedikit kesal saat Satria mengganggu usil Abidah yang tengah tertidur, hingga Abidah terbangun dan menangis. Filza cuma bisa menghela napas."Maaf, Sayang." Ucap Satria setengah romantis agar Filza memaafkannya.Filza cuma mengangguk, lalu berlalu sambil menggendong anaknya. Satria mengikuti Filza, bermaksud menghibur Abidah. Filza yang sudah seharian lelah, meletakkan Abidah dalam gendongan papanya.Di sisi lain, Biha tengah sendirian di tepi jalan. Jarak dari rumah ke warung, masih bisa dibilang dekat. Sesekali dia ingin berjalan kaki ke rumahnya. Berniat berganti pakaian setelah sampai di rumah, menginap di rumah Satria. Mobil hitam mengkilat, berhenti tepat di samping Biha. Tidak curiga sama sekali, Biha berhenti, menoleh ke sebelah kanannya, memerhatikan mobil yang pintunya mulai terbuka.Biha membelalakkan mata saat ujung pistol itu mengarah
Filza masih belum pulang, masih ada di dekat Biha. Dia berputar lagi, tanpa sadar semakin dekat dengan Biha. Mana tau kalau Biha lagi disekap di gudang itu? Filza terus hingga belok ke kiri, menuju bagian depan gudang, itu juga tanpa mengetahui apa-apa.Ujung matanya menangkap sebuah tas selempang yang tergeletak di depan gudang. Tadinya Filza pikir itu biasa saja. Mungkin karena terburu-buru, seseorang menjatuhkannya. Tapi kembali dia lihat itu tas. Dia mengenalnya. Filza mendekat, mungkin itu milik temannya atau siapa yang dia kenal.Dia ingat, itu tas milik Biha. Cepat-cepat dia ambil itu tas. Talinya putus di ujung. Mungkin ini yang membuat tas bisa jatuh. Mata Filza perlahan mendongak, memerhatikan gedung di depannya."Assalamu'alaikum. Mas, aku nemuin tas Tante." Ucap Biha di telepon."Di mana?" Suara Satria di seberang sana.Tidak lama setelah itu, Satria datang. Tepat, tiga orang penculik itu keluar dari gudang. Mereka kaget, karena tas itu
Tidak mungkin jika Rianti pergi selama ini. Pasalnya, sudah sebulan dia tidak datang bekerja. Biha yang selalu menanti kedatangannya jadi cemas. Berharap Rianti tidak apa-apa. Satria, istri dan anaknya yang hari itu kebetulan berkunjung ke rumah Biha, juga ikut ditanyai oleh Biha. Mungkin saja mereka mengatahui di mana Rianti.Tapi persoalan perusahaannya yang di ujung tanduk lebih berharga dari seorang pembantu yang lama tidak datang bekerja. Bisa saja Rianti masih sibuk akan suatu hal, itu di pikiran Biha. Hingga dia sedikit tidak mempermasalahkan hal itu. Bukan tanpa sebab, Biha tengah kebingungan karena tiba-tiba ada yang mengklaim bahwa perusahaannya itu milik orang lain. Tentu itu bukan persoalan kecil."Siapa orangnya?" Tanya Satria yang langsung panik saat mendengar cerita dari Biha."Doni. Tapi tante tidak tau siapa dia," jawab Biha.Itu sudah beberapa jam yang lalu. Sekarang Satria tengah duduk kebingungan di ruang kerjanya. Filza masuk dengan m
Suara tangisan Abidah terdengar hingga ke sudut-sudut rumah. Tidak heran kalau Biha yang mendengar jadi sedikit panik, takut Abidah kenapa-napa. Nyatanya setelah didatangi, Abidah tengah menangis keras di gendongan Filza. Satria sudah siap dengan pakaiannya juga tas berisi susu milik Abidah."Tante, Kami mau ke rumah sakit dulu. Abidah demam." Ucap Filza pada Biha."Ya udah, kalian hati-hati, ya." Biha mengusap kepala Abidah hingga tangannya bisa merasakan suhu tubuh Abidah."Iya, assalamu'alaikum." Satria dan Filza menuju garasi."Wa'alaikumsalam."Tidak sampai berjam-jam, mereka pulang. Bersyukur sekali mereka karena tidak terlambat membawa Abidah ke rumah sakit hingga sakitnya tidak terlalu parah. Filza meminta ijin lebih dulu untuk tidak masuk kerja, dia memilih untuk merawat anaknya sampai sembuh. Sedangkan Satria, mau tidak mau dia harus berangkat ngantor.Hanya berselang seminggu dari kejadian itu, Satria kembali dilanda kesedihan. Se
Satria lemas. Matanya dihiasi lengkungan hitam di bagian bawah. Dia terlihat sangat letih. Filza yang memandang jadi tidak tega. Dia duduk di samping Satria. Akhinya muka mereka saling beradu. Tatapan mata itu bisa jadi tatapan penyesalan karena dia tidak bisa mempertahankan perusahaan tetap stabil di mana istri dan keluarganya yang lain bergantung kehidupan."Mas. Ayolah! Jangan begini! Mas harus kuat!" Filza memberi semangat yang hanya memperkuat suaminya tiga puluh persen.Pagi ini Satria berangkat kerja dengan lesu. Di kantor tidak seperti biasanya. Hampir semua bekerja dengan kerutan di kening mereka. Mungkin takut dimarahi Satria dan berimbas pada gaji mereka. Satria menuju ruangannya. Tidak disangka, ada seorang duluan yang masuk ke ruangan pribadinya itu."Assalamu'alaikum." Satria memberi salam."Wa'alaikumsalam. Saya ingin bicara penting dengan Anda." Seorang dengan jas rapi, jelas menunjukkan posisinya bukan sembarangan.Mereka bicara, s