Satria lemas. Matanya dihiasi lengkungan hitam di bagian bawah. Dia terlihat sangat letih. Filza yang memandang jadi tidak tega. Dia duduk di samping Satria. Akhinya muka mereka saling beradu. Tatapan mata itu bisa jadi tatapan penyesalan karena dia tidak bisa mempertahankan perusahaan tetap stabil di mana istri dan keluarganya yang lain bergantung kehidupan.
"Mas. Ayolah! Jangan begini! Mas harus kuat!" Filza memberi semangat yang hanya memperkuat suaminya tiga puluh persen.
Pagi ini Satria berangkat kerja dengan lesu. Di kantor tidak seperti biasanya. Hampir semua bekerja dengan kerutan di kening mereka. Mungkin takut dimarahi Satria dan berimbas pada gaji mereka. Satria menuju ruangannya. Tidak disangka, ada seorang duluan yang masuk ke ruangan pribadinya itu.
"Assalamu'alaikum." Satria memberi salam.
"Wa'alaikumsalam. Saya ingin bicara penting dengan Anda." Seorang dengan jas rapi, jelas menunjukkan posisinya bukan sembarangan.
Mereka bicara, s
Filza mondar-mandir menunggu kedatangan Satria. Pandangannya dari tadi tidak tenang, walaupun Abidah sudah tidur. Setelah dua jam dari perginya Satria tadi, telepon Filza berdering. Buru-buru dia mengangkatnya saat membaca "suamiku" di layar ponsel."Assalamu'alaikum. Gimana, Mas?" Filza buru-buru tanya keadaan Biha."Tante sudah meninggal." Mendengar itu, siapa yang tidak kaget?"Inna lillahi wa Inna ilaihi raji'un."Gak lama setelah itu, Filza sudah sampai di tempat kejadian. Menemui Satria yang tengah berbincang dengan seorang polisi."Mas, gimana kejadiannya? Kenapa bisa gini?" Tanya Filza setelah perbincangan Satria dengan seorang polisi selesai."Waktu aku datang, tante sudah meninggal. Di dalam gudang itu, ada bengkak di keningnya." Jelas Satria.Filza memegangi kedua pundak Satria. Suaminya itu masih terkejut, tidak heran mereka menangis. Apalagi Biha sudah dianggap sebagai ibu Satria sendiri. Kepergiannya meninggalkan luka da
Walau sudah sehari, Satria sama sekali tidak mau bertanya tentang Filza. Mungkin apa yang Filza alami atau apapun pertanyaan itu, di seakan tidak peduli. Filza bisa apa? Cuma karena Abidah. Filza mengingat dengan jelas. Tidak lama lagi hari ulang tahun Abidah. Setidaknya Filza mencoba untuk memberikan sesuatu walau anaknya masih tidak bisa berucap dengan benar kata "terima kasih" tapi Filza berharap Satria tidak melupakan itu.Sepulang mengajar, Filza sudah siap dengan sesuatu di tangannya. Dia ingin menunjukkan benda yang baru dibelinya itu pada Satria. Jadilah Filza menemui Satria di ruang kerjanya. Dia meletakkan benda itu di atas meja. Kepala Satria yang tadinya menunduk, sekarang mulai diangkat."Mas, ini aku beli untuk Abidah. Sekarang dia ulang tahun. Kamu gak lupa, kan?" Muka Filza berseri-seri."Apapun yang mau Kamu lakukan, lakukan di luar ruangan kerjaku! Jangan ganggu aku!" Tegas Satria yang sedikit menyinggung Filza.Sudahlah, tidak ada gunan
"Dari mana Kamu? Sudah tau ada Abidah di sini, Kamu masih aja keluyuran." Satria ketus saat Filza baru saja datang."Maaf, Mas. Tadi aku jenguk Airin di rumah sakit jiwa." Jawab Filza jujur."Rumah sakit jiwa?" Satria masih bingung. Beberapa detik setelah itu, "tunggu! Kenapa Kamu ke sana?""Aku cuma kasian sama dia."Seseorang mengetuk pintu rumah Satria. Beberapa kali hingga Filza yang membuka pintunya. Salam dari orang tersebut dijawab Filza. Tidak lama setelah itu, orang tersebut sudah duduk sopan di ruang tamu. Satria muncul saat Filza baru saja memanggilnya."Loh? Andi?" Satria langsung mengenali sosok teman lamanya itu."Nah. Rupanya masih ingat. Baguslah kalau begitu." Seorang yang bernama Andi tersebut berdiri, bersalaman dengan Satria.Sudah beberapa jam dari saat itu. Filza mengantuk. Pastilah dia menuju ke kamar. Tapi saat sampai di meja kecil yang tepat berada di dekat televisi, di atasnya terdapat selembar undangan. Kare
"Kamu gak papa?" Tanya Satria cemas."Ahamdulillah, aku gak papa, kok," Filza suka Satria mencemaskan dirinya.Sedetik setelah itu, Satria menyadari apa yang baru saja dia lakukan telah menunjukkan rasa perhatiannya. Dengan langkah kikuk, Satria kembali ke ruang kerjanya. Tanpa melihat sekalipun ke arah Filza lagi.***Kadaan Filza makin memburuk. Bahkan dia sampai tidak mampu memasak serajin biasanya. Filza hari ini cuma memasak lauk pauk sederhana. Dia merasa harus menjaga kesehatannya. Siapa bilang Satria tidak memerhatikan perkembangannya? Dia bahkan sekarang pulang sambil membawa sekantung yang entah apa isinya.Diletakkannya kantung misterius itu di meja makan. Filza menoleh. Jarang sekali Satria masuk ke dapur. Tidak mau kehilangan kesempatan untuk berbincang dengan suaminya, Filza berbalik badan."Mas belum makan? Ayo makan di sini dulu! Maaf aku cuma bisa masak ini," ucap Filza.Tanpa menjawab Filza, Satria duduk, sambil mera
Tidak menunggu lama, Satria dan Filza sudah sampai di ruangan asing di mana mereka tengah berbincang dengan seorang wanita yangengenakan jas putih bersih. Perbincangan mereka serius sekali. Hingga akhirnya selesai, mereka kembali ke rumah."Makanya, lain kali jaga kesehatanmu!" Ucap Satria sedikit kesal pada Filza."Iya-""Jangan cuma bilang iya. Lakukan!" Satria sedikit membentak.Keadaan hening setelah suara bentakan Satria.Pagi, Filza merasa keadaannya sudah jauh membaik. Padahal masih kemarin dia ke dokter. Dicarinya seragam mengajarnya yang selau dia letakkan di lemari. Anehnya setelah dicari, seragam itu tak kunjung ditemukan. Filza mengerutkan kening, bingung di mana seragamnya. Siapa yang bisa ditanyai selain Satria?"Mas, tau seragam aku, gak?" Filza menghampiri Satria di ruang keluarga."Gak tau," singkat sekali."Di mana, ya?" Filza berputar-putar sekitar sana mencari mungkin saja seragamnya jatuh saat dia mengangka
Filza hanya mengangguk. Lalu melanjutkan makannya. Satria yang sudah kesal, menuju ruang keluarga, santai-santai di sana. Tak lama setelah itu, kopi buatan Filza sudah datang. Disusul dengan istrinya yang duduk di samping dia. Belum sampai lima menit Filza duduk, ponselnya berdering. Dia angkat ponsel itu dan menemukan nomor asing tertera di layarnya."Assalamu'alaikum. Ini siapa?" Filza langsung mengangkat."Aku Soni, simpan nomorku, ya!" Suara telepon itu ternyata suara temannya."Oh, iya iya. Tau darimana nomorku?" Filza basa-basi."Dari mama Kamu," perbincangan itu terus-menerus hingga membuat Satria heran.Satria terus menatap istrinya yang senyum-senyum sambil bicara lewat ponsel. Dia berusaha mencari tahu siapa yang berbincang dengan istrinya. Hingga telepon itu diakhiri, Satria tetap dalam posisi yang sama."Siapa tadi?" Satria seperti menginterogasi saja."Soni, Mas-""Buat apa nelpon?" Satria mengerutkan kening.
Filza tersenyum, berharap Satria tidak marah. Sementara Satria sendiri cuma diam. Sebenarnya dia kesal, tapi mau dikata apa? Dia gengsi mau bilang kalau dia cemburu. Ditambah lagi dia yang sebenarnya masih membenci Filza. Tidak mungkin dia mengatakan kalau dia tidak suka dengan ucapan Jihan tadi.Sampai di rumah, Satria tidak mau bicara sepatah katapun pada Filza. Dia cuma diam dengan muka kesal. Filza sudah menebak apa yang ada di kepala Satria. Masa iya dia membiarkan suaminya ngambek? Filza mendekat, duduk di samping Satria yang saat ini tengah memerhatikan acara lawak televisi."Mas, Mas kenapa?" Tanya Filza seolah tidak tahu apapun."Kamu bodoh, ya? Gitu aja masih nanya," Satria malah tambah kesal."Mas cemburu?" Filza berharap jawabannya adalah iya."I-" belum menyelesaikan kata-katanya, Satria menyadari kalau dia membenci Filza."Gak!" Satria mengganti huruf depannya.Filza jadi sedih. Dia mengerucutkan bibirnya dua sentimeter
"Udahlah! Kamu itu bukan anak kecil lagi. Jadi masuk kamar Kamu sekarang!" Perintah Satria keras. Mana bisa Filza menolak perintah itu? Alhasil istrinya menuju kamar dengan langkah terpaksa. Sesekali pandangannya melayang ke arah dapur yang gelap, bergidik ngeri. Satria yang memerhatikan dia cuma menggelengkan kepala lalu bergegas masuk kamar juga. Jadilah Filza semalaman sulit tidur. Satria yang jelas-jelas tidur nyenyak tidak tahu penderitaan Filza. Pagi ini Satria semangat sekali. Ada sesuatu yang membuat dia girang. Pagi-pagi buta dia berangkat. Bahkan tidak pamit terlebih dulu pada istrinya. Hingga lama setelah itu, Filza cemas karena Satria tak kunjung pulang. Dia mana dia? Filza mondar-mandir di depan pintu masuk rumahnya, berharap Satria cepat pulang. Ditelepon berkali-kali tidak ada jawaban. Berkali-kali Filza mengirim pesan tapi satupun tidak dibalas. Di tengah kecemasannya itu, terlihatlah motor dengan Satria yang mengendarainya. Filza langsung men
Mulutnya tertutup rapat. Tentu saja pertanyaan Qirana tidak bisa dijawabnya. Sudahlah, aku akan kembali bekerja.” Abidah bermaksud menghindari percakapan lebih lanjut.Tepat saat Abidah sampai di lantai dasar kantor saat jam bekerjanya berakhir, terdengar gemericik air yang dengan cepat berubah menjadi hujan deras. Abidah menghembuskan napas berat dan secepatnya berlari menghampiri angkot yang biasanya. Dari jendela angkot dia melihat Bayu tengah mengobrol bersama seorang wanita, kira-kira seusia dirinya.“Oh, sudah punya pacar ya? Tapi, sepertinya Wanita itu tidak asing.” tebak Abidah sembarangan. Angkot itu melaju tidak peduli sepasang mata Abidah yang masih terpaku melihat dua orang di seberang jalan.Malam, Abidah baru saja sampai di rumah. Sudah satu jam setengah dia habiskan untuk membeli makan malam. Baru saja mengucap salam dan membuka pintu, raut wajahnya yang datar tiba-tiba terkejut. “Sandra?”Wanita itu duduk di sofa tepat di samping Filza. Abidah memeluknya erat. Sandra t
Seorang pria yang bertugas sebagai mc memulai tugasnya. Diawali pembukaan, sambutan dari pemilik acara itu, dilanjutkan dengan lain sebagaimnya. Uniknya, dalam suatu kesempatan, diadakan sesi tanya jawab, tentu itu hanya untuk memeriahkan pesta saja.“kamu punya pacar?” Pertanyaan itu dilontarkan seorang wanita yang usianya hampir sama seperti Filza. Namanya Aminah, ibunda dari Bayu sendiri.Sontak semua orang yang ada di pesta itu melihat ke arah pintu masuk. Aminah datang dengan sebuah kotak indah yang dia pegang. Senyumannya masih belum memudar. Tiga detik kemudian Lila datang dan langsung memberikan bingkisan kecil kepada Bayu.“Selamat ulang tahun Kakakku yang tampan!” Teriak Lila yang membuat Aminah langsung menempelkan jari telunjuk di depan bibir sambil memanggilnya lembut.“Lila ….” Gadis remaja itu nyengir. Sadar kalau semua mata tengah menatapnya.“Buka dong!” Lila meletakkan kedua tangannya di belakang badan. Menunjuk bingkisan itu dengan isyarat kedua alisnya.Menuruti pe
Suara ketikan terdengar hampir di semua meja di sekeliling Abidah. Gadis itu tampak tidak peduli, melanjutkan Langkah ke meja kerjanya. Sesaat kemudian terdengar suara mesin pencetak yang tengah bekerja mencetak file penting. Di antara kesibukan orang-orang di sana, dia melihat Bayu yang tengah melintas. “Dia lagi.” Gumam Abidah tidak suka. Abidah merasa aneh saat teman-teman kerjanya malah memberikan sapaan sopan kepada Bayu, tampak seperti menyapa atasan mereka. Abidah berpikir untuk apa mereka memberi sapaan begitu sopan pada orang seketus Bayu. Gadis itu hanya tidak mengerti siapa sebenarnya Bayu. “Eh, Kamu ini, bersikaplah sopan pada Pak Bos! Kamu malah memandanginya begitu.” Qirana menyenggol lengan gadis itu. “Pak Bos?” Tanya Abidah bingung. “Iya. Oh, Kamu mungkin belum tahu. Beliau itu pemilik perusahaan ini.” Penjelasan Qirana membuat Abidah sedikit kaget. “Apa?” Abidah masih tidak percaya. Alih-alih menjawab, Qirana hanya mengangguk lalu pergi. Abidah masih sedikit ter
Jantungnya berdegup kencang, dia gugup. Seorang wanita berdiri karena mendengar namanya dipanggil. Lalu wanita tersebut masuk ke ruangan yang memang membuat gugup orang-orang di hadapannya. Abidah mengangkat ponselnya hingga layar dari ponsel itu menyala. Ternyata sudah satu jam dia menunggu gilirannya tiba.Singkatnya, hari demi hari berlalu hingga pada suatu malam, Abidah baru saja pulang dari pusat perbelanjaan. Dia membeli benda-benda yang mugkin akan membantunya dalam bekerja di perusahaan itu. Ya, dia diterima bekerja di sana. Filza mengusap-usap pundak Abidah sambil tersenyum.***Mukena itu baru saja dilipat rapi oleh pemiliknya. Tidak menunggu waktu lama, Abidah sudah siap dengan pakaian yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Dia berdiri di depan cermin sambil memandangi penampilan barunya. Terdengar suara pintu dibuka.“Apa mama harus selalu mengingatkanmu agar berangkat lebih awal? Mau sampai kapan?” Tanya Filza dengan setengah senyum.Abidah meraih tas di atas ranjang lal
“Tapi, ngapain Kamu tanya itu?” Abidah sedikit heran.“Enggak papa, Cuma penasaran aja.” Hana cemas melihat tatapan Abidah yang masih mengisyaratkan kebingungan.“Bayu itu temanku sejak kecil. Jadi gak salah kan, kalau aku tanya soal itu?” Hana berusaha meyakinkan Abidah bahwa itu bukan pertanyaan aneh.Benar saja, Abidah menangguk tanda setuju. Tidak lama setelah itu Abidah memutuskan untuk pulang. Di sisi lain, di rumahnya Bayu memofuskan pandangannya pada layer televisi sambil menikmati kopi hangat buatannya sendiri. Ruangan itu terlihat sepi karena memang hanya Bayu yang tinggal di sana. Di usianya yang masih muda, dia bisa membangun rumah masa depannya. Rumah itu dia persiapkan untuk masa tuanya yang rencananya akan dihuni bersama istri dan anak-anaknya kelak. Sayangnya sampai sekarang dia masih jomblo.Berita di televisi menghentikan pergerakan tangannya yang tengah memegang cangkir kopi. Berita tentang pengusaha sukses yang ditipu rekan kerjanya sendiri. Pengusaha sukses yang d
Salah satu tangan Abidah berhasil menarik perhatian Bayu. Dengan cekatan Bayu meraih tangan gadis itu dan memegangnya erat. Tangan kirinya berhasil memeluk batu besar, berusaha bertahan dari arus sungai.“Tolong! Tolong! Tolong!” Teriak Bayu berharap ada yang mendengar.Dua orang pria dan seorang wanita yang tidak sengaja lewat di dekat sungai mendengar teriakan Bayu. Mereka langsung mendekat ke arah sungai. Melihat Bayu yang tengah kesulitan, dua pria itu mulai turun ke sungai, sementara wanita itu hanya bisa berdiri cemas di tepi sungai. Usaha mereka membuahkan hasil. Bayu dan Abidah berhasil keluar dari sungai dibantu dua pria tadi. Bayu berusaha menyadarkan Abidah yang masih pingsan. Abidah terbatuk, dia mulai sadar. Matanya menangkap wajah cemas Bayu dan yang lain.“Bagaimana? Kamu tidak apa-apa?” Tanya Bayu.Abidah belum sempat menjawab, “kita bawa saja Abidah ke rumah Nenek Arini.” Kata wanita di samping Bayu.Tidak menunggu Abidah menjawab pertanyaannya, Bayu mulai berbalik ba
Tidak lama setelah itu, Abidah muncul sambil membawa tiga cangkir teh hangat yang baru dia buat. Meletakkan secangkir teh di hadapan Bayu. Abidah duduk di samping Arini, ikut bergabung dalam percakapan. Bayu mulai menyeruput teh sampai akhirnya Abidah membuka pembicaraan.“Nek, kenapa Nenek tidak beli obat saja? Kenapa mesti capek-capek meracik sendiri?” Tanya Abidah heran.“Itu obat herbal racikan sendiri. Nenek tidak punya uang untuk membeli obat di apotek. Lagian, nenek masih ingin mengikuti tradisi desa ini, yaitu meracik obat herbal sendiri. Itu sudah dilakukan di desa ini dari dulu.” Jawan Arini santai.“Nek, kalau Nenek butuh obat, Nenek bisa panggil saya. Saya akan belikan obat untuk Nenek, jangan khawatir tentang biayanya.” Bayu menimpali.Abidah sedikit terkejut. Ternyata pria dingin dan kaku seperti Bayu juga punya sisi baik dalam dirinya.“Terimakasih atas perhatianmu, Nak. Kamu memang pria yang baik.” Arini tersenyum penuh arti.***Abidah tengah membantu Arini memasak.
Mereka melanjutkan jalan. Abidah memerhatikan sekelilingnya. Sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka dan angin yang kadang berhembus. Karena Bayu yang daritadi belum berhenti, Abidah malah berpikir negatif. Dia takut kalau ternyata Bayu menipunya.“Kenapa belum sampai-sampai?” Tanya Abidah, sedikit takut.“Diam dan ikuti saja.” Jawab Bayu dingin.“Kamu gak lagi nipu aku, kan? Jangan macam-macam ya!” Abidah semakin merasa takut tanpa alasan.“Itu ide bagus,” balas Bayu tanpa melihat ke arah Abidah sedikitpun.Abidah mendengus. Bayu mulai mendengar suara aliran air, dia tahu ada sungai di sekitar sini. Tanpa ragu dia mulai mendekat. Abidah terpesona melihat pemandangan di depannya. Aliran air yang bersih dan jernih, sampai terlihat dasarnya yang berisi bebatuan. Abidah mendekat ke arah aliran air tersebut.“Airnya jernih sekali,” ucap Abidah sambil menoleh ke belakang, ke arah Bayu yang tadi sempat tertinggal. Abidah kaget karena Bayu tidak ada di belakangnya.“Bayu!” Abidah me
Mata Abidah menyelidik, berusaha mencari tahu apa yang terjadi, membuat Hana makin menyembunyikan wajahnya. Merasa Hana sedang tidak ingin diganggu, Abidah berpaling ke arah luar. Terlihat Laili berdiri tegak di pintu kelas. Gadis kecil itu berhasil menemukan apa yang dia cari. Abidah menghampirinya, mengajaknya duduk di kursi kayu dekat dengan ruang kelas tiga.“Bagaimana hari-harimu di panti?’” Tanya Abidah lembut.“Sepi,” jawab Laili masih dengan muka imutnya.“Eh, kenapa sepi?” Tanya Abidah heran.“Gak ada Kakak cantik,” Laili tersenyum manis. Gadis kecil tersebut mulai terbiasa memanggil Abidah dengan sebutan Kakak Cantik.Abidah ikut tertawa sambil mengacak-acak pelan kepala Laili. Sekejap setelah itu, seorang pria paruh baya melintas di depan sekolah sambil mendorong gerobak. Abidah mengejar pria itu, hingga berhasil membuat gerobak tersebut berhenti. Abidah memanggil Laili. Masih dengan wajah polos, laili berlari ke arah Abidah.“Pak, bakso dua porsi.” Pesan Abidah yang langsu