"Dari mana Kamu? Sudah tau ada Abidah di sini, Kamu masih aja keluyuran." Satria ketus saat Filza baru saja datang.
"Maaf, Mas. Tadi aku jenguk Airin di rumah sakit jiwa." Jawab Filza jujur.
"Rumah sakit jiwa?" Satria masih bingung. Beberapa detik setelah itu, "tunggu! Kenapa Kamu ke sana?"
"Aku cuma kasian sama dia."
Seseorang mengetuk pintu rumah Satria. Beberapa kali hingga Filza yang membuka pintunya. Salam dari orang tersebut dijawab Filza. Tidak lama setelah itu, orang tersebut sudah duduk sopan di ruang tamu. Satria muncul saat Filza baru saja memanggilnya.
"Loh? Andi?" Satria langsung mengenali sosok teman lamanya itu.
"Nah. Rupanya masih ingat. Baguslah kalau begitu." Seorang yang bernama Andi tersebut berdiri, bersalaman dengan Satria.
Sudah beberapa jam dari saat itu. Filza mengantuk. Pastilah dia menuju ke kamar. Tapi saat sampai di meja kecil yang tepat berada di dekat televisi, di atasnya terdapat selembar undangan. Kare
"Kamu gak papa?" Tanya Satria cemas."Ahamdulillah, aku gak papa, kok," Filza suka Satria mencemaskan dirinya.Sedetik setelah itu, Satria menyadari apa yang baru saja dia lakukan telah menunjukkan rasa perhatiannya. Dengan langkah kikuk, Satria kembali ke ruang kerjanya. Tanpa melihat sekalipun ke arah Filza lagi.***Kadaan Filza makin memburuk. Bahkan dia sampai tidak mampu memasak serajin biasanya. Filza hari ini cuma memasak lauk pauk sederhana. Dia merasa harus menjaga kesehatannya. Siapa bilang Satria tidak memerhatikan perkembangannya? Dia bahkan sekarang pulang sambil membawa sekantung yang entah apa isinya.Diletakkannya kantung misterius itu di meja makan. Filza menoleh. Jarang sekali Satria masuk ke dapur. Tidak mau kehilangan kesempatan untuk berbincang dengan suaminya, Filza berbalik badan."Mas belum makan? Ayo makan di sini dulu! Maaf aku cuma bisa masak ini," ucap Filza.Tanpa menjawab Filza, Satria duduk, sambil mera
Tidak menunggu lama, Satria dan Filza sudah sampai di ruangan asing di mana mereka tengah berbincang dengan seorang wanita yangengenakan jas putih bersih. Perbincangan mereka serius sekali. Hingga akhirnya selesai, mereka kembali ke rumah."Makanya, lain kali jaga kesehatanmu!" Ucap Satria sedikit kesal pada Filza."Iya-""Jangan cuma bilang iya. Lakukan!" Satria sedikit membentak.Keadaan hening setelah suara bentakan Satria.Pagi, Filza merasa keadaannya sudah jauh membaik. Padahal masih kemarin dia ke dokter. Dicarinya seragam mengajarnya yang selau dia letakkan di lemari. Anehnya setelah dicari, seragam itu tak kunjung ditemukan. Filza mengerutkan kening, bingung di mana seragamnya. Siapa yang bisa ditanyai selain Satria?"Mas, tau seragam aku, gak?" Filza menghampiri Satria di ruang keluarga."Gak tau," singkat sekali."Di mana, ya?" Filza berputar-putar sekitar sana mencari mungkin saja seragamnya jatuh saat dia mengangka
Filza hanya mengangguk. Lalu melanjutkan makannya. Satria yang sudah kesal, menuju ruang keluarga, santai-santai di sana. Tak lama setelah itu, kopi buatan Filza sudah datang. Disusul dengan istrinya yang duduk di samping dia. Belum sampai lima menit Filza duduk, ponselnya berdering. Dia angkat ponsel itu dan menemukan nomor asing tertera di layarnya."Assalamu'alaikum. Ini siapa?" Filza langsung mengangkat."Aku Soni, simpan nomorku, ya!" Suara telepon itu ternyata suara temannya."Oh, iya iya. Tau darimana nomorku?" Filza basa-basi."Dari mama Kamu," perbincangan itu terus-menerus hingga membuat Satria heran.Satria terus menatap istrinya yang senyum-senyum sambil bicara lewat ponsel. Dia berusaha mencari tahu siapa yang berbincang dengan istrinya. Hingga telepon itu diakhiri, Satria tetap dalam posisi yang sama."Siapa tadi?" Satria seperti menginterogasi saja."Soni, Mas-""Buat apa nelpon?" Satria mengerutkan kening.
Filza tersenyum, berharap Satria tidak marah. Sementara Satria sendiri cuma diam. Sebenarnya dia kesal, tapi mau dikata apa? Dia gengsi mau bilang kalau dia cemburu. Ditambah lagi dia yang sebenarnya masih membenci Filza. Tidak mungkin dia mengatakan kalau dia tidak suka dengan ucapan Jihan tadi.Sampai di rumah, Satria tidak mau bicara sepatah katapun pada Filza. Dia cuma diam dengan muka kesal. Filza sudah menebak apa yang ada di kepala Satria. Masa iya dia membiarkan suaminya ngambek? Filza mendekat, duduk di samping Satria yang saat ini tengah memerhatikan acara lawak televisi."Mas, Mas kenapa?" Tanya Filza seolah tidak tahu apapun."Kamu bodoh, ya? Gitu aja masih nanya," Satria malah tambah kesal."Mas cemburu?" Filza berharap jawabannya adalah iya."I-" belum menyelesaikan kata-katanya, Satria menyadari kalau dia membenci Filza."Gak!" Satria mengganti huruf depannya.Filza jadi sedih. Dia mengerucutkan bibirnya dua sentimeter
"Udahlah! Kamu itu bukan anak kecil lagi. Jadi masuk kamar Kamu sekarang!" Perintah Satria keras. Mana bisa Filza menolak perintah itu? Alhasil istrinya menuju kamar dengan langkah terpaksa. Sesekali pandangannya melayang ke arah dapur yang gelap, bergidik ngeri. Satria yang memerhatikan dia cuma menggelengkan kepala lalu bergegas masuk kamar juga. Jadilah Filza semalaman sulit tidur. Satria yang jelas-jelas tidur nyenyak tidak tahu penderitaan Filza. Pagi ini Satria semangat sekali. Ada sesuatu yang membuat dia girang. Pagi-pagi buta dia berangkat. Bahkan tidak pamit terlebih dulu pada istrinya. Hingga lama setelah itu, Filza cemas karena Satria tak kunjung pulang. Dia mana dia? Filza mondar-mandir di depan pintu masuk rumahnya, berharap Satria cepat pulang. Ditelepon berkali-kali tidak ada jawaban. Berkali-kali Filza mengirim pesan tapi satupun tidak dibalas. Di tengah kecemasannya itu, terlihatlah motor dengan Satria yang mengendarainya. Filza langsung men
Bukan seperti yang dibilang Satria tadi, dia malah menarik Filza ke dalam warung. Lantas membuat Filza heran."Katanya ke lahan situ," ucap Filza sedikit tak suka."Gak boleh!" Jawab Satria ketus.Lalu menghampiri penjaga toko. Ternyata penjaga toko tersebut sudah menikah hingga ada istrinya di sana. Mulailah Satria bicara entah apa. Lalu kembali sambil membawa pakaian entah milik siapa"Ayo ganti pakaianmu! Ini aku pinjem dari mereka," ucap Satria santai."Ih!" Filza kesal tetapi tetap meraih pakaian itu, ditemani Satria mengganti pakaian di kamar mandi sana.Saat Filza sudah masuk toilet, Satria yang tadinya mau ikut masuk, Filza malah menghentikan Satria dengan hampir saja menutup total pintu toilet itu hingga spontan Satria berhenti."Gak boleh ikut!" Ucap Filza ketus, lalu menutup pintunya."Siapa juga yang mau masuk," gumam Satria, padahal dia memang tadinya tak sadar hingga hampir sama ikut masuk toilet.Satria ke
Hari mencuci baju memang melelahkan. Kadang-kadang Filza sampai harus menggunakan earphone karena sangking bosannya. Hingga tibalah saat selesai mencuci baju, Filza berpamitan untuk ke rumah ibu dia, merindukan Abidah. Ya, Abidah menginap di sana. Sudah lama sekali rasanya. Padahal baru seminggu Abidah menginap di rumah neneknya, Filza sudah merindukannya.Sepulangnya dari menjemput anaknya, Filza sudah tidak melihat Satria di mana-mana. Benar saja, dia baru sadar kalau Satria mengirimkan pesan padanya sejam yang lalu. Satria yang memulai usahanya dari nol lagi, tentu sangat sibuk. Ditambah lagi kebutuhan anak mereka yang sangat diperhatikan, Satria tidak mau menunda pekerjaan lagi.Kita singkat saja cerita ini menjadi 2 tahun kemudian. Usaha Abidah sudah semakin besar saja. Langkahnya yang imut selalu diperhatikan Satria. Dia jadi menyesal sudah pernah menyakiti Filza saat memandang anaknya itu. Entah mengapa, perasaan Satria mulai stabil. Tentu kebahagiaan tersendiri
Gadis mana yang tidak ingin refresing setelah menempuh pelajaran di kampusnya? Itu yang dirasakan Abidah. Gadis itu pamit pada Filza dan melesat pergi ke mall kesayangannya. Dia tidak suka barang-barang yang terlalu mewah, dia hanya suka beli peralatan tulis. Kecintaannya pada belajar sangat tinggi. Sampailah Abidah di depan sebuah toko besar dengan alat-alat tulis super lengkap di dalamnya. Abidah sedikit ternganga melihat perubahan tata letak pada toko tersebut yang agak sedikit berubah setelah tiga bulan lamanya dia tidak berkunjung. Abidah melangkah mendekati tumpukan pulpen yang ditata rapi. Memerhatikannya saja membuat Abidah ingin segera memilikinya. Dia mulai meraih salah satu pulpen yang ada. Memerhatikannya dengan tatapan gembira layaknya seorang anak kecil yang menemukan mainannya. Brakk! Ada seseorang yang menyenggolnya dari belakang hingga hampir saja tumpukan pulpen itu jatuh. “Eh, maaf, saya tidak sengaja.” Mata mereka bertemu. Abidah tersenyum