Gadis mana yang tidak ingin refresing setelah menempuh pelajaran di kampusnya? Itu yang dirasakan Abidah. Gadis itu pamit pada Filza dan melesat pergi ke mall kesayangannya. Dia tidak suka barang-barang yang terlalu mewah, dia hanya suka beli peralatan tulis. Kecintaannya pada belajar sangat tinggi. Sampailah Abidah di depan sebuah toko besar dengan alat-alat tulis super lengkap di dalamnya. Abidah sedikit ternganga melihat perubahan tata letak pada toko tersebut yang agak sedikit berubah setelah tiga bulan lamanya dia tidak berkunjung. Abidah melangkah mendekati tumpukan pulpen yang ditata rapi. Memerhatikannya saja membuat Abidah ingin segera memilikinya. Dia mulai meraih salah satu pulpen yang ada. Memerhatikannya dengan tatapan gembira layaknya seorang anak kecil yang menemukan mainannya.
Brakk!
Ada seseorang yang menyenggolnya dari belakang hingga hampir saja tumpukan pulpen itu jatuh.
“Eh, maaf, saya tidak sengaja.” Mata mereka bertemu. Abidah tersenyum
Ternyata Alfin sudah ada di ruang tamu. Filza yang sebelumnya mengobrol bersama dengan Alfin, digantikan oleh Abidah. Awalnya mereka canggung untuk memulai obrolan. Namun sejatinya, Abidah bisa dibilang enggan untuk memulai pembicaraan apapun dengan Alfin. Sepertinya berbanding terbalik dengan Alfin yang sangat bahagia dan bersemangat. Pasalnya, sejak pertama kali bertemu dengan Abidah, dia mulai jatuh hati. Apalagi saat dia tahu bahwa wanita yang akan menikah dengannya adalah Abidah. “Bagaimana kabarmu?” Alfin memulai percakapan. “Alhamdulillah. Kamu sendiri?” Abidah basa-basi. “Alhamdulillah baik. Begini, aku ingin mengajakmu pergi, apa boleh?” Alfin masih malu-malu. “Ke mana?” Abidah yang sebelumnya menunduk, kini mengangkat kepala. “Kamu suka nonton film, kan? Ayo pergi! Aku mengajak sepupu perempuanku juga, jadi kita tidak hanya berdua.” Alfin menjelaskan. “Mintalah ijin pada orang tuaku.” Abidah ingin orang tuanya yang memutuskan
Abidah mengangguk tanda mengerti. Dia melanjutkan langkahnya mecari buku yang tepat. Tiba-tiba saja Aisyah datang dengan membawa salah satu novel karangan orang terkenal. Menunjukkannya kepada Abidah. “Kak, ini seru, nih. Aku gak pernah pinjam buku di perpustakaan. Sekarang kalo aku mau pinjam, gimana caranya?” Abidah tersenyum. Dia menjelaskan Langkah-langkah untuk meminjam buku. Mulai dari A sampai Z. Kemudian mereka sampai di tempat parkir. Abidah yang hendak pergi, dihalangi oleh Alfin dengan alasan ingin mengajak Abidah ke Alun-alun kota sebentar, mumpung ada Aisyah pikirnya. Mereka menuju Alun-alun dengan masih sama, Abidah yang menyetir motor. Sementara Alfin sendirian di dalam mobilnya. Sesampainya di sana, mereka berjalan bersama. Karena langkah Abidah dan Alfin yang terkesan santai, Aisyah tidak bisa menahan diri untuk berjalan cepat meninggalkan mereka. Duduk di salah satu bangku taman sambil menikmati cokelat kesukannya. Abidah dan Alfin tinggal berdua di
Motor cantik itu berhenti di depan rumah Abidah. Penumpangnya turun duluan, disusul orang yang menyetir. Abidah membuka pintu rumahnya, setelah tadi mengucapkan terimakasih pada satpam di dekat pagar rumah. Suara salam dari Abidah terdengar sampai ke telinga ibunya. Abidah diikuti Sandra masuk ke dalam rumah. Abidah memersilahkan Sandra duduk di ruang tamu. Filza muncul karena mendengar suara asing. “Ma, kenalin, ini Sandra. Teman baru aku.” Abidah tersenyum. “Assalamu’alaikum.” Sandra bersikap sopan di depan Filza. “Mari, silahkan duduk!” Ajak Filza ramah. Mereka berbincang sebentar sambil menunggu Abidah selesai membuatkan teh untuk Sandra. Teh yang masih hangat itu hadir di tengah-tengah mereka. Sandra lalu mencicipinya sedikit, meletakkan kembali. Tidak ingin bersikap seperti orang yang sangat kehausan. Sejak itu mereka jadi semakin dan semakin dekat. Seringkali mereka berangkat ke kampus bersama. Sering Sandra menjemput Abidah. Begitu pula Abidah
Seperti biasanya, Abidah berangkat ke kampus. Dia terbiasa berangkat lebih awal agar tidak ketinggalan pembelajaran. Jalanan sudah ramai oleh lalu-lalang berbagai bentuk transportasi. Abidah duduk di salah satu bangku taman dalam kampusnya. Dia mulai mengecek ponsel. Siaa tau ada pesan masuk. Satu nama sudah mengirim pesan padanya. Berupa foto. Abidah langsung membuka foto itu. Terlihat di foto itu, seorang lelaki dan perempuan yang tengah jalan berdua sambil bergandengan tangan. Kagetnya, lelaki di foto itu terlihat mirip dengan Alfin. Abidah menajamkan penglihatannya. Berusaha berpikir klau itu bukan Alfin. Dengan cepat menyambar keyboard untuk mengirim pesan kepada teman lamanya itu. Geysha. “Siapa itu? apa maksudnya?” Tulis Abidah pada pesan itu. Tak lama kmeudian, Geysha membalas. “Dia calon suamimu yang tidak tahu diri. Sudah tahu sebentar lagi menikah, masih saja selingkuh.” Abidah terkejut membacanya. “Mana mungkin? Bisa saja Kam
Tepat jam delapan malam, Abidah mengemasi barang-barangnya, bersiap untuk kepergiannya besok ke desa terpencil itu. Dibantu Filza, Abidah mulai memasukkan pakaian-pakaian yang akan dia gunakan selama di sana. Filza juga membawa sejumlah tabungannya untuk dia gunakan nanti jika perlu. Tidak lupa juga membawa alat tulis, buku tulis dan novel. Kebiasaannya menulis dan membaca tidak bisa hilang begitu saja. Di suau kesempatan, Filza memegang erat-erat pundak akan semata wayangnya itu. “Hati-hati di sana ya, Nak.” Raut wajah sedih mulai terpancar dari Filza. “Mama tenang aja, aku bisa jaga diri,” berusaha meyakinkan ibunya. Pagi-pagi sekali, Pak Damar, seseorang yang disewa sebagai supir Abidah untuk menuju ke desa itu sudah bersiap menunggu Abidah di depan rumah tuanya. Tidak lama setelah itu Abidah muncul dengan barang bawaannya. Gadis itu masuk mobil, membuka kaca mobil dan melambaikan tangannya pada kedua orang tuanya. Mobil itu melesat lumayan cepat.
Sontak Abidah menepi, memberikan jalan bagi seorang wanita yang berdiri persis di belakangnya. Wanita itu tersenyum sebentar ke arah Abidah. Perawakannya tidak terlalu tinggi, wajahnya manis pula. Wanita itu mendekat ke ranjang rumah sakit tempat gadis kecil berbaring. Tidak disangka, ternyata wanita itu seorang perawat. Menyadari ruangan itu perlahan kembali sesak dengan banyaknya orang yang ingin melihat gadis kecil itu, Abidah keluar dari sana. Jujur saja dia sudah tidak tahan dengan pengap dalam ruangan itu. Tepat saat Abidah sampai di teras rumah sakit, ponselnya berdering. Ibunya menelpon. Butuh waktu lima belas menit sebelum akhirnya telepon itu diputus Filza. Tentu saja, nurani seorang ibu selalu merindukan anaknya. Abidah berjalan menjauh dari rumah sakit itu. Ada satu bangunan lagi yang menarik perhatiannya. Bangunan sederhana, tapi ramai anak-anak di sana. Abidah mendekat ke arah bangunan itu. Terlihat dari kejauhan aktivitas di dalamnya. Makin Abidah mendekat, makin pula d
“Hana?” Abidah memastikan kalau Hana masih sadar, pasalnya, gadis itu masih terlihat murung.‘Eh, iya. Ayo lanjut jalan!” hana memerbaiki wajah murungnya.Di pandangan Abidah masjid ini sederhana, tapi nyaman. Hatinya makin tenang setelah memasuki masjid. Memang tidak seluas masjid di kota, tapi tetap saja, suasananya menyejukkan. Abidah langsung menuju tempat solat bagi wanita. Beberapa wanita di sana tersenyum pada Abidah, sudah mulai mengenal Abidah.Selesai solat, Abidah dan Hana berpisah saat mereka berada di depan rumah Arini. Abidah mengucapkan salam, lalu masuk rumah. Salam itu dijawab Hana sambil gadis tersebut memandang Abidah hingga tidak terlihat di balik pintu. Wajah murungnya kembali muncul.Bau harum mulai menyeruak ke segala sudut dalam rumah itu. Abidah sudah lumayan bisa memasak, rasanya juga lumayan. Abidah menyiapkan obat yang harus di minum Arini. Meletakkan obat itu di samping piring Arini. Dibalas senyuman oleh Arini. Abidah meminta ijin untuk pergi ke warung ya
Mata Abidah menyelidik, berusaha mencari tahu apa yang terjadi, membuat Hana makin menyembunyikan wajahnya. Merasa Hana sedang tidak ingin diganggu, Abidah berpaling ke arah luar. Terlihat Laili berdiri tegak di pintu kelas. Gadis kecil itu berhasil menemukan apa yang dia cari. Abidah menghampirinya, mengajaknya duduk di kursi kayu dekat dengan ruang kelas tiga.“Bagaimana hari-harimu di panti?’” Tanya Abidah lembut.“Sepi,” jawab Laili masih dengan muka imutnya.“Eh, kenapa sepi?” Tanya Abidah heran.“Gak ada Kakak cantik,” Laili tersenyum manis. Gadis kecil tersebut mulai terbiasa memanggil Abidah dengan sebutan Kakak Cantik.Abidah ikut tertawa sambil mengacak-acak pelan kepala Laili. Sekejap setelah itu, seorang pria paruh baya melintas di depan sekolah sambil mendorong gerobak. Abidah mengejar pria itu, hingga berhasil membuat gerobak tersebut berhenti. Abidah memanggil Laili. Masih dengan wajah polos, laili berlari ke arah Abidah.“Pak, bakso dua porsi.” Pesan Abidah yang langsu