Abidah mengangguk tanda mengerti. Dia melanjutkan langkahnya mecari buku yang tepat. Tiba-tiba saja Aisyah datang dengan membawa salah satu novel karangan orang terkenal. Menunjukkannya kepada Abidah.
“Kak, ini seru, nih. Aku gak pernah pinjam buku di perpustakaan. Sekarang kalo aku mau pinjam, gimana caranya?” Abidah tersenyum.
Dia menjelaskan Langkah-langkah untuk meminjam buku. Mulai dari A sampai Z. Kemudian mereka sampai di tempat parkir. Abidah yang hendak pergi, dihalangi oleh Alfin dengan alasan ingin mengajak Abidah ke Alun-alun kota sebentar, mumpung ada Aisyah pikirnya. Mereka menuju Alun-alun dengan masih sama, Abidah yang menyetir motor. Sementara Alfin sendirian di dalam mobilnya. Sesampainya di sana, mereka berjalan bersama. Karena langkah Abidah dan Alfin yang terkesan santai, Aisyah tidak bisa menahan diri untuk berjalan cepat meninggalkan mereka. Duduk di salah satu bangku taman sambil menikmati cokelat kesukannya. Abidah dan Alfin tinggal berdua di
Motor cantik itu berhenti di depan rumah Abidah. Penumpangnya turun duluan, disusul orang yang menyetir. Abidah membuka pintu rumahnya, setelah tadi mengucapkan terimakasih pada satpam di dekat pagar rumah. Suara salam dari Abidah terdengar sampai ke telinga ibunya. Abidah diikuti Sandra masuk ke dalam rumah. Abidah memersilahkan Sandra duduk di ruang tamu. Filza muncul karena mendengar suara asing. “Ma, kenalin, ini Sandra. Teman baru aku.” Abidah tersenyum. “Assalamu’alaikum.” Sandra bersikap sopan di depan Filza. “Mari, silahkan duduk!” Ajak Filza ramah. Mereka berbincang sebentar sambil menunggu Abidah selesai membuatkan teh untuk Sandra. Teh yang masih hangat itu hadir di tengah-tengah mereka. Sandra lalu mencicipinya sedikit, meletakkan kembali. Tidak ingin bersikap seperti orang yang sangat kehausan. Sejak itu mereka jadi semakin dan semakin dekat. Seringkali mereka berangkat ke kampus bersama. Sering Sandra menjemput Abidah. Begitu pula Abidah
Seperti biasanya, Abidah berangkat ke kampus. Dia terbiasa berangkat lebih awal agar tidak ketinggalan pembelajaran. Jalanan sudah ramai oleh lalu-lalang berbagai bentuk transportasi. Abidah duduk di salah satu bangku taman dalam kampusnya. Dia mulai mengecek ponsel. Siaa tau ada pesan masuk. Satu nama sudah mengirim pesan padanya. Berupa foto. Abidah langsung membuka foto itu. Terlihat di foto itu, seorang lelaki dan perempuan yang tengah jalan berdua sambil bergandengan tangan. Kagetnya, lelaki di foto itu terlihat mirip dengan Alfin. Abidah menajamkan penglihatannya. Berusaha berpikir klau itu bukan Alfin. Dengan cepat menyambar keyboard untuk mengirim pesan kepada teman lamanya itu. Geysha. “Siapa itu? apa maksudnya?” Tulis Abidah pada pesan itu. Tak lama kmeudian, Geysha membalas. “Dia calon suamimu yang tidak tahu diri. Sudah tahu sebentar lagi menikah, masih saja selingkuh.” Abidah terkejut membacanya. “Mana mungkin? Bisa saja Kam
Tepat jam delapan malam, Abidah mengemasi barang-barangnya, bersiap untuk kepergiannya besok ke desa terpencil itu. Dibantu Filza, Abidah mulai memasukkan pakaian-pakaian yang akan dia gunakan selama di sana. Filza juga membawa sejumlah tabungannya untuk dia gunakan nanti jika perlu. Tidak lupa juga membawa alat tulis, buku tulis dan novel. Kebiasaannya menulis dan membaca tidak bisa hilang begitu saja. Di suau kesempatan, Filza memegang erat-erat pundak akan semata wayangnya itu. “Hati-hati di sana ya, Nak.” Raut wajah sedih mulai terpancar dari Filza. “Mama tenang aja, aku bisa jaga diri,” berusaha meyakinkan ibunya. Pagi-pagi sekali, Pak Damar, seseorang yang disewa sebagai supir Abidah untuk menuju ke desa itu sudah bersiap menunggu Abidah di depan rumah tuanya. Tidak lama setelah itu Abidah muncul dengan barang bawaannya. Gadis itu masuk mobil, membuka kaca mobil dan melambaikan tangannya pada kedua orang tuanya. Mobil itu melesat lumayan cepat.
Sontak Abidah menepi, memberikan jalan bagi seorang wanita yang berdiri persis di belakangnya. Wanita itu tersenyum sebentar ke arah Abidah. Perawakannya tidak terlalu tinggi, wajahnya manis pula. Wanita itu mendekat ke ranjang rumah sakit tempat gadis kecil berbaring. Tidak disangka, ternyata wanita itu seorang perawat. Menyadari ruangan itu perlahan kembali sesak dengan banyaknya orang yang ingin melihat gadis kecil itu, Abidah keluar dari sana. Jujur saja dia sudah tidak tahan dengan pengap dalam ruangan itu. Tepat saat Abidah sampai di teras rumah sakit, ponselnya berdering. Ibunya menelpon. Butuh waktu lima belas menit sebelum akhirnya telepon itu diputus Filza. Tentu saja, nurani seorang ibu selalu merindukan anaknya. Abidah berjalan menjauh dari rumah sakit itu. Ada satu bangunan lagi yang menarik perhatiannya. Bangunan sederhana, tapi ramai anak-anak di sana. Abidah mendekat ke arah bangunan itu. Terlihat dari kejauhan aktivitas di dalamnya. Makin Abidah mendekat, makin pula d
“Hana?” Abidah memastikan kalau Hana masih sadar, pasalnya, gadis itu masih terlihat murung.‘Eh, iya. Ayo lanjut jalan!” hana memerbaiki wajah murungnya.Di pandangan Abidah masjid ini sederhana, tapi nyaman. Hatinya makin tenang setelah memasuki masjid. Memang tidak seluas masjid di kota, tapi tetap saja, suasananya menyejukkan. Abidah langsung menuju tempat solat bagi wanita. Beberapa wanita di sana tersenyum pada Abidah, sudah mulai mengenal Abidah.Selesai solat, Abidah dan Hana berpisah saat mereka berada di depan rumah Arini. Abidah mengucapkan salam, lalu masuk rumah. Salam itu dijawab Hana sambil gadis tersebut memandang Abidah hingga tidak terlihat di balik pintu. Wajah murungnya kembali muncul.Bau harum mulai menyeruak ke segala sudut dalam rumah itu. Abidah sudah lumayan bisa memasak, rasanya juga lumayan. Abidah menyiapkan obat yang harus di minum Arini. Meletakkan obat itu di samping piring Arini. Dibalas senyuman oleh Arini. Abidah meminta ijin untuk pergi ke warung ya
Mata Abidah menyelidik, berusaha mencari tahu apa yang terjadi, membuat Hana makin menyembunyikan wajahnya. Merasa Hana sedang tidak ingin diganggu, Abidah berpaling ke arah luar. Terlihat Laili berdiri tegak di pintu kelas. Gadis kecil itu berhasil menemukan apa yang dia cari. Abidah menghampirinya, mengajaknya duduk di kursi kayu dekat dengan ruang kelas tiga.“Bagaimana hari-harimu di panti?’” Tanya Abidah lembut.“Sepi,” jawab Laili masih dengan muka imutnya.“Eh, kenapa sepi?” Tanya Abidah heran.“Gak ada Kakak cantik,” Laili tersenyum manis. Gadis kecil tersebut mulai terbiasa memanggil Abidah dengan sebutan Kakak Cantik.Abidah ikut tertawa sambil mengacak-acak pelan kepala Laili. Sekejap setelah itu, seorang pria paruh baya melintas di depan sekolah sambil mendorong gerobak. Abidah mengejar pria itu, hingga berhasil membuat gerobak tersebut berhenti. Abidah memanggil Laili. Masih dengan wajah polos, laili berlari ke arah Abidah.“Pak, bakso dua porsi.” Pesan Abidah yang langsu
Mereka melanjutkan jalan. Abidah memerhatikan sekelilingnya. Sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka dan angin yang kadang berhembus. Karena Bayu yang daritadi belum berhenti, Abidah malah berpikir negatif. Dia takut kalau ternyata Bayu menipunya.“Kenapa belum sampai-sampai?” Tanya Abidah, sedikit takut.“Diam dan ikuti saja.” Jawab Bayu dingin.“Kamu gak lagi nipu aku, kan? Jangan macam-macam ya!” Abidah semakin merasa takut tanpa alasan.“Itu ide bagus,” balas Bayu tanpa melihat ke arah Abidah sedikitpun.Abidah mendengus. Bayu mulai mendengar suara aliran air, dia tahu ada sungai di sekitar sini. Tanpa ragu dia mulai mendekat. Abidah terpesona melihat pemandangan di depannya. Aliran air yang bersih dan jernih, sampai terlihat dasarnya yang berisi bebatuan. Abidah mendekat ke arah aliran air tersebut.“Airnya jernih sekali,” ucap Abidah sambil menoleh ke belakang, ke arah Bayu yang tadi sempat tertinggal. Abidah kaget karena Bayu tidak ada di belakangnya.“Bayu!” Abidah me
Tidak lama setelah itu, Abidah muncul sambil membawa tiga cangkir teh hangat yang baru dia buat. Meletakkan secangkir teh di hadapan Bayu. Abidah duduk di samping Arini, ikut bergabung dalam percakapan. Bayu mulai menyeruput teh sampai akhirnya Abidah membuka pembicaraan.“Nek, kenapa Nenek tidak beli obat saja? Kenapa mesti capek-capek meracik sendiri?” Tanya Abidah heran.“Itu obat herbal racikan sendiri. Nenek tidak punya uang untuk membeli obat di apotek. Lagian, nenek masih ingin mengikuti tradisi desa ini, yaitu meracik obat herbal sendiri. Itu sudah dilakukan di desa ini dari dulu.” Jawan Arini santai.“Nek, kalau Nenek butuh obat, Nenek bisa panggil saya. Saya akan belikan obat untuk Nenek, jangan khawatir tentang biayanya.” Bayu menimpali.Abidah sedikit terkejut. Ternyata pria dingin dan kaku seperti Bayu juga punya sisi baik dalam dirinya.“Terimakasih atas perhatianmu, Nak. Kamu memang pria yang baik.” Arini tersenyum penuh arti.***Abidah tengah membantu Arini memasak.