Motor cantik itu berhenti di depan rumah Abidah. Penumpangnya turun duluan, disusul orang yang menyetir. Abidah membuka pintu rumahnya, setelah tadi mengucapkan terimakasih pada satpam di dekat pagar rumah. Suara salam dari Abidah terdengar sampai ke telinga ibunya. Abidah diikuti Sandra masuk ke dalam rumah. Abidah memersilahkan Sandra duduk di ruang tamu. Filza muncul karena mendengar suara asing.
“Ma, kenalin, ini Sandra. Teman baru aku.” Abidah tersenyum.
“Assalamu’alaikum.” Sandra bersikap sopan di depan Filza.
“Mari, silahkan duduk!” Ajak Filza ramah.
Mereka berbincang sebentar sambil menunggu Abidah selesai membuatkan teh untuk Sandra. Teh yang masih hangat itu hadir di tengah-tengah mereka. Sandra lalu mencicipinya sedikit, meletakkan kembali. Tidak ingin bersikap seperti orang yang sangat kehausan. Sejak itu mereka jadi semakin dan semakin dekat. Seringkali mereka berangkat ke kampus bersama. Sering Sandra menjemput Abidah. Begitu pula Abidah
Seperti biasanya, Abidah berangkat ke kampus. Dia terbiasa berangkat lebih awal agar tidak ketinggalan pembelajaran. Jalanan sudah ramai oleh lalu-lalang berbagai bentuk transportasi. Abidah duduk di salah satu bangku taman dalam kampusnya. Dia mulai mengecek ponsel. Siaa tau ada pesan masuk. Satu nama sudah mengirim pesan padanya. Berupa foto. Abidah langsung membuka foto itu. Terlihat di foto itu, seorang lelaki dan perempuan yang tengah jalan berdua sambil bergandengan tangan. Kagetnya, lelaki di foto itu terlihat mirip dengan Alfin. Abidah menajamkan penglihatannya. Berusaha berpikir klau itu bukan Alfin. Dengan cepat menyambar keyboard untuk mengirim pesan kepada teman lamanya itu. Geysha. “Siapa itu? apa maksudnya?” Tulis Abidah pada pesan itu. Tak lama kmeudian, Geysha membalas. “Dia calon suamimu yang tidak tahu diri. Sudah tahu sebentar lagi menikah, masih saja selingkuh.” Abidah terkejut membacanya. “Mana mungkin? Bisa saja Kam
Tepat jam delapan malam, Abidah mengemasi barang-barangnya, bersiap untuk kepergiannya besok ke desa terpencil itu. Dibantu Filza, Abidah mulai memasukkan pakaian-pakaian yang akan dia gunakan selama di sana. Filza juga membawa sejumlah tabungannya untuk dia gunakan nanti jika perlu. Tidak lupa juga membawa alat tulis, buku tulis dan novel. Kebiasaannya menulis dan membaca tidak bisa hilang begitu saja. Di suau kesempatan, Filza memegang erat-erat pundak akan semata wayangnya itu. “Hati-hati di sana ya, Nak.” Raut wajah sedih mulai terpancar dari Filza. “Mama tenang aja, aku bisa jaga diri,” berusaha meyakinkan ibunya. Pagi-pagi sekali, Pak Damar, seseorang yang disewa sebagai supir Abidah untuk menuju ke desa itu sudah bersiap menunggu Abidah di depan rumah tuanya. Tidak lama setelah itu Abidah muncul dengan barang bawaannya. Gadis itu masuk mobil, membuka kaca mobil dan melambaikan tangannya pada kedua orang tuanya. Mobil itu melesat lumayan cepat.
Sontak Abidah menepi, memberikan jalan bagi seorang wanita yang berdiri persis di belakangnya. Wanita itu tersenyum sebentar ke arah Abidah. Perawakannya tidak terlalu tinggi, wajahnya manis pula. Wanita itu mendekat ke ranjang rumah sakit tempat gadis kecil berbaring. Tidak disangka, ternyata wanita itu seorang perawat. Menyadari ruangan itu perlahan kembali sesak dengan banyaknya orang yang ingin melihat gadis kecil itu, Abidah keluar dari sana. Jujur saja dia sudah tidak tahan dengan pengap dalam ruangan itu. Tepat saat Abidah sampai di teras rumah sakit, ponselnya berdering. Ibunya menelpon. Butuh waktu lima belas menit sebelum akhirnya telepon itu diputus Filza. Tentu saja, nurani seorang ibu selalu merindukan anaknya. Abidah berjalan menjauh dari rumah sakit itu. Ada satu bangunan lagi yang menarik perhatiannya. Bangunan sederhana, tapi ramai anak-anak di sana. Abidah mendekat ke arah bangunan itu. Terlihat dari kejauhan aktivitas di dalamnya. Makin Abidah mendekat, makin pula d
“Hana?” Abidah memastikan kalau Hana masih sadar, pasalnya, gadis itu masih terlihat murung.‘Eh, iya. Ayo lanjut jalan!” hana memerbaiki wajah murungnya.Di pandangan Abidah masjid ini sederhana, tapi nyaman. Hatinya makin tenang setelah memasuki masjid. Memang tidak seluas masjid di kota, tapi tetap saja, suasananya menyejukkan. Abidah langsung menuju tempat solat bagi wanita. Beberapa wanita di sana tersenyum pada Abidah, sudah mulai mengenal Abidah.Selesai solat, Abidah dan Hana berpisah saat mereka berada di depan rumah Arini. Abidah mengucapkan salam, lalu masuk rumah. Salam itu dijawab Hana sambil gadis tersebut memandang Abidah hingga tidak terlihat di balik pintu. Wajah murungnya kembali muncul.Bau harum mulai menyeruak ke segala sudut dalam rumah itu. Abidah sudah lumayan bisa memasak, rasanya juga lumayan. Abidah menyiapkan obat yang harus di minum Arini. Meletakkan obat itu di samping piring Arini. Dibalas senyuman oleh Arini. Abidah meminta ijin untuk pergi ke warung ya
Mata Abidah menyelidik, berusaha mencari tahu apa yang terjadi, membuat Hana makin menyembunyikan wajahnya. Merasa Hana sedang tidak ingin diganggu, Abidah berpaling ke arah luar. Terlihat Laili berdiri tegak di pintu kelas. Gadis kecil itu berhasil menemukan apa yang dia cari. Abidah menghampirinya, mengajaknya duduk di kursi kayu dekat dengan ruang kelas tiga.“Bagaimana hari-harimu di panti?’” Tanya Abidah lembut.“Sepi,” jawab Laili masih dengan muka imutnya.“Eh, kenapa sepi?” Tanya Abidah heran.“Gak ada Kakak cantik,” Laili tersenyum manis. Gadis kecil tersebut mulai terbiasa memanggil Abidah dengan sebutan Kakak Cantik.Abidah ikut tertawa sambil mengacak-acak pelan kepala Laili. Sekejap setelah itu, seorang pria paruh baya melintas di depan sekolah sambil mendorong gerobak. Abidah mengejar pria itu, hingga berhasil membuat gerobak tersebut berhenti. Abidah memanggil Laili. Masih dengan wajah polos, laili berlari ke arah Abidah.“Pak, bakso dua porsi.” Pesan Abidah yang langsu
Mereka melanjutkan jalan. Abidah memerhatikan sekelilingnya. Sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka dan angin yang kadang berhembus. Karena Bayu yang daritadi belum berhenti, Abidah malah berpikir negatif. Dia takut kalau ternyata Bayu menipunya.“Kenapa belum sampai-sampai?” Tanya Abidah, sedikit takut.“Diam dan ikuti saja.” Jawab Bayu dingin.“Kamu gak lagi nipu aku, kan? Jangan macam-macam ya!” Abidah semakin merasa takut tanpa alasan.“Itu ide bagus,” balas Bayu tanpa melihat ke arah Abidah sedikitpun.Abidah mendengus. Bayu mulai mendengar suara aliran air, dia tahu ada sungai di sekitar sini. Tanpa ragu dia mulai mendekat. Abidah terpesona melihat pemandangan di depannya. Aliran air yang bersih dan jernih, sampai terlihat dasarnya yang berisi bebatuan. Abidah mendekat ke arah aliran air tersebut.“Airnya jernih sekali,” ucap Abidah sambil menoleh ke belakang, ke arah Bayu yang tadi sempat tertinggal. Abidah kaget karena Bayu tidak ada di belakangnya.“Bayu!” Abidah me
Tidak lama setelah itu, Abidah muncul sambil membawa tiga cangkir teh hangat yang baru dia buat. Meletakkan secangkir teh di hadapan Bayu. Abidah duduk di samping Arini, ikut bergabung dalam percakapan. Bayu mulai menyeruput teh sampai akhirnya Abidah membuka pembicaraan.“Nek, kenapa Nenek tidak beli obat saja? Kenapa mesti capek-capek meracik sendiri?” Tanya Abidah heran.“Itu obat herbal racikan sendiri. Nenek tidak punya uang untuk membeli obat di apotek. Lagian, nenek masih ingin mengikuti tradisi desa ini, yaitu meracik obat herbal sendiri. Itu sudah dilakukan di desa ini dari dulu.” Jawan Arini santai.“Nek, kalau Nenek butuh obat, Nenek bisa panggil saya. Saya akan belikan obat untuk Nenek, jangan khawatir tentang biayanya.” Bayu menimpali.Abidah sedikit terkejut. Ternyata pria dingin dan kaku seperti Bayu juga punya sisi baik dalam dirinya.“Terimakasih atas perhatianmu, Nak. Kamu memang pria yang baik.” Arini tersenyum penuh arti.***Abidah tengah membantu Arini memasak.
Salah satu tangan Abidah berhasil menarik perhatian Bayu. Dengan cekatan Bayu meraih tangan gadis itu dan memegangnya erat. Tangan kirinya berhasil memeluk batu besar, berusaha bertahan dari arus sungai.“Tolong! Tolong! Tolong!” Teriak Bayu berharap ada yang mendengar.Dua orang pria dan seorang wanita yang tidak sengaja lewat di dekat sungai mendengar teriakan Bayu. Mereka langsung mendekat ke arah sungai. Melihat Bayu yang tengah kesulitan, dua pria itu mulai turun ke sungai, sementara wanita itu hanya bisa berdiri cemas di tepi sungai. Usaha mereka membuahkan hasil. Bayu dan Abidah berhasil keluar dari sungai dibantu dua pria tadi. Bayu berusaha menyadarkan Abidah yang masih pingsan. Abidah terbatuk, dia mulai sadar. Matanya menangkap wajah cemas Bayu dan yang lain.“Bagaimana? Kamu tidak apa-apa?” Tanya Bayu.Abidah belum sempat menjawab, “kita bawa saja Abidah ke rumah Nenek Arini.” Kata wanita di samping Bayu.Tidak menunggu Abidah menjawab pertanyaannya, Bayu mulai berbalik ba
Mulutnya tertutup rapat. Tentu saja pertanyaan Qirana tidak bisa dijawabnya. Sudahlah, aku akan kembali bekerja.” Abidah bermaksud menghindari percakapan lebih lanjut.Tepat saat Abidah sampai di lantai dasar kantor saat jam bekerjanya berakhir, terdengar gemericik air yang dengan cepat berubah menjadi hujan deras. Abidah menghembuskan napas berat dan secepatnya berlari menghampiri angkot yang biasanya. Dari jendela angkot dia melihat Bayu tengah mengobrol bersama seorang wanita, kira-kira seusia dirinya.“Oh, sudah punya pacar ya? Tapi, sepertinya Wanita itu tidak asing.” tebak Abidah sembarangan. Angkot itu melaju tidak peduli sepasang mata Abidah yang masih terpaku melihat dua orang di seberang jalan.Malam, Abidah baru saja sampai di rumah. Sudah satu jam setengah dia habiskan untuk membeli makan malam. Baru saja mengucap salam dan membuka pintu, raut wajahnya yang datar tiba-tiba terkejut. “Sandra?”Wanita itu duduk di sofa tepat di samping Filza. Abidah memeluknya erat. Sandra t
Seorang pria yang bertugas sebagai mc memulai tugasnya. Diawali pembukaan, sambutan dari pemilik acara itu, dilanjutkan dengan lain sebagaimnya. Uniknya, dalam suatu kesempatan, diadakan sesi tanya jawab, tentu itu hanya untuk memeriahkan pesta saja.“kamu punya pacar?” Pertanyaan itu dilontarkan seorang wanita yang usianya hampir sama seperti Filza. Namanya Aminah, ibunda dari Bayu sendiri.Sontak semua orang yang ada di pesta itu melihat ke arah pintu masuk. Aminah datang dengan sebuah kotak indah yang dia pegang. Senyumannya masih belum memudar. Tiga detik kemudian Lila datang dan langsung memberikan bingkisan kecil kepada Bayu.“Selamat ulang tahun Kakakku yang tampan!” Teriak Lila yang membuat Aminah langsung menempelkan jari telunjuk di depan bibir sambil memanggilnya lembut.“Lila ….” Gadis remaja itu nyengir. Sadar kalau semua mata tengah menatapnya.“Buka dong!” Lila meletakkan kedua tangannya di belakang badan. Menunjuk bingkisan itu dengan isyarat kedua alisnya.Menuruti pe
Suara ketikan terdengar hampir di semua meja di sekeliling Abidah. Gadis itu tampak tidak peduli, melanjutkan Langkah ke meja kerjanya. Sesaat kemudian terdengar suara mesin pencetak yang tengah bekerja mencetak file penting. Di antara kesibukan orang-orang di sana, dia melihat Bayu yang tengah melintas. “Dia lagi.” Gumam Abidah tidak suka. Abidah merasa aneh saat teman-teman kerjanya malah memberikan sapaan sopan kepada Bayu, tampak seperti menyapa atasan mereka. Abidah berpikir untuk apa mereka memberi sapaan begitu sopan pada orang seketus Bayu. Gadis itu hanya tidak mengerti siapa sebenarnya Bayu. “Eh, Kamu ini, bersikaplah sopan pada Pak Bos! Kamu malah memandanginya begitu.” Qirana menyenggol lengan gadis itu. “Pak Bos?” Tanya Abidah bingung. “Iya. Oh, Kamu mungkin belum tahu. Beliau itu pemilik perusahaan ini.” Penjelasan Qirana membuat Abidah sedikit kaget. “Apa?” Abidah masih tidak percaya. Alih-alih menjawab, Qirana hanya mengangguk lalu pergi. Abidah masih sedikit ter
Jantungnya berdegup kencang, dia gugup. Seorang wanita berdiri karena mendengar namanya dipanggil. Lalu wanita tersebut masuk ke ruangan yang memang membuat gugup orang-orang di hadapannya. Abidah mengangkat ponselnya hingga layar dari ponsel itu menyala. Ternyata sudah satu jam dia menunggu gilirannya tiba.Singkatnya, hari demi hari berlalu hingga pada suatu malam, Abidah baru saja pulang dari pusat perbelanjaan. Dia membeli benda-benda yang mugkin akan membantunya dalam bekerja di perusahaan itu. Ya, dia diterima bekerja di sana. Filza mengusap-usap pundak Abidah sambil tersenyum.***Mukena itu baru saja dilipat rapi oleh pemiliknya. Tidak menunggu waktu lama, Abidah sudah siap dengan pakaian yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Dia berdiri di depan cermin sambil memandangi penampilan barunya. Terdengar suara pintu dibuka.“Apa mama harus selalu mengingatkanmu agar berangkat lebih awal? Mau sampai kapan?” Tanya Filza dengan setengah senyum.Abidah meraih tas di atas ranjang lal
“Tapi, ngapain Kamu tanya itu?” Abidah sedikit heran.“Enggak papa, Cuma penasaran aja.” Hana cemas melihat tatapan Abidah yang masih mengisyaratkan kebingungan.“Bayu itu temanku sejak kecil. Jadi gak salah kan, kalau aku tanya soal itu?” Hana berusaha meyakinkan Abidah bahwa itu bukan pertanyaan aneh.Benar saja, Abidah menangguk tanda setuju. Tidak lama setelah itu Abidah memutuskan untuk pulang. Di sisi lain, di rumahnya Bayu memofuskan pandangannya pada layer televisi sambil menikmati kopi hangat buatannya sendiri. Ruangan itu terlihat sepi karena memang hanya Bayu yang tinggal di sana. Di usianya yang masih muda, dia bisa membangun rumah masa depannya. Rumah itu dia persiapkan untuk masa tuanya yang rencananya akan dihuni bersama istri dan anak-anaknya kelak. Sayangnya sampai sekarang dia masih jomblo.Berita di televisi menghentikan pergerakan tangannya yang tengah memegang cangkir kopi. Berita tentang pengusaha sukses yang ditipu rekan kerjanya sendiri. Pengusaha sukses yang d
Salah satu tangan Abidah berhasil menarik perhatian Bayu. Dengan cekatan Bayu meraih tangan gadis itu dan memegangnya erat. Tangan kirinya berhasil memeluk batu besar, berusaha bertahan dari arus sungai.“Tolong! Tolong! Tolong!” Teriak Bayu berharap ada yang mendengar.Dua orang pria dan seorang wanita yang tidak sengaja lewat di dekat sungai mendengar teriakan Bayu. Mereka langsung mendekat ke arah sungai. Melihat Bayu yang tengah kesulitan, dua pria itu mulai turun ke sungai, sementara wanita itu hanya bisa berdiri cemas di tepi sungai. Usaha mereka membuahkan hasil. Bayu dan Abidah berhasil keluar dari sungai dibantu dua pria tadi. Bayu berusaha menyadarkan Abidah yang masih pingsan. Abidah terbatuk, dia mulai sadar. Matanya menangkap wajah cemas Bayu dan yang lain.“Bagaimana? Kamu tidak apa-apa?” Tanya Bayu.Abidah belum sempat menjawab, “kita bawa saja Abidah ke rumah Nenek Arini.” Kata wanita di samping Bayu.Tidak menunggu Abidah menjawab pertanyaannya, Bayu mulai berbalik ba
Tidak lama setelah itu, Abidah muncul sambil membawa tiga cangkir teh hangat yang baru dia buat. Meletakkan secangkir teh di hadapan Bayu. Abidah duduk di samping Arini, ikut bergabung dalam percakapan. Bayu mulai menyeruput teh sampai akhirnya Abidah membuka pembicaraan.“Nek, kenapa Nenek tidak beli obat saja? Kenapa mesti capek-capek meracik sendiri?” Tanya Abidah heran.“Itu obat herbal racikan sendiri. Nenek tidak punya uang untuk membeli obat di apotek. Lagian, nenek masih ingin mengikuti tradisi desa ini, yaitu meracik obat herbal sendiri. Itu sudah dilakukan di desa ini dari dulu.” Jawan Arini santai.“Nek, kalau Nenek butuh obat, Nenek bisa panggil saya. Saya akan belikan obat untuk Nenek, jangan khawatir tentang biayanya.” Bayu menimpali.Abidah sedikit terkejut. Ternyata pria dingin dan kaku seperti Bayu juga punya sisi baik dalam dirinya.“Terimakasih atas perhatianmu, Nak. Kamu memang pria yang baik.” Arini tersenyum penuh arti.***Abidah tengah membantu Arini memasak.
Mereka melanjutkan jalan. Abidah memerhatikan sekelilingnya. Sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka dan angin yang kadang berhembus. Karena Bayu yang daritadi belum berhenti, Abidah malah berpikir negatif. Dia takut kalau ternyata Bayu menipunya.“Kenapa belum sampai-sampai?” Tanya Abidah, sedikit takut.“Diam dan ikuti saja.” Jawab Bayu dingin.“Kamu gak lagi nipu aku, kan? Jangan macam-macam ya!” Abidah semakin merasa takut tanpa alasan.“Itu ide bagus,” balas Bayu tanpa melihat ke arah Abidah sedikitpun.Abidah mendengus. Bayu mulai mendengar suara aliran air, dia tahu ada sungai di sekitar sini. Tanpa ragu dia mulai mendekat. Abidah terpesona melihat pemandangan di depannya. Aliran air yang bersih dan jernih, sampai terlihat dasarnya yang berisi bebatuan. Abidah mendekat ke arah aliran air tersebut.“Airnya jernih sekali,” ucap Abidah sambil menoleh ke belakang, ke arah Bayu yang tadi sempat tertinggal. Abidah kaget karena Bayu tidak ada di belakangnya.“Bayu!” Abidah me
Mata Abidah menyelidik, berusaha mencari tahu apa yang terjadi, membuat Hana makin menyembunyikan wajahnya. Merasa Hana sedang tidak ingin diganggu, Abidah berpaling ke arah luar. Terlihat Laili berdiri tegak di pintu kelas. Gadis kecil itu berhasil menemukan apa yang dia cari. Abidah menghampirinya, mengajaknya duduk di kursi kayu dekat dengan ruang kelas tiga.“Bagaimana hari-harimu di panti?’” Tanya Abidah lembut.“Sepi,” jawab Laili masih dengan muka imutnya.“Eh, kenapa sepi?” Tanya Abidah heran.“Gak ada Kakak cantik,” Laili tersenyum manis. Gadis kecil tersebut mulai terbiasa memanggil Abidah dengan sebutan Kakak Cantik.Abidah ikut tertawa sambil mengacak-acak pelan kepala Laili. Sekejap setelah itu, seorang pria paruh baya melintas di depan sekolah sambil mendorong gerobak. Abidah mengejar pria itu, hingga berhasil membuat gerobak tersebut berhenti. Abidah memanggil Laili. Masih dengan wajah polos, laili berlari ke arah Abidah.“Pak, bakso dua porsi.” Pesan Abidah yang langsu