Filza tersenyum, berharap Satria tidak marah. Sementara Satria sendiri cuma diam. Sebenarnya dia kesal, tapi mau dikata apa? Dia gengsi mau bilang kalau dia cemburu. Ditambah lagi dia yang sebenarnya masih membenci Filza. Tidak mungkin dia mengatakan kalau dia tidak suka dengan ucapan Jihan tadi.
Sampai di rumah, Satria tidak mau bicara sepatah katapun pada Filza. Dia cuma diam dengan muka kesal. Filza sudah menebak apa yang ada di kepala Satria. Masa iya dia membiarkan suaminya ngambek? Filza mendekat, duduk di samping Satria yang saat ini tengah memerhatikan acara lawak televisi.
"Mas, Mas kenapa?" Tanya Filza seolah tidak tahu apapun.
"Kamu bodoh, ya? Gitu aja masih nanya," Satria malah tambah kesal.
"Mas cemburu?" Filza berharap jawabannya adalah iya.
"I-" belum menyelesaikan kata-katanya, Satria menyadari kalau dia membenci Filza.
"Gak!" Satria mengganti huruf depannya.
Filza jadi sedih. Dia mengerucutkan bibirnya dua sentimeter
"Udahlah! Kamu itu bukan anak kecil lagi. Jadi masuk kamar Kamu sekarang!" Perintah Satria keras. Mana bisa Filza menolak perintah itu? Alhasil istrinya menuju kamar dengan langkah terpaksa. Sesekali pandangannya melayang ke arah dapur yang gelap, bergidik ngeri. Satria yang memerhatikan dia cuma menggelengkan kepala lalu bergegas masuk kamar juga. Jadilah Filza semalaman sulit tidur. Satria yang jelas-jelas tidur nyenyak tidak tahu penderitaan Filza. Pagi ini Satria semangat sekali. Ada sesuatu yang membuat dia girang. Pagi-pagi buta dia berangkat. Bahkan tidak pamit terlebih dulu pada istrinya. Hingga lama setelah itu, Filza cemas karena Satria tak kunjung pulang. Dia mana dia? Filza mondar-mandir di depan pintu masuk rumahnya, berharap Satria cepat pulang. Ditelepon berkali-kali tidak ada jawaban. Berkali-kali Filza mengirim pesan tapi satupun tidak dibalas. Di tengah kecemasannya itu, terlihatlah motor dengan Satria yang mengendarainya. Filza langsung men
Bukan seperti yang dibilang Satria tadi, dia malah menarik Filza ke dalam warung. Lantas membuat Filza heran."Katanya ke lahan situ," ucap Filza sedikit tak suka."Gak boleh!" Jawab Satria ketus.Lalu menghampiri penjaga toko. Ternyata penjaga toko tersebut sudah menikah hingga ada istrinya di sana. Mulailah Satria bicara entah apa. Lalu kembali sambil membawa pakaian entah milik siapa"Ayo ganti pakaianmu! Ini aku pinjem dari mereka," ucap Satria santai."Ih!" Filza kesal tetapi tetap meraih pakaian itu, ditemani Satria mengganti pakaian di kamar mandi sana.Saat Filza sudah masuk toilet, Satria yang tadinya mau ikut masuk, Filza malah menghentikan Satria dengan hampir saja menutup total pintu toilet itu hingga spontan Satria berhenti."Gak boleh ikut!" Ucap Filza ketus, lalu menutup pintunya."Siapa juga yang mau masuk," gumam Satria, padahal dia memang tadinya tak sadar hingga hampir sama ikut masuk toilet.Satria ke
Hari mencuci baju memang melelahkan. Kadang-kadang Filza sampai harus menggunakan earphone karena sangking bosannya. Hingga tibalah saat selesai mencuci baju, Filza berpamitan untuk ke rumah ibu dia, merindukan Abidah. Ya, Abidah menginap di sana. Sudah lama sekali rasanya. Padahal baru seminggu Abidah menginap di rumah neneknya, Filza sudah merindukannya.Sepulangnya dari menjemput anaknya, Filza sudah tidak melihat Satria di mana-mana. Benar saja, dia baru sadar kalau Satria mengirimkan pesan padanya sejam yang lalu. Satria yang memulai usahanya dari nol lagi, tentu sangat sibuk. Ditambah lagi kebutuhan anak mereka yang sangat diperhatikan, Satria tidak mau menunda pekerjaan lagi.Kita singkat saja cerita ini menjadi 2 tahun kemudian. Usaha Abidah sudah semakin besar saja. Langkahnya yang imut selalu diperhatikan Satria. Dia jadi menyesal sudah pernah menyakiti Filza saat memandang anaknya itu. Entah mengapa, perasaan Satria mulai stabil. Tentu kebahagiaan tersendiri
Gadis mana yang tidak ingin refresing setelah menempuh pelajaran di kampusnya? Itu yang dirasakan Abidah. Gadis itu pamit pada Filza dan melesat pergi ke mall kesayangannya. Dia tidak suka barang-barang yang terlalu mewah, dia hanya suka beli peralatan tulis. Kecintaannya pada belajar sangat tinggi. Sampailah Abidah di depan sebuah toko besar dengan alat-alat tulis super lengkap di dalamnya. Abidah sedikit ternganga melihat perubahan tata letak pada toko tersebut yang agak sedikit berubah setelah tiga bulan lamanya dia tidak berkunjung. Abidah melangkah mendekati tumpukan pulpen yang ditata rapi. Memerhatikannya saja membuat Abidah ingin segera memilikinya. Dia mulai meraih salah satu pulpen yang ada. Memerhatikannya dengan tatapan gembira layaknya seorang anak kecil yang menemukan mainannya. Brakk! Ada seseorang yang menyenggolnya dari belakang hingga hampir saja tumpukan pulpen itu jatuh. “Eh, maaf, saya tidak sengaja.” Mata mereka bertemu. Abidah tersenyum
Ternyata Alfin sudah ada di ruang tamu. Filza yang sebelumnya mengobrol bersama dengan Alfin, digantikan oleh Abidah. Awalnya mereka canggung untuk memulai obrolan. Namun sejatinya, Abidah bisa dibilang enggan untuk memulai pembicaraan apapun dengan Alfin. Sepertinya berbanding terbalik dengan Alfin yang sangat bahagia dan bersemangat. Pasalnya, sejak pertama kali bertemu dengan Abidah, dia mulai jatuh hati. Apalagi saat dia tahu bahwa wanita yang akan menikah dengannya adalah Abidah. “Bagaimana kabarmu?” Alfin memulai percakapan. “Alhamdulillah. Kamu sendiri?” Abidah basa-basi. “Alhamdulillah baik. Begini, aku ingin mengajakmu pergi, apa boleh?” Alfin masih malu-malu. “Ke mana?” Abidah yang sebelumnya menunduk, kini mengangkat kepala. “Kamu suka nonton film, kan? Ayo pergi! Aku mengajak sepupu perempuanku juga, jadi kita tidak hanya berdua.” Alfin menjelaskan. “Mintalah ijin pada orang tuaku.” Abidah ingin orang tuanya yang memutuskan
Abidah mengangguk tanda mengerti. Dia melanjutkan langkahnya mecari buku yang tepat. Tiba-tiba saja Aisyah datang dengan membawa salah satu novel karangan orang terkenal. Menunjukkannya kepada Abidah. “Kak, ini seru, nih. Aku gak pernah pinjam buku di perpustakaan. Sekarang kalo aku mau pinjam, gimana caranya?” Abidah tersenyum. Dia menjelaskan Langkah-langkah untuk meminjam buku. Mulai dari A sampai Z. Kemudian mereka sampai di tempat parkir. Abidah yang hendak pergi, dihalangi oleh Alfin dengan alasan ingin mengajak Abidah ke Alun-alun kota sebentar, mumpung ada Aisyah pikirnya. Mereka menuju Alun-alun dengan masih sama, Abidah yang menyetir motor. Sementara Alfin sendirian di dalam mobilnya. Sesampainya di sana, mereka berjalan bersama. Karena langkah Abidah dan Alfin yang terkesan santai, Aisyah tidak bisa menahan diri untuk berjalan cepat meninggalkan mereka. Duduk di salah satu bangku taman sambil menikmati cokelat kesukannya. Abidah dan Alfin tinggal berdua di
Motor cantik itu berhenti di depan rumah Abidah. Penumpangnya turun duluan, disusul orang yang menyetir. Abidah membuka pintu rumahnya, setelah tadi mengucapkan terimakasih pada satpam di dekat pagar rumah. Suara salam dari Abidah terdengar sampai ke telinga ibunya. Abidah diikuti Sandra masuk ke dalam rumah. Abidah memersilahkan Sandra duduk di ruang tamu. Filza muncul karena mendengar suara asing. “Ma, kenalin, ini Sandra. Teman baru aku.” Abidah tersenyum. “Assalamu’alaikum.” Sandra bersikap sopan di depan Filza. “Mari, silahkan duduk!” Ajak Filza ramah. Mereka berbincang sebentar sambil menunggu Abidah selesai membuatkan teh untuk Sandra. Teh yang masih hangat itu hadir di tengah-tengah mereka. Sandra lalu mencicipinya sedikit, meletakkan kembali. Tidak ingin bersikap seperti orang yang sangat kehausan. Sejak itu mereka jadi semakin dan semakin dekat. Seringkali mereka berangkat ke kampus bersama. Sering Sandra menjemput Abidah. Begitu pula Abidah
Seperti biasanya, Abidah berangkat ke kampus. Dia terbiasa berangkat lebih awal agar tidak ketinggalan pembelajaran. Jalanan sudah ramai oleh lalu-lalang berbagai bentuk transportasi. Abidah duduk di salah satu bangku taman dalam kampusnya. Dia mulai mengecek ponsel. Siaa tau ada pesan masuk. Satu nama sudah mengirim pesan padanya. Berupa foto. Abidah langsung membuka foto itu. Terlihat di foto itu, seorang lelaki dan perempuan yang tengah jalan berdua sambil bergandengan tangan. Kagetnya, lelaki di foto itu terlihat mirip dengan Alfin. Abidah menajamkan penglihatannya. Berusaha berpikir klau itu bukan Alfin. Dengan cepat menyambar keyboard untuk mengirim pesan kepada teman lamanya itu. Geysha. “Siapa itu? apa maksudnya?” Tulis Abidah pada pesan itu. Tak lama kmeudian, Geysha membalas. “Dia calon suamimu yang tidak tahu diri. Sudah tahu sebentar lagi menikah, masih saja selingkuh.” Abidah terkejut membacanya. “Mana mungkin? Bisa saja Kam
Mulutnya tertutup rapat. Tentu saja pertanyaan Qirana tidak bisa dijawabnya. Sudahlah, aku akan kembali bekerja.” Abidah bermaksud menghindari percakapan lebih lanjut.Tepat saat Abidah sampai di lantai dasar kantor saat jam bekerjanya berakhir, terdengar gemericik air yang dengan cepat berubah menjadi hujan deras. Abidah menghembuskan napas berat dan secepatnya berlari menghampiri angkot yang biasanya. Dari jendela angkot dia melihat Bayu tengah mengobrol bersama seorang wanita, kira-kira seusia dirinya.“Oh, sudah punya pacar ya? Tapi, sepertinya Wanita itu tidak asing.” tebak Abidah sembarangan. Angkot itu melaju tidak peduli sepasang mata Abidah yang masih terpaku melihat dua orang di seberang jalan.Malam, Abidah baru saja sampai di rumah. Sudah satu jam setengah dia habiskan untuk membeli makan malam. Baru saja mengucap salam dan membuka pintu, raut wajahnya yang datar tiba-tiba terkejut. “Sandra?”Wanita itu duduk di sofa tepat di samping Filza. Abidah memeluknya erat. Sandra t
Seorang pria yang bertugas sebagai mc memulai tugasnya. Diawali pembukaan, sambutan dari pemilik acara itu, dilanjutkan dengan lain sebagaimnya. Uniknya, dalam suatu kesempatan, diadakan sesi tanya jawab, tentu itu hanya untuk memeriahkan pesta saja.“kamu punya pacar?” Pertanyaan itu dilontarkan seorang wanita yang usianya hampir sama seperti Filza. Namanya Aminah, ibunda dari Bayu sendiri.Sontak semua orang yang ada di pesta itu melihat ke arah pintu masuk. Aminah datang dengan sebuah kotak indah yang dia pegang. Senyumannya masih belum memudar. Tiga detik kemudian Lila datang dan langsung memberikan bingkisan kecil kepada Bayu.“Selamat ulang tahun Kakakku yang tampan!” Teriak Lila yang membuat Aminah langsung menempelkan jari telunjuk di depan bibir sambil memanggilnya lembut.“Lila ….” Gadis remaja itu nyengir. Sadar kalau semua mata tengah menatapnya.“Buka dong!” Lila meletakkan kedua tangannya di belakang badan. Menunjuk bingkisan itu dengan isyarat kedua alisnya.Menuruti pe
Suara ketikan terdengar hampir di semua meja di sekeliling Abidah. Gadis itu tampak tidak peduli, melanjutkan Langkah ke meja kerjanya. Sesaat kemudian terdengar suara mesin pencetak yang tengah bekerja mencetak file penting. Di antara kesibukan orang-orang di sana, dia melihat Bayu yang tengah melintas. “Dia lagi.” Gumam Abidah tidak suka. Abidah merasa aneh saat teman-teman kerjanya malah memberikan sapaan sopan kepada Bayu, tampak seperti menyapa atasan mereka. Abidah berpikir untuk apa mereka memberi sapaan begitu sopan pada orang seketus Bayu. Gadis itu hanya tidak mengerti siapa sebenarnya Bayu. “Eh, Kamu ini, bersikaplah sopan pada Pak Bos! Kamu malah memandanginya begitu.” Qirana menyenggol lengan gadis itu. “Pak Bos?” Tanya Abidah bingung. “Iya. Oh, Kamu mungkin belum tahu. Beliau itu pemilik perusahaan ini.” Penjelasan Qirana membuat Abidah sedikit kaget. “Apa?” Abidah masih tidak percaya. Alih-alih menjawab, Qirana hanya mengangguk lalu pergi. Abidah masih sedikit ter
Jantungnya berdegup kencang, dia gugup. Seorang wanita berdiri karena mendengar namanya dipanggil. Lalu wanita tersebut masuk ke ruangan yang memang membuat gugup orang-orang di hadapannya. Abidah mengangkat ponselnya hingga layar dari ponsel itu menyala. Ternyata sudah satu jam dia menunggu gilirannya tiba.Singkatnya, hari demi hari berlalu hingga pada suatu malam, Abidah baru saja pulang dari pusat perbelanjaan. Dia membeli benda-benda yang mugkin akan membantunya dalam bekerja di perusahaan itu. Ya, dia diterima bekerja di sana. Filza mengusap-usap pundak Abidah sambil tersenyum.***Mukena itu baru saja dilipat rapi oleh pemiliknya. Tidak menunggu waktu lama, Abidah sudah siap dengan pakaian yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Dia berdiri di depan cermin sambil memandangi penampilan barunya. Terdengar suara pintu dibuka.“Apa mama harus selalu mengingatkanmu agar berangkat lebih awal? Mau sampai kapan?” Tanya Filza dengan setengah senyum.Abidah meraih tas di atas ranjang lal
“Tapi, ngapain Kamu tanya itu?” Abidah sedikit heran.“Enggak papa, Cuma penasaran aja.” Hana cemas melihat tatapan Abidah yang masih mengisyaratkan kebingungan.“Bayu itu temanku sejak kecil. Jadi gak salah kan, kalau aku tanya soal itu?” Hana berusaha meyakinkan Abidah bahwa itu bukan pertanyaan aneh.Benar saja, Abidah menangguk tanda setuju. Tidak lama setelah itu Abidah memutuskan untuk pulang. Di sisi lain, di rumahnya Bayu memofuskan pandangannya pada layer televisi sambil menikmati kopi hangat buatannya sendiri. Ruangan itu terlihat sepi karena memang hanya Bayu yang tinggal di sana. Di usianya yang masih muda, dia bisa membangun rumah masa depannya. Rumah itu dia persiapkan untuk masa tuanya yang rencananya akan dihuni bersama istri dan anak-anaknya kelak. Sayangnya sampai sekarang dia masih jomblo.Berita di televisi menghentikan pergerakan tangannya yang tengah memegang cangkir kopi. Berita tentang pengusaha sukses yang ditipu rekan kerjanya sendiri. Pengusaha sukses yang d
Salah satu tangan Abidah berhasil menarik perhatian Bayu. Dengan cekatan Bayu meraih tangan gadis itu dan memegangnya erat. Tangan kirinya berhasil memeluk batu besar, berusaha bertahan dari arus sungai.“Tolong! Tolong! Tolong!” Teriak Bayu berharap ada yang mendengar.Dua orang pria dan seorang wanita yang tidak sengaja lewat di dekat sungai mendengar teriakan Bayu. Mereka langsung mendekat ke arah sungai. Melihat Bayu yang tengah kesulitan, dua pria itu mulai turun ke sungai, sementara wanita itu hanya bisa berdiri cemas di tepi sungai. Usaha mereka membuahkan hasil. Bayu dan Abidah berhasil keluar dari sungai dibantu dua pria tadi. Bayu berusaha menyadarkan Abidah yang masih pingsan. Abidah terbatuk, dia mulai sadar. Matanya menangkap wajah cemas Bayu dan yang lain.“Bagaimana? Kamu tidak apa-apa?” Tanya Bayu.Abidah belum sempat menjawab, “kita bawa saja Abidah ke rumah Nenek Arini.” Kata wanita di samping Bayu.Tidak menunggu Abidah menjawab pertanyaannya, Bayu mulai berbalik ba
Tidak lama setelah itu, Abidah muncul sambil membawa tiga cangkir teh hangat yang baru dia buat. Meletakkan secangkir teh di hadapan Bayu. Abidah duduk di samping Arini, ikut bergabung dalam percakapan. Bayu mulai menyeruput teh sampai akhirnya Abidah membuka pembicaraan.“Nek, kenapa Nenek tidak beli obat saja? Kenapa mesti capek-capek meracik sendiri?” Tanya Abidah heran.“Itu obat herbal racikan sendiri. Nenek tidak punya uang untuk membeli obat di apotek. Lagian, nenek masih ingin mengikuti tradisi desa ini, yaitu meracik obat herbal sendiri. Itu sudah dilakukan di desa ini dari dulu.” Jawan Arini santai.“Nek, kalau Nenek butuh obat, Nenek bisa panggil saya. Saya akan belikan obat untuk Nenek, jangan khawatir tentang biayanya.” Bayu menimpali.Abidah sedikit terkejut. Ternyata pria dingin dan kaku seperti Bayu juga punya sisi baik dalam dirinya.“Terimakasih atas perhatianmu, Nak. Kamu memang pria yang baik.” Arini tersenyum penuh arti.***Abidah tengah membantu Arini memasak.
Mereka melanjutkan jalan. Abidah memerhatikan sekelilingnya. Sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka dan angin yang kadang berhembus. Karena Bayu yang daritadi belum berhenti, Abidah malah berpikir negatif. Dia takut kalau ternyata Bayu menipunya.“Kenapa belum sampai-sampai?” Tanya Abidah, sedikit takut.“Diam dan ikuti saja.” Jawab Bayu dingin.“Kamu gak lagi nipu aku, kan? Jangan macam-macam ya!” Abidah semakin merasa takut tanpa alasan.“Itu ide bagus,” balas Bayu tanpa melihat ke arah Abidah sedikitpun.Abidah mendengus. Bayu mulai mendengar suara aliran air, dia tahu ada sungai di sekitar sini. Tanpa ragu dia mulai mendekat. Abidah terpesona melihat pemandangan di depannya. Aliran air yang bersih dan jernih, sampai terlihat dasarnya yang berisi bebatuan. Abidah mendekat ke arah aliran air tersebut.“Airnya jernih sekali,” ucap Abidah sambil menoleh ke belakang, ke arah Bayu yang tadi sempat tertinggal. Abidah kaget karena Bayu tidak ada di belakangnya.“Bayu!” Abidah me
Mata Abidah menyelidik, berusaha mencari tahu apa yang terjadi, membuat Hana makin menyembunyikan wajahnya. Merasa Hana sedang tidak ingin diganggu, Abidah berpaling ke arah luar. Terlihat Laili berdiri tegak di pintu kelas. Gadis kecil itu berhasil menemukan apa yang dia cari. Abidah menghampirinya, mengajaknya duduk di kursi kayu dekat dengan ruang kelas tiga.“Bagaimana hari-harimu di panti?’” Tanya Abidah lembut.“Sepi,” jawab Laili masih dengan muka imutnya.“Eh, kenapa sepi?” Tanya Abidah heran.“Gak ada Kakak cantik,” Laili tersenyum manis. Gadis kecil tersebut mulai terbiasa memanggil Abidah dengan sebutan Kakak Cantik.Abidah ikut tertawa sambil mengacak-acak pelan kepala Laili. Sekejap setelah itu, seorang pria paruh baya melintas di depan sekolah sambil mendorong gerobak. Abidah mengejar pria itu, hingga berhasil membuat gerobak tersebut berhenti. Abidah memanggil Laili. Masih dengan wajah polos, laili berlari ke arah Abidah.“Pak, bakso dua porsi.” Pesan Abidah yang langsu