Suara tangisan Abidah terdengar hingga ke sudut-sudut rumah. Tidak heran kalau Biha yang mendengar jadi sedikit panik, takut Abidah kenapa-napa. Nyatanya setelah didatangi, Abidah tengah menangis keras di gendongan Filza. Satria sudah siap dengan pakaiannya juga tas berisi susu milik Abidah.
"Tante, Kami mau ke rumah sakit dulu. Abidah demam." Ucap Filza pada Biha.
"Ya udah, kalian hati-hati, ya." Biha mengusap kepala Abidah hingga tangannya bisa merasakan suhu tubuh Abidah.
"Iya, assalamu'alaikum." Satria dan Filza menuju garasi.
"Wa'alaikumsalam."
Tidak sampai berjam-jam, mereka pulang. Bersyukur sekali mereka karena tidak terlambat membawa Abidah ke rumah sakit hingga sakitnya tidak terlalu parah. Filza meminta ijin lebih dulu untuk tidak masuk kerja, dia memilih untuk merawat anaknya sampai sembuh. Sedangkan Satria, mau tidak mau dia harus berangkat ngantor.
Hanya berselang seminggu dari kejadian itu, Satria kembali dilanda kesedihan. Se
Satria lemas. Matanya dihiasi lengkungan hitam di bagian bawah. Dia terlihat sangat letih. Filza yang memandang jadi tidak tega. Dia duduk di samping Satria. Akhinya muka mereka saling beradu. Tatapan mata itu bisa jadi tatapan penyesalan karena dia tidak bisa mempertahankan perusahaan tetap stabil di mana istri dan keluarganya yang lain bergantung kehidupan."Mas. Ayolah! Jangan begini! Mas harus kuat!" Filza memberi semangat yang hanya memperkuat suaminya tiga puluh persen.Pagi ini Satria berangkat kerja dengan lesu. Di kantor tidak seperti biasanya. Hampir semua bekerja dengan kerutan di kening mereka. Mungkin takut dimarahi Satria dan berimbas pada gaji mereka. Satria menuju ruangannya. Tidak disangka, ada seorang duluan yang masuk ke ruangan pribadinya itu."Assalamu'alaikum." Satria memberi salam."Wa'alaikumsalam. Saya ingin bicara penting dengan Anda." Seorang dengan jas rapi, jelas menunjukkan posisinya bukan sembarangan.Mereka bicara, s
Filza mondar-mandir menunggu kedatangan Satria. Pandangannya dari tadi tidak tenang, walaupun Abidah sudah tidur. Setelah dua jam dari perginya Satria tadi, telepon Filza berdering. Buru-buru dia mengangkatnya saat membaca "suamiku" di layar ponsel."Assalamu'alaikum. Gimana, Mas?" Filza buru-buru tanya keadaan Biha."Tante sudah meninggal." Mendengar itu, siapa yang tidak kaget?"Inna lillahi wa Inna ilaihi raji'un."Gak lama setelah itu, Filza sudah sampai di tempat kejadian. Menemui Satria yang tengah berbincang dengan seorang polisi."Mas, gimana kejadiannya? Kenapa bisa gini?" Tanya Filza setelah perbincangan Satria dengan seorang polisi selesai."Waktu aku datang, tante sudah meninggal. Di dalam gudang itu, ada bengkak di keningnya." Jelas Satria.Filza memegangi kedua pundak Satria. Suaminya itu masih terkejut, tidak heran mereka menangis. Apalagi Biha sudah dianggap sebagai ibu Satria sendiri. Kepergiannya meninggalkan luka da
Walau sudah sehari, Satria sama sekali tidak mau bertanya tentang Filza. Mungkin apa yang Filza alami atau apapun pertanyaan itu, di seakan tidak peduli. Filza bisa apa? Cuma karena Abidah. Filza mengingat dengan jelas. Tidak lama lagi hari ulang tahun Abidah. Setidaknya Filza mencoba untuk memberikan sesuatu walau anaknya masih tidak bisa berucap dengan benar kata "terima kasih" tapi Filza berharap Satria tidak melupakan itu.Sepulang mengajar, Filza sudah siap dengan sesuatu di tangannya. Dia ingin menunjukkan benda yang baru dibelinya itu pada Satria. Jadilah Filza menemui Satria di ruang kerjanya. Dia meletakkan benda itu di atas meja. Kepala Satria yang tadinya menunduk, sekarang mulai diangkat."Mas, ini aku beli untuk Abidah. Sekarang dia ulang tahun. Kamu gak lupa, kan?" Muka Filza berseri-seri."Apapun yang mau Kamu lakukan, lakukan di luar ruangan kerjaku! Jangan ganggu aku!" Tegas Satria yang sedikit menyinggung Filza.Sudahlah, tidak ada gunan
"Dari mana Kamu? Sudah tau ada Abidah di sini, Kamu masih aja keluyuran." Satria ketus saat Filza baru saja datang."Maaf, Mas. Tadi aku jenguk Airin di rumah sakit jiwa." Jawab Filza jujur."Rumah sakit jiwa?" Satria masih bingung. Beberapa detik setelah itu, "tunggu! Kenapa Kamu ke sana?""Aku cuma kasian sama dia."Seseorang mengetuk pintu rumah Satria. Beberapa kali hingga Filza yang membuka pintunya. Salam dari orang tersebut dijawab Filza. Tidak lama setelah itu, orang tersebut sudah duduk sopan di ruang tamu. Satria muncul saat Filza baru saja memanggilnya."Loh? Andi?" Satria langsung mengenali sosok teman lamanya itu."Nah. Rupanya masih ingat. Baguslah kalau begitu." Seorang yang bernama Andi tersebut berdiri, bersalaman dengan Satria.Sudah beberapa jam dari saat itu. Filza mengantuk. Pastilah dia menuju ke kamar. Tapi saat sampai di meja kecil yang tepat berada di dekat televisi, di atasnya terdapat selembar undangan. Kare
"Kamu gak papa?" Tanya Satria cemas."Ahamdulillah, aku gak papa, kok," Filza suka Satria mencemaskan dirinya.Sedetik setelah itu, Satria menyadari apa yang baru saja dia lakukan telah menunjukkan rasa perhatiannya. Dengan langkah kikuk, Satria kembali ke ruang kerjanya. Tanpa melihat sekalipun ke arah Filza lagi.***Kadaan Filza makin memburuk. Bahkan dia sampai tidak mampu memasak serajin biasanya. Filza hari ini cuma memasak lauk pauk sederhana. Dia merasa harus menjaga kesehatannya. Siapa bilang Satria tidak memerhatikan perkembangannya? Dia bahkan sekarang pulang sambil membawa sekantung yang entah apa isinya.Diletakkannya kantung misterius itu di meja makan. Filza menoleh. Jarang sekali Satria masuk ke dapur. Tidak mau kehilangan kesempatan untuk berbincang dengan suaminya, Filza berbalik badan."Mas belum makan? Ayo makan di sini dulu! Maaf aku cuma bisa masak ini," ucap Filza.Tanpa menjawab Filza, Satria duduk, sambil mera
Tidak menunggu lama, Satria dan Filza sudah sampai di ruangan asing di mana mereka tengah berbincang dengan seorang wanita yangengenakan jas putih bersih. Perbincangan mereka serius sekali. Hingga akhirnya selesai, mereka kembali ke rumah."Makanya, lain kali jaga kesehatanmu!" Ucap Satria sedikit kesal pada Filza."Iya-""Jangan cuma bilang iya. Lakukan!" Satria sedikit membentak.Keadaan hening setelah suara bentakan Satria.Pagi, Filza merasa keadaannya sudah jauh membaik. Padahal masih kemarin dia ke dokter. Dicarinya seragam mengajarnya yang selau dia letakkan di lemari. Anehnya setelah dicari, seragam itu tak kunjung ditemukan. Filza mengerutkan kening, bingung di mana seragamnya. Siapa yang bisa ditanyai selain Satria?"Mas, tau seragam aku, gak?" Filza menghampiri Satria di ruang keluarga."Gak tau," singkat sekali."Di mana, ya?" Filza berputar-putar sekitar sana mencari mungkin saja seragamnya jatuh saat dia mengangka
Filza hanya mengangguk. Lalu melanjutkan makannya. Satria yang sudah kesal, menuju ruang keluarga, santai-santai di sana. Tak lama setelah itu, kopi buatan Filza sudah datang. Disusul dengan istrinya yang duduk di samping dia. Belum sampai lima menit Filza duduk, ponselnya berdering. Dia angkat ponsel itu dan menemukan nomor asing tertera di layarnya."Assalamu'alaikum. Ini siapa?" Filza langsung mengangkat."Aku Soni, simpan nomorku, ya!" Suara telepon itu ternyata suara temannya."Oh, iya iya. Tau darimana nomorku?" Filza basa-basi."Dari mama Kamu," perbincangan itu terus-menerus hingga membuat Satria heran.Satria terus menatap istrinya yang senyum-senyum sambil bicara lewat ponsel. Dia berusaha mencari tahu siapa yang berbincang dengan istrinya. Hingga telepon itu diakhiri, Satria tetap dalam posisi yang sama."Siapa tadi?" Satria seperti menginterogasi saja."Soni, Mas-""Buat apa nelpon?" Satria mengerutkan kening.
Filza tersenyum, berharap Satria tidak marah. Sementara Satria sendiri cuma diam. Sebenarnya dia kesal, tapi mau dikata apa? Dia gengsi mau bilang kalau dia cemburu. Ditambah lagi dia yang sebenarnya masih membenci Filza. Tidak mungkin dia mengatakan kalau dia tidak suka dengan ucapan Jihan tadi.Sampai di rumah, Satria tidak mau bicara sepatah katapun pada Filza. Dia cuma diam dengan muka kesal. Filza sudah menebak apa yang ada di kepala Satria. Masa iya dia membiarkan suaminya ngambek? Filza mendekat, duduk di samping Satria yang saat ini tengah memerhatikan acara lawak televisi."Mas, Mas kenapa?" Tanya Filza seolah tidak tahu apapun."Kamu bodoh, ya? Gitu aja masih nanya," Satria malah tambah kesal."Mas cemburu?" Filza berharap jawabannya adalah iya."I-" belum menyelesaikan kata-katanya, Satria menyadari kalau dia membenci Filza."Gak!" Satria mengganti huruf depannya.Filza jadi sedih. Dia mengerucutkan bibirnya dua sentimeter