Filza baru saja hendak tidur, pintu kamarnya diketuk. Filza membuka kembali pintu kamar yang terkunci. Sekarang di hadapannya ada Satria.
"Iya, Mas?" Tanya Filza heran.
"Maafin aku soal yang tadi." Ucap Satria ragu.
"Gak papa, kok." Filza tersenyum.
Tanpa mengatakan sesuatu, Satria malah nyelonong masuk ke kamar Filza. Istrinya itu bingung."Mas, mau ngapain?" Tanya Filza gugup.
"Terserah aku mau tidur di mana." Jawaban itu membuat Filza bahagia.Filza tidak menanyakan apapun lagi. Dia baru saja hendak menjatuhkan tubuhnya ke ranjang itu, tapi dia mengingat sesuatu. Dia ingat betul bahwa suaminya tidak mau dekat dengannya. Batal tidur di ranjang yang sama, Filza memilih untuk tidur di sofa.
Satria menyadari suara langkah kaki Filza yang menjauh. Dia membuka satu matanya. Terkejut melihat Filza yang malah memilih tidur di sofa, Satria bangun.
"Ngapain tidur di situ?" Tanyanya ketus.
"Enggak papa." Jawaban yang sebenarnya baru sajPagi ini hanya terdengar suara seseorang yang tengah memasak. Tentu itu adalah Filza. Satria tidak sengaja berpapasan dengan Filza di ruang keluarga. Entah, Filza tak seperti biasa. Dia hanya diam saat melihat Satria.Satria juga heran. Tidak biasa Filza seperti ini. Biasanya Filza menyapa atau bahkan mengajaknya sarapan bersama. Tapi kali ini tidak. Filza melangkah ke dapur. Merapikan kotoran bekas dia memasak tadi. Lalu duduk di kursi makan.Tanpa menunggu aba-aba, dia makan begitu saja. Biasanya dia masih berusaha menunggu Satria untuk sarapan bersama, tapi kali ini tidak. Satria merasa ini kesalahannya. Mungkin Filza marah karena ucapannya kemarin. Padahal bukan paling lagi, tapi iya.Satria sengaja memancing Filza dengan suara jasnya. Berharap Filza menemuinya untuk sekedar mencium punggung tangan. Ternyata tidak ada sama sekali. Sudahlah, Satria tidak ingin berlama-lama.Dia langsung keluar rumah berangkat kerja. Sementara itu, Filza selsai makan. Dia y
"Kenapa?" Satria penasaran."Lagi males aja."Setelah menjawa pertanyaan Satria, Filza pergi. Rasanya makin bersalah lagi Satria sekarang. Untuk saat ini dia tidak mau mengganggu Filza lebih lama dan membuat masalah.Seperti biasa, Filza mengajar anak-anak mungil nan lucu di sekolah. Tingkah konyol mereka sering membuat Filza tertawa. Nun sekarang sedikit berkurang sejak dia tidak sengaja menutup hatinya untuk Satria. Filza tidak ingin banyak tertawa, dia memilih pergi.Sajak Satria merasa bersalah, dia rutin menjemput Filza di sekolah. Tidak peduli sedang sibuk apa dirinya, tapi nyatanya tetap meluangkan waktu untuk menjemput Filza. Istrinya itu sering menolak dengan alasan membawa motor sendiri. Tentu mudah bagi Satria mengatasi alasan itu.Malam yang sunyi seperti biasanya. Filza mengotak-atik laptop di ruang keluarga. Satria ikutan duduk sambil menyeruput teh hangat buatannya sendiri. Satria melirik aktivitas Filza. Dia jadi penasaran."Ngapai
"Tapi ini berbahaya, Bu." Jelas seorang petugas pemadam kebakaran."Saya gak ...." Belum selesai berbicara, sosok Satria keluar dari pintu rumah.Filza berlari menghampirinya. Sontak memeluk Satria, cemas. Satria yang mendapat pelukan seketika terdiam. Perasaan inilah yang dia rindukan. Perasaan yang sempat hilang. Kini mungkin telah kembali.Kejadian itu sudah lama. Setelah lima belas hari, akhinya Satria menemukan sebuah apartemen yang akan dia tinggali bersama Filza saat tanah yang dibelinya belum merampungkan pembangunan rumah. Dia membelinya setelah pemikiran yang panjang. Sekarang Satria dan Filza berada di rumah Biha. Mereka menyusun rencana pembangunan rumah baru."Mas, mau kopi?" Tanya Filza."Gak perlu.""Jadi, Kamu yakin tentang apartemen?" Tanya Biha serius pada Satria."Ya. Gak mungkin aku dan Filza terus-menerus numpang di sini. Lebih baik kami pindah ke apartemen dulu sebelum rumah barunya jadi."Setelah kejadian itu, Fi
Sosok Airin sudah ada di depan Filza. Tersenyum misterius. Satria yang penasaran siapa tamunya, mengikuti langkah Filza."Ngapain Kamu di sini?" Tanya Satria langsung pada intinya."Aku cuma mau ngasih ini buat kalian. Tadi habis dari pasar, sekalian mampir ke sini." Ucap Airin sambil memberikan sekantung penuh berisi bermacam buah-buahan pada Satria."Terima itu!" Perintah Satria pada istrinya.Beberapa detik kemudian, Airin duduk di sofa dalam apartemen mereka berdua. Pandangan Satria seperti tak suka dengan kedatangan Airin. Sama seperti suaminya, Filza juga tidak suka. Dia malah cemas Airin akan merebut hati Satria."Kamu gak takut tinggal di sini, apalagi sama Filza?" Tanya Airin pada Satria."Kalau udah selesai urusannya, Kamu boleh pergi!" Satria tegas.Airin nampak tidak suka. Tapi dia berusaha setenang mungkin. Sedangkan Filza sedikit bingung dengan ucapan Satria barusan. Bukannya menjawab, Satria malah mengusir wanita itu."K
"Rencana apa?" Tanya Satria sedikit cemas."Tante tau gimana caranya buat dia jauh dari Kamu, tanpa Kamu repot-repot ceraikan dia." Ucap Biha masih dengan nada liciknya.Sejak beberapa hari yang lalu Filza masak sedikit lebih dari biasanya. Karena beberapa hari belakangan ini, Satria selalu makan di rumah. Bagi Filza itu hal yang luar biasa dan dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas seperti itu.Langkah kaki Satria yang masuk rumah membuat Filza menghampirinya. Filza mencium punggung tangan Satria, ini sudah tujuh kalinya."Mas mau langsung makan?" Tanya Filza ramah."Iya." Satria berlalu sambil meletakkan tasnya di sofa ruang keluarga.Tibalah mereka di ruang makan. Filza memulai makannya setelah Satria menyantap sesendok pertama. Ingatan Satria tentang rencana Biha tadi harus mengurangi nafsu makannya."Filza.""Iya?" Filza yang kurang fokus, menjawab pertanyaan itu sedikit agak lambat."Minggu depan kita jalan-j
Filza keluar dari kamar hotel. Langkahnya mantap. Dia mengenakan masker mulut, agar dua pria itu tidak bisa mengenalinya lagi. Hari ini, di pagi yang indah, dia akan mulai mencari suaminya kembali.Tepat saat dia berada di depan hotel, sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya. Tentu Filza tidak mau menunda kesempatan itu. Dia menyiapkan ponselnya untuk mencari translate dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Karena jujur saja dia tidak pandai dalam bidang bahasa.Saat sopir bertanya ke mana dia akan pergi, dengan Bahasa Inggris, Filza menjawab dengan cara menunjukkan layar ponselnya yang di layar itu tertulis kalimat dengan Bahasa Inggris yang artinya, "bandara."Sopir langsung mengerti tempat mana yang akan dituju. Filza meninggalkan hotel dengan aman. Memang terlihat jelas dua pria aneh itu sudah berada tak jauh darinya beberapa menit lalu, tapi mereka tidak mengenali Filza.Saat sampai di bandara, dia langsung menuju tempat yang tiga hari lalu menja
"Kamu ngapain, Sat?" Biha muncul, mengacaukan aktivitas Satria.Spontan Satria menutup laptopnya. Menyembunyikan apa yang dia lakukan sedari tadi. Senyum dipaksa juga muncul dari bibirnya."Gak ngapa-ngapain, Tan. Cuma liat medsos." Jawab Satria."Lagi gak sibuk, ya?" Biha memperhatikan Satria yang santai, tidak seperti biasa."Iya, Tan."Jauh di negeri orang, hari berganti. Kini Filza sibuk menata rambutnya. Lalu membalutnya dalam pasmina. Dia bertekat kali ini untuk mencari cara kembali ke tanah kelahirannya.Hingga sampailah Filza di sebuah ruangan dengan beberapa orang di dalamnya. Dia tengah duduk berhadapan dengan seorang pria yang juga berasal dari Indonesia."Lalu di mana paspor Anda?" Tanya pria itu, yang kemudian diketahui bernama Ruslan."Saya sering menelpon suami saya juga kerabat saya. Salah satu dari mereka bilang kalau paspor saya sudah ada di tangan suami saya. Saya berusaha menelponnya lagi dan lagi, tapi satupun tida
"Aku bilang enggak. Udah sana!""Kenapa, sih? Mas selalu gak mau nganterin aku kalau aku yang minta?"Tanpa menunggu jawaban, Filza keluar. Mencari angkot di tengah hujan emang gak semudah menjentikkan jari. Tapi ada saja beberapa walau tidak terlalu banyak, siap mengantar Filza. Akhinya dia memilih angkot yang tepat.Apa benar itu angkot yang tepat? Di dalamnya duduk seorang penumpang pria. Filza menilai, dia harus berhati-hati. Pria gagah dengan kumis tebal. Terlihat garang. Sorot mata yang tajam membuat Filza tidak berani menoleh ke arah pria itu.Tampak pria asing itu mengawasi sekitar. Beberapa kali terdengar samar-samar supir berbicara. Entah bicara pada siapa. Derasnya hujan membuat suara supir itu tertelan.Pria misterius melirik ke sana ke mari. Seperti siap menghadapi sesuatu. Dia bangkit dari duduknya. Filza jadi ikutan waspada. Pria itu merogoh saku celana. Terkejut, ternyata yang dikeluarkan adalah sebuah pistol.Kini Filza gemetar ke