Share

Kecoa

Pagi, seperti biasa, Filza memasak. Juga seperti bisa, Satria hendak pergi begitu saja.

"Mas, mau ke mana?"

"Makan di luar."

"Di sini aja, Mas. Mas masih belum sembuh total."

"Aku gak papa. Jangan ganggu aku!"

Filza tak berani membantah. Dia membiarkan Satria keluar. Tapi bukan Filza namanya jika membiarkan begitu saja Satria keluar sendirian. Filza mengikutinya dari belakang.

Memaksakan diri menjadi sifat Satria sejak dulu. Dia harus mengakui bahwa sekarang rasa tubuhnya ingin ambruk. Tepat di depan pintu warung, Satria benar-benar ambruk. Semua yang berada di sekitar langsung mengerumuni Satria. Filza lari setelah memarkirkan sepeda motor.

"Mas, Mas bangun!" Filza berusaha menyadarkan Satria.

Beberapa menit setelah itu, Satria membuka mata. Di rumah sakit lagi dirinya saat ini. Pandangannya melayang pada sosok Biha di samping kanan dan Filza di samping kiri.

"Satria, Kamu kok bisa jadi gini, sih? Pasti dia yang gak becus ngerawat Kamu, ya?" Tanya Biha ketus.

Filza tersinggung. Benar-benar tersinggung. Rasanya ingin pergi saja dari sana.

"Gak papa, Tan. Aku yang maksa keluar. Sekarang aku mau pulang aja. Gak papa, kan?"

"Biar aku yang tanya ke dokter dulu." Ucap Filza.

"Gak perlu. Saya sudah tanya dan Satria boleh pulang. Tapi Kamu ingat satu hal, jangan mencoba keluar rumah lagi sebelum benar-benar sembuh!" Ucap Biha sambil menatap Satria kesal.

"Iya."

Di rumah, Satria mulai kebingungan. Dia tak mu memakan masakan istrinya, tapi dia lapar juga tidak boleh keluar. Sampai akhirnya Filza duduk di sampingnya membawakan seporsi menu sarapan yang sempat terlewatkan.

"Mas, makan dulu, ya!" Filza tersenyum manis.

"Aku mau pesen makanan aja." Jawaban yang baru saja dia temukan.

"Kenapa, sih? Aku sudah masak capek-capek." Merasa kecewa.

"Jangan paksa aku!"

Jadilah pagi ini Satria kedatangan kurir pengantar sarapannya. Mungkin besok dan seterusnya juga begini. Tidak mau ambil pusing, Filza memakan seporsi menu sarapan yang tadi dia berikan untuk Satria.

Setelah selesai dengan urusan sarapan itu, Filza kembali berhadapan dengan Satria. Rasanya kaku sekali. Tak ada kedekatan di antara keduanya.

"Mas, aku mau ke sekolah dulu. Mas jangan keluar, ya! Kalau ada butuh apa, Mas bisa telpon aku."

"Jangan ngatur!"

Ya sudahlah. Filza tak mau berurusan lebih panjang lagi. Lebih lama seperti ini membuatnya lelah.

Pulang mengajar, Filza setia menemani Satria duduk di sofa ruang keluarga. Satria membaca koran sedangkan Filza menonton acara televisi.

"Mas, mau aku buatkan apa?" Tanya Filza hati-hati.

"Gak."

"Ayolah, Mas!"

"Aku bilang enggak!"

"Mas kenapa sih? Mas gak mau apa percaya sama aku sedikit aja?"

"Percaya sama pembunuh? Jangan ngayal!" Sontak pergi begitu saja menuju kamarnya.

Filza tak fokus lagi menonton acara televisi. Dia memilih mematikan televisi itu dan masuk kamar juga.

Di kamarnya, Satria masih belum bisa tidur. Dia memandangi langit kamarnya dengan tatapan kosong.

"Lama-lama aku gak tahan ngadepin Si Pembunuh itu." Gumamnya dengan perasaan yang sudah jelas marah.

Pagi, pintu rumah diketuk dari luar. Filza yang membuka. Dilihatnya sosok pria dengan membawa sekotak yang entah isinya apa.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Filza bingung mau merespon apa.

"Ini pesanan Pak Satria." Memberikan kotak itu.

"E ... makasih."

"Ya, sama-sama."

Filza tak mau lancang membuka kotak itu. Dia memberikan benda itu pada Satria. Ternyata isinya menu sarapan untuk suaminya.

"Loh, Mas. Aku sudah masakin buat Kamu." Ucap Filza sedikit gusar.

"Udah aku bilang, kan? Aku makan di luar. Telinganya mana?"

Filza terkejut. Dia berusaha meredam api di hatinya yang membawa air mata ke kelopak matanya sendiri. Ditahan kuat-kuat agar tak jatuh.

Filza duduk sendirian di ruang makan. Lagi-lagi dia membayangkan Satria duduk di hadapannya tengah menyantap sarapan buatannya. Gembira rasanya walau itu hanya hayalan.

Suara benturan sendok dan piring membuat Filza tersadar, kembali ke dunia nyata. Satria sudah selesai makan. Dia meletakkan piring yang dia gunakan tadi ke tempat pencucian piring. Tangan Filza menghentikannya.

"Mas, biar aku aja."

Tanpa sepatah katapun, Satria menjauh. Lalu duduk kembali di tempatnya semula.

Filza diam-diam melihat chatnya yang tidak dibalas Satria sama sekali sejak dia menikah. Sengaja melihat foto Satria. Filza jadi senyum-senyum sendiri. Sekejap kemudian dia menyadari bahwa itu percuma. Senyum tak akan mengembalikan Satria yang dulu. Bahkan tidak adanya dirinya di sini tidak akan mengubah Satria.

Hari ini Filza bisa santai. Hari Minggu kesempatannya menemani Satria di rumah. Bukannya senang dengan adanya Filza di sampingnya, Satria malah muak. Bahkan secara terang-terangan dia bilang, "Kamu ke mana, kek! Yang penting jauh dari aku. Muak ketemu Kamu, tau gak?"

Apa yang dilakukan Filza setelah ucapan Satria tadi? Filza memilih diam di kamar sambil sesekali mengintip Satria yang duduk di sofa ruang keluarga.

"Gini banget, ya? Rasanya punya status tapi enggak dilihat." Gumamnya pada dirinya sendiri.

Mengatakan itu, membuat hatinya semakin remuk. Mungkin bukan remuk lagi, tapi hancur. Sayangnya Filza masih sangat mencintai Satria. Tidak bisa meninggalkan Satria begitu saja.

Masih jam sembilan pagi, bosan mulai mengarungi Filza. Dia keluar, bermaksud ke dapur mencari sesuatu yang bisa dimakan. Baru saja membuka toples camilan, suara teriakan Satria sungguh membuatnya lari cepat ke kamar Satria.

"Ada apa, Mas?" Tanya Filza panik, apalagi saat melihat Satria berdiri di atas ranjang.

"Itu ...." Menunjuk seekor kecoa di samping bantalnya yang tergeletak di lantai.

Muka panik Filza hilang, digantikan tawanya yang mengisi kamar Satria.

"Kok ketawa?" Tanya Satria geram.

"Sama kecoa aja takut." Berusaha menahan tawanya.

Satria langsung diam. Dia menatap Filza kesal lalu membuang muka. Tawa Filza semakin membahana. Tawanya tak bisa ditahan lagi. Satria malah terpaku, dia memandang wajah istrinya yang ceria. Bahkan matanya tidak berkedip untuk beberapa saat. Sampai akhirnya Filza menyadari tatapan aneh suaminya.

"Mas? Mas? Mas?!"

"Eh, apa?" Satria tersadar.

"Kamu kenapa?"

"Eng ... enggak papa." Satria terkejut melihat kecoa itu lagi.

"K ... kenapa masih ada di sana?" Menunjuk kecoa.

"Eh, maaf. Aku usir dia dulu, ya. Setidaknya enggak ganggu Kamu lagi." Sambil menahan tawa.

Setelah kecoa itu pergi dari kamar dan rumah mereka, Satria baru mau turun dari ranjang.

"Udah, sana keluar!" Usir Satria.

"Iya, Mas."

Raut wajah Filza yang tadinya gembira jadi muram lagi. Tentu saja mengusir kecoa bukan menjadi alasan Satria berubah.

Filza kembali ke kamarnya. Baru saja duduk, kepala Satria celingukan di tepi pintu kamarnya.

"Mas, masuk aja!"

"Kamu ikut aku!"

Mereka ke kamar Satria. Bingung, Filza mencoba mencerna sikap Satria.

"Mas, mau ngapain?"

"Apa masih ada kecoa yang lain?"

"Hah?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status