Raja Dwilaga berdiri saat melihat kedatangan Panglima Sada sendirian menuju singgasananya. Semua pejabat istana pun berdiri dengan penasaran, menunggu laporan dari sang Panglima. Saat Panglima Sada tiba di hadapan Raja Dwilaga, dia berlutut penuh hormat padanya lalu bicara padanya. “Ampun, Yang Mulia. Pangeran Sakai dan teman-teman seperguruannya sudah berhasil melaksanakan misi perguruan matahari untuk membasmi keberadaan Perguruan Tengkorak di muka bumi ini! Saat ini Gajendra dan murid-muridnya telah mati,” ucap Panglima Sada. Raja Dwilaga tampak haru mendengarnya. “Syukurlah! Aku senang mendengarnya,” sahut Raja Dwilaga padanya. “Tapi ada berita duka yang ingin hamba sampaikan yang mulia!” ucap Panglima Sada. “Apa itu, Panglima?” tanya Raja Dwilaga penasaran. “Semua pasukanku gugur dalam membantu misi itu dan Pangeran Kantata yang tiba-tiba datang menghalangi misi Pangeran Sakai, telah mati di tangan Pangeran Sakai sendiri,” jawab Panglima Sada yang masih menunduk hormat pada
Lima kapal layar yang sangat besar tengah mengarungi lautan. Saat itu laut tampak tenang. Seorang Panglima berdiri di atas kapal layar yang paling depan. Dia adalah Panglima Susesa yang datang dari kerajaan Tala. Seorang prajurit berdiri di sampingnya. Panglima Susesa menoleh padanya.“Berapa lama lagi kita akan tiba di Nusantara?” tanyanya.“Mungkin lima hari lima malam lagi, Panglima,” jawabnya.Panglima Susesa pun terdiam lalu kembali menatap lautan di hadapannya. Dia mengarungi samudera dari Tala menuju Nusantara atas perintah yang mulia rajanya. Beberapa upeti sudah disimpan baik-baik di perut kapal. Surat dari yang mulia rajanya untuk para raja di Nusantara sudah dia simpannya dengan baik.“Apa yang terjadi jika mereka menolak kedatangan kita, Panglima?” tanya prajuritnya.“Apapun itu, pesan dari yang mulia raja harus sampai kepada mereka. Jika tidak, mungkin peperangan jalannya,” jawab Panglima Susesa.Prajurit itu pun terdiam.“Sebenarnya, apakah tujuan yang mulia raja hanya u
Pangeran Sakai berlutut di hadapan Raja Dwilaga di singgasana. Raja Dwilaga telah menjemput Pangeran Sakai di perguruan Matahari untuk menghadapnya sementara sebelum dia melaksanakan tugas terakhir di perguruan – mencari kitab sakti. Di sana sudah duduk Panglima Sada dan para pejabat istana.“Maafkan aku, yang mulia. Sepertinya rencana mengadakan upacara ikrar itu harus dibatalkan,” pinta Pangeran Sakai.Raja Dwilaga terkejut mendengarnya. Panglima Sada pun tak kalah terkejutnya.“Kenapa?”“Aku telah salah sangka. Aku kira Dahayu selama ini mencintaiku, ternyata itu dilakukan Dahayu karena tidak enak kepadaku, karena aku seorang Pangeran dari kerjaan ini, dia tidak bisa menolak cintaku sementara hatinya bukan untukku,” jawab Pangeran Sakai.Raja Dwilaga berdiri dengan marah.“Itu artinya Dahayu telah membohongimu dan mengkhianatimu! Dia harus dihukum!” geram Raja Dwilaga.Panglima Sada tampak panik mendengarnya, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Pangeran Sakai bersujud padanya.“I
“Apa yang ingin kau ingat lagi itu, Dahayu?” tanya Welas.“Bisakah kau melakukannya tanpa perlu aku menjelaskannya?” tanya Dahayu.“Kita duduk di lantai saja,” pinta Welas.Mereka pun duduk bersila saling menghadap. Welas menatap Dahayu dengan tatapan serius.“Pejamkan matamu,” pinta Welas.Dahayu mengangguk. Gadis itu pun memejamkan matanya. Tak lama kemudian Welas membacakan mantra lalu di tangannya keluar cahaya putih. Welas menempelkan cahaya putih itu ke kening Dahayu.Tak berapa lama kemudian Welas melihat Dahayu sedang berlari di padang bunga yang bermekaran. Padang bunga itu sangat luas. Dahayu menarik tangan seorang lelaki sambil berlari menembus bebungaan yang harumnya tercium ke hidungangnya di sana. Namun saat Welas berusaha untuk ingin melihat siapa lelaki yang tangannya dipegang tangan Dahayu itu, Welas tidak bisa melihatnya.GUBRAAAK!Dahayu dan Welas terkejut ketika mendapati pintu kamarnya terbuka dan Nyi Laksita sudah berdiri di ambang pintu dengan mata melotot.“Apa
Kepala Perguruan menatap wajah Bimantara dengan lekat.“Suwarnadwipa adalah negeri nun jauh dari negeri kita. Wilayah asing yang tidak termasuk dari kekuasaan tiga kerajaan di negeri kita. Mereka pun memiliki perguruan sendiri yang keagungannya sama dengan Perguruan Matahari,” ucap Kepala Perguruan.Bimantara mendengarkannya dengan serius.Kepala Perguruan kembali melanjutkan kata-katanya. “Jangan pernah menggunakan ajian penakluk binatang jika sudah memasuki wilayah Suwarnadwipa. Ajian itu hanya untuk di negeri kita saja.”“Memangnya kenapa jika aku menggunakan ajian itu, Tuan Guru?” tanya Bimantara penasaran.“Semua makhluk yang ada di Suwarnadwipa adalah milik kerjaan di sana. Itu sama saja kau mencoba menguasai para prjaurit di kerajaan sana. Itu tidak terhormat dan perbuatan terlarang di dalam dunia persilatan,” jawab Kepala Perguruan.“Padahal aku ingin mengajak Tuan Nagaku untuk be
Pendekar Rambut Emas mendatangi Kepala Perguruan di ruangannya. Dia langsung duduk hormat menghadapnya.“Tuan Guru, apakah benar engkau hendak mengirimkan Bimantara ke pulau Suwarnadwipa?” tanya Pendekar Rambut Emas dengan heran.Kepala Perguruan terkejut mendengarnya. Namun dia tidak ingin bertanya darimana pendekar perempuan itu tahu akan hal itu.“Iya,” jawab Kepala Perguruan.“Apakah itu tidak berbahaya untuk Bimantara? Meskipun dia berhasil mengalahkan Gajendra dan murid-muridnya, bukan berarti kita harus semena-mena menyuruhnya,” protes Pendekar Rambut Emas padanya. “Kenapa tidak meminta bantuan pihak istana saja untuk mengirimkan para prajuritnya ke sana? Aku kira itu akan lebih cepat untuk menemukan bunga raksasa merah itu.”“Jika itu aku lakukan, itu sangat berlebihan. Itulah kenapa aku meminta Bimantara. Pertama dia sudah selai melaksanakan tugas terakhirnya mencari kitab sakti. Kedua
Bimantara memasuki gua dengan tongkatnya. Obor api di tangannya. Raut wajahnya tampak sedih memandangi isi gua itu. Bimantara pun menyalakan obor-obor di dalam gua itu. Hingga isi gua tampak terang. Tak lama kemudian dia duduk di atas kasur jerami sambil mengitari pandangannya ke sekitar gua. Bayangan-bayangan saat latihan bersama Ki Walang terngiang. Bimantara berdiri, dia tampak sedih mengingat itu semua.“Ampun, Tuan Guru!”“Tidak ada ampun untukmu!”Bimantara meneteskan air mata mengingat itu.“Apakah aku sudah boleh istirahat?”“Kau tidak boleh istrirahat sampai menguasai satu jurus dariku!”Kini air mata Bimantara bercuruan.“Tuan Guru, sepertinya aku demam! Bolehkah aku pergi ke tempat Tabib untuk dirawat di sana?”“Aku tahu kau hanya berbohong padaku! Kau hanya ingin istirahat saja! Tidak boleh! Kau harus menguasai satu jurus lagi baru boleh istirahat!&rd
Siang itu, Raja Dawuh berdiri di atas bangunan tinggi di pinggir pantai. Laut yang terbentang di hadapannya adalah samudera luas. Nun jauh di sana adalah wilayah asing yang tidak termasuk wilayah Nusantara. Dia memandangi lautan luas di hadapannya dengan lekat. Para prajuritnya sudah berjaga di sepanjang garis pantai wilayah Kerajaan Nusantara Tengah. Seorang lelaki, Sang Panglima yang baru dilantiknya naik ke atas bangunan itu lalu menghadap Sang Raja Muda itu. Dia adalah Panglima Adhira.“Ampun yang mulia! Para prajurit sudah hamba kerahkan untuk menjaga di setiap titik garis pantai wilayah kerajaan,” ucapnya.Raja muda itu menoleh pada Adhira.“Bagus, kalian jangan sampai lengah! Jika kapal-kapal layar itu sudah berdatangan, siapkan penyerangan jika kedatangan mereka untuk memerangi kita,” pinta Raja Dawuh.“Baik yang mulia!” ucap Panglima Adhira. “Ampun yang mulia, apakah yang mulia benar-benar yakin kalau pasukan kerajaan dari Tala akan menuju ke sini? Bukankah yang mulia mendapa