Pendekar Rambut Emas mendatangi Kepala Perguruan di ruangannya. Dia langsung duduk hormat menghadapnya.
“Tuan Guru, apakah benar engkau hendak mengirimkan Bimantara ke pulau Suwarnadwipa?” tanya Pendekar Rambut Emas dengan heran.
Kepala Perguruan terkejut mendengarnya. Namun dia tidak ingin bertanya darimana pendekar perempuan itu tahu akan hal itu.
“Iya,” jawab Kepala Perguruan.
“Apakah itu tidak berbahaya untuk Bimantara? Meskipun dia berhasil mengalahkan Gajendra dan murid-muridnya, bukan berarti kita harus semena-mena menyuruhnya,” protes Pendekar Rambut Emas padanya. “Kenapa tidak meminta bantuan pihak istana saja untuk mengirimkan para prajuritnya ke sana? Aku kira itu akan lebih cepat untuk menemukan bunga raksasa merah itu.”
“Jika itu aku lakukan, itu sangat berlebihan. Itulah kenapa aku meminta Bimantara. Pertama dia sudah selai melaksanakan tugas terakhirnya mencari kitab sakti. Kedua
Bimantara memasuki gua dengan tongkatnya. Obor api di tangannya. Raut wajahnya tampak sedih memandangi isi gua itu. Bimantara pun menyalakan obor-obor di dalam gua itu. Hingga isi gua tampak terang. Tak lama kemudian dia duduk di atas kasur jerami sambil mengitari pandangannya ke sekitar gua. Bayangan-bayangan saat latihan bersama Ki Walang terngiang. Bimantara berdiri, dia tampak sedih mengingat itu semua.“Ampun, Tuan Guru!”“Tidak ada ampun untukmu!”Bimantara meneteskan air mata mengingat itu.“Apakah aku sudah boleh istirahat?”“Kau tidak boleh istrirahat sampai menguasai satu jurus dariku!”Kini air mata Bimantara bercuruan.“Tuan Guru, sepertinya aku demam! Bolehkah aku pergi ke tempat Tabib untuk dirawat di sana?”“Aku tahu kau hanya berbohong padaku! Kau hanya ingin istirahat saja! Tidak boleh! Kau harus menguasai satu jurus lagi baru boleh istirahat!&rd
Siang itu, Raja Dawuh berdiri di atas bangunan tinggi di pinggir pantai. Laut yang terbentang di hadapannya adalah samudera luas. Nun jauh di sana adalah wilayah asing yang tidak termasuk wilayah Nusantara. Dia memandangi lautan luas di hadapannya dengan lekat. Para prajuritnya sudah berjaga di sepanjang garis pantai wilayah Kerajaan Nusantara Tengah. Seorang lelaki, Sang Panglima yang baru dilantiknya naik ke atas bangunan itu lalu menghadap Sang Raja Muda itu. Dia adalah Panglima Adhira.“Ampun yang mulia! Para prajurit sudah hamba kerahkan untuk menjaga di setiap titik garis pantai wilayah kerajaan,” ucapnya.Raja muda itu menoleh pada Adhira.“Bagus, kalian jangan sampai lengah! Jika kapal-kapal layar itu sudah berdatangan, siapkan penyerangan jika kedatangan mereka untuk memerangi kita,” pinta Raja Dawuh.“Baik yang mulia!” ucap Panglima Adhira. “Ampun yang mulia, apakah yang mulia benar-benar yakin kalau pasukan kerajaan dari Tala akan menuju ke sini? Bukankah yang mulia mendapa
Bimantara tengah berlatih jurus-jurusnya di dalam gua. Dia sedang melatih kembali teknik tendangan seribunya. Seketika tubuhnya berpindah dengan cepat. Melompat dengan kaki cahayanya menginjaki dinding gua. Tak berapa lama kemudian sesorang menarik tubuhnya dengan cepat lalu membawanya mendarat di atas dasar gua.Bimantara terbelalak ketika mendapati Pendekar Tangan Besi sudah berada di hadapannya sambil memegangi kedua lengannya.“Tuan Guru?” ucap Bimantara heran melihat Kepala Perguruan itu mampu menangkap tubuhnya disaat dia tengah melakukan teknik tendangan seribu.“Kau masih harus melatih konsentrasimu saat melakukan jurus tendangan seribu, jika tidak musuh akan menggunakan tekniknya untuk mengetahui keberadaanmu disaat tubuhmu bergerak cepat,” pinta Kepala Perguruan.“Baik, Tuan Guru,” ucap Bimantara. “Apakah Tuan Guru menjengukku kemari karena pengembaraanku sudah harus aku lakukan?” tanya Bimantara heran.Kepala Perguruan mengeluarkan pelakat perak dari balik pakaiannya lalu m
Esoknya, Bimantara berdiri dengan tongkatnya di hadapan Kepala Perguruan dan teman-temannya. Dahayu menatap Bimantara dengan sedih. Sementara Bimantara menatap wajah Kepala Perguruan dengan tatapan penuh semangat. Buntalan kain sudah di punggungnya.“Aku berangkat, Tuan Guru Besar. Aku pasti kembali membawa bunga raksasa merah itu,” ucap Bimantara.“Ingat semua pesanku agar kau bisa menempuh pulau itu dengan aman,” pinta Kepala Perguruan padanya.“Baik, Tuan Guru.”Bimantara pun menoleh pada Dahayu. “Aku pergi dulu,” ucap Bimantara.Dahayu pun mengangguk. Lalu Bimantara menoleh pada Kancil, Pangeran Sakai, Rajo, Wira, Welas dan Sanum sambil tersenyum.“Aku pasti akan merindukan bertualang bersama kalian lagi,” ucap Bimantara.Semua tersenyum padanya.“Jaga dirimu baik-baik,” pinta Kancil.Bimantara mengangguk. “Semoga kalian semuanya bisa berhasil melakukan tugas terakhir untuk mendapatkan kitab sakti masing-masing.”Bimantara pun berjalan menuju kapal layar milik perguruan. Kapal lay
Malam itu Raja Dawuh mengadakan jamuan makan malam bersama Panglima Susesa di istana. Hidangan lezat sudah tersaji di atas meja. Para pelayan berdiri mengelilingi mereka, bersiap diperintah untuk kelancaran jamuan makan malam itu. Maksud kedatangannya ke sana sudah dibicarakan sebelumnya. Raja Dawuh menyambut dengan baik niat kerjaan Tala untuk menyambungkan kembali persahabatan yang redup hampir seratus tahun lamanya.“Hamba sangat mengucapkan ribuan terima kasih kepada yang mulia telah menyambut hamba dengan baik,” ucap Panglima Susesa penuh hormat.“Selama niat kerjaan Tala mengunjungi kami dengan niat yang baik, tentu saya akan menyambutnya dengan baik,” sahut Raja Dawuh. “Saya juga mengucapkan terima kasih atas hadiah yang diberikan yang mulia rajamu kepada saya.Panglima Susesa angguk-angguk. Raja Dawuh kembali menikmati makan malamnya. Panglima Susesa melihat ke prajuritnya yang berdiri sebentar, memberi kode bahwa misi mereka untuk melepaskan para pendekar dalam awak kapal har
Saat kelima pendekar itu maju hendak mengeluarkan jurus-jurusnya ke Bimantara. Bimantara pun langsung melompat dan menggunakan jurus tendangan seribunya pada mereka. Kelima pendekar itu pun terpelanting jauh menghantam pepohonan. Mereka mendarat ke atas tanah sambil memegangi bagian tubuh yang sakit.Bimantara memutar kepalanya untuk melihat mereka satu-satu dengan pandangan mata tajam. “Jangan lagi lakukan ini kepada siapapun yang melewati jalanan ini!” pinta Bimantara. “Hari ini aku tidak akan membunuh kalian, tapi jika sekali lagi aku melihat kalian merampok di sini, maka aku tidak akan segan-segan mematahkan leher kalian!”“Ampun anak muda! Ampuni kami!” mohon salah satu pendekar itu pada Bimantara. Keempat pendekar lainnya pun berlutut padanya memohon ampunan.“Kami berjanji tak akan merampok di sini lagi! Mohon jangan bunuh kami,” ucap pendekar lainnya.Bimantara tidak menyahuti permohonan ampun mereka. Dia malah kembali melompat ke atas kuda, setelah itu dia kembali memacukan k
Prajurit itu datang menghadap Panglima Susesa di kediaman tamu kerajaan nusantara tengah. Panglima Susesa mengawasi sekitar, khawatir ada mata-mata kerajaan yang akan mendengar pembicaraan mereka. Saat dia merasa sudah aman, dia pun bicara pada prajuritnya.“Bagimana?” tanya Panglima Susesa padanya.“Semua pendekar sudah dilepaskan dari kurungannya,” jawab prajuritnya.“Bagus! Berarti esok kita bisa kembali ke kerajaan kita.”“Siap, Panglima!” jawab prajuritnya.Panglima Adhira yang sengaja mencuri dengar dari balik dinding kediaman tamu kerajaan itu tampak terkejut mendengarnya. Dia pun langsung pergi dari sana dengan langkah hati-hati. Namun langkahnya terhenti saat melihat Panglima Susesa melompat ke arahnya lalu mendarat di hadapannya.“Tidak sopan pihak kerjaan memata-matai tamu yang datang,” ancam Panglima Susesa padanya.“Kalian yang tidak sopan! Kamu sudah menyambut kedatangan kalian, namun ternyata kalian ingin mengacakukan kerajaan kami!” tegas Panglima Adhira.Panglima Suse
Pagi sekali, Raja Dawuh memanggil Panglima Adhira sebelum melepas kepergian tamu kerajaan dari kerajaan Tala. Panglima datang menemuinya di kediaman sang Raja. Dia berlutut penuh hormat padanya.“Ampun yang mula. Semalam hamba tidak menemukan kejanggalan apapun mengenai tamu kita,” ucap Panglima Adhira.Raja Dawuh mengernyit tak percaya. “Kau yakin?” tanyanya.“Hamba berkata benar yang mulia. Semalam hamba sudah mencoba berkeliling ke kediaman tamu kerajaan, namun hamba tidak menemukan kecurigaan apapun,” jawab Panglima Adhira.Raja Dawuh menarik napas berat lalu menghembuskannya.“Baiklah kalau begitu, mari kita hantarkan mereka untuk meninggalkan istana kita,” pinta Raja Dawuh sambil berdiri.“Baik, yang mulia,” ucap Panglima.Mereka pun berjalan menuju kediaman tamu kerajaan. Saat melangkah mengikuti Sang Raja, Panglima Adhira sebenarnya masih heran dengan kejadian semalam. Dia tiba-tiba berada di hadapan Panglima Susesa dan tidak ingat apapun kenapa dia tiba-tiba berada di hadapan