Esoknya, Bimantara berdiri dengan tongkatnya di hadapan Kepala Perguruan dan teman-temannya. Dahayu menatap Bimantara dengan sedih. Sementara Bimantara menatap wajah Kepala Perguruan dengan tatapan penuh semangat. Buntalan kain sudah di punggungnya.“Aku berangkat, Tuan Guru Besar. Aku pasti kembali membawa bunga raksasa merah itu,” ucap Bimantara.“Ingat semua pesanku agar kau bisa menempuh pulau itu dengan aman,” pinta Kepala Perguruan padanya.“Baik, Tuan Guru.”Bimantara pun menoleh pada Dahayu. “Aku pergi dulu,” ucap Bimantara.Dahayu pun mengangguk. Lalu Bimantara menoleh pada Kancil, Pangeran Sakai, Rajo, Wira, Welas dan Sanum sambil tersenyum.“Aku pasti akan merindukan bertualang bersama kalian lagi,” ucap Bimantara.Semua tersenyum padanya.“Jaga dirimu baik-baik,” pinta Kancil.Bimantara mengangguk. “Semoga kalian semuanya bisa berhasil melakukan tugas terakhir untuk mendapatkan kitab sakti masing-masing.”Bimantara pun berjalan menuju kapal layar milik perguruan. Kapal lay
Malam itu Raja Dawuh mengadakan jamuan makan malam bersama Panglima Susesa di istana. Hidangan lezat sudah tersaji di atas meja. Para pelayan berdiri mengelilingi mereka, bersiap diperintah untuk kelancaran jamuan makan malam itu. Maksud kedatangannya ke sana sudah dibicarakan sebelumnya. Raja Dawuh menyambut dengan baik niat kerjaan Tala untuk menyambungkan kembali persahabatan yang redup hampir seratus tahun lamanya.“Hamba sangat mengucapkan ribuan terima kasih kepada yang mulia telah menyambut hamba dengan baik,” ucap Panglima Susesa penuh hormat.“Selama niat kerjaan Tala mengunjungi kami dengan niat yang baik, tentu saya akan menyambutnya dengan baik,” sahut Raja Dawuh. “Saya juga mengucapkan terima kasih atas hadiah yang diberikan yang mulia rajamu kepada saya.Panglima Susesa angguk-angguk. Raja Dawuh kembali menikmati makan malamnya. Panglima Susesa melihat ke prajuritnya yang berdiri sebentar, memberi kode bahwa misi mereka untuk melepaskan para pendekar dalam awak kapal har
Saat kelima pendekar itu maju hendak mengeluarkan jurus-jurusnya ke Bimantara. Bimantara pun langsung melompat dan menggunakan jurus tendangan seribunya pada mereka. Kelima pendekar itu pun terpelanting jauh menghantam pepohonan. Mereka mendarat ke atas tanah sambil memegangi bagian tubuh yang sakit.Bimantara memutar kepalanya untuk melihat mereka satu-satu dengan pandangan mata tajam. “Jangan lagi lakukan ini kepada siapapun yang melewati jalanan ini!” pinta Bimantara. “Hari ini aku tidak akan membunuh kalian, tapi jika sekali lagi aku melihat kalian merampok di sini, maka aku tidak akan segan-segan mematahkan leher kalian!”“Ampun anak muda! Ampuni kami!” mohon salah satu pendekar itu pada Bimantara. Keempat pendekar lainnya pun berlutut padanya memohon ampunan.“Kami berjanji tak akan merampok di sini lagi! Mohon jangan bunuh kami,” ucap pendekar lainnya.Bimantara tidak menyahuti permohonan ampun mereka. Dia malah kembali melompat ke atas kuda, setelah itu dia kembali memacukan k
Prajurit itu datang menghadap Panglima Susesa di kediaman tamu kerajaan nusantara tengah. Panglima Susesa mengawasi sekitar, khawatir ada mata-mata kerajaan yang akan mendengar pembicaraan mereka. Saat dia merasa sudah aman, dia pun bicara pada prajuritnya.“Bagimana?” tanya Panglima Susesa padanya.“Semua pendekar sudah dilepaskan dari kurungannya,” jawab prajuritnya.“Bagus! Berarti esok kita bisa kembali ke kerajaan kita.”“Siap, Panglima!” jawab prajuritnya.Panglima Adhira yang sengaja mencuri dengar dari balik dinding kediaman tamu kerajaan itu tampak terkejut mendengarnya. Dia pun langsung pergi dari sana dengan langkah hati-hati. Namun langkahnya terhenti saat melihat Panglima Susesa melompat ke arahnya lalu mendarat di hadapannya.“Tidak sopan pihak kerjaan memata-matai tamu yang datang,” ancam Panglima Susesa padanya.“Kalian yang tidak sopan! Kamu sudah menyambut kedatangan kalian, namun ternyata kalian ingin mengacakukan kerajaan kami!” tegas Panglima Adhira.Panglima Suse
Pagi sekali, Raja Dawuh memanggil Panglima Adhira sebelum melepas kepergian tamu kerajaan dari kerajaan Tala. Panglima datang menemuinya di kediaman sang Raja. Dia berlutut penuh hormat padanya.“Ampun yang mula. Semalam hamba tidak menemukan kejanggalan apapun mengenai tamu kita,” ucap Panglima Adhira.Raja Dawuh mengernyit tak percaya. “Kau yakin?” tanyanya.“Hamba berkata benar yang mulia. Semalam hamba sudah mencoba berkeliling ke kediaman tamu kerajaan, namun hamba tidak menemukan kecurigaan apapun,” jawab Panglima Adhira.Raja Dawuh menarik napas berat lalu menghembuskannya.“Baiklah kalau begitu, mari kita hantarkan mereka untuk meninggalkan istana kita,” pinta Raja Dawuh sambil berdiri.“Baik, yang mulia,” ucap Panglima.Mereka pun berjalan menuju kediaman tamu kerajaan. Saat melangkah mengikuti Sang Raja, Panglima Adhira sebenarnya masih heran dengan kejadian semalam. Dia tiba-tiba berada di hadapan Panglima Susesa dan tidak ingat apapun kenapa dia tiba-tiba berada di hadapan
Kepala Pergurun berdiri sambil menatap Pendekar Pedang Emas yang tampak sadar namun masih terlihat lemas di ruangan Tabib Perguruan. Pendekar itu menatap kepala perguruan dengan lemah.“Apakah aku masih bisa diselamatkan?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan sedih.“Percayalah, kau pasti akan sembuh. Bimantara tengah mengarungi samudera menuju daratan Suwarnadwipa untuk mendapatkan obat yang bisa mengeluarkan racun di tubuhmu,” jawab Kepala Perguruan.Pendekar Pedang Emas terkejut mendengarnya. “Kenapa harus jauh-jauh ke sana untuk mendapatkan obat penawar racun di tubuhku?”“Hanya di sana bunga raksasa merah berada. Dan hanya di sana kita bisa menemukannya,” jawab Kepala Perguruan.Pendekar Pedang Emas menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan sendu. “Harusnya Tuan Guru Besar tidak mengutus Bimantara ke sana,” ucap pendekar itu dengan tidak enak hati.“Hanya dia yang bisa ke sana. Semua murid harus menyelesaikan tugas akhirnya. Semua penghuni perguruan harus menunaikan tugas mas
Datuk Margi dan keempat pendekar lainnya tertawa melihatnya.“Kenapa? Kau belum pernah merasakannya?” tawa Datuk Margi.Keempat pendekar lainnya pun semakin terbahak-bahak melihat Bimantara tampak ketakutan dengan perempuan itu.“Aku akan mengajarimu,” rayu perempuan itu sambil bekedip pada Bimantara.“Maaf, sama yang lain saja, jangan denganku,” pinta Bimantara.Bimantara pun melangkah meninggalkan mereka menuju ujung kapal. Datuk Margi tampak marah. Dia melompat lalu berputar melewati Bimantara lalu mendarat ke hadapannya. Bimantara terkejut melihatnya.“Kau tidak tahu caranya berterima kasih pada tuan rumahmu,” ucap Datuk Margi dengan marah.“Maaf, aku tidak boleh melakukan itu,” ucap Bimantara dengan polosnya. Bagaimana pun dia ingin setia dengan Dahayu. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan selalu mencintai dahayu dan tak akan mengotori dirinya dengan perempuan lain.Saat Datuk Margi hendak mengeluarkan jurusnya untuk memberi pelajaran pada Bimantara. Tiba-tiba Saruang ber
Kakek Kepala Perguruan Elang Putih sedang berputar-putar di atas langit. Murid-muridnya di bawah tampak tercengang melihatnya. Mereka menempati padepokan yang dulu dihuni oleh Perguruan Tengkorak. Menurut Kakek itu, di atas bukit itu adalah tempat terbaik untuk menurunkan ilmu pada murid-muridnya.“Lemparkan minuman padaku?” teriaknya di atas langit sana.Para muridnya bingung. Keberadaannya yang sangat tinggi itu tidak mungkin melemparkan bambu tempat minumannya.“Cepaaat!” teriak Kakek itu.Tak lama kemudian seorang muridnya melempar tempat minuman yang terbuat dari bambu itu ke atas, namun lemparannya tidak begitu tinggi. Kakek itu terbang ke bawa lalu dengan cepat menangkap tempat minuman itu lalu mendarat ke atas tanah dan menenggaknya hingga habis.Semua murid yang mengelilinginya tampak bertepuk tangan. Kakek itu melempar tempat minuman itu dengan geram. Dia mendekat pada muridnya yang gagal melemparkan tempat minuman tadi.“Sudah ratusan purnama saya mengajarkan ilmu tenaga da
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it