Kepala Perguruan Matahari tengah berdiri di hadapan Pangeran Sakai dan teman-teman seangkatannya. Dia menatap semua murid itu dengan tatapan serius.“Esok pagi kalian harus melaksanakan tugas terakhir kalian di sini. Kalian harus menemukan kitab sakti masing-masing sesuai dengan petunjuk yang sudah diberikan oleh guru utama masing-masing,” ucap Pendekar Tangan Besi dengan serius.“Siap, Tuan Guru!” jawab semuanya.Kancil dan Dahayu saling menoleh. Mereka teringat bagaimana perjuangan Bimantara dulu untuk menemukan Lembah Gunung Menara dahulu. Sekarang giliran mereka.“Kalian harus menyamar dalam pengembaraan! Jangan sampai ada yang tahu kalau kalian berasal dari perguruan matahari! Dan ingat! Kalian tidak diperbolehkan kembali ke perguruan sebelum kalian mendapatkan kitab sakti masing-masing!” lanjut Pendekar Tangan Besik.“Siap, Tuan Guru!” jawab semuanya.Tak lama kemudian seorang guru pendamping berlari ke arah mereka. Saat dia tiba di dekat mereka, dia langsung memanggil kepala Pe
Bimantara terbangun di atas kapal saat mendengar suara nyanyian dari kejauhan. Dia terkejut melihat para awak kapal sedang tertidur pulas. Begitupun dengan Datuk Margi, Saruang dan ketiga pendekar lainnya.Kapal itu berhenti di tengah-tengah samudera yang luas di bawah rembulan. Bimantara berdiri lalu berjalan dengan tongkatnya ke sisi kapal. Lautan tampak tenang di hadapannya. Tenang seperti air kolam. Bimantara heran.Suara nyayian itu semakin jelas terdengar. Bimantara mencari-cari sumber suaranya. Namun saat dia mencari sumber suara, dia heran mendengar suara nyanyian itu datang dari berbagai arah.“Bimantaraaa!”Bimantara terkejut mendengar suara perempuan memanggilnya disertai tawa cecicikan yang terdengar manja. Bimantara menatap ke bawah. Tak ada siapapun di bawah sana. Ikan-ikan pun tak nampak berenang di permukaan lautan malam.“Bimantaraaa!”Bimantara mencoba berjalan ke sisi kapal satunya. Dia pun tak melihat siapa-siapa di bawah sana. Anehnya panggilan itu berasal dari lu
Bimantara bersiap dengan pedang perak cahaya merahnya. Saruang tampak awas. Kini semua menghening. Saruang berjalan ke sisi kapal lalu memeriksa di bawah sana, dia tak melihat ikan besar itu lagi. Saruang pun mengitari sisi kapal, memeriksa sekitar kapal, dia lega tak melihat para putri duyung itu lagi.“Sepertinya kita sudah aman,” ucap Saruang lega.Bimantara pun menurunkan pedangnya dengan lega.“Kita harus menggerakkan layar agar kapal ini kembali berlayar,” pinta Bimantara.Saruang pun mengangguk. Namun ketika Saruang berjalan ke tiang layar, tiba-tiba kedua tangan hitam yang memanjang menariknya ke belakang.“Bimantaraaa!” teriaknya.Bimantara terkejut. Dia langsung berlari ke hadapan hendak memutus tangan itu dengan pedangnya, namun tubuh Saruang keburu ditarik ke bawah hingga dia terjatuh ke atas lautan malam.“Saruaaang!” teriak Bimantara.Saruang menggerak-gerakkan tangannya di atas permukaan laut hendak berenang menuju kapal, namun tangan itu kian cepat menyeretnya ke belak
Dahayu duduk termenung sendiri di depan pintu kamarnya. Dia memandangi langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Welas datang lalu duduk di sebelahnya.“Kenapa kau belum tidur? Apa karena memikirkan tugas terakahir kita esok pagi?” tanya Welas heran.“Tidak apa-apa,” jawab Dahayu. “Aku belum mengantuk saja.” Dia terpaksa berbohong pada gadis itu. Dia masih memikirkan siapa cinta sejatinya dan dia masih memikirkan perkataan mendiang ibunya yang melarang menyentuh lelaki sembarang karena itu bisa mengembalikannya ke alam peri jika lelaki yang menyentuhnya itu bukan cinta sejatinya.Welas memandangi wajah Dahayu dengan jeli. Dia tahu Dahayu masih memikirkan apa yang dia minta dulu untuk menerawang siapa cinta senjatinya.“Kau ragu kalau Bimantara bukan cinta sejatimu?” tanya Welas tiba-tiba.Dahayu terkejut mendengarnya. “Tidak! Aku tidak pernah meragukannya,” jawab Dahayu berbohong.Welas tertawa.“Aku ini memiliki kesaktian kebatinan! Dan aku sudah lulus tinggal mencari kitab sakti s
Datuk Margi membawa Bimantara ke perut kapal. Mereka berdiri di depan pintu kamar.“Kau bisa istirahat di sini,” pinta Datuk Margi dengan ramah.Bimantara heran melihat kebaikan Datuk Margi yang tiba-tiba itu. Apa ini karena dia telah menyelamtkan Saruang? Pikirnya. Bimantara bingung.“Aku di atas kapal saja,” jawab Bimantara.“Kau jangan khawatir. Tidak ada para perempuan itu di dalam sana. Aku tahu kau tipe lelaki setia,” ucap Datuk Margi yang curiga kalau Bimantara menolak tawarannya untuk istirahat di sana karena itu.Bimantara pun terdiam. Datuk Margi membuka pintu kamar itu.“Masuklah dan istirahatlah,” pinta Datuk Margi.Akhirnya Bimantara pasrah lalu masuk ke dalam kamar di dalam perut kapal itu. Datuk Margi tersenyum senang.“Selamat beristirahat!” ucap Datuk Margi lalu bergegas pergi meninggalkannya. Bimantara pun menutup pintu kamar itu lalu duduk di tepi kasur. Dia memandangi ruang kamar yang kecil itu.Sesaat kemudian dia meraih sebuah lukisan di balik pakaiannya. Lalu me
Bimantara terbangun saat mendengar suara ketukan pintu di kamar sempit di dalam perut kapal itu. Cahaya keluar dari celah-celah pintu. Rupanya hari sudah pagi. Bimantara pun bergegas bangkit, meraih tongkatnya lalu berjalan membuka pintu. Saruang tersenyum padanya di ambang pintu.“Datuk mengajak sarapan bersama di atas,” pinta Saruang.Bimantara mengangguk. Saat Saruang hendak kembali ke atas, Bimantara memanggilnya.“Saruang!”Saruang menoleh heran padanya. “Iya,” jawabnya.“Berapa lama lagi kira-kira kita akan tiba ke Suwarnadwipa?” tanya Bimantara.“Mungkin sekitar lima hari lima malam lagi,” jawab Saruang.Bimantara terkejut mendengarnya.“Lama sekali,” keluhnya.Saruang tersenyum padanya. “Pelayaran dari Nusantara ke Suwarnadwipa memang jauh.”Bimantara angguk-angguk.“Kita tunggu di atas,” ucap Saruang lalu pergi ke atas sana. Bimantara pun bersiap-siap keluar dari kamar sempit itu.Saat dia sudah tiba ke atas. Matahari terbit tampak bersinar indah memantulkan cahayanya ke perm
Dan di hari itu, Kepala Perguruan Matahari tengah melepas murid-murid barunya untuk melaksanakan tugas terakhir perguruan mencari kitab sakti. Pangeran Sakai, Dahayu, Kancil, Wira, Rajo, Welas dan Sanum berdiri di hadapannya. Semua penghuni perguruan juga sudah berdiri di dermaga itu hendak melepas kepergian mereka, kecuali Pendekar Pedang Emas yang masih terbaring di kediaman Tabib Perguruan.Kancil akan mengembara ke arah hulu sungai air keruh. Pangeran Sakai dan Rajo akan bersama-sama mengembara ke Bukit Kapur. Dahayu dan Sanum akan bersama-sama mengembara ke pulau sutera. Wira akan mengembara sendiri ke gua kelelawar. Terakhir Welas, dia diminta mencari kitab sakti di wilayah ujung Nusantara.Kepala Perguruan menyapu pandangannya ke arah mereka sambil berkata. “Apapun yang terjadi, kalian tidak diperbolehkan bertarung kecuali ada yang duluan menyerang kalian,” pinta Pendekar Tangan Besi pada mereka.“Siap, Tuan Guru!” jawab Semuanya.“Saya harap kalian berhasil menemukan kitab sak
Bimantara pun mencari-cari sosok Dahayu di atas kapal itu. Namun dia tidak menemukannya di sana.“Benarkah engkau Dahayu?” tanya Bimantara tak percaya. “Kenapa aku tidak bisa melihat sukmamu jika kau sedang meraga sukma padaku?”“Aku tidak tahu. Di sini aku hanya dapat menatapmu yang tengah mencari-cari keberadaanku di atas sebuah kapal. Apakah benar kau sudah melakukan pelayaran, Bimantara?” tanya Dahayu terdengar di telinga.“Iya, Dahayu,” jawab Bimantara.Awak kapal yang melihat Bimantara bicara sendiri tampak heran, namun dia tidak mau terlalu menghiraukannya. Dia tetap fokus pada layar kapalnya.“Syukurlah jika itu kamu yang aku lihat. Hari ini aku melakukan tugas terakhirku bersama teman-teman di perguruan. Aku harap kau bisa menemukan bunga raksasa merah itu dengan segera dan bisa segera kembali ke perguruan,” ucap Dahayu yang terdengar di telinga Bimantara.“Aku juga berharap kau berhasil menemukan kitab sakti itu. Jaga dirimu baik-baik,” pinta Bimantara.“Kau juga,” pinta Dah
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it