Dan di hari itu, Kepala Perguruan Matahari tengah melepas murid-murid barunya untuk melaksanakan tugas terakhir perguruan mencari kitab sakti. Pangeran Sakai, Dahayu, Kancil, Wira, Rajo, Welas dan Sanum berdiri di hadapannya. Semua penghuni perguruan juga sudah berdiri di dermaga itu hendak melepas kepergian mereka, kecuali Pendekar Pedang Emas yang masih terbaring di kediaman Tabib Perguruan.Kancil akan mengembara ke arah hulu sungai air keruh. Pangeran Sakai dan Rajo akan bersama-sama mengembara ke Bukit Kapur. Dahayu dan Sanum akan bersama-sama mengembara ke pulau sutera. Wira akan mengembara sendiri ke gua kelelawar. Terakhir Welas, dia diminta mencari kitab sakti di wilayah ujung Nusantara.Kepala Perguruan menyapu pandangannya ke arah mereka sambil berkata. “Apapun yang terjadi, kalian tidak diperbolehkan bertarung kecuali ada yang duluan menyerang kalian,” pinta Pendekar Tangan Besi pada mereka.“Siap, Tuan Guru!” jawab Semuanya.“Saya harap kalian berhasil menemukan kitab sak
Bimantara pun mencari-cari sosok Dahayu di atas kapal itu. Namun dia tidak menemukannya di sana.“Benarkah engkau Dahayu?” tanya Bimantara tak percaya. “Kenapa aku tidak bisa melihat sukmamu jika kau sedang meraga sukma padaku?”“Aku tidak tahu. Di sini aku hanya dapat menatapmu yang tengah mencari-cari keberadaanku di atas sebuah kapal. Apakah benar kau sudah melakukan pelayaran, Bimantara?” tanya Dahayu terdengar di telinga.“Iya, Dahayu,” jawab Bimantara.Awak kapal yang melihat Bimantara bicara sendiri tampak heran, namun dia tidak mau terlalu menghiraukannya. Dia tetap fokus pada layar kapalnya.“Syukurlah jika itu kamu yang aku lihat. Hari ini aku melakukan tugas terakhirku bersama teman-teman di perguruan. Aku harap kau bisa menemukan bunga raksasa merah itu dengan segera dan bisa segera kembali ke perguruan,” ucap Dahayu yang terdengar di telinga Bimantara.“Aku juga berharap kau berhasil menemukan kitab sakti itu. Jaga dirimu baik-baik,” pinta Bimantara.“Kau juga,” pinta Dah
Pendekar Buruk Rupa masih menunggu bersama Tama dan Salwa di pinggir dermaga Ujung Nusantara. Mereka duduk di dekat kuda masing-masing. Pendekar Buruk Rupa sengaja menutupi sebagian wajahnya dengan kain agar tidak mencuri perhatian orang-orang di sana. Saat itu di sekitar Dermaga tampak ramai. Kapal-kapal besar sedang berlabuh berjejer di sana. Orang-orang tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing.Tak lama kemudian seorang pendekar berikat kepala dan berambut panjang terurai datang dengan kudanya. Dia mencari-cari sosok keberadaan Pendekar Buruk Rupa, Tama dan Salwa yang telah mengiriminya surat untuk menyusul ke sana.Tama melihatnya lalu memanggilnya.“Darsa!” panggilnya.Pendekar itu menoleh ke arah Tama. Dia berbegas memacukan kudanya mendekati mereka. Pendekar Buruk Rupa dan yang lain berdiri menyambut kedatangan mereka. Saat Darsa tiba di hadapan mereka, dia langsung turun dari kuda lalu berdiri di hadapan mereka.Pendekar Buruk Rupa terkejut melihatnya.“Darsa?”“Iya, Tuan P
Bimantara berdiri di atas kapal sambil menyimpan pedang Perak Cahaya Merahnya ke punggung. Matanya menatap kapal-kapal kecil para perompak yang pecah di atas lautan. Datuk Margi tercengang melihatnya lalu mendekat ke Bimantara. Saruang dan tiga pendekar lainnya pun mengikuti jalan Datuk Margi di belakangnya.“Pedang apa yang kau gunakan itu, anak muda?” tanya Datuk Margi penasaran. Saruang dan tiga pendekar lainnya pun tampak menunggu jawaban Bimantara dengan penasaran.“Pedang biasa,” jawab Bimantara. Dia terpaksa melakukan itu dan menunjukkan kehebatan pedangnya pada mereka. Kalau tidak, mereka semua bisa mati diserang para prompak tadi.“Kau penuh dengan misteri anak muda! Kau sangat membuatku terkejut!” ucap Datuk Margi.“Terima kasih telah menyelamatkan kami untuk kesekian kalinya,” ucap Saruang kemudian.Bimantara hanya mengangguk.“Izinkan aku untuk istirahat sebentar,” pinta Bimantara.Datuk Margi mengangguk. Bimantara pun berjalan melewati mereka menuju perut kamar. Dia ingin
Bimantara baru selesai mengembalikan tenaga dalamnya. Dia tampak lega. Tak lama kemudian dia kembali mendengar sebuah suara. Dia memejamkan matanya mencoba menerawang. Bimantara terkejut melihat Pendekar yang wajahnya dipenuhi bulu mirip kera tengah membunuh awak kapal bersama pendekar lainnya. Mereka lalu melayarkan kapal layar itu menuju lautan.“Kita harus membawa kepala Candaka Uddhiharta ke Tala! Arahkan kapal ini menuju daratan Suwarnadwipa!” teriak Pendekar Buruk Rupa itu pada ketiga pendekar lainnya.Bimantara membuka matanya.“Mereka tengah mencariku? Mereka mengetahui pengembaraanku ke Suwarnadwipa hingga menyusulku?” tanya Bimantara dengan heran.***Sementara di Perguruan Matahari, Kepala Perguruan berdiri menatap Pendekar Pedang Emas yang tampak lemah. Dia sedang diberi ramuan oleh Tabib perguruan. Setelah meminum ramuan itu, Pendekar Pedang Emas tampak muntah. Tabib perguruan langsung membersihkan bekas muntahan Pendekar Pedang Emas. Pendekar itu akhirnya kembali dibari
Panglima Sada datang menghadap Raja Dwilaga di singgasana. Para pejabat istana sudah hadir di sana.“Ampun, yang mulia. Saat ini para pendekar dari kerajaan Tala yang cukup meresahkan penduduk kerajaan tengah diburu dan sebagian sudah dimasukkan ke dalam penjara istana,” lapor Panglima Sada.“Apakah sudah kau tanyakan kepada para tawanan alasan mereka membuat huru hara di kerajaan ini?” tanya Raja Dwilaga dengan penasaran.“Sudah yang mulia. Mereka diminta pihak kerajaan Tala untuk mencari Candaka Uddhiharta karena menurut peramal di sana, Candaka Uddhiharta diramalkan kelak akan menghancurkan kerajaan mereka,” jawab Panglima Sada.Raja Dwilaga mengernyit mendengarnya. Para pejabat istana yang lain pun tampak terkejut mendengarnya.“Candaka Uddhiharta?”“Iya, yang mulia,” jawab Panglima Sada.Raja Dwilaga pun menatap para pejabat istana dengan heran. “Apakah kalian percaya dengan Candaka Uddhiharta ini yang katanya datang setiap seratus tahun sekali untuk menjaga Nusantara?”Salah sat
Sementara itu, Raja Banggala dari kerajaan Nusantara Barat mendapatkan surat dari Kerajaan Nusantara Timur yang dihantarkan oleh Panglima Aras. Raja Banggala menatap semua pejabat istana di hadapannya dengan bingung.“Raja Dwilaga telah mengirim surat padaku untuk bersama-sama mengancam kerajaan Tala agar menarik semua pendekar yang kirim oleh mereka. Bagaimana menurut kalian?” tanya Raja Banggala.“Ampun yang mulia,” jawab salah satu pejabat istana. “Mungkin sebaiknya memang begitu. Meski saat ini para pendekar dari kerajaan Tala itu tengah mencari Candaka Uddhiharta di wilayah kerajaan Timur, tapi kita harus ikut andil dalam hal ini. Khawatirnya mereka juga akan bergerak ke wilayah kerajaan kita meskipun saat ini penjagaan sudah dilakukan dengan ketat.”Raja Banggala tampak berpikir. “Bagaimana menurutmu Panglima?” tanya Raja Banggala pada Panglima Aras.“Hamba setuju dengan apa yang dikatakannya, yang mulia!” jawab Panglima Aras.Raja Banggala tampak berpikir sesaat lalu dia memeri
Bimantara terbangun dengan lemah. Dia terkejut sudah berada di dalam ruangan yang sangat gelap. Dia tidak dapat melihat apapun di dalam ruangan itu yang hanya bisa didengarnya suara tetes air entaha berada di mana. Dia semakin terkejut ketika menyadari sudah tidak berada di dalam kapal layar lagi.“Di mana aku?” tanyanya heran.Tangannya terikat sebuah rantai. Tubuhnya tidak mengenakan selembar kain pun. Bimantara berusaha mengumpulkan tenaga dalamnya untuk melepaskan diri dari ikatan rantai itu. Namun racun di tubuhnya masih menguasai tubuhnya. Berkali-kali dia berusaha melakukannya namun dia tidak berhasil melakukannya.“Kau tak akan bisa lepas dari rantai itu dan tak akan bisa keluar dari kurungan ini wahai penjahat!” ucap seseorang yang tiba-tiba terdengar di telinganya.Bimantara terkejut mendengarnya.“Lepaskan aku! Aku bukan penjahat!” teriak Bimantara.Seseorang itu tertawa.“Kau adalah salah satu perompak yang kerap mencuri kapal-kapal di wilayah kerjaan Suwarnadwipa! Kau har
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it