Pendekar Buruk Rupa masih menunggu bersama Tama dan Salwa di pinggir dermaga Ujung Nusantara. Mereka duduk di dekat kuda masing-masing. Pendekar Buruk Rupa sengaja menutupi sebagian wajahnya dengan kain agar tidak mencuri perhatian orang-orang di sana. Saat itu di sekitar Dermaga tampak ramai. Kapal-kapal besar sedang berlabuh berjejer di sana. Orang-orang tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing.Tak lama kemudian seorang pendekar berikat kepala dan berambut panjang terurai datang dengan kudanya. Dia mencari-cari sosok keberadaan Pendekar Buruk Rupa, Tama dan Salwa yang telah mengiriminya surat untuk menyusul ke sana.Tama melihatnya lalu memanggilnya.“Darsa!” panggilnya.Pendekar itu menoleh ke arah Tama. Dia berbegas memacukan kudanya mendekati mereka. Pendekar Buruk Rupa dan yang lain berdiri menyambut kedatangan mereka. Saat Darsa tiba di hadapan mereka, dia langsung turun dari kuda lalu berdiri di hadapan mereka.Pendekar Buruk Rupa terkejut melihatnya.“Darsa?”“Iya, Tuan P
Bimantara berdiri di atas kapal sambil menyimpan pedang Perak Cahaya Merahnya ke punggung. Matanya menatap kapal-kapal kecil para perompak yang pecah di atas lautan. Datuk Margi tercengang melihatnya lalu mendekat ke Bimantara. Saruang dan tiga pendekar lainnya pun mengikuti jalan Datuk Margi di belakangnya.“Pedang apa yang kau gunakan itu, anak muda?” tanya Datuk Margi penasaran. Saruang dan tiga pendekar lainnya pun tampak menunggu jawaban Bimantara dengan penasaran.“Pedang biasa,” jawab Bimantara. Dia terpaksa melakukan itu dan menunjukkan kehebatan pedangnya pada mereka. Kalau tidak, mereka semua bisa mati diserang para prompak tadi.“Kau penuh dengan misteri anak muda! Kau sangat membuatku terkejut!” ucap Datuk Margi.“Terima kasih telah menyelamatkan kami untuk kesekian kalinya,” ucap Saruang kemudian.Bimantara hanya mengangguk.“Izinkan aku untuk istirahat sebentar,” pinta Bimantara.Datuk Margi mengangguk. Bimantara pun berjalan melewati mereka menuju perut kamar. Dia ingin
Bimantara baru selesai mengembalikan tenaga dalamnya. Dia tampak lega. Tak lama kemudian dia kembali mendengar sebuah suara. Dia memejamkan matanya mencoba menerawang. Bimantara terkejut melihat Pendekar yang wajahnya dipenuhi bulu mirip kera tengah membunuh awak kapal bersama pendekar lainnya. Mereka lalu melayarkan kapal layar itu menuju lautan.“Kita harus membawa kepala Candaka Uddhiharta ke Tala! Arahkan kapal ini menuju daratan Suwarnadwipa!” teriak Pendekar Buruk Rupa itu pada ketiga pendekar lainnya.Bimantara membuka matanya.“Mereka tengah mencariku? Mereka mengetahui pengembaraanku ke Suwarnadwipa hingga menyusulku?” tanya Bimantara dengan heran.***Sementara di Perguruan Matahari, Kepala Perguruan berdiri menatap Pendekar Pedang Emas yang tampak lemah. Dia sedang diberi ramuan oleh Tabib perguruan. Setelah meminum ramuan itu, Pendekar Pedang Emas tampak muntah. Tabib perguruan langsung membersihkan bekas muntahan Pendekar Pedang Emas. Pendekar itu akhirnya kembali dibari
Panglima Sada datang menghadap Raja Dwilaga di singgasana. Para pejabat istana sudah hadir di sana.“Ampun, yang mulia. Saat ini para pendekar dari kerajaan Tala yang cukup meresahkan penduduk kerajaan tengah diburu dan sebagian sudah dimasukkan ke dalam penjara istana,” lapor Panglima Sada.“Apakah sudah kau tanyakan kepada para tawanan alasan mereka membuat huru hara di kerajaan ini?” tanya Raja Dwilaga dengan penasaran.“Sudah yang mulia. Mereka diminta pihak kerajaan Tala untuk mencari Candaka Uddhiharta karena menurut peramal di sana, Candaka Uddhiharta diramalkan kelak akan menghancurkan kerajaan mereka,” jawab Panglima Sada.Raja Dwilaga mengernyit mendengarnya. Para pejabat istana yang lain pun tampak terkejut mendengarnya.“Candaka Uddhiharta?”“Iya, yang mulia,” jawab Panglima Sada.Raja Dwilaga pun menatap para pejabat istana dengan heran. “Apakah kalian percaya dengan Candaka Uddhiharta ini yang katanya datang setiap seratus tahun sekali untuk menjaga Nusantara?”Salah sat
Sementara itu, Raja Banggala dari kerajaan Nusantara Barat mendapatkan surat dari Kerajaan Nusantara Timur yang dihantarkan oleh Panglima Aras. Raja Banggala menatap semua pejabat istana di hadapannya dengan bingung.“Raja Dwilaga telah mengirim surat padaku untuk bersama-sama mengancam kerajaan Tala agar menarik semua pendekar yang kirim oleh mereka. Bagaimana menurut kalian?” tanya Raja Banggala.“Ampun yang mulia,” jawab salah satu pejabat istana. “Mungkin sebaiknya memang begitu. Meski saat ini para pendekar dari kerajaan Tala itu tengah mencari Candaka Uddhiharta di wilayah kerajaan Timur, tapi kita harus ikut andil dalam hal ini. Khawatirnya mereka juga akan bergerak ke wilayah kerajaan kita meskipun saat ini penjagaan sudah dilakukan dengan ketat.”Raja Banggala tampak berpikir. “Bagaimana menurutmu Panglima?” tanya Raja Banggala pada Panglima Aras.“Hamba setuju dengan apa yang dikatakannya, yang mulia!” jawab Panglima Aras.Raja Banggala tampak berpikir sesaat lalu dia memeri
Bimantara terbangun dengan lemah. Dia terkejut sudah berada di dalam ruangan yang sangat gelap. Dia tidak dapat melihat apapun di dalam ruangan itu yang hanya bisa didengarnya suara tetes air entaha berada di mana. Dia semakin terkejut ketika menyadari sudah tidak berada di dalam kapal layar lagi.“Di mana aku?” tanyanya heran.Tangannya terikat sebuah rantai. Tubuhnya tidak mengenakan selembar kain pun. Bimantara berusaha mengumpulkan tenaga dalamnya untuk melepaskan diri dari ikatan rantai itu. Namun racun di tubuhnya masih menguasai tubuhnya. Berkali-kali dia berusaha melakukannya namun dia tidak berhasil melakukannya.“Kau tak akan bisa lepas dari rantai itu dan tak akan bisa keluar dari kurungan ini wahai penjahat!” ucap seseorang yang tiba-tiba terdengar di telinganya.Bimantara terkejut mendengarnya.“Lepaskan aku! Aku bukan penjahat!” teriak Bimantara.Seseorang itu tertawa.“Kau adalah salah satu perompak yang kerap mencuri kapal-kapal di wilayah kerjaan Suwarnadwipa! Kau har
Bimantara bingung harus bagaimana. Tubuhnya semakin lemah di dalam ruangan gelap dan pengap itu. Yang bisa meruntuhkan mantra penghilang ilmunya dari tempat itu adalah hanya Pedang Perak Cahaya Merah. Namun kini pedang itu telah dicuri oleh Datuk Margi dan kawanannya.Bimantara mencoba menutup matanya. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang diajarkan Ki Walang padanya. Namun tak satupun yang bisa menghilangkan mantra pengilang ilmu itu kecuali pedang itu. Ki Walang tidak mengajarkan mantra penghilang ilmu itu padanya dan dia tidak diajarkan cara mengangkalnya.Tiba-tiba dia teringat sebuah perkataan Ki Walang di suatu petang di pinggir laut. Saat itu matahari tengah tenggelam. Mereka baru saja selesai berlatih ilmu bela diri.“Jika pusaka telah ditakdirkan untukmu, maka siapapun yang merebutnya kelak akan tetap kembali padamu,” ucap Ki Walang padanya. Saat itu mereka tengah membahas pedang perak cahaya merah. Kala itu Ki Walang tengah meminta Bimantara untuk melupakan pedang perak cahay
Pedang itu terus terbang menembus awan. Para penduduknya yang berlarian mengejar tampak kelelahan. Mereka akhirnya berhenti karena tak sanggup lagi berlari. Sementara itu, Bimantara masih berusaha memanggil pedang itu di dalam ruangan yang gelap dan pengap itu.“Pedang perak cahaya merah, datanglah padaku jika benar kau ditakdirkan untukku,” gumam Bimantara.Tak lama kemudian dia mendengar suara teriakan kesakitan di luar sana. Bimantara berhenti bergumam. Dia heran ada apa di luar sana. Tak lama kemudian dia mendengar suara ribut para tawanan yang dikurung di dalam penjara.“Ada pedang terbang! Ada pedang terbang!”Bimantara terbelalak mendengar itu. Apakah itu pedang perak cahaya merah? Tanya Bimantara tak percaya. Lalu, tiba-tiba cahaya datang menerangi lorong gelap di hadapan jeruji besi yang mengurung Bimantara. Dia terbelalak tak percaya melihat cahaya kemerahan itu perlahan mendekat padanya. Di bawah nya dia melihat mayat-mayat penjaga tengah terkapar bersimbah darah.“Apakah i